• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Dayasaing Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Berdasarkan Revealed Comparative Advantage (RCA) Tahun

2009-2013

Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk menggeser komoditas ekspor kakao dari bahan mentah ke produk olahan. Hal tersebut mendasari dilakukannya penelitian terhadap bubuk kakao ini. Posisi dayasaing produk kakao Indonesia sangat ditentukan oleh keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Analisis RCA digunakan dalam penelitian ini untuk melihat keunggulan komparatif pada bubuk kakao. Nilai RCA memberikan gambaran kinerja ekspor. Jika nilai RCA lebih dari 1 berarti suatu negara memiliki kinerja ekspor yang baik dan memiliki keunggulan komparatif atas produknya. Sebaliknya, jika nilai RCA kurang dari 1 berarti suatu negara tidak memiliki keunggulan komparatif atas produknya (Firsya 2014).

Berdasarkan data rata-rata nilai dan volume ekspor bubuk kakao Indonesia ke dunia yang diperoleh dari UN Comtrade, produk kakao yang memiliki potensi besar adalah biji kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao. Selain itu, produk kakao ini juga memiliki rata-rata nilai RCA yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk kakao lainnya. Rata-rata nilai dan volume ekspor serta nilai RCA bubuk kakao Indonesia ke dunia dapat dilihat pada tabel 11.

28

Tabel 11 Rata-rata nilai dan volume ekspor serta nilai RCA bubuk kakao Indonesia ke dunia tahun 2009-2013

Komoditas Rata-rata nilai ekspor (US$) Rata-rata volume ekspor (Kg) Rata-rata nilai RCA Biji kakao 744 729 040.8 286 744 036.00 8.35 Kulit kakao 2 251 931.2 5 709 231.00 0.59 Lemak kakao 272 869 355.4 70 396 057.00 6.97 Bubuk kakao 116 402 015.6 38 664 974.00 3.80 Bubuk kakao berpemanis 449 662.4 186 148.40 0.08 Sumber: UN Comtrade, 2015.

Berdasarkan posisi rata-rata nilai dan volume ekspor ke dunia serta rata-rata nilai RCA selama tahun 2009 hingga 2013 pada Tabel 11 secara keseluruhan, bubuk kakao menempati posisi dayasaing ketiga terbesar dibandingkan produk kakao lainnya. Data UN Comtrade menunjukkan bahwa ekspor bubuk kakao Indonesia menempati posisi ketujuh terbesar sebagai eksportir bubuk kakao di dunia. Selain itu, berdasarkan gambar 3, bubuk kakao Indonesia selama tahun 2009 hingga 2013 mengalami surplus perdagangan dengan rata-rata volume ekspor sebesar 27.85 ribu ton lebih banyak dibandingkan volume impornya (10.81 ribu ton). Neraca perdagangan bubuk kakao Indonesia ke dunia dapat dilihat pada gambar 7.

Sumber: UN Comtrade, 2014.

Gambar 7 Neraca perdagangan bubuk kakao Indonesia dengan dunia tahun 2009-2013

Gambar 7 menunjukkan bahwa tingkat ekspor bubuk kakao selama tahun 2009 sampai 2013 mengalami peningkatan, mengungguli tingkat impornya. Nilai neraca bubuk kakao yang selalu meningkat hingga mencapai 64.69 juta USD pada tahun 2013 menunjukkan bahwa perdagangan bubuk kakao mengalami surplus

pada setiap tahunnya disebabkan ekspor yang melebihi impornya Kondisi ini merupakan potensi bagi Indonesia untuk menguasai pasar ekspor bubuk kakao di pasar internasional.

Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif menggunakan estimasi RCA (Lampiran 8), Indonesia memiliki dayasaing yang kuat di 24 negara tujuan ekspor utama, yang ditunjukkan dengan rata-rata nilai RCA lebih dari 1. Sepuluh negara impotir utama dengan rata-rata nilai RCA tertinggi adalah Afrika Selatan, Meksiko, Rusia, Hungaria, Tiongkok, Thailand, Turki, Jerman, Brazil, dan

0.00 20.00 40.00 60.00 2009 2010 2011 2012 2013 Vo lu m e ek sp o r (r ib u to n ) Tahun Volume ekspor Volume impor Neraca perdagangan

29 Filipina. Hal tersebut menunjukkan bahwa bubuk kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam persaingan ekspor di negara tujuan ekspor maupun internasional. Kemudian, dilihat dari dari rata-rata indeks RCA, Indonesia mengalami peningkatan kinerja ekspor dibandingkan tahun sebelumnya di 19 negara tujuan ekspor, yang ditunjukkan dengan rata-rata indeks RCA lebih dari 1. Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif menggunakan estimasi RCA (Lampiran 8), pada tahun 2013, bubuk kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif tertinggi di sepuluh negara impotir utama, yaitu Meksiko, Afrika Selatan, Jerman, Thailand, Tiongkok, Uni Emirat Arab, Rusia, India, Hungaria, dan Chili. Sementara peningkatan kinerja ekspor tertinggi pada tahun 2013 terjadi di sepuluh negara importir utama, yaitu Belanda, Jerman, Australia, Vietnam, Mesir, India, Afrika, Ukraina, Hungaria, dan Rusia.

Keunggulan komparatif yang tinggi dan peningkatan kinerja ekspor bubuk kakao Indonesia di negara-negara yang disebutkan sebelumnya sejalan dengan hasil analisis ICCO dalam laporannya yang berjudul The World Cocoa Economy: Past and Present tahun 2012 yang menyatakan bahwa peningkatan permintaan bubuk kakao di seluruh pasar, termasuk Asia sebagai pasar baru, telah mengalahkan permintaan atas lemak kakao yang selama ini unggul. Kekuatan utama dibalik kuatnya permintaan bubuk kakao adalah adanya perubahan pola konsumsi dunia, terutama di negara terbelakang. Ada jutaan konsumen baru pada pasar ini, termasuk Asia dimana permintaan tertuju pada produk berdasar bubuk.

Menurut Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di UE kendala utama yang dihadapi komoditas kakao yang diekspor adalah kualitasnya. Mutu biji kakao Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan yang berasal dari negeri lain. Hal tersebut berarti bahwa peningkatan kualitas bubuk kakao Indonesia perlu dilakukan agar posisi dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia di dunia dapat dipertahankan dan ditingkatkan karena banyak pesaing eksportir bubuk kakao yang dapat menggeser dan menguasai ekspor bubuk kakao di pasar internasional. Pesaing eksportir bubuk kakao terbesar Indonesia di dunia adalah negara Belanda, Uni Eropa, Malaysia, Jerman, Perancis, dan Spanyol (UN Comtrade 2015).

Posisi Dayasaing Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Berdasarkan Export Product Dynamics (EPD) Tahun 2009-2013

Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai keunggulan komparatif berdasarkan estimasi RCA yang dimiliki oleh ekspor bubuk kakao Indonesia. Pada bagian ini akan dibahas mengenai keunggulan kompetitif berdasarkan

Export Product Dynamics (EPD). Metode ini digunakan untuk menentukan posisi dan mengidentifikasi ekspor produk kakao yang memiliki jangkauan pasar terluas. Keberhasilan keunggulan kompetitif ini juga terlihat dari tingginya kontribusi produk kakao bagi PDB perkebunan di Indonesia. Namun, upaya-upaya untuk meningkatkan dayasaing produk kakao khususnya produk kakao yang masih memiliki dayasaing rendah masih perlu dilakukan agar dapat meningkatkan kemampuan bersaing di pasar internasional. Posisi pangsa pasar ekspor bubuk kakao Indonesia ke dunia selama tahun 2009 sampai 2013 secara keseluruhan berdasarkan estimasi EPD dapat dilihat pada Tabel 12.

30

Tabel 12 Hasil estimasi EPD ekspor bubuk kakao Indonesia ke dunia tahun 2009-2013

Komoditas Pertumbuhan pangsa pasar ekspor (%)

Pertumbuhan pangsa pasar produk (%)

Kuadran EPD

Biji kakao -7.71 1.84 Lost Oppor.

Kulit kakao 93.91 1.84 Rising star

Lemak kakao 16.26 1.84 Rising star

Bubuk kakao 9.70 1.84 Rising star

Bubuk kakao

berpemanis 36.27 1.84 Rising star

Sumber: UN Comtrade, 2014 (diolah).

Secara keseluruhan posisi dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia ke dunia selama tahun 2009 sampai 2013 pada Tabel 12 menunjukkan posisi pangsa pasar berada di daerah rising star. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor bubuk kakao Indonesia ke dunia mampu bersaing dalam memenuhi permintaan pasar dunia sehingga bubuk kakao Indonesia memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi di pasar global.

Bubuk kakao, kulit kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao berpemanis memiliki keunggulan kompetitif yang kuat di dunia berdasarkan hasil estimasi EPD pada Gambar 8 yang ditunjukkan dengan posisi pasarnya berada pada kuadran rising star. Hal ini menunjukkan bahwa selama tahun 2009 hingga 2013 pertumbuhan ekspor bubuk kakao kulit kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao berpemanis mampu memenuhi permintaan pasar dunia dengan rata-rata pertumbuhan pangsa pasar produk sebesar 1.84 persen. Secara spesifiikasi, hasil EPD ekspor bubuk kakao dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber: UN Comtrade, 2014.

Gambar 8 Hasil estimasi EPD produk kakao Indonesia ke dunia tahun 2009-2013 Posisi pasar dengan keunggulan kompetitif bubuk kakao pada Gambar 8 dengan rata-rata pertumbuhan pangsa pasar ekspor sebesar 9.70 persen. Tingginya rata-rata pertumbuhan ini juga dilengkapi dengan dengan rata-rata indeks RCA ekspor bubuk kakao Indonesia yang mencapai 1.07.

Berdasarkan hasil analisis keunggulan kompetitif menggunakan estimasi EPD (Lampiran 8), posisi dayasaing bubuk kakao di Pasar Afrika Selatan, Belanda, Hungaria, India, Meksiko, Mesir, Singapura, Thailand, dan Turki berada pada posisi rising star. Pada posisi rising star, peningkatan permintaan bubuk kakao di negara tujuan diikuti dengan peningkatan ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tersebut. Hal ini berarti bubuk kakao Indonesia mempunyai dayasaing secara kompetitif dan memiliki pertumbuhan yang cepat. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan impor

0.00 1.00 2.00 -20.00 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 Biji kakao Kulit kakao Lemak kakao Bubuk kakao Bubuk kakao berpemanis Rising star

31 bubuk kakao berada pada posisi yang dinamis. Posisi ini adalah posisi pasar yang ideal karena pada posisi ini, produk tersebut mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya (Irwanto 2012). Kondisi seperti ini harus dipertahankan oleh Indonesia.

Posisi dayasaing bubuk kakao di Pasar Amerika Serikat, Australia, Brazil, Chili, Jerman, Malaysia, dan Uni Emirat Arab, berada pada kuadran falling star,

yang menandakan bahwa bubuk kakao Indonesia di negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif, yaitu tingkat ekspor yang meningkat ketika tingkat permintaan bubuk kakao di negara tujuan sedang mengalami penurunan. Posisi kuadran ini masih lebih baik dibandingkan kuadran lost opportunity.

Kondisi posisi dayasaing bubuk kakao Indonesia di Pasar Pakistan, Rusia, Tiongkok, dan Ukraina berada pada posisi kuadran yang sangat dihindari, yaitu

lost opportunity. Posisi ini menunjukkan bahwa bubuk kakao Indonesia mengalami penurunan ekspor ketika tingkat permintaan bubuk kakao negara tujuan sedang meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia tidak dapat memanfaatkan peluang yang tersedia.

Posisi dayasaing bubuk kakao di Pasar Filipina, Jepang, Selandia Baru, Sri Lanka, dan Vietnam, berada pada kuadran retreat, menandakan bahwa bubuk kakao merupakan komoditas yang tidak dinamis, tidak kompetitif, dan tidak diinginkan lagi. Pada posisi ini, tingkat permintaan bubuk kakao negara tujuan ekspor mengalami penurunan, begitu juga dengan tingkat ekspor bubuk kakao yang berasal dari Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia harus meningkatkan kualitas bubuk kakao dan melakukan inovasi sehingga bubuk kakao Indonesia memiliki dayasaing di pasarnya. Posisi kuadran hasil estimasi EPD bubuk kakao Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9.

Sumber: UN Comtrade, 2014 (diolah).

Gambar 9 Posisi kuadran hasil estimasi EPD bubuk kakao Indonesia di 25 negara tujuan ekspor utama tahun 2009-2013

32

Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Volume Ekspor Bubuk Kakao Indonesia di 25 Negara tujuan Ekspor Utama

Gravity model pada penelitian ini digunakan untuk melihat pengaruh jarak ekonomi dan pendapatan negara eksportir ataupun importir serta faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi lainnya dalam memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan. Bubuk kakao merupakan salah satu komoditas ekspor yang berasal dari komoditas kakao yang memiliki dayasaing kuat secara komparatif dan kompetitif dibandingkan produk kakao lainnya sehingga diperlukan analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi volume ekspor bubuk Indonesia agar keputusan dan strategi yang tepat dapat dilakukan sehingga kerugian dan strategi ekspor yang salah dapat dihindari.

Negara tujuan ekspor bubuk kakao Indonesia meliputi 25 negara yang terdiri dari negara Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Brazil, Chili, Filipina, Hungaria, India Jepang, Jerman, Malaysia, Meksiko, Mesir, Pakistan, Rusia, Selandia Baru, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Tiongkok, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Vietnam. Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi volume ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan tahun 2006 hingga 2013 dapat dilihat pada tabel pada Tabel 13.

Tabel 13 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama

Peubah tak bebas: LN_Evo

Peubah bebas Koefisien Prob.

LN_GDPI -2.139649 0.0043* LN_GDPJ 1.614109 0.0051* LN_IPOP 5.870452 0.0042* LN_IR 1.767053 0.0090* LN_ER -0.115011 0.5680* LN_ED 0.095376 0.5087* C -193.8132 0.0005* Weighted Statistics

R-Squared 0.916906 Sum squared resid 120.2650

Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.191958

Unweighted Statistics

R-Squared 0.774708 Sum squared resid 164.6893 Durbin-Watson stat 1.178259

Keterangan: signifikan pada taraf nyata 5 persen (*)

Hasil pengolahan data yang terdapat dalam Tabel 13 memperlihatkan bahwa tidak semua peubah bebas yang dianalisis berpengaruh secara nyata terhadap volume ekspor bubuk kakao Indonesia. Faktor-faktor yang memengaruhi volume ekspor bubuk kakao Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama, yaitu pada GDP riil negara Indonesia (LN_GDPI), GDP riil negara tujuan ekspor (LN_GDPJ), interaksi populasi (LN_IPOP), dan skor infrastruktur (LN_IR). Sedangkan faktor nilai tukar (LN_ER) dan jarak ekonomi (LN_ED) tidak berpengaruh terhadap volume ekspor bubuk kakao Indonesia. Persamaan dari hasil estimasi

faktor-33 faktor yang memengaruhi volume ekspor bubuk kakao Indonesia adalah sebagai berikut:

dimana:

LN_EVo : Volume ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan (persen) LN_GDPI : GDP riil Indonesia (persen)

LN_GDPJ : GDP riil negara tujuan (persen)

LN_IPOP : Interaksi populasi Indonesia dengan populasi negara tujuan (persen) LN_IR : Skor infrastruktur negara tujuan (persen)

LN_ER : Nilai tukar riil negara tujuan terhadap dollar Amerika Serikat (persen) LN_ED : Jarak ekonomi Indonesia dengan negara tujuan (persen)

Pada pemilihan model berdasarkan regresi data panel diperoleh hasil ragam uji cross section pada uji Hausman tidak valid (Lampiran 3) sehingga dapat dikatakan bahwa pendekatan Fixed Effect Model (FEM) lebih baik digunakan. Hal tersebut mengacu pada hasil penelitian Anggraini (2013) yang menyatakan bahwa hasil pengujian statistik yang menunjukkan cross-section test variance yang tidak valid menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara komponen galat dengan peubah bebas (regresor) sehingga tidak cukup bukti untuk menerima H0 maka model mengikuti metode Fixed Effect Model (FEM).

Berdasarkan tabel hasil estimasi, model memiliki nilai probabilitas F-statistik yang lebih kecil daripada taraf nyata lima persen (0.0000 < 0.05) menjelaskan bahwa peubah bebas (independen) secara bersama-sama mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap volume ekspor bubuk kakao Indonesia. Nilai koefisien determinasi sebesar 0.916906 menunjukkan bahwa model dapat dijelaskan oleh peubah bebas yang terdapat pada model sebesar 91.69 persen, sedangkan 8.31 persen dapat dijelaskan oleh peubah-peubah lain di luar model.

Pada uji asumsi klasik, model ini sudah terbebas dari permasalahan multikolinearitas, heteroskedastisitas, normalitas, dan autokorelasi. Nilai probabilitas Jarque Bera pada histogram-normality test (Lampiran 5) menunjukkan lebih besar daripada taraf nyata lima persen (0.091522 > 0.05) sehingga galat pada model estimasi ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor utama telah menyebar normal.

Berdasarkan correlation matrix (Lampiran 6), nilai korelasi antar peubah bebas berada di bawah koefisien determinasi yang menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar peubah bebas. Juanda (2009) menjelaskan bahwa permasalahan multikolinearitas dapat diatasi dengan menggabungkan data cross section dengan data time series atau biasa disebut panel data. Jenis data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah panel data maka uji asumsi klasik multikolinearitas dapat dipenuhi.

Tabel 13 mengenai hasil estimasi model menunjukkan nilai sum squared residual pada weighted statistics (120.2650) kurang dari nilai sum squared residual pada unweighted statistics (164.6893) sehingga dapat dikatakan pada model tidak terdapat permasalahanheteroskedastisitas.

Permasalahan ada atau tidaknya autokorelasi dapat dilihat berdasarkan

Durbin-Watson Statistics (DW). Pada Tabel 13 mengenai hasil estimasi menunjukkan nilai Durbin Watson sebesar 1.191958 menunjukkan posisinya

34

berada diantara 0 dan dL (0 < 1.191958 < 1.8306) yang artinya terdapat autokorelasi positif. Namun, uji asumsi klasik autokorelasi ini dapat dipenuhi karena model estimasi ini telah menggunakan fixed effect model dengan pembobotan Generalized Least Squares (GLS) cross section weights sehingga model telah terbebas dari autokorelasi. Hal ini didukung oleh Juanda (2009) yang menjelaskan bahwa Generalized Least Squares (GLS) dapat mengatasi permasalahan pada autokorelasi dan heteroskedastisitas.

GDP riil Indonesia memiliki nilai probabilitas dan koefisien sebesar 0.0043 dan -2.139649 yang artinya GDP riil Indonesia memiliki hubungan yang negatif secara nyata terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia. Dengan asumsi peubah lain konstan, peningkatan GDP riil Indonesia sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan volume ekspor bubuk kakao sebesar 2.139649 persen. Hasil estimasi ini sesuai dengan hasil penelitian Yunia (2015). Hubungan GDP Indonesia dengan ekspor bubuk kakao yang negatif menunjukkan bahwa hasil estimasi ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diharapkan. GDP dari negara eksportir mengukur kapasitas produksi negara tersebut. Jadi, semakin besar GDP, menunjukkan semakin besar pula kapasitas produksi yang dimiliki sehingga seharusnya ekspor akan meningkat.

Penyebab ketidaaksesuaian ini diduga berasal dari peningkatan konsumsi yang terjadi dalam negeri. Hubungan ini digambarkan dengan peningkatan GDP Indonesia, yang merupakan ukuran daya beli masyarakat Indonesia, akan meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia. Peningkatan daya beli akan membuat konsumsi bubuk kakao dalam negeri meningkat dan persediaan bubuk kakao dalam negeri menjadi terbatas sehingga ekspornya turun. Sesuai dengan prediksi Kementerian Perindustrian Indonesia yang menyatakan bahwa konsumsi kakao di tiga negara yaitu Indonesia, India, dan China dapat mencapai 1 kg/kapita/tahun sehingga akan ada permintaan tambahan produk kakao.

Kemudian, GDP riil negara tujuan mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan ekspor bubuk kakao Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi peningkatan pada GDP riil negara tujuan maka akan mengakibatkan peningkatan ekspor bubuk kakao Indonesia. Hasil estimasi ini sesuai hipotesis yang diharapkan karena GDP mempresentasikan ukuran daya beli masyarakat di suatu negara terhadap barang dan jasa sehingga semakin tinggi GDP suatu negara maka akan semakin tinggi pula tingkat impornya. Pada hasil estimasi menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pada GDP riil negara tujuan sebesar 1 persen maka ekspor bubuk kakao Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama akan meningkat sebesar 1.614109 persen (cateris paribus).

Interaksi populasi mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan nilai ekspor bubuk kakao Indonesia. Hasil estimasi ini sesuai dengan hasil penelitian Do dan Martazavi (2006) dan Wulandari dan Budiasih (2009). Hasil estimasi ini sesuai hipotesis yang diharapkan karena interaksi populasi merepresentasikan ukuran pasar. Semakin tinggi interaksi populasi antar dua negara yang berdagang, semakin tinggi pula konsumsi yang dilakukan sehingga permintaan barang impor juga akan meningkat. Pada hasil estimasi menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pada interaksi populasi sebesar 1 persen maka ekspor bubuk kakao Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama akan meningkat sebesar 5.870452 persen (cateris paribus).

35 Skor infrastruktur negara tujuan mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan nilai ekspor bubuk kakao Indonesia. Hasil estimasi ini sesuai dengan hasil penelitian Departemen Perdagangan dan Industri Afrika Selatan. Hasil tersebut sesuai dengan teori, karena semakin baik kualitas infrastruktur suatu negara akan membawa negara tersebut pada perdagangan yang lebih besar sehingga ekspor Indonesia ke negara tujuan akan meningkat. Pada hasil estimasi menunjukkan bahwa ketika terjadi peningkatan pada skor infrastruktur negara tujuan sebesar 1 persen maka ekspor bubuk kakao Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama akan meningkat sebesar 1.767053 persen (cateris paribus).

Nilai tukar riil negara tujuan ekspor terhadap dollar Amerika memiliki nilai probabilitas dan koefisien sebesar 0.5680 dan -0.115011 yang artinya nilai tukar negara tujuan ekspor terhadap dollar Amerika tidak berpengaruh nyata terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia. Hasil estimasi ini sesuai dengan hasil penelitian Siahaan (2008), Sitanggang (2009), Komalasari (2009) dan Karlinda (2012).

Hal ini diduga disebabkan data pada peubah tak bebas dan peubah bebas yang dianalisis mengandung pergerakan naik turun (fluktuatif) selama tahun analisis (Siahaan 2008). Selain itu, Komalasari (2009) menyatakan bahwa jika suatu faktor tidak mempengaruhi tingkat ekspor suatu produk secara signifikan membuktikan bahwa pemerintah hanya mementingkan faktor lain selain faktor (yang diestimasi tidak memiliki pengaruh nyata) tersebut dalam strategi peningkatan ekspor produk yang dituju.

Tidak berpengaruhnya faktor nilai tukar diduga disebabkan oleh tidak ikutsertanya Indonesia dalam organisasi kakao internasional sehingga walaupun harga bubuk kakao Indonesia lebih murah dari pada harga bubuk kakao internasional, pengenaan bea masuk di negara-negara tujuan ekspor tertentu akan menciptakan biaya tambahan. Biaya tambahan tersebut akan membuat biaya ekspor bubuk kakao dari Indonesia menjadi lebih mahal sehingga walaupun harga bubuk kakao Indonesia murah, dengan adanya pengenaan bea masuk maka biaya jadi meningkat sehingga nilai tukar menjadi tidak berpengaruh nyata dalam ekspor bubuk kakao Indonesia.

Jarak ekonomi negara tujuan ekspor memiliki nilai probabilitas dan koefisien sebesar 0.5087 dan 0.095376 yang artinya jarak ekonomi bukan merupakan faktor penentu besar kecilnya ekspor bubuk kakao Indonesia. Hasil estimasi ini sesuai dengan hasil penelitian Firsya (2014), Karlinda (2012), dan Do dan Martazavi (2006). Tidak berpengaruhnya faktor jarak ekonomi terhadap permintaan ekspor bubuk kakao Indonesia diduga akibat kondisi bubuk kakao yang merupakan barang balki. Barang balki adalah barang dengan kemasan yang besar, memakan banyak tempat, dan nilainya tidak terlalu besar, tetapi barang ini termasuk ke dalam barang yang dikonsumsi dalam jumlah besar (laku di pasaran). Jadi, walaupun bubuk kakao merupakan barang balki yang berarti biaya transportasinya tinggi, bubuk kakao tetap laku di pasaran karena bubuk kakao merupakan komoditas yang dikonsumsi dalam jumlah besar. Selain itu, walaupun biaya transportasi yang digunakan tinggi karena membutuhkan tempat yang besar dalam pengirimannya, tetapi harga bubuk kakao yang murah menyebabkan biaya transportasi tidak terlalu berpengaruh terhadap volume ekspornya.

Firsya (2014) menyatakan bahwa tidak berpengaruhnya faktor jarak ekonomi terhadap permintaan ekspor kakao olahan Indonesia diduga akibat adanya biaya-biaya transaksi lain diluar biaya transportasi yang menyebabkan

36

biaya transportasi yang ditanggung oleh negara pengimpor menjadi tidak begitu berarti. Hal demikian akan membuat jarak ekonomi tidak berpengaruh nyata. Selain itu, Firsya juga menyatakan keuntungan dari perdagangan yang lebih besar dari pada biaya transportasinya menyebabkan keuntungan perdagangan lebih memengaruhi perdagangan jika dibandingkan dengan biaya transportasi sehingga

Dokumen terkait