POSISI DAYASAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI EKSPOR BUBUK KAKAO INDONESIA KE
NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA
RABBANI KHAIRANI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2015
Rabbani Khairani
ABSTRAK
RABBANI KHAIRANI. Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO.
Ekspor bubuk kakao Indonesia ditentukan oleh dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis posisi dayasaing serta faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Data yang digunakan berupa data sekunder 25 negara periode 2006-2013. Metode analisis yang digunakan yaitu RCA dan EPD untuk menganalisis dayasaing dan posisi pangsa pasar ekspor, serta gravity model untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bubuk kakao Indonesia memiliki dayasaing komparatif yang ditunjukkan dengan rata-rata nilai RCA > 1. Selain itu, bubuk kakao Indonesia juga memiliki kompetitif pada pasarnya dan memiliki pertumbuhan yang cepat yang ditunjukkan dengan mayoritas posisi berada pada kuadran rising star. Pada hasil estimasi gravity model menunjukkan bahwa GDP Indonesia, GDP negara tujuan, interaksi populasi, dan skor infrastruktur adalah faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor utama. Kata kunci: bubuk kakao, ekspor, EPD, gravity model, dan RCA.
ABSTRACT
RABBANI KHAIRANI. The Position of Competitiveness and Factors which Affect Indonesian Cocoa Powder Export in the Main Export Destination Countries. Supervised by ARIEF DARYANTO.
Indonesian cocoa powder export is determined by its competitiveness and other affecting factors. This research was conducted to analyze the position of competitiveness and factors which affect Indonesian cocoa powder export in the main export destination countries. The type of data used in this research is secondary data from 25 countries start from 2006 until 2013. The analysis methods which used in this research are RCA and EPD to analyze the competitiveness and export market share position, and gravity models to analyze the factors that affect its export. The result showed that the Indonesian cocoa powder has comparative competitiveness shown by the average value of RCA > 1. In addition, Indonesian cocoa powder also competitive on its market and has shown rapid growth with the majority of positions are in quadrant rising star. At the estimation of gravity models indicates that GDP Indonesia, GDP country of destination, the interaction of the population, and infrastructure scores are the factors which affect Indonesian cocoa powder export to the main export destination countries.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
POSISI DAYASAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMENGARUHI EKSPOR BUBUK KAKAO INDONESIA KE
NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA
RABBANI KHAIRANI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah perdagangan, dengan judul Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan dukungan, bantuan dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada:
1. Allah SWT atas kemudahan dan rahmat yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitan ini.
2. Orangtua, kakak-kakak, dan Eka yang telah memberikan dukungan, doa, dan motivasi kepada penulis.
3. Arief Daryanto, Ph.D., selaku dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kebaikan, bantuan, motivasi, dan bimbingannya kepada penulis.
4. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr., selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis.
5. Dr. Muhammad Findi A., M.E., selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan saran dan arahan kepada penulis.
6. Seluruh dosen dan staf dekanat Fakultas Ekonomi dan Manajemen serta departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan ilmu, pengetahuan, motivasi, dan bantuan selama menjalankan perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
7. Teman-teman terdekat, teman-teman sebimbingan, teman-teman IE 48 yang telah memberikan semangat, saran, doa, motivasi, dan dukungan.
Bogor, 7 Mei 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 7
Ruang Lingkup Penelitian 8
TINJAUAN PUSTAKA 8
Perdagangan Internasional 8
Dayasaing 10
Teori Keunggulan Komparatif 10
Teori Keunggulan Kompetitif 11
Ekspor-Impor 11
Gravity Model 12
Gross Domestik Product (GDP) Riil 12
Populasi 13
Skor Infrastruktur 13
Nilai Tukar Riil 13
Jarak Ekonomi 14
Kerangka Pemikiran 15
Penelitian Terdahulu 16
Hipotesis 20
METODE 20
Jenis dan Sumber Data 20
Metode Analisis dan Pengolahan Data 21
Estimasi Model 24
Uji Kesesuaian Model 25
Posisi Dayasaing Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Berdasarkan Revealed Comparative Advantage (RCA) Tahun 2009-2013
27 Posisi Dayasaing Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Berdasarkan Export Product Dynamics (EPD) Tahun 2009-2013 29 Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Volume Ekspor Bubuk Kakao
Indonesia di 25 Negara tujuan Ekspor Utama 32
Strategi yang Dapat Meningkatkan Dayasaing dan Ekspor Bubuk Kakao
Indonesia di 25 Negara tujuan Ekspor Utama 36
SIMPULAN DAN SARAN 38
Simpulan 38
Saran 39
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 43
DAFTAR TABEL
1 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2014 dalam Trilyun Rupiah 2 2 Pertumbuhan dan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia
tahun 2010-2014 2
3 Volume kspor komoditas hasil perkebunan tahun 2013 3 4 Rata-rata nilai dan volume ekspor serta nilai RCA ekspor produk
kakao Indonesia ke dunia tahun 2009-2013 4
5 Volume ekspor produk olahan kakao Indonesia ke dunia tahun
2009-2013 4
6 Produktivitas lahan kakao Indonesia tahun 2009-2013 5 7 Ringkasan hubungan antara peubah tak bebas dan peubah bebas 19 8 Dugaan hubungan antara peubah tak bebas dengan peubah bebas 20
9 Jenis dan sumber data 21
10 Selang nilai statistika Durbin Watson serta keputusannya 27 11 Rata-rata nilai dan volume ekspor serta nilai RCA bubuk kakao
Indonesia ke dunia tahun 2009-2013 28
12 Hasil estimasi EPD ekspor bubuk kakao Indonesia ke dunia tahun
2009-2013 30
13 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao
Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama 32
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2009-2013 1
2 Nilai subsektor-subsektor pertanian tahun 2010-2014 3 3 Persentase kontribusi subsektor-subsektor pertanian tahun 2010-2014 6 4 Kurva Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional 9
5 Kerangka pemikiran 16
6 Kuadran posisi pasar Export Product Dynamics (EPD) 23 7 Neraca perdagangan bubuk kakao Indonesia dengan dunia tahun
2009-2013 28
8 Hasil estimasi EPD produk kakao Indonesia ke dunia tahun
2009-2013 30
9 Posisi kuadran hasil estimasi EPD bubuk kakao Indonesia di 25
negara tujuan ekspor utama tahun 2009-2013 31
DAFTAR LAMPIRAN
1 Lampiran 1 Negara tujuan ekspor bubuk kakao Indonesia tahun
2006-2013 43
2 Lampiran 2 Uji Chow 46
3 Lampiran 3 Uji Hausman 47
5 Lampiran 5 Uji normalitas 48 6 Lampiran 6 Uji multikolinearitas (correlation matrix) 48
7 Lampiran 7 Efek individu 48
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Alfred Marshall mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari tentang umat manusia dalam urusan hidupnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perekonomian memengaruhi setiap orang sehingga isu-isu ekonomi memainkan peran penting dalam kehidupan setiap orang. Isu-isu ekonomi muncul dari penggunaan sumberdaya dalam memuaskan keinginan manusia.
Sifat permintaan dan penawaran sangat bertolakbelakang. Permintaan akan kebutuhan dan keinginan bersifat tidak terbatas, sementara penawaran dari sumberdaya bersifat terbatas. Hal tersebut menyebabkan timbulnya permasalahan ekonomi, yaitu kelangkaan. Masalah kelangkaan dapat bersifat internasional karena adanya transaksi internasional dalam perekonomian terbuka, yaitu permintaan dan penawaran yang berasal dari luar negeri. Perekonomian yang terintegrasi tersebut membuat konsumen memiliki lebih banyak pilihan akan barang dan jasa, dan para investor memiliki lebih banyak peluang untuk menginvestasikan kekayaan mereka (Mankiw 2006).
Perekonomian terbuka dan pengaruh globalisasi menjadikan perdagangan internasional semakin penting karena setiap negara menggunakannya untuk menganalisis pembangunan ekonomi dan merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi (Mankiw 2006). Sistem perekonomian tersebut membuat setiap negara memiliki keterkaitan dan ketergantungan ekonomi, keuangan, perdagangan, dan industri satu sama lain. Hal tersebut membuat persaingan yang dihadapi setiap negara semakin ketat sehingga peningkatan produktivitas atau pencapaian efisiensi dan efektivitas wajib dilakukan.
Selain peningkatan produktivitas, peningkatan dayasaing juga harus dilakukan Indonesia untuk menghadapi persaingan global. Menurut World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report tahun 2014/2015, posisi Indonesia dalam tahap pembangunan saat ini adalah perekonomian berbasis efisiensi. Basis perekonomian ini turut memberikan kontribusi dalam mepertahankan pertumbuhan PDB sebesar 5.9 persen per tahun sejak 2009. Pertumbuhan PDB Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: World Bank, 2014.
Gambar 1 Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2009-2013
2
Dilihat pada Gambar 1, PDB Indonesia selalu mengalami peningkatan selama 2009 hingga 2013. Peningkatan yang terjadi didukung oleh peningkatan nilai kontribusi setiap sektor ekonomi. Sektor pertanian adalah sektor ekonomi penyumbang PDB terbesar ketiga dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian selama tahun 2010 hingga 2014 sebesar 12.56 persen dari total PDB. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian merupakan salah satu tumpuan dalam meningkatkan PDB negara ini sehingga keberhasilan sektor pertanian akan mendukung peningkatan PDB Indonesia dan meningkatkan kemakmuran negara karena PDB digunakan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan suatu negara. Kontribusi setiap sektor perekonomian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha Tahun 2010-2014 dalam Trilyun Rupiah
Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013 2014
Pertanian 304.78 315.04 328.28 339.56 350.72
Petambangan & Penggalian 187.15 190.14 193.14 195.85 195.43
Industri Pengolahan 597.13 633.78 670.19 707.48 741.84
Listrik, Gas & Air Bersih 18.05 18.90 20.09 21.25 22.42
Bangunan 150.02 159.12 170.88 182.12 194.09
Pedagangan, Hotel & Restoran 400.47 437.47 473.15 501.04 524.31
Pengangkutan & Komunikasi 217.98 241.30 265.38 291.40 318.53
Keuangan, Persewaan & Jasa P. 221.02 236.15 253.00 272.14 288.35
Jasa-jasa 217.84 232.66 244.81 258.20 273.49
Produk Domestik Bruto 2 314.46 2 464.57 2 618.93 2 769.05 2909.18
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014.
Tabel 1 menunjukkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian memegang peranan penting dalam meningkatkan PDB Indonesia. Namun, besar pertumbuhan yang dialami oleh sektor ini menurun pada tahun 2013. Pertumbuhan sektor pertanian dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Pertumbuhan dan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia tahun 2010-2014
Tahun Nilai (Trilyun Rp) Pertumbuhan (persen) Pangsa terhadap PDB (persen)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015 (diolah).
3 sebagai negara yang telah menduduki tahap pembangunan perekonomian berbasis efisiensi seharusnya meningkatkan keefisienan pada setiap sektor ekonominya.
Perekonomian berbasis efisiensi telah dilakukan pada semua sektor ekonomi, salah satunya subsektor perkebunan sebagai kontributor terbesar ketiga dalam sektor pertanian dengan nilai Rp57.25 trilyun. Posisi kontributor terbesar pertama dan kedua diduduki oleh subsektor tanaman bahan makanan dan subsektor perikanan. Tetapi, jika dilihat dari pertumbuhannya, hanya subsektor perkebunan dan subsektor perikanan yang pertumbuhannya meningkat pada tahun terakhir. Nilai subsektor-subsektor pertanian dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah).
Gambar 2 Nilai subsektor-subsektor pertanian tahun 2010-2014
Menurut Badan Pusat Statistik dalam Buletin Statistik Perdagangan Luar Negeri: Ekspor Desember 2014, pada tahun 2013, kakao merupakan komoditas ekspor perkebunan terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan kopi. Hal ini mengindikasikan bahwa kakao merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan yang patut untuk ditingkatkan dayasaingnya. Ekspor komoditas hasil perkebunan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Volume kspor komoditas hasil perkebunan tahun 2013 Jenis Barang Berat Bersih (Ton) Minyak kelapa sawit 1 644 535
Kopi 532 139
Biji kakao 201 505
Rempah-rempah 118 688
Teh 64 589
Tembakau 20 029
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah).
Pada komoditas kakao, basis perekonomian efisiensi tersebut diterapkan dalam bentuk hilirisasi yang didukung dengan kebijakan pemerintah seperti bea keluar pada biji kakao, fasilitas tax allowance bagi penanam modal, pemberian
4
Kakao sebagai komoditas ekspor terbesar ketiga sektor perkebunan mengindikasikan bahwa kakao memiliki peran sebagai penyumbang devisa negara sehingga dayasaingnya patut untuk ditingkatkan. Berdasarkan rata-rata nilai dan volume ekspor serta nilai RCA produk kakao Indonesia ke dunia, produk kakao yang memiliki potensi besar adalah biji kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao. Rata-rata nilai dan volume ekspor serta nilai RCA ekspor produk kakao Indonesia ke dunia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rata-rata nilai dan volume ekspor serta nilai RCA ekspor produk kakao Indonesia ke dunia tahun 2009-2013 unggul secara keseluruhan, namun biji kakao merupakan produk kakao mentah yang kurang memiliki nilai tambah sehingga tidak menjadi fokus peningkatan dayasaing. Peringkat selanjutnya diduduki oleh lemak kakao dan bubuk kakao. Lemak kakao memiliki rata-rata volume ekspor 41.68 persen lebih tinggi dari bubuk kakao. Volume ekspor produk olahan kakao dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Volume ekspor produk olahan kakao Indonesia ke dunia tahun 2009-2013
Tahun Lemak Kakao
Sumber: UN Comtrade, 2014 (diolah).
Tabel di atas menunjukkan bahwa walaupun lemak kakao memiliki volume ekspor yang lebih tinggi, pertumbuhan volume ekspor yang positif hanya terjadi pada bubuk kakao dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 13 persen. Hal ini merupakan keuntungan bagi Indonesia mengingat laporan ICCO (2012) yang menyatakan bahwa bubuk kakao telah mengalahkan lemak kakao dalam segi permintaan karena berubahnya pola konsumsi di negara terbelakang, termasuk Asia sebagai pasar baru produk olahan kakao.
5 penyebaran penyakit. Hal tersebut juga menyebabkan Indonesia meningkatkan impor biji kakaonya demi memenuhi peningkatan permintaan untuk kebutuhan pengolahan. Produktivitas lahan perkebunan kakao dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Produktivitas lahan kakao Indonesia tahun 2009-2013
Tahun Produksi (Ton) Luas Areal (Ha) Produktivitas (Persen)
2009 809 600 1 587 100 51.01
2010 837 950 1 650 600 50.77
2011 712 240 1 732 600 41.11
2012 740 500 1 774 400 41.73
2013 777 500* 1 852 900* 41.96*
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah). Angka sementara (*)
Pada Tabel 6, produksi kakao Indonesia berfluktuatif, namun selalu meningkat selama tiga tahun terakhir dengan rata-rata peningkatan sebesar 4.5 persen. Sementara itu, luas lahan perkebunan kakao Indonesia selalu meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 4 persen per tahun. Peningkatan luas areal perkebunan kakao tersebut merupakan hasil dari program pemerintah, yaitu Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) pada tahun 2009 hingga 2013 (Direktorat Jenderal Perkebunan Republik Indonesia). Lahan perkebunan kakao terluas berada di Sulawesi dengan pangsa sebesar 58 persen dari total luas lahan di Indonesia (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2015).
Perumusan Masalah
Permasalahan ekonomi internasional, yang disebabkan oleh keterbatasan, mendorong negara-negara melakukan perdagangan demi memenuhi kebutuhannya. Perekonomian yang terbuka tersebut mendorong terjadinya globalisasi yang akan menciptakan suatu keterkaitan dan ketergantungan sehingga persaingan yang dihadapi menjadi semakin ketat. Kondisi ini menuntut setiap negara yang terlibat untuk meningkatkan produktivitas dan dayasaingnya agar dapat memenuhi kebutuhannya dan memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional tersebut.
6
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 (diolah).
Gambar 3 Persentase kontribusi subsektor-subsektor pertanian tahun 2010-2014 Gambar 3 menunjukkan bahwa subsektor yang kontribusinya selalu meningkat adalah subsektor perikanan, perkebunan, dan peternakan. Hal ini mengindikasikan bahwa peran ketiga subsektor tersebut semakin tinggi terhadap nilai sektor pertanian sehingga ketiga subsektor tersebut patut untuk ditingkatkan dayasaingnya agar diperoleh nilai yang lebih besar lagi. Dilihat dari besar kontribusi terhadap nilai sektor pertanian maka subsektor unggulan hanya subsektor perikanan dan perkebunan.
Menurut Oktaviani dan Novianti (2011) dayasaing akan dicapai apabila suatu komoditas telah efisien secara ekonomi. Efisiensi yang diterapkan pada komoditas kakao, sebagai komoditas ekspor hasil perkebunan terbesar ketiga, berbentuk hilirisasi. Hal ini sesuai dengan Simatupang (1995) dalam Oktaviani dan Novianti (2011) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan dayasaing produk pertanian dapat dilakukan dengan strategi pengembangan agribisnis dalam konsep industrialisasi pertanian.
Hilirisasi diterapkan dalam subsektor perkebunan, salah satunya kakao. Biji kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao adalah produk kakao yang memiliki dayasaing kuat. Namun, hanya lemak kakao dan bubuk kakao yang merupakan produk olahan, yang berarti memiliki nilai tambah yang lebih besar. Sementara itu, dari sisi volume ekspor, lemak kakao unggul dari pada bubuk kakao karena volume ekspornya yang hampir dua kali lipat volume ekspor bubuk kakao. Namun, volume ekspor yang selalu mengalami pertumbuhan yang positif adalah bubuk kakao. Hal ini mengindikasikan bahwa bubuk kakao merupakan produk kakao olahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Ditambah lagi konsumsi bubuk kakao dunia mengalami peningkatan mengalahkan lemak kakao yang biasanya unggul (ICCO 2012).
Namun, tingkat produktivitas dan kualitas kakao Indonesia masih rendah. Penyebabnya adalah rendahnya pengetahuan petani, usia pohon yang sudah terlalu tua, tantangan pemasaran, hama dan penyakit, serta lingkungan yang terabaikan (WCF). Indonesia sebagai negara pengekspor kakao terbesar ketiga di dunia dengan kontribusi sebesar 15 persen dari ekspor bersih dunia (ICCO 2012) seharusnya mampu mengalahkan negara-negara pesaing dengan sejumlah potensi yang dimiliki karena meningkatnya konsumsi produk kakao dunia harus disesuaikan dengan pasokan dan kualitas yang memadai. Jika pasokan dan kualitas produk kakao Indonesia tidak mencukupi kebutuhan dalam dan luar negeri, besar kemungkinan dayasaingnya akan menurun.
7
World Cocoa Foundation (2014) dan ICCO (2012) menyatakan bahwa Amerika Serikat, Eropa, dan Asia adalah pasar terpenting bagi produk kakao. Dengan sejumlah peluang dan potensi yang dimiliki dan diikuti dengan inovasi pada produk, sewajarnya Indonesia mampu menguasai pasar internasional sehingga pendapatan nasional dapat ditingkatkan dan pangsa pasar semakin luas. Kemunculan konsumen baru, terutama Asia, diikuti dengan peramalan melonjaknya produksi kakao dunia tentu memengaruhi dayasaing dan perdagangan produk dari Indonesia ke pasar global. Hal ini mendasari mengapa Indonesia perlu meningkatkan kualitas produk dan menyesuaikan strategi agar dapat memanfaatkan peluang dan potensi yang dimiliki.
Berdasarkan penjabaran yang telah disampaikan di atas, muncul beberapa permasalahan yang berkaitan dengan dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana potensi dayasaing bubuk kakao tanpa Indonesia di negara-negara tujuan ekspor utama?
2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor utama?
3. Bagaimana strategi yang dapat meningkatkan dayasaing dan ekspor bubuk kakao Indonesia di negara-negara tujuan ekspor utama?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, penelitian ini memiliki tujuan secara umum, yaitu menganalisis dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama. Selain itu, pada penelitian ini memiliki tujuan secara khusus, yaitu:
1. Menganalisis posisi dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama.
3. Menyusun strategi yang dapat meningkatkan dayasaing dan ekspor bubuk kakao Indonesia di negara-negara tujuan ekspor utama berdasarkan hasil analisis.
Manfaat Penelitian
Pada penelitian ini, secara umum manfaat yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu menganalisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia. Secara khusus, penelitian ini memiliki manfaat penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
8
industri perdagangan khususnya perdagangan ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama.
2. Bagi penelitian lanjutan, penelitian ini diharapkan mampu digunakan sebagai bahan referensi dan informasi penelitian selanjutnya.
3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai strategi yang dapat meningkatkan dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis posisi dayasaing dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama, yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Belanda, Brazil, Chili, Filipina, Hungaria, India Jepang, Jerman, Malaysia, Meksiko, Mesir, Pakistan, Rusia, Selandia Baru, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Tiongkok, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Vietnam. Data sekunder bubuk kakao yang dijadikan sebagai bahan penelitian mengenai posisi dayasaing menggunakan Harmonized System
(HS) 1996 dengan kode produk 180500, yaitu bubuk kakao tanpa tambahan pemanis (cocoa powder, not containing added sugar or other sweetening matter).
Periode yang digunakan untuk menganalisis posisi dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama adalah tahun 2009 hingga 2013. Periode ini digunakan untuk menggambarkan kondisi 5 tahun terakhir, dan memberikan hasil estimasi posisi dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia terbaru. Sementara itu, periode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi volume ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama adalah tahun 2006 hingga 2013 disebabkan pada sebagian besar volume ekspor ke negara tujuan kontinu pada tahun tersebut. Selain itu, data yang dapat dianalisis menggunakan gravity model yang meliputi 25 negara tujuan ekspor utama adalah pada periode tahun tersebut.
Secara keseluruhan, negara tujuan ekspor utama ekspor bubuk kakao Indonesia ditentukan dari besarnya volume impor bubuk kakao negara tersebut yang berasal dari Indonesia dan ketersedian data volume ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional
9 keuntungan atau manfaat dan tidak ada pihak lain yang merasa dirugikan. Perdagangan internasional memegang peranan penting dalam sejarah pembangunan negara sedang berkembang.
Menurut teori dayasaing dari sisi industri, perdagangan internasional adalah suatu proses yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditas antara negara. Adam Smith dalam bukunya Ekonomi Internasional dalam Salvatore tahun 1997 berpendapat bahwa perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage).
Di pasar internasional, besarnya ekspor suatu komoditas dalam perdagangan internasional akan sama dengan besarnya impor komoditas tersebut. Harga yang terjadi pada pasar internasional merupakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan memengaruhi penawaran dunia dan perubahan dalam konsumsi dunia akan memengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya akan memengaruhi harga dunia (Salvatore, 1997).
Secara teoritis, negara A akan mengekspor suatu komoditas (misal kakao) ke negara B apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 4). Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produk domestiknya lebih besar dari pada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi kelebihan penawaran.
Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan yang dimilikinya ke negara lain. Di lain pihak, di negara B kekurangan penawaran karena konsumsi domestiknya lebih dari dari pada produksi domestiknya sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini, negara B berkeinginan untuk membeli kakao dari negara lain yang relatif lebih murah. Ketika terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
Sumber: Salvatore, 1997.
Gambar 4 Kurva Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional
10
Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditas (bubuk kakao) sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditas (bubuk kakao) sebesar M, di mana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*.
Dayasaing
Porter (1990) mengartikan dayasaing sebagai produktivitas yang dihasilkan suatu negara yang diperoleh menggunakan SDM, modal, dan sumberdaya alam (SDA). Selain itu, pengertian dayasaing lainnya menurut WEF adalah seperangkat institusi, kebijakan, dan faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Konsep dayasaing yang cenderung fokus pada aspek ekonomi dapat membawa dunia pada perlombaan menuju kehancuran (race to the bottom) maka dibutuhkan konsep dayasaing yang berkelanjutan yang menuntut penyeimbangan komponen triple bottom line, yaitu profit (aspek ekonomi), people (aspek sosial), dan planet (aspek lingkungan).
WEF membagi penentu dayaing menjadi 12 pilar yang dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu, basic requirements (institusi, infrastruktur, stabilitas makroekonomi, serta kesehatan dan pendidikan dasar), efficiency enhancer
(pendidikan yang lebih tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pengalaman pasar keuangan, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar), dan innovation and sophistication factors (pengalaman bisnis dan inovasi).
Teori Keunggulan Komparatif
Pandangan lainnya mengenai keunggulan komparatif yaitu berasal dari Adam Smith yang mengatakan bahwa suatu negara akan memproduksi lebih efisien dibandingkan dengan negara lain apabila negara tersebut melakukan spesialisasi. Spesialisasi dilakukan pada produk yang memiliki keunggulan absolut serta dapat menukarkannya dengan produk yang tidak memiliki keunggulan absolute dengan negara lain. Adanya spesialisai ini akan meningkatkan output pada negara tersebut dikarenakan sumberdaya yang digunakan lebih efisien.
11 Pada teori keunggulan komparatif Heckscher-Ohlin (H-O) dijelaskan bahwa suatu negara akan melakukan ekspor pada produk yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan murah, sehingga produk tersebut mampu diekspor ke negara lain dengan harga murah. Negara akan melakukan impor pada produk yang apabila diproduksi di dalam negeri memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal (Salvatore 1997).
Oktaviani dan Novianti (2009) menyatakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis. Suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu, secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang memengaruhinya. Scydlowsky (1984) dalam Zulaiha (1997) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berubah adalah ekonomi dunia, lingkungan domestik, dan teknologi.
Teori Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif merupakan kemampuan suatu negara untuk memformulasikan strategi dalam mencapai keuntungan, sehingga kondisi alami tidak menghambat suatu negara dalam memproduksi produk keunggulan negara tersebut. Keberhasilan suatu negara dalam mencapai keunggulan tergantung dari bagaimana negara tersebut mampu berkompetitif dalam menghasilkan produk yang memiliki dayasaing tinggi di pasar internasional.
Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan terkait dengan konsep keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang telibat dalam aktivitas tersebut (Oktaviani dan Novianti 2009) .
Ekspor-Impor
Kegiatan ekspor dan impor sangat erat kaitannya dengan perdagangan internasional Berdasarkan Undang-Undang (UU) Kepabeanan nomor 17 tahun 2006, ekspor merupakan kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean, sedangkan impor merupakan kegiatan memasukan barang ke dalam daerah pabean. Daerah pabean merupakan wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan, dan ruang.
12
Gravity Model
Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Tinberger (1962) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa. Menurut Feenstra et al (1998) dalam Irwanto (2012),
gravity model dapat menjelaskan aliran perdagangan internasional dengan baik. Prinsip dasar model ini adalah turunan dari hukum Newton dalam fisika tentang gravitasi. Sebuah aliran dihubungkan sebagai akibat dari daya-tarik antara dua objek. Dalam aliran mengenai perdagangan internasional, objeknya adalah negara pengekspor dan pengimpor. Besaran negara tersebut adalah ukuran perekonomian mereka, di mana aliran perdagangan potensial dihasilkan. Semakin besar perekonomian negara yang bersangkutan, akan semakin besar pula perdagangan yang terjadi antar keduanya. Tetapi, jarak antara mereka memunculkan suatu hambatan bagi perdagangan, yaitu biaya transportasi dan waktu. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
dimana:
Fij : interaksi antar dua negara (aliran perdagangan bilateral) Mi : ukuran ekonomi untuk negara eksportir (GDP)
Mj : ukuran ekonomi untuk negara importir (GDP) Dij : jarak ekonomi antara kedua negara
G : konstanta
Gravity model menyajikan suatu analisis yang lebih empiris dari pola perdagangan (Sari 2014). Di sini disimpulkan bahwa, model gravitasi dasar mengangkat dua fakta penting yang sesuai dengan perdagangan internasional: negara besar berdagang lebih, dan negara berjauhan berdagang lebih sedikit.
Gross Domestik Product (GDP) Riil
Gross Domestik Product (GDP) sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian. Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung output barang dan jasa perekonomian dan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi bagi para anggotanya sangat bergantung pada jumlah barang dan jasa yang diproduksi sehingga para ekonom menggunakan GDP riil dalam mencapai tujuan ini.
13
di mana:
GDP nominal : mengukur nilai uang yang berlaku dari output perekonomian Deflator GDP : mengukur harga output relatif terhadap harganya pada tahun dasar
Populasi
Populasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi permintaan ekspor dari suatu negara (Mankiw 2006). Interaksi populasi termasuk dalam seperangkat variabel dalam bentuk produk dari kedua pihak populasi dengan maksud untuk memperkirakan ukuran pasar, dimensi lain pada konsep massa negara. Interaksi populasi merepresentasikan ukuran pasar sehingga ketika ukuran pasar yang besar disertai tingkat pendapatan yang tinggi akan meningkatkan permintaan barang impor (Do dan Martazavi 2006).
Wulandari dan Budiasih (2009) dalam Pradipta (2014) menjelaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk suatu negara akan menyebabkan tenaga kerja meningkat sehingga faktor produksi meningkat dan output pun akan meningkat. Pada saat output meningkat melebihi kebutuhan dalam negeri maka kelebihan tersebut akan diekspor yang pada akhirnya akan membuat ekspor negara tersebut meningkat.
Skor Infrastruktur
Infrastruktur adalah salah satu faktor yang memengaruhi investasi industri. Faktor ini memengaruhi suatu perusahaan dalam melakukan produksi melalui produktivitas. Pekerja akan lebih produktif jika mereka mempunyai alat-alat untuk bekerja karena itu peralatan dan infrastruktur yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa disebut modal fisik (Mankiw 2004). Penyediaan infrastruktur yang mendorong konektivitas akan menurunkan biaya transportasi dan biaya logistik sehingga dapat meningkatkan dayasaing produk, dan mempercepat gerak ekonomi (MP3EI).
Skor infrastruktur adalah nilai komprehensif dari infrastruktur suatu negara yang meliputi berbagai faktor, dari jalan, telekomunikasi, sampai institusi. Semakin tinggi skor mengindikasikan infrastruktur yang lebih baik. Infrastruktur yang lebih baik akan mendorong pada aktivitas perdagangan yang lebih besar. Oleh karena itu, skor infrastruktur negara tujuan yang semakin tinggi akan membuat ekspor Indonesia ke negara tersebut juga semakin meningkat.
Nilai Tukar Riil
14
ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Secara lebih umum, nilai tukar riil dapat dihing dengan:
Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana kita dapat memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Tingkat harga dimana barang domestik dan barang luar negeri diperdagangkan tergantung pada harga barang dalam amata uang lokal dan pada tingkat kurs yang berlaku (Mankiw 2006). Apabila nilai tukar riil mengalami peningkatan (apresiasi) akan mengakibatkan barang-barang luar negeri relatif murah dan barang-barang dalam negeri akan relatif mahal, sehingga ekspor neto semakin rendah. Namun, ketika nilai tukar riil semakin menurun (depresiasi) akan mengakibatkan barang-barang luar negeri relatif mahal dan barang-barang dalam negeri relatif murah, sehingga ekspor neto akan semakin tinggi. Dapat disimpulkan bahwa nilai tukar riil dan ekspor neto mempunyai hubungan yang negatif.
Jarak Ekonomi
Jarak adalah faktor geografi yang menjadi variabel utama dalam gravity model untuk aliran perdagangan. Dalam kaitannya dengan perdagangan, jarak memberikanpengaruh dalam masalah biaya angkut (transportasi) produk dari titik produksi ke titik konsumsi. Biaya angkut tersebut juga memberikan dampak secara langsung maupuntidak langsung bagi perdagangan internasional. Variabel jarak tersebut dapatdimodifikasi menjadi economics distance atau jarak ekonomi. Variabel ini menghitung jarak geografis antara dua negara, juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau yang disebut weighted-average economics distance (Li et al. 2008) dalam Irwanto (2012). Secara matematis jarak ekonomi dituliskan sebagai berikut:
dimana:
DISTei : jarak ekonomi antara negara pengekspor dan pengimpor
DISTi : jarak geografis negara pengimpor
GDPi : GDP negara pengimpor
Total GDPi : total GDP negara pengimpor
15 Selain itu, jarak yang merupakan proksi bagi biaya transportasi berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral. Hal ini disebabkan jarak akan meningkatkan biaya transportasi sehingga akan mengurangi perdagangan. Namun sebenarnya hal ini dapat dikurangi pengaruhnya karena jarak sebenarnya bukanlah satu-satunya biaya yang harus ditanggung, masih ada biaya selain jarak, yaitu pengapalan dan waktu. Pengembangan sektor perkapalan dapat mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh eksportir maupun importer (Yuniarti 2007).
Kerangka Pemikiran
Permasalahan ekonomi dalam bentuk kelangkaan yang bersifat internasional mendorong setiap negara untuk melakukan perdagangan demi memenuhi kebutuhan domestiknya. Pada perekonomian yang terbuka tersebut dan dengan diikuti oleh pengaruh globalisasi maka tercipta persaingan yang ketat sehingga mewajibkan setiap negara yang terlibat untuk meningkatkan produktivitas dan dayasaingnya agar dapat memenuhi kebutuhan dan meraih keuntungan.
Sektor pertanian menduduki posisi ketiga dalam urutan penyumbang PDB terbesar. Sektor yang unggul dalam nilai kontribusinya adalah subsektor tanaman bahan makanan, perikanan, dan perkebunan. tetapi, dalam hal peningkatan pertumbuhan nilai kontribusi, hanya dimiliki oleh subsektor perikanan dan perkebunan. Subsektor perkebunan memiliki berbagai potensi untuk dikembangkan, seperti permintaan pasar dunia yang terus meningkat, luas areal perkebunan yang terus meningkat, serta kebijakan pemerintah yang mendukung hilirisasi dan peningkatan kualitas.
Tiga produk ekspor unggulan hasil subsektor perkebunan adalah kelapa sawit, kopi, dan kakao. Dayasaing kakao, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat menentukan volume dan nilai ekspornya ke negara tujuan ekspor. Luas areal perkebunan, tingkat produksi yang tinggi, dan kebijakan pemerintah yang mendukung hilirisasi adalah potensi yang dimiliki komoditas kakao Indonesia untuk memanfaatkan peluang yang tersedia, yaitu peningkatan konsumsi kakao dunia dan peningkatan ekspor kakao. Sementara itu, peningkatan produktivitas serta kualitas adalah tantangan bagi negara ini dalam memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena luas areal perkebunan kakao Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya dan menduduki posisi lahan perkebunan terbesar di dunia.
Pencapaian tujuan-tujuan perekonomian yang baik menuntut Indonesia agar meningkatkan dayasaingnya yang ditentukan oleh keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki. Hal ini dilakukan agar Indonesia mampu bersaing dengan kompetitor, bahkan berhasil menguasai pasar internasional. Pada penelitian ini digunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamics (EPD) untuk menganalisis posisi dayasaing ekspor bubuk kakao Indonesia.
Kegiatan ekspor suatu negara ke negara lain pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga pada penelitian ini digunakan metode analisis
16
bubuk kakao Indonesia. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Kerangka pemikiran
Penelitian Terdahulu
Irwanto (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Faktor Ekspor Komoditas Kakao Indonesia ke Kawasan Uni Eropa” menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke kawasan Uni Eropa adalah GDP Indonesia, GDP negara tujuan ekspor, nilai tukar, dan jarak ekonomi. Sementara, populasi negara tujuan ekspor tidak berpengaruh nyata. Sisi dayasaing kompetitif ditunjukkan dengan posisi dayasaing komoditas kakao didominasi kuadran falling star.
Pradipta (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Buah-Buahan Indonesia di Dunia dan Negara Tujuan” menyimpulkan bahwa ekspor mangga, manggis dan jambu
memiliki dayasaing yang kuat, sementara pisang, stroberi, nenas, melon, dan Kelangkaan Perdagangan internasional
Globalisasi Persaingan ketat
Dayasaing Peningkatan
konsumsi Peningkatan ekspor
K. Hilirisasi Produksi Luas areal
Ekspor bubuk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama
Faktor-faktor yang memengaruhi ekspor Posisi dayasaing
EPD
RCA Gravity Model
GDP riil
Interaksi populasi Skor infrastruktur Penggunaan lahan Nilai tukar Jarak ekonomi
Strategi
Produktivitas Kualitas
17 semangka sebaliknya. Faktor-faktor yang memengaruhi volume ekspor buah-buahan Indonesia antara lain GDP Indonesia, GDP negara tujuan, GDP per kapita negara tujuan, interaksi GDP, harga ekspor, populasi negara tujuan, indeks harga konsumen Indonesia, dan krisis Eropa.
Sari (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Factors Influencing Indonesian Cocoa Export to The European Union” menyimpulkan bahwa GDP negara eksportir, populasi negara eksportir, nilai tukar, dan pajak ekspor memengaruhi ekspor biji kakao dan sebaliknya pada GDP importir dan populasi importir dalam model yang memasukkan pajak ekspor sebagai dummy. Hal ini juga berlaku pada model yang memasukkan pajak ekspor dalam nilainya. Sebaliknya tidak ada faktor yang memengaruhi ekspor lemak kakao dalam penelitian ini. Pada penelitian ini peubah jarak ekonomi tidak dikalikan dengan GDP negara mutra dagangnya, melainkan biaya yang dikeluarkan, yaitu harga minyak bumi.
Siahaan (2008) dalam skripsinya yang berjudul :Analisis Aliran Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Intra-ASEAN” menyimpulkan
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi aliran perdagangan TPT di lima negara ASEAN, yaitu GDP eksportir, GDP importir, populasi eksportir, jarak ekonomi, pajak ekspor, dan dummy bahasa. Sementara populasi impotir, dan nilai tukar kedua negara tidak berpengaruh.
Tho (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Determinants of Vietnam Exports: A Gravity Model Approach” menyimpulkan bahwa ekspor Vietnam
dipengaruhi oleh GDP eksportir, GDP importir, investasi langsung di Vietnam, dan nilai tukar. Sementara GDP per kapita negara tujuan dan dummy FTA tidak memiliki pengaruh.
Yuniarti (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Analisis Determinan Perdagangan Bilateral Indonesia: Pendekatan Gravity Model” menyimpulkan bahwa gravity model dapat menjelaskan perdagangan bilateral Indonesia dengan 10 mitra dagang utama, yang ditunjukkan oleh berpengaruhnya faktor GDP negara eksportir maupun importir, populasi negara importir, kesamaan ukuran perekonomian, dan jarak. Sementara faktor endowment, populasi eksportir, dan keanggotaan FTA tidak berpengaruh.
Karlinda (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor Mutiara Indonesia”
menyimpulkan bahwa komoditas mutiara Indonesia memiliki dayasaing yang kuat Kemudian, GDP per kapita dan populasi negara importir, nilai tukar, dan nilai ekspor tahun sebelumnya adalah faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor mutiara Indonesia secara nyata, dan sebaliknya pada faktor jarak ekonomi.
Firsya (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aliran Ekspor Komoditas Kakao”
18
Sitanggang (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam Skema CEPT-AFTA” menyimpulkan bahwa harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di negara tujuan, volume ekspor produk olahan negara importir, dan dummy CEPT-AFTA adalah faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sebaliknya, GDP dan populasi importir serta nilai tukar tidak memengaruhinya.
Wulandari dan Budiasih (2009) dalam Pradipta (2014) menyimpulkan bahwa interaksi GDP, jarak, dan interaksi populasi memiliki pengaruh terhadap perdagangan bilateral dalam jurnalnya yang berjudul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Total Perdagangan Bilateral Indonesia berdasarkan Model Gravitasi Tahun 2000-2005”.
Yunia (2015) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Alas Kaki Indonesia ke Amerika Latin”
menyimpulkan bahwa GDP Indonesia, GDP negara tujuan ekspor, nilai tukar dan jarak adalah faktor-faktor yang memengaruhi ekspor alas kaki Indonesia secara nyata. Sebaliknya, faktor harga tidak memengaruhinya.
Departemen Perdagangan dan Industri Afrika Selatan dalam laporannya yang berjudul “A Gravity Model fot the Determination and Analysis of Trade Potential for South Africa” dalam gravity model sektor transportasi menyimpulkan bahwa faktor jarak, GDP negara importir, penggunaan lahan, skor infrastruktur, dan effective rate of protection memiliki pengaruh yang sesuai hipotesis yang diharapkan terhadap ekspor sektor transportasinya. Dan sebaliknya pada faktor nilai tukar.
Do dan Mortazavi (2006) dalam tesisinya yang berjudul “A Gravity Model for Trade Between Vietnam and Twenty-Three Eropean Countries”
menyimpulkan bahwa hasil estimasi gravity model mengindikasikan bahwa perdagangan bilateral antara vietnam dan 23 negara di Eropa dipengaruhi oleh GDP, interaksi populasi, dan volatilitas nilai tukar. Dalam hasil estimasi ini, faktor jarak dan dummy sejarah tidak memiliki pengaruh nyata.
Suryana (2014) dalam tesisnya yang berjudul “Dayasaing dan Aliran Perdagangan Kakao Indonesia di pasar Internasional” menyimpulkan bahwa keunggulan komparatif tertinggi dimiliki oleh biji kakao dan terendah untuk lemak kakao. Dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor biji kakao adalah GDP riil per kapita Indonesia dan negara tujuan, nilai tukar, dan bea keluar biji kakao, sementara jarak ekonomi tidak berpengaruh nyata. Kemudian, lemak kakao adalah GDP riil per kapita Indonesia dan negara tujuan, nilai tukar, dan jarak ekonomi. Sementara faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao adalah GDP riil per kapita Indonesia dan negara tujuan dan jarak ekonomi. Faktor nilai tukar dan bea keluar tidak memengaruhi ekspor bubuk kakao.
Komalasari (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor
yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Biji Kakao Indonesia” menhyimpulkan bahwa faktor produksi dan ekspor tahun sebelumnya memengaruhi ekspor biji kakao. Sementara harga ekspor, harga dunia, dan nilai tukar tidak memengaruhi ekspor biji kakao Indonesia secara nyata.
19 interaksi populasi, skor infrastruktur, nilai tukar, dan jarak ekonomi) antara Indonesia dan negara tujuan ekspor dari penelitian empiris yang telah disebutkan sebelumnya.
Tabel 7 Ringkasan hubungan antara peubah tak bebas dan peubah bebas Peubah
bebas
Hubungan dengan peubah tak bebas- volume ekspor
Positif Negatif Tidak Signifikan
GDP
20
bubuk kakao Indonesia akan memiliki hubungan yang negatif dan nyata dengan peubah nilai tukar riil dan jarak ekonomi.
Tabel 8 Dugaan hubungan antara peubah tak bebas dengan peubah bebas Peubah bebas Hubungan dengan peubah tak bebas- volume ekspor
Positif Negatif Tidak Signifikan
GDP riil Eksportir X
GDP riil Importir X
Interaksi populasi X
Skor infrastruktur X
Nilai tukar riil X
Jarak ekonomi X
Hipotesis
Setiap peubah bebas mungkin memiliki dampak terhadap peubah tak bebas. Dalam pengujian ini, hipotesis diatur untuk setiap hubungan individual antara peubah bebas dan peubah tidak bebas. Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini, antara lain:
1. GDP riil Indonesia memiliki pengaruh yang positif terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia.
2. GDP riil negara tujuan memiliki pengaruh yang positif terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia.
3. Interaksi populasi memiliki pengaruh yang positif terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia.
4. Skor infrastruktur memiliki pengaruh yang positif terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia.
5. Nilai tukar riil negara tujuan ekspor terhadap dollar Amerika memiliki pengaruh negatif terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia.
6. Jarak ekonomi berpengaruh negatif terhadap ekspor bubuk kakao Indonesia.
METODE
Jenis dan Sumber Data
Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif yang digunakan adalah metode analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product
Dynamics (EPD) dengan data selama 2009 hingga 2013. Metode ini memerlukan data sekunder nilai ekspor bubuk kakao (HS 1996 dengan kode produk 180500) dan nilai total ekspor Indonesia dan dunia ke negara tujuan ekspor.
21 yang dapat dianalisis menggunakan gravity model yang meliputi 25 negara tujuan ekspor utama adalah pada periode tahun tersebut. Metode ini memerlukan data sekunder volume ekspor bubuk kakao Indonesia ke 25 negara tujuan ekspor utama, jumlah populasi Indonesia dan 25 negara tujuan ekspor utama, skor infrastruktur 25 negara tujuan ekspor utama, nilai tukar mata uang 25 negara tujuan ekspor utama terhadap dollar Amerika, serta IHK dan jarak antara Indonesia dengan 25 negara tujuan ekspor utama. Jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis dan sumber data
Jenis data Sumber
Nilai dan volume ekspor total dan bubuk kakao Indonesia dan dunia
UN Comtrade (wits.worldbank.org) GDP riil konstan 2005 Indonesia dan
negara tujuan
worldbank.org Jumlah populasi Indonesia dan negara
tujuan
worldbank.org
Skor infrastruktur wef.org
Nilai tukar UNCTADSTAT
Indeks harga konsumen negara tujuan UNCTADSTAT
Jarak geografis cepii.org
Peubah bebas yang akan digunakan pada penelitian adalah GDP riil Indonesia (LN_GDPI), GDP riil negara tujuan (LN_GDPJ), interaksi populasi (LN_IPOP), skor infrastruktur (LN_IR), nilai tukar riil negara tujuan (LN_ER), dan jarak ekonomi (LN_ED).
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Pada penellitian ini, untuk menganalisis keunggulan komparatif bubuk kakao Indonesia menggunakan metode pengolahan data Revealed Comparative Advantage (RCA) melalui Microsoft Excel. Metode ini digunakan untuk menganalisis dan mengukur posisi dayasaing bubuk kakao Indonesia. Analisis
Export Product Dynamics (EPD) digunakan untuk menganalisis posisi dayasaing komoditas atau barang pada suatu negara berdasarkan performa keunggulan kompetitif ekspor yang dimiliki dalam komoditas atau barang tersebut, sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor bubuk kakao Indonesia digunakan metode analisis regresi data panel gravity model.
Revealed Comparative Advantage (RCA)
22
dimana :
Xi : nilai ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan (US$)
Xt : nilai total ekspor Indonesia ke negara tujuan (US$)
Wi : nilai ekspor bubuk kakao Dunia ke negara tujuan (US$)
Wt : nilai total ekspor Dunia ke negara tujuan (US$)
Setelah melakukan perhitungan di atas kemudian akan dilakukan perhitungan indeks RCA yang membandingkan nilai RCA pada tahun sekarang dengan nilai RCA pada tahun sebelumnya. Secara matematis, indeks RCA dapat dijelaskan sebagai berikut:
dimana :
dimana:
RCAt : nilai RCA pada tahun ke-t
RCAt-1 : nilai RCA pada tahun sebelumnya
Hasil estimasi menggunakan metode analisis RCA menjelaskan apabila nilai RCA lebih besar dari satu maka dapat diartikan negara Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam persaingan ekspor bubuk kakao di pasar internasional maupun negara tujuan. Hal ini menunjukkan bubuk kakao Indonesia memiliki dayasaing kuat, sedangkan apabila nilai RCA kurang dari satu maka negara Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif yang menunjukkan bubuk kakao Indonesia tidak memiliki dayasaing atau berdayasaing rendah (Hanani et al. 2009) dalam Pradipta (2014). Pada indeks RCA, apabila nilai indeks sama dengan satu maka dapat diartikan bahwa tidak terjadi peningkatan kinerja ekspor pada tahun saat ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Export Product Dynamics (EPD)
Export Product Dynamic (EPD) merupakan metode analisis yang digunakan untuk menganalisis dan mengidentifikasi produk atau komoditas yang mempunyai daya kompetitif tertinggi serta pertumbuhan produk atau barang yang cepat pada arus perdagangan ekspor dalam suatu negara. Metode analisis ini mempunyai kelebihan dalam menganalisis kinerja suatu barang atau produk mempunyai performa yang dinamis atau tidak. Selain itu, metode ini dapat menganalisis sejauh mana keunggulan kompetitif suatu produk atau barang tersebut.
23
Sumber : Irwanto, (2012).
Gambar 6 Kuadran posisi pasar Export Product Dynamics (EPD) dimana :
Sumbu x : tingkat pertumbuhan pangsa pasar ekspor (persen) Sumbu y : tingkat pertumbuhan pangsa pasar produk (persen)
Gambar 6 menunjukkan bahwa matriks posisi dayasaing Export Product Dynamic (EPD) terdiri dari Rising star, Lost opportunity, Falling star, dan Retreat. Rising star merupakan posisi pasar tertinggi atau dapat dikatakan sebagai posisi pasar yang paling ideal. Lost opportunity merupakan kondisi pasar ataudayasaing yang paling tidak diharapkan oleh suatu negara dikarenakan pada posisiini terjadi penurunan pangsa pasar pada produk, sehingga mengakibatkan suatu negara kehilangan kesempatan pangsa atau jangkauan ekspor untuk produk dan barang yang dihasilkan dalam pasar internasional.
Posisi pasar lainnya yang tidak diharapkan oleh suatu negara adalah falling star. Posisi falling star walaupun tidak diharapkan, namun posisi ini tidak seburuk dibandingkan dengan lost opportunity. Hal ini disebabkan pada posisi ini terjadi peningkatan pangsa pasar meskipun tidak terjadi pada produk atau barang yang kontinu (dinamis) di pasar global. Retreat merupakan kondisi dimana produk atau barang suatu negara sudah tidak diinginkan lagi oleh pangsa pasar. Secara matematis pangsa pasar ekspor suatu negara dan pangsa pasar suatu komoditi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Sumbu x: Pertumbuhan pangsa pasar ekspor Indonesia (persen):
∑
Sumbu y: Pertumbuhan pangsa pasar bubuk kakao Indonesia (persen):
∑
dimana :
Xi : nilai ekspor bubuk kakao Indonesia ke negara tujuan (US$)
Wi : nilai ekspor bubuk kakao dunia ke negara tujuan (US$)
Xt : nilai total ekspor Indonesia ke negara tujuan (US$)
Wt : nilai total ekspor Dunia ke negara tujuan (US$)
t : tahun ke t
t-1 : tahun sebelumnya
Lost Opportunity
Retreat Falling Star Rising Star
Y
24
Gravity Model
Gravity Model adalah model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi yang dapat memengaruhi perdagangan antara dua negara berdasarkan berdasarkan hukum gravitasi teori Sir Isaac Newton. Model ini dapat menganalisis apakah perdagangan antar kedua negara berhubungan lurus dengan pendapatan masing-masing negara tersebut, dan berhubungan terbalik dengan hambatan perdagangan antar kedua negara yang secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut:
dimana:
Xij = ekspor dari negara i ke negara j
GDP = PDB setiap negara
= biaya perdagangan antara dua negara Dij = jarak antara mereka
ij = jarak antara dua negara
c = konstanta
b = koefisien yang akan diestimasi eij = galat acak
Estimasi Model
Estimasi model ditransformasikan kedalam bentuk ln (logaritma natural) agar model memenuhi uji asumsi klasik dan menghindari model dari bias. Selain itu, transformasi model ke dalam bentuk logaritma natural juga dapat menghindari model dari permasalahan normalitas. Juanda (2009) menyatakan bahwa transformasi model dalam bentuk logaritma natural dapat mengatasi permasalahan heteroskedastisitas sehingga estimasi model yang ditransformasi adalah sebagai berikut:
Keterangan:
EVoit = volume ekspor bubuk kakao Indonesia (kg)
GDPit = GDP riil Indonesia (US$)
GDPjt = GDP riil negara importir (US$)
IPOPit = interaksi populasi Indonesia dengan negara tujuan ekspor
(jiwa)
IRit = skor infrastruktur negara tujuan ekspor
ERit = nilai tukar riil negara tujuan ekspor (mata uang negara tujuan
terhadap dollar Amerika Serikat) EDit = jarak ekonomi antara dua negara
eit = galat acak
α = konstanta
25
i = negara
t = periode waktu
Uji Kesesuaian Model
Pemilihan model terbaik
Pada analisis gravity model akan digunakan tahapan pengolahan data yang meliputi tiga pendekatan yaitu common effect atau Pooled Least Square (PLS),
Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM). Model terbaik dapat diperoleh dengan melakukan uji statistika yang terdapat dalam regresi data panel untuk menentukan model terbaik, yaitu:
1. Chow test
Chow test atau biasa disebut dengan uji F statistics merupakan pengujian statistik yang bertujuan memilih model terbaik antara Fixed Effect Model (FEM) atau Pooled Least Square (PLS). Hipotesis dari uji adalah sebagai berikut :
H0 : Pooled Least Square
H1 : Fixed Effects Model
Pada uji ini, apabila nilai probabilitas uji Chow pada hasil estimasi menggunakan E-views7 menunjukkan nilai yang lebih kecil daripada taraf nyata (lima persen) maka sudah cukup bukti untuk menolak hipotesa nol, sehingga dapat dikatakan bahwa model yang terbaik berdasarkan uji ini adalah Fixed Effects Model.
2. Hausman Test
Hausman test merupakan pengujian statistika untuk menganalisis model yang terbaik antara Fixed Effects Model (FEM) atau Random Effects Model
(REM) yang memiliki hipotesis sebagai berikut :
H0 : Random Effects Model
H1 : Fixed Effects Model
Apabila hasil pengujian uji Hausman pada E-views6 menunjukkan nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata (lima persen), maka dapat dikatakan bahwa cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol, sehingga model yang terbaik adalah Fixed Effects Model (FEM).
3. Uji LM atau The Breusch Pagan
Uji LM merupakan pengujian untuk memilih model terbaik antara Random Effects Model (REM) dan Pooled Least Square (PLS). Hipotesis pada pengujian ini adalah sebagai berikut :
H0 : Pooled Least Square
H1 : Random Effects Model
Dasar penolakan terhadap pengujian dapat diperoleh dengan menggunakan hitung statistika terhadap Chi squared. Apabila hasil statistika uji LM lebih besar daripada tabel Chi squared, maka cukup bukti untuk menolak hipotesa nol sehingga dapat dikatakan model yang terbaik adalah Random Effects Model
26
Uji kriteria ekonomi
Pada model akan dianalisis apakah model telah memenuhi kriteria ekonomi dan dugaan hipotesis yang ada. Kesesuaian kriteria ekonomi dalam model dapat dilihat berdasarkan tanda koefisien pada hasil estimasi model.
Uji asumsi klasik
Pada gravity model ini digunakan analisis regresi sehingga model harus memenuhi tiga asumsi klasik yang meliputi terbebas dari multikolnearitas, data telah menyebar normal (normalitas), terbebas dari heteroskedastisitas, dan terbebas dari autokorelasi.
1. Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan hubungan linear yang kuat antar peubah bebas dalam regresi berganda. Mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji korelasi sederhana antara peubah bebas. Multikolinearitas dapat terjadi apabila beberapa koefisien mempunyai simpangan baku yang tinggi, dan kemudian setelah mengeluarkan satu atau lebih peubah bebas dari model menyebabkan simpangan bakunya rendah. Begitu juga jika dalam uji-F menyimpulkan minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nya (signifikan) dalam model atau koefisien determinasinya (R2) tinggi, tapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan karena simpangan baku koefisiennya besar (Juanda 2009).
Permasalahan multikolinearitas pada model dapat di atasi dengan cara memanfaatkan informasi sebelumnya, mengeluarkan peubah bebas yang memiliki kolinearitas tinggi, melakukan transformasi terhadap peubah-peubah dalam model dengan bentuk pembedaan pertama untuk data deret waktu, menggunakan regresi komponen utama, menggabungkan data cross section dengan data time series atau yang lebih dikenal dengan panel data, mengecek ulang asumsi pada saat menetapkan model, dan penambahan data baru (Juanda 2009).
2. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas merupakan adanya faktor pengganggu pada model yang tidak memiliki varian yang konstan. Model dapat dikatakan memenuhi asumsi klasik heteroskedastisitas apabila model memiliki kesamaan varians dari residual pengamatan yang tetap atau disebut homoskedastisitas. Permasalahan heteroskedastisitas dapat dilihat dengan menggunakan uji Golfeld Quandt, uji
Breusch Pagan, dan uji White.
Pada penelitian ini, untuk melihat apakah model telah memenuhi asumsi klasik dapat dilhat berdasarkan nilai sum squared residual pada hasil pengolahan menggunakan E-views7. Permasalahan heteroskedastisitas dapat diatasi dengan memberikan bobot Weighted Least Square (WLS) melalui Generalized Least Squares (GLS) pada model atau transformasi data kedalam bentuk logaritma natural.
3. Normalitas
27 dengan cara uji Jarque Bera. Apabila nilai probabilitas pada uji Jarque Bera lebih besar dibandingkan dengan taraf nyata (lima persen) maka dapat dikatakan model telah memenuhi syarat asumsi klasik menyebar normal.
4. Autokorelasi
Autokorelasi merupakan hubungan linear antar eror dalam satu penelitian yang dapat diuji dengan uji autokorelasi pada Durbin Watson. Permasalahan autokorelasi pada penelitian ini dapat diatasi dengan memberikan pembobotan
Generalized Least Squares (GLS) pada model. Adanya autokorelasi atau tidak pada model dapat dilihat berdasarkan Tabel 10.
Tabel 10 Selang nilai statistika Durbin Watson serta keputusannya
Nilai DW Keputusan
4-Dl<DW<4 Tolak H0, ada autokorelasi positif 4-Du<DW<4-Dl Tidak tentu, coba uji yang lain
Du<DW<4-DU Terima H0
Dl<DW<DU Tidak tentu, coba uji yang lain 0<DW<DL Tolak H0, ada autokorelasi positif
Sumber: Juanda, (2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Posisi Dayasaing Ekspor Bubuk Kakao Indonesia ke Negara Tujuan Ekspor Utama Berdasarkan Revealed Comparative Advantage (RCA) Tahun
2009-2013
Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk menggeser komoditas ekspor kakao dari bahan mentah ke produk olahan. Hal tersebut mendasari dilakukannya penelitian terhadap bubuk kakao ini. Posisi dayasaing produk kakao Indonesia sangat ditentukan oleh keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Analisis RCA digunakan dalam penelitian ini untuk melihat keunggulan komparatif pada bubuk kakao. Nilai RCA memberikan gambaran kinerja ekspor. Jika nilai RCA lebih dari 1 berarti suatu negara memiliki kinerja ekspor yang baik dan memiliki keunggulan komparatif atas produknya. Sebaliknya, jika nilai RCA kurang dari 1 berarti suatu negara tidak memiliki keunggulan komparatif atas produknya (Firsya 2014).
28
Berdasarkan posisi rata-rata nilai dan volume ekspor ke dunia serta rata-rata nilai RCA selama tahun 2009 hingga 2013 pada Tabel 11 secara keseluruhan, bubuk kakao menempati posisi dayasaing ketiga terbesar dibandingkan produk kakao lainnya. Data UN Comtrade menunjukkan bahwa ekspor bubuk kakao Indonesia menempati posisi ketujuh terbesar sebagai eksportir bubuk kakao di dunia. Selain itu, berdasarkan gambar 3, bubuk kakao Indonesia selama tahun 2009 hingga 2013 mengalami surplus perdagangan dengan rata-rata volume ekspor sebesar 27.85 ribu ton lebih banyak dibandingkan volume impornya (10.81 ribu ton). Neraca perdagangan bubuk kakao Indonesia ke dunia dapat dilihat pada gambar 7.
Sumber: UN Comtrade, 2014.
Gambar 7 Neraca perdagangan bubuk kakao Indonesia dengan dunia tahun 2009-2013
Gambar 7 menunjukkan bahwa tingkat ekspor bubuk kakao selama tahun 2009 sampai 2013 mengalami peningkatan, mengungguli tingkat impornya. Nilai neraca bubuk kakao yang selalu meningkat hingga mencapai 64.69 juta USD pada tahun 2013 menunjukkan bahwa perdagangan bubuk kakao mengalami surplus
pada setiap tahunnya disebabkan ekspor yang melebihi impornya Kondisi ini merupakan potensi bagi Indonesia untuk menguasai pasar ekspor bubuk kakao di pasar internasional.
Berdasarkan hasil analisis keunggulan komparatif menggunakan estimasi RCA (Lampiran 8), Indonesia memiliki dayasaing yang kuat di 24 negara tujuan ekspor utama, yang ditunjukkan dengan rata-rata nilai RCA lebih dari 1. Sepuluh negara impotir utama dengan rata-rata nilai RCA tertinggi adalah Afrika Selatan, Meksiko, Rusia, Hungaria, Tiongkok, Thailand, Turki, Jerman, Brazil, dan