• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Pertanaman

Pada saat pindah tanam yaitu setelah umur bibit lebih kurang satu bulan, kondisi lahan cukup air dan lembab. Kondisi tersebut menyebabkan bibit banyak yang terserang penyakit rebah kecambah (Phytium debaryanum). Penyakit tersebut menimbulkan gejala busuk pada batang bawah atau pada pangkal akar.

Hama yang menyerang tanaman antara lain jangkrik, belalang, trips, kutu daun, dan tungau. Sementara itu patogen yang menyerang selain rebah kecambah antara lain bakteri, antraknosa dan virus gemini yang mengakibatkan daun-daun menjadi kuning.

Pola Pewarisan Sifat Kualitatif

Studi pola pewarisan dilakukan dengan cara mengkelaskan sifat yang diamati pada populasi F2. Nisbah dari kelas-kelas yang didapat dari hasil pengamatan tersebut diuji apakah berbeda nyata atau tidak berbeda nyata dengan nisbah fenotipik gen mayor berdasarkan Tabel 1. Tabel 2 menunjukkan data karakter kualitatif pada populasi P1, P2, F1, dan F1R tanaman cabai yang diuji.

Tabel 2. Beberapa Karakter Kualitatif Cabai pada P1, P2, F1, dan F1R

Karakter P1 P2 F1 F1R

Permukaan Buah kasar licin licin Licin

Lekukan di Pangkal Buah

ada ada ada Ada

Orientasi Buah ke bawah ke atas ke bawah ke atas Penyempitan

Tangkai Buah

ada ada tidak ada tidak ada

Warna Daun hijau tua hijau hijau tua hijau tua Posisi Bunga tidak tegak tegak semi tegak semi tegak

14

Tabel 3. Nisbah Fenotipik Karakter Kualitatif Cabai pada Populasi BCP1, BCP2, dan F2

Karakter BCP1 BCP2 F2

Permukaan Buah

16 kasar : 9 licin 15 kasar : 8 licin 167 kasar :71 licin Lekukan di

Pangkal Buah

20 ada : 5 tidak ada 15 ada : 8 tidak ada 181 ada : 57 tidak ada

Orientasi Buah

18 ke bawah : 7 ke atas 13 ke bawah : 10 ke atas

169 ke bawah : 69 ke atas

Penyempitan Tangkai Buah

14 ada : 11 tidak ada 7 ada : 16 tidak ada 133 ada : 105 tidak ada

Warna Daun 17 hijau : 8 hijau tua 15 hijau : 8 hijau tua

130 hijau : 108 hijau tua

Posisi Bunga 16 tidak tegak : 7 semi tegak : 2 tegak 11 tidak tegak : 4 semi tegak : 8 tegak 140 tidak tegak : 42 semi tegak : 56 tegak

Nisbah fenotipik frekuensi pola pewarisan yang dikendalikan oleh gen mayor dalam populasi BCP1, BCP2, dan populasi F2 dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji khi kuadrat untuk karakter permukaan buah, lekukan pada pangkal buah, orientasi buah, penyempitan tangkai buah, warna daun, dan posisi bunga pada populasi F2, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Khi Kuadrat Karakter Kualitatif Cabai Populasi F2

Karakter Fenotipe F2

Nisbah

segregasi X hitung X tabel 5% Permukaan Buah 167 kasar : 71

licin 3 : 1 2.96 tn 3.84 Lekukan di Pangkal Buah 181 ada : 57 tidak ada 3 : 1 0.14tn 3.84

Orientasi Buah 169 bawah : 69

atas 3 : 1 2.02tn 3.84

Penyempitan Tangkai Buah

133 ada : 105

tidak ada 9 : 7 0.01tn 3.84 Warna Daun 130 hijau : 108

hijau tua 9 : 7 0.26tn 3.84 Posisi Bunga 140 tidak tegak : 42 semi tegak : 56 tegak 9 : 3 : 4 0.64tn 5.99

15

Permukaan Buah

Berdasarkan data fenotipik pada populasi F2 diperoleh nisbah karakter permukaan buah adalah 3 kasar : 1 licin (Tabel 4). Nisbah tersebut mengindikasikan bahwa karakter permukaan buah dikendalikan oleh satu gen dua alel. Karakter permukaan buah kasar diduga mempunyai genotipe KK dan Kk, sedangkan karakter permukaan buah licin mempunyai genotipe kk. Alel K diduga dominan terhadap alel k.

Populasi F2 merupakan generasi kedua hasil persilangan dua galur homozigot. Galur homozigot P1 (kasar) disilangkan dengan galur homozigot P2 (licin) akan menghasilkan F1 (kasar). Hasil ini tidak sesuai dengan data pengamatan di lapangan yaitu populasi F1 mempunyai karakter permukaan buah licin (Tabel 2). Ketidaksesuaian ini diduga karena tanaman P1 belum homozigot. Tanaman P1 yang demikian (bergenotipe Kk), jika disilangkan dengan tanaman P2 (homozigot kk) menghasilkan populasi F1 bergenotipe Kk dan kk. Tanaman F1 yang bergenotipe Kk jika dilakukan penyerbukan sendiri akan menghasilkan populasi F2 dengan perbandingan 3 K- : 1 kk (Gambar 1). Tetua P1 x P2 Kk kk (kasar) (licin) F1 Kk & kk kasar licin Kk (kasar) F2 1 KK : 2 Kk : 1 kk 3 kasar : 1 licin

Gambar 1. Bagan Persilangan antara P1 (Kasar) & P2 (Licin) serta Selfing F1 untuk Karakter Permukaan Buah

Untuk mendukung dugaan genotipe pada tanaman P1, P2, dan F1 dilakukan persilangan antara F1 dan P1 (BCP1) serta F1 dan P2 (BCP2). Hasil yang diperoleh pada populasi BCP1 dan BCP2 berturut-turut menunjukkan perbandingan 16 kasar : 9 licin dan 15 kasar : 8 licin. Berdasarkan perbandingan tersebut diduga genotipe F1, P1, dan P2 berturut-turut adalah Kk, Kk, dan kk. Persilangan anatara F1 (Kk, fenotipe kasar)

16

dengan P1 (Kk, fenotipe kasar) menghasilkan populasi BCP1 dengan fenotipe kasar dan licin, demikian juga dengan persilangan F1 dan P2 menghasilkan populasi BCP2 dengan fenotipe kasar dan licin (Gambar 2).

F1 x P1 F1 x P2

Kk Kk Kk kk

(kasar) (kasar) (kasar) (licin)

BCP1 KK, Kk, dan kk BCP2 Kk & kk kasar licin kasar licin

Gambar 2. Bagan Persilangan antara F1 dengan P1 dan F1 dengan P2 untuk Karakter Permukaan Buah

Lekukan di Pangkal Buah

Berdasarkan data fenotipik pada populasi F2 diperoleh nisbah karakter lekukan di pangkal buah adalah 3 ada : 1 tidak ada (Tabel 4). Nisbah tersebut mengindikasikan bahwa karakter lekukan di pangkal buah dikendalikan oleh satu gen dua alel. Karakter ada lekukan di pangkal buah diduga mempunyai genotipe AA dan Aa, sedangkan karakter tidak ada lekukan buah mempunyai genotipe aa. Alel A diduga dominan terhadap alel a.

Populasi F2 merupakan generasi kedua hasil persilangan dua galur homozigot. Galur P1 (ada) disilangkan dengan galur P2 (tidak ada) akan menghasilkan F1 (ada). Hasil ini tidak sesuai dengan data pengamatan di lapang yaitu populasi P2 mempunyai karakter ada lekukan di pangkal buah (Tabel 2). Salah satu dari galur P1 dan P2 diduga mempunyai genotipe Aa atau AA. Jika galur P1 mempunyai genotipe AA maka galur P2 mempunyai genotipe Aa, demikian juga sebaliknya. Tanaman F1 yang bergenotipe Aa jika dilakukan penyerbukan sendiri akan menghasilkan populasi F2 dengan perbandingan 3 A- : 1 aa (Gambar 3).

17 Tetua P1 x P2 Aa AA (ada) (ada) F1 AA & Aa ada Aa (ada) F2 1 AA : 2 Aa :1 aa 3 ada : 1 tidak ada

Gambar 3. Bagan Persilangan antara P1 (Ada) & P2 (Ada) serta Selfing F1 untuk Karakter Lekukan di Pangkal Buah

Untuk mendukung dugaan genotipe pada tanaman P1, P2, dan F1 dilakukan persilangan antara F1 dan P1 (BCP1) serta F1 dan P2 (BCP2). Hasil yang diperoleh pada populasi BCP1 dan BCP2 berturut-turut menunjukkan perbandingan 20 ada : 5 tidak ada dan 15 ada : 8 tidak ada. Berdasarkan perbandingan tersebut diduga genotipe F1, P1, dan P2 berturut-turut adalah Aa, Aa, sedangkan P2 diduga mempunyai genotipe Aa. Tanaman ini berbeda dengan tanaman P2 untuk membentuk populasi F1. Persilangan antara F1 (Aa, fenotipe ada) dengan P1 (Aa, fenotipe ada) menghasilkan populasi BCP1 dengan fenotipe ada dan tidak ada, demikian juga dengan persilangan F1 dan P2 menghasilkan populasi BCP2 dengan fenotipe ada dan tidak ada (Gambar 4).

F1 x P1 F1 x P2

Aa Aa Aa Aa

(ada) (ada) (ada) ( ada)

BCP1 AA , Aa & aa BCP2 AA, Aa, & aa ada tidak ada ada tidak ada

Gambar 4. Bagan Persilangan antara F1 dan P1 serta F1 dan P2 untuk Karakter Lekukan di Pangkal Buah

18

Orientasi Buah

Berdasarkan data fenotipik pada populasi F2 diperoleh nisbah karakter orientasi buah adalah 3 ke bawah : 1 ke atas (Tabel 4). Nisbah tersebut mengindikasikan bahwa karakter orientasi buah dikendalikan oleh satu gen dua alel. Karakter orientasi buah ke bawah diduga mempunyai genotipe BB dan Bb, sedangkan karakter orientasi buah ke atas mempunyai genotipe bb. Alel B diduga dominan terhadap alel b.

Populasi F2 merupakan generasi kedua hasil persilangan dua galur homozigot. Galur P1 (ke bawah) disilangkan dengan galur P2 (ke atas) akan menghasilkan F1 (ke bawah). Hasil ini sesuai dengan data pengamatan di lapang yaitu populasi F1 mempunyai karakter permukaan buah ke bawah (Tabel 2). Tanaman F1 yang bergenotipe Bb jika dilakukan penyerbukan sendiri akan menghasilkan populasi F2 dengan perbandingan 3 B- : 1 bb (Gambar 5).

Tetua P1 x P2

BB bb

(ke bawah) (ke atas) F1 Bb ke bawah F2 1 BB : 2 Bb :1 bb 3 ke bawah : 1 ke atas

Gambar 5. Bagan Persilangan antara P1 & P2 serta Selfing F1 untuk Karakter Orientasi Buah

Untuk mendukung dugaan genotipe pada tanaman P1, P2, dan F1 dilakukan persilangan antara F1 dan P1 (BCP1) serta F1 dan P2 (BCP2). Persilangan antara F1 heterozigot dengan P1 homozigot dominan menghasilkan BCP1 yang mempunyai fenotipe orientasi buah ke bawah. Sementara itu persilangan antara F1 heterozigot dengan P2 homozigot resesif akan menghasilkan BCP2 yang mempunyai fenotipe orientasi buah ke bawah dan ke atas dengan perbandingan 1:1. Hasil ini tidak sesuai dengan data pengamatan di lapang pada populasi BCP1 dan BCP2 berturut-turut menunjukkan perbandingan 18 bawah : 7 atas dan 13 bawah : 10 atas. Berdasarkan perbandingan tersebut diduga genotipe F1, P1, dan P2 berturut-turut adalah Bb, Bb, dan bb. Persilangan antara F1 (Bb, fenotipe bawah) dengan P1 (Bb, fenotipe bawah)

19

menghasilkan populasi BCP1 dengan fenotipe bawah dan atas, demikian juga dengan persilangan F1 dan P2 menghasilkan populasi BCP2 dengan fenotipe bawah dan atas (Gambar 6). Tanaman P1 yang digunakan untuk membentuk populasi F1 berbeda dengan tanaman P1 untuk membentuk populasi BCP1. Dengan demkian galur P1 belum homozigot.

F1 x P1 F1 x P2

Bb Bb Bb bb

(ke bawah) (ke bawah) (ke bawah) (ke atas) BCP1 BB, Bb & bb BCP2 Bb & bb

ke bawah ke atas ke bawah ke atas

Gambar 6. Bagan Persilangan antara F1 dan P1 serta F1 dan P2 untuk Karakter Orientasi Buah

Penyempitan Tangkai Buah

Berdasarkan data fenotipik pada populasi F2 diperoleh nisbah karakter penyempitan buah adalah 133 ada : 105 tidak ada atau 9:7 (Tabel 4). Nisbah tersebut mengindikasikan bahwa karakter penyempitan tangkai buah dikendalikan oleh dua pasang gen atau epistasis. Menurut Crowder (1986) perbandingan 9:7 pada populasi F2 menunjukkan interaksi epistasis resesif ganda. Hal ini berarti fenotipe yang sama dihasilkan oleh kedua genotipe homozigot resesif. Dua gen resesif bersifat epistasis terhadap alel dominan.

Karakter ada penyempitan tangkai buah diduga mempunyai genotipe A-T-, sedangkan karakter tidak ada penyempitan tangkai buah mempunyai genotipe A-tt, aaT-, dan aatt. Setiap ada alel A yang bersama – sama dengan T maka fenotipe yang muncul adalah ada penyempitan tangkai buah. Sementara itu, jika alel genotipe homozigot aa atau tt maka fenotipe yang muncul adalah tidak ada penyempitan tangkai buah (Gambar 7).

Populasi F2 merupakan generasi kedua hasil persilangan dua galur homozigot. Galur homozigot P1 (ada) disilangkan dengan galur homozigot P2 (tidak ada) akan menghasilkan F1 (ada). Hasil ini tidak sesuai dengan data pengamatan di lapang yaitu populasi P2 mempunyai karakter ada penyempitan tangkai buah sedangkan populasi F1 mempunyai karakter tidak ada penyempitan tangkai buah (Tabel 2). Ketidaksesuaian ini diduga karena tanaman P1 dan P2 belum homozigot. Tanaman P1 yang demikian (bergenotipe AaTt), jika disilangkan dengan tanaman P2 (bergenotipe AaTT)

20

menghasilkan populasi F1 bergenotipe AATT, AaTt, AATt, AaTT, aaTT, dan aaTt. Tanaman F1 yang bergenotipe AaTt jika dilakukan penyerbukan sendiri akan menghasilkan populasi F2 dengan perbandingan 9 A-T- : 3 A-tt : 3 aaT- : 1 aatt (Gambar 7).

Tetua P1 x P2

AaTt AaTT

(ada) (ada)

F1 AATT, AaTt , AATt , AaTT, aaTT, aaTt ada tidak ada

AaTt

(ada)

F2 9 A-T : 3 A-tt : 3 aaT- : 1 aatt 9 ada : 7 tidak ada

Gambar 7. Bagan Persilangan antara P1 & P2 serta Selfing F1 untuk Karakter Penyempitan Tangkai Buah

Warna Daun

Berdasarkan data fenotipik pada populasi F2 diperoleh nisbah karakter warna daun adalah 130 hijau : 108 hijau tua atau 9:7 (Tabel 4). Nisbah tersebut mengindikasikan bahwa karakter warna daun dikendalikan oleh dua pasang gen atau epistasis. Menurut Crowder (1986) perbandingan 9:7 pada populasi F2 menunjukkan interaksi epistasis resesif ganda. Hal ini berarti fenotipe yang sama dihasilkan oleh kedua genotipe homozigot resesif. Dua gen resesif bersifat epistasis terhadap alel dominan.

Karakter warna daun hijau diduga mempunyai genotipe H-T-, sedangkan karakter warna daun hijau tua mempunyai genotipe H-tt, hhT-, dan hhtt. Setiap ada alel A yang bersama – sama dengan T maka fenotipe yang muncul adalah warna daun hijau. Sementara itu, jika genotipe homozigot hh atau tt maka fenotipe yang muncul adalah warna daun hijau tua (Gambar 8).

Populasi F2 merupakan generasi kedua hasil persilangan dua galur homozigot. Galur homozigot P1 (hijau tua) disilangkan dengan galur homozigot P2 (hijau) akan menghasilkan F1 (hijau). Hasil ini tidak sesuai dengan data pengamatan di lapang yaitu

21

populasi F1 mempunyai karakter warna daun hijau tua (Tabel 2). Ketidaksesuaian ini diduga karena tanaman P1 dan P2 belum homozigot. Tanaman P1 bergenotipe Hhtt, jika disilangkan dengan tanaman P2 bergenotipe HhTT menghasilkan populasi F1 bergenotipe HHTt, HhTt, dan hhTt. Tanaman F1 yang bergenotipe HhTt jika dilakukan penyerbukan sendiri akan menghasilkan populasi F2 dengan perbandingan 9 T- : 3 H-tt : 3 hhT- : 1 hhH-tt (Gambar 8).

Tetua P1 x P2

Hhtt HhTT

(hijau tua) (hijau) F1 HHTt, HhTt, hhTt hijau hijau tua HhTt (hijau) F2 9 H-T : 3 H-tt : 3 hhT- : 1 hhtt

9 hijau : 7 hijau tua

Gambar 8. Bagan Persilangan antara P1 & P2 serta Selfing F1 untuk Karakter Warna Daun

Posisi Bunga

Berdasarkan data fenotipik pada populasi F2 diperoleh nisbah karakter posisi bunga adalah 140 tidak tegak : 42 semi tegak : 56 tegak atau 9: 3 : 4 (Tabel 4). Nisbah tersebut mengindikasikan bahwa karakter posisi bunga dikendalikan oleh dua pasang gen atau epistasis. Menurut Crowder (1986) perbandingan tersebut menandakan adanya interaksi epistasi resesif.

Karakter posisi bunga tidak tegak diduga mempunyai genotipe R-T-, karakter semi tegak mempunyai genotipe R-tt, dan rrT-, sedangkan genotipe karakter tegak adalah hhtt. Setiap ada alel R yang bersama – sama dengan T maka fenotipe yang muncul adalah posisi bunga tidak tegak. Sementara itu, jika ada genotipe R-tt atau rrT- maka fenotipe yang muncul adalah semi tegak, sedangkan apabila genotipe rrtt fenotipe yang muncul adalah tegak (Gambar 9).

Populasi F2 merupakan generasi kedua hasil persilangan dua galur homozigot. Galur homozigot P1 (tidak tegak) disilangkan dengan galur homozigot P2 (tegak) akan

22

menghasilkan F1 (tidak tegak). Hasil ini tidak sesuai dengan data pengamatan di lapang yaitu populasi F1 mempunyai karakter posisi bunga semi tegak (Tabel 2). Ketidaksesuaian ini diduga karena tanaman P1 dan P2 belum homozigot. Tanaman P1 bergenotipe RrTt jika disilangkan dengan tanaman P2 bergenotipe rrtt menghasilkan populasi F1 bergenotipe RrTt, Rrtt, rrTt dan rrtt. Tanaman F1 yang bergenotipe RrTt jika dilakukan penyerbukan sendiri akan menghasilkan populasi F2 dengan perbandingan 9 R-T : 3 R-tt : 3 rrT- : 1 rrtt (Gambar 9).

Tetua P1 x P2 RrTt rrtt (tidak tegak) (tegak)

F1 RrTt, Rrtt, rrTt, & rrtt tidak tegak semi tegak tegak

F2 9 R-T : 3 R-tt : 3 rrT- : 1 rrtt 9 tidak tegak : 3 semi tegak : 4 tegak

Gambar 9. Bagan Persilangan antara P1 & P2 serta Selfing F1 untuk Karakter Posisi Bunga

Karakter Kuantitatif

Karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen minor. Menurut Nasir (2001) karakter kuantitatif umumnya dikendalikan oleh banyak gen dan merupakan hasil akhir dari suatu proses pertumbuhan dan perkembangan yang berkaitan langsung dengan karakter fisiologi dan morfologi. Pada Tabel 5 dapat dilihat hasil uji normalitas karakter kuantitatif pada populasi F2.

Tabel 5. Hasil Uji Normalitas Karakter Kuantitatif Cabai pada Populasi F2 Karakter Normalitas Sebaran Bobot Layak Pasar < 0.01 tidak normal

Bobot Total Buah < 0.01 tidak normal

Diameter Buah < 0.01 tidak normal

Tinggi dikotomus > 0.1 normal

Panjang Buah < 0.01 tidak normal

Pada karakter bobot layak pasar, bobot total, diameter dan panjang buah menunjukkan sebaran yang tidak normal (Tabel 5). Menurut Murti et al.(2004)

23

parameter yang tidak mengikuti distribusi normal memiliki sebaran yang diskontinu, terdapat pengaruh gen mayor, sifat kelas yang dapat dibedakan dengan jelas karena dipengaruhi oleh beberapa gen.

Pada karakter tinggi dikotomus menunjukkan sebaran normal (Tabel 5). Menurut Crowder (1986) ragam kontinu fenotipe membentuk spektrum, nilai populasi cukup besar sering membentuk kurva normal menunjukkan karakter kuantitatif. Tabel 6 menunjukkan ragam tetua, ragam backcross, ragam F1, ragam F2, dan nilai heritabilitas karakter kuantitatif yang diteliti.

Tabel 6. Ragam Tetua, Ragam Backcross, Ragam F1, Ragam F2 dan Nilai Heritabilitas Karakter Kuantitatif

Menurut Nasir (2001) heritabilitas adalah proporsi ragam genetik terhadap besaran total ragam genetik ditambah dengan ragam lingkungan, dengan kata lain heritabilitas merupakan proporsi besaran ragam genetik terhadap besaran ragam fenotipe untuk suatu karakter tertentu. Ada dua nilai heritabilitas yang dikenal dalam pemuliaan tanaman yaitu heritabilitas dalam arti luas dan heritabilitas dalam arti sempit.

Pada karakter tinggi dikotomus dan diameter buah nilai heritabilitas arti luas lebih besar daripada nilai heritabilitas arti sempit. Menurut Nasir (2001) nilai heritabilitas dalam arti luas memperhatikan ragam genetik total dalam kaitannya dengan keragaman fenotipe. Dalam hal ini genotipe dianggap sebagai unit dalam kaitannya dengan lingkungan. Sementara itu heritabilitas dalam arti sempit yang menjadi fokus perhatian adalah keragaman yang diakibatkan oleh peran gen aditif merupakan bagian dari keragaman genetik total. Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa nilai Komponen Ragam Bobot Layak Pasar Bobot Total Buah Diameter Buah Tinggi Dikotomus Panjang Buah VP1 1058.34 5514.07 0.07 3.86 1.35 VP2 604.14 963.60 0.01 34.90 1.01 VSB1 648.93 2324.64 0.04 23.40 0.91 VSB2 589.21 1759.10 0.05 27.02 1.06 VF1 1356.55 2745.42 0.02 13.97 1.00 VF2 1349.68 2450.22 0.04 32.49 1.67 h2ns 1.08 0.33 -0.25 0.45 0.82 h2bs 0.25 -0.25 0.17 0.47 0.33

24

heritabilitas dalam arti sempit tidak akan pernah lebih besar dibandingkan dengan nilai heritabilitas dalam arti luas untuk suatu karakter tertentu.

Pada Tabel 6 dapat dilihat karakter bobot layak pasar, bobot total buah, dan panjang buah mempunyai nilai heritabilitas arti sempit lebih besar daripada nilai heritabilitas arti luas. Hasil ini tidak sesuai dengan pendapat Nasir (2001). Terjadinya perbedaan ini diakibatkan kurangnya populasi backcross. Pada karakter diameter dan bobot total nilai heritabilitas minus. Menurut Allard (1960) nilai heritabilitas minus dapat dianggap nol.

Derajat Dominansi

Derajat dominansi (hp) adalah peran atau aksi gen pengendali sifat genetik yang terkait langsung dengan potensi sifat yang diwariskan oleh suatu tanaman. Pada Tabel 7 disajikan nilai tengah dan aksi gen pada karakter kuantitatif yang diuji.

Tabel 7. Nilai Tengah Karakter Kuantitatif Cabai dan Aksi Gen

Karakter F1 MP P1 P2 hp

Panjang Buah (cm) 7.33 6.46 8.19 4.72 0.50 Diameter Buah (cm) 1.10 1.03 1.33 0.73 0.23 Tinggi Dikotomus (cm) 19.17 15.31 9.52 21.10 0.67 Bobot Total Buah (g) 147.24 90.90 130.94 50.86 1.41 Bobot Layak Pasar (g) 89.36 47.76 57.08 38.47 4.46

Keterangan : F1 = rata-rata nilai F1 P1 = rata-rata nilai P1 P2 = rata-rata nilai P2 MP = nilai tengah kedua tetua hp = derajat dominansi

Nilai derajat dominansi panjang buah, diameter, dan tinggi dikotomus menunjukkan angka 0.5, 0.23, 0.67 (Tabel 7). Hal ini berarti bahwa karakter panjang buah, diameter, dan tinggi dikotomus termasuk ke dalam aksi gen dominan tidak sempurna. Menurut Petr dan Frey (1966) klasifikasi nilai derajat dominansi adalah 0<hp<1. Sehingga panjang buah, diameter, dan tinggi dikotomus termasuk ke dalam aksi gen tidak sempurna. Menurut Crowder (1986) derajat dominansi tidak lengkap adalah kontribusi alel aktif A lebih besar daripada satu unit tertentu sehingga pengaruh dua alel aktif tidak sama dengan dua kali pengaruh dari alel aktif tunggal, yaitu AA tidak aditif; kombinasi Aa mendekati AA.

25

Nilai derajat dominansi bobot total dan bobot layak pasar buah menunjukkan angka 1.41 dan 4.46. Hal ini berarti karakter berat total dan berat layak pasar buah termasuk ke dalam aksi gen over dominan. Menurut Petr dan Frey (1966) klasifikasi nilai derajat dominansi hp > 1 atau hp < -1 termasuk ke dalam aksi gen over dominan. Menurut Crowder (1986) individu heterozigot memberi kontribusi pada fenotipe lebih besar daripada homozigot yang mempunyai alel aktif. Aa > AA, secara fisiologis alel-alel itu menghasilkan substansi berbeda yang komplementer istilah lewat dominansi umumnya digunakan dalam hubungannya dengan sifat-sifat fitness biologis seperti ukuran, produktivitas, dan daya hidup (viabilitas), persilangan antara individu dengan

fitness kurang baik untuk sifat tertentu kadang-kadang menghasilkan keturunan yang

lebih unggul (superior) dari kedua orang tuanya karena banyaknya gen yang terlibat sulit untuk menentukan hubungan dominansi dari gen-gen tertentu.

Pewarisan Ekstrakromosomal

Data kuantitatif pewarisan ekstrakromosomal dapat dilihat pada F1 dan F1R melalui uji t. Nilai t hitung dua genotipe F1 dan F1R dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai t Hitung pada Karakter Kuantitatif Cabai Populasi F1 dan F1R

Sifat Genotipe T hit P Hit

F1 F1R

Panjang Buah (cm) 7.33 ± 1.00 6.56 ± 0.41 3.12** 0.005 Diameter Buah (cm) 1.10 ± 0.13 0.78 ± 0.09 8.35** 0.000 Tinggi Dikotomus (cm) 19.17 ± 3.74 14.00 ± 5.22 4.24** 0.000 Bobot Total Buah (g) 130.70 ± 55.40 58.20 ± 36.90 4.29** 0.001 Bobot Layak Pasar (g) 87.80 ± 39.10 30.50 ± 34.60 4.22** 0.000

Keterangan : ** = berbeda sangat nyata

Berdasarkan analisis data dengan menggunakan uji t dapat diketahui bahwa F1 dan F1R berbeda sangat nyata untuk karakter panjang buah, diameter buah, bobot total, bobot layak panen, dan tinggi dikotomus (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai antara populasi tanaman F1 dan F1 resiprokalnya sehingga karakter-karakter tersebut disebabkan oleh pewarisan ekstrakromosomal. Menurut Crowder (1986) pewarisan di luar inti terjadi karena pewarisan partikel sitoplasma yang memiliki kelangsungan hidup. Pewarisan yang dikendalikan oleh gen di luar inti disebut pewarisan ekstrakromosomal.

Pada data kualitatif pengaruh pewarisan ekstrakromosomal tidak dianalisis dengan uji t, tetapi hanya secara visual. Pengamatan visual menunjukkan terdapat

26

perbedaan orientasi buah pada populasi F1 & F1R. Tanaman F1 menunjukkan arah ke bawah dan F1R ke atas Hal ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dipengaruhi oleh pewarisan ektrakromosomal (Tabel 2).

Dokumen terkait