• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan nutrien daun murbei seperti tersaji pada Tabel 10 memperkuat indikasi yang baik untuk memanfaatkan daun murbei sebagai sumber pakan, menggantikan konsentrat. Rataan kadar protein kasar daun murbei sebesar 20.80%, hampir sama dengan rataan kadar protein kasar daun murbei yang dianalisis dari 119 varietas yakni sebesar 20.43% (Machii et al. 2002). Hasil analisis tersebut mengindikasikan kualitas protein daun murbei yang sangat baik. Kadar lignin dan silika daun murbei relatif rendah (Tabel 10), sehingga komponen dinding sel tersebut tidak mengurangi kualitas daun murbei. Karena itu daun murbei berpotensi digunakan sebagai sumber protein pakan. Senyawa fitokimia daun murbei juga dianalisis, dan hasilnya disajikan pada Tabel 11.

Tabel 10 Kandungan nutrien tepung daun murbei

Nutrien Rataan (% BK)

Hasil Analisa Proksimat *)

Kadar air**) 85.89 Kadar abu 10.76 Serat kasar 12.09 Lemak kasar 3.19 Protein kasar 20.80 BETN 53.16 Hasil Analisa Van Soest ***)

NDF 26.60 ADF 17.67 Selulosa 14.66 Hemiselulosa 8.93 Lignin 3.18 Silika 0.06 Sumber: *): Hasil Analisis Laboratorium Biologi Hewan, PPSHB IPB (2007)

**): Kadar Air Bahan Segar

Kandungan tanin dan saponin daun murbei relatif kecil untuk dapat mempengaruhi performa ternak. Kandungan tanin daun murbei pada Tabel 11 sebesar 0.93%, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan tanin daun murbei yang dilaporkan oleh Datta et al. (2002) sebesar 0.85%. Namun, kadar tanin daun murbei tersebut sangat kecil untuk berpotensi mengikat protein dibandingkan dengan kadar tanin daun kaliandra yakni sebesar 11.3% (Makkar 1993). Secara umum keberadaan senyawa aktif dalam ransum berdampak spesifik terhadap performa ternak.

Tabel 11 Kandungan senyawa fitokimia daun murbei

Komponen Fitokimia Hasil Pengujian Metode

Pengujian Kadar tannin (%) 0.93 MMI Jilid VI 1995 Kadar saponin (%) 0.12 Alkaloid ++++ Fenolik - Flavanoid +++ Triterpenoid ++++ Steroid ++++ Glikosida ++++ 1-Deoxynojirimycin TLC-Scanner

- Ekstrak aquades suhu 500C(%) 0.1123

- Ekstrak etanol 50% (%) 0.1223

Sumber: Hasil Pengujian Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Cimanggu (2008)

Kandungan senyawa DNJ yang diperoleh pada analisis dengan menggunakan TLC-Scanner di atas (Tabel 11) hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Kimura et al. (2004) yakni berkisar antara 0.10 sampai 0.14%. Kimura et al. (2004) mengekstrak daun murbei dengan asetonitril 50% dan mengukur DNJ menggunakan HPLC dengan light scattering detector (ELSD). Kandungan senyawa DNJ daun murbei yang lebih tinggi dilaporkan oleh Oku (2006), yakni sebesar 0.24%. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh metode ekstraksi dan tingkat ketepatan alat yang digunakan. Oku (2006) mengekstrak daun murbei dengan menggunakan ethanol 50% dan mengukur senyawa DNJ dengan menggunakan HPLC-MS. Kandungan DNJ daun murbei yang diekstrak dengan pelarut yang berbeda dapat menghasilkan konsentrasi DNJ yang berbeda.

Penghambatan Aktivitas Enzim oleh EDM

Aktivitas enzim dapat diamati dengan mengukur produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis substrat. Gambar 6 disajikan dinamika konsentrasi gula reduksi dari hasil hidrolisis substrat yang berbeda oleh enzim kasar yang diperoleh dari cairan rumen, dengan waktu fermentasi yang berbeda dan dengan atau tanpa penambahan ekstrak daun murbei. Dari gambar tersebut terlihat bahwa gula reduksi yang dihasilkan dari hidrolisis maltosa lebih tinggi dibandingkan dengan subsrat lainnya. Pada inkubasi sampai 30 menit, hidrolisis sukrosa, pati dan selulosa oleh enzim kasar cairan rumen belum menghasilkan gula reduksi. Gula reduksi dari hidrolisis pati dan selulosa terdeteksi pada inkukasi selama 60 menit. Hal ini disebabkan oleh proses hidrolisis pati dan selulosa menjadi glukosa membutuhkan jenis enzim dan tahap hidrolisis yang lebih panjang dibandingkan dengan maltosa.

Keterangan : --- = - EDM = +EDM

Gambar 6 Dinamika konsentrasi gula reduksi dengan substrat dan waktu fermentasi yang berbeda dan dengan atau tanpa penambahan ekstrak daun murbei.

MALTOSA

0 100 200

10 20 30 60

Waktu Inkubasi (menit) ppm PATI 0 10 20 10 20 30 60

Waktu Inkubasi (menit) ppm SELULOSA 0 10 20 10 20 30 60

Waktu Inkubasi (menit) ppm SUKROSA 0 10 20 10 20 30 60

Waktu Inkubasi (menit) ppm

Berbeda dengan pati dan selulosa, rendahnya gula reduksi yang dihasilkan dari hidrolisis sukrosa dapat disebabkan oleh jenis ikatan kimia yang berbeda antara maltosa dan sukrosa. Maltosa merupakan pereduksi sempurna dengan ikatan α-glukosidase, dan proses hidrolisisnya menghasilkan 2 molekul glukosa, sedangkan sukrosa bukan pereduksi dan mempunyai ikatan α-ß-glikosidik. Untuk memutus ikatan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dibutuhkan enzim yang spesifik, yang mungkin kurang dalam cairan rumen yang dikoleksi untuk mendapatkan enzim kasar.

Penambahan ekstrak daun murbei pada media dengan substrat berupa maltosa mengakibatkan penghambatan aktivitas enzim maltase. Hal ini ditandai dengan konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan pada inkubasi sampai 20 menit yang sangat sedikit terdeteksi pada medium yang ditambahkan EDM, dibandingkan dengan yang tidak ditambahkan EDM.

Pengamatan terhadap penghambatan aktivitas enzim oleh EDM juga telah dilakukan oleh Oku (2006), yang membandingkan aktivitas beberapa enzim, antara lain maltase, sukrase dan laktase pada media yang ditambahkan EDM. Enzim yang digunakan diperoleh dari usus halus manusia dan tikus. Dari penelitian tersebut dilaporkan bahwa penghambatan aktivitas enzim maltase dan sukrase oleh EDM sangat tinggi dibandingkan dengan laktase.

Daya Lepas Lambat Beberapa Jenis Karbohidrat dalam Sistem Rumen

Perubahan nilai pH cairan rumen fermentasi yang substratnya berupa glukosa, maltosa dan sukrosa bergerak dari nilai 7.1 pada jam ke-0 fermentasi menjadi 6.5 pada jam ke-4 fermentasi (Gambar 7). Dinamika pH yang berbeda terjadi pada cairan rumen yang substratnya berupa laktosa, pati dan selulosa, dimana perubahan nilai pH-nya bergerak dari nilai 7.1 pada jam ke-0 fermentasi menjadi 6.9 pada jam ke-4 fermentasi.

Dinamika nilai pH yang berbeda di atas menggambarkan tingkat hidrolisis yang berbeda. Semakin tinggi perubahan nilai pH cairan rumen fermentasi pada satuan waktu fermentasi yang sama menggambarkan hidrolisis yang lebih cepat, dimana total asam yang dihasilkan lebih tinggi, dan berdampak pada penurunan nilai pH yang lebih besar. Substrat berupa laktosa, pati dan selulosa sebagai sumber karbon dalam cairan

rumen memperlihatkan penurunan nilai pH yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai pH cairan rumen fermentasi yang substratnya berupa glukosa, maltosa dan sukrosa. Hal ini disebabkan enzim akan menghidrolisis karbohidrat non struktural terlebih dahulu sebelum menghidrolisis karbohidrat struktural (Czerkawski 1998).

Keterangan : --- = - EDM

= +EDM

Gambar 7 Dinamika kondisi pH cairan rumen dengan substrat dan waktu fermentasi yang berbeda dan dengan atau tanpa penambahan ekstrak daun murbei. GLUKOSA 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (jam)

pH MALTOSA 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (jam)i

pH SUKROSA 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (jam)i

pH LAKTOSA 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (jam)

pH PATI 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (jam)

pH SELULOSA 6,40 6,60 6,80 7,00 7,20 7,40 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (jam)

Penambahan ekstrak daun murbei yang mengandung senyawa 1-deoxynojirimycin tidak signifikan merubah pH. Perubahan pH sampai 4 jam fermentasi pada media yang ditambahkan EDM dan tanpa EDM relatif sama, baik pada substrat glukosa, maltosa maupun sukrosa. Meskipun demikian ada kecenderungan peningkatan pH pada 4 jam fermentasi pada substrat maltosa. Hal ini mengindikasikan adanya proses penghambatan hidrolisis RAC pada maltosa. Senyawa DNJ mampu menghambat proses pemecahan oligosakarida seperti maltosa menjadi monomer-monomernya (Breitmeier et al. 1997) dengan cara masuk ke sisi aktif enzim glukosidase, sehingga menghambat kinerja enzim tersebut untuk menghidrolisis substrat (Romaniouk et al. 2004; Chapel et al. (2006).

Hasil pengamatan konsentrasi amonia cairan rumen perlakuan pada 0, 1, 2, 3 dan 4 jam fermentasi berada pada kisaran normal yakni sebesar 5 sampai 16 mM. Semakin lama waktu fermentasi, maka konsentrasi amonia semakin berkurang (Gambar 8).

Pengurangan konsentrasi amonia dalam cairan rumen menggambarkan pemanfaatan amonia pada proses fermentasi. Amonia tersebut digunakan untuk sintesis protein mikroba (Nolan & Dobos 2005). Pada kondisi tersedia substrat yang mudah terhidrolisis, pemanfaatan amonia akan semakin tinggi, yang sejalan dengan proses hidrolisis substrat yang semakin cepat, sehingga konsentrasi amonia semakin kecil pada selang waktu fermentasi tertentu. Kondisi tersebut nampak terjadi pada substrat berupa glukosa, maltosa, sukrosa dan laktosa.

Proses deaminasi protein ekstrak daun murbei sangat cepat terjadi pada media dengan substrat berupa monosakarida dan disakarida, dibandingkan dengan polisakarida. Hal ini mengakibatkan amonia yang terukur pada jam 0 fermentasi lebih tinggi pada penambahan EDM terhadap substrat berupa glukosa, maltosa, sukrosa dan laktosa. Namun demikian, amonia dari proses deaminasi tersebut langsung dimanfaatkan pada proses fermentasi, sehingga mulai 1 jam fermentasi, konsentrasi amonia media yang ditambah EDM relatif sama dengan media tanpa penambahan EDM. Kondisi tersebut mengindikasikan berlangsungnya proses fermentasi yang lebih baik akibat penambahan EDM.

Keterangan :--- = - EDM

= +EDM

Gambar 8 Dinamika konsentrasi amonia cairan rumen dengan substrat dan waktu fermentasi yang berbeda dan dengan atau tanpa penambahan ekstrak daun murbei GLUKOSA R2 = 0.69 R2 = 0.97 - 5,00 10,00 15,00 20,00 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (Jam)

mM MALTOSA R2 = 0.76 R2 = 0.82 - 5,00 10,00 15,00 20,00 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (Jam)

mM SUKROSA R2 = 0.99 R2 = 0.84 - 5,00 10,00 15,00 20,00 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (Jam)

mM PATI R2 = 0.77 R2 = 0.76 - 5,00 10,00 15,00 20,00 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (Jam)

mM SELULOSA R2 = 0.83 R2 = 0.88 - 5,00 10,00 15,00 20,00 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (Jam)

mM LAKTOSA R2 = 0.82 R2 = 0.84 - 5,00 10,00 15,00 20,00 0 1 2 3 4 Waktu Fermentasi (Jam)

Kondisi yang berbeda terjadi pada substrat polisakarida berupa pati dan selulosa. Penambahan EDM tidak mempengaruhi konsentrasi amonia, bahkan sampai pada fermentasi 4 jam kadar amonia relatif stabil. Hal ini menggambarkan tidak adanya efek yang merugikan dengan kehadiran senyawa 1-deoxynojirimycin dalam EDM yang ditambahkan pada substrat pati dan selulosa. Arai et al. (1998) menyatakan bahwa senyawa DNJ dapat menghambat hidrolisis karbohidrat secara selektif.

Tingkat konsentrasi gula tereduksi dan laju pengurangannya menggambarkan tingkat hidrolisis karbohidrat dalam media serta efektivitas proses fermentasi. Pada awal proses fermentasi, konsentrasi gula tereduksi yang tinggi menggambarkan tingkat hidrolisis substrat yang cepat, sedangkan laju pengurangan konsentrasi gula tereduksi yang semakin tajam menggambarkan tingkat pemanfaatan gula tereduksi pada proses fermentasi yang semakin tinggi.

Konsentrasi gula tereduksi yang terukur pada substrat berupa karbohidrat non struktural berkisar pada nilai 0.04% sampai 0.12%, sedangkan pada substrat berupa selulosa, konsentrasi gula tereruksi ada pada kisaran nilai 0.002% sampai 0.0045% (Gambar 9). Nilai tersebut mengindikasikan tingkat hidrolisis karbohidrat non struktural yang lebih cepat dibandingkan dengan karbohidrat struktural.

Konsentrasi gula tereduksi pada awal fermentasi lebih tinggi pada media yang tidak ditambahkan EDM, dibandingkan dengan yang ditambahkan EDM. Hal ini mengindikasikan adanya penghambatan hidrolisis karbohidrat akibat penambahan EDM yang mengandung senyawa 1-deoxynojirimycin

Nilai mutlak gradien grafik hubungan antara waktu fermentasi dengan konsentrasi gula tereduksi menggambarkan laju kehilangan gula tereduksi dalam media. Gula tereduksi tersebut akan masuk ketahapan proses glikolisis atau metabolisme (Russel and Wallace 1997). Nilai mutlak gradien lebih tinggi pada media yang mendapat DNJ dibandingkan tanpa DNJ untuk semua substrat (Gambar 9). Perbedaan nilai tersebut mengindikasikan adanya perbaikan proses fermentasi pada media yang ditambahkan EDM pada semua substrat. Perbedaan nilai mutlak gradien grafik tertinggi terdapat pada maltosa (0.0336 vs 0.0128), sejalan dengan nilai pH media maltosa yang ditambahkan EDM cenderung lebih tinggi pada 4 jam fermentasi, sehingga penghambatan hidrolisis maltosa oleh senyawa DNJ lebih tinggi dibanding dengan jenis karbohidrat lainnya.

Keterangan : --- = - EDM

= +EDM

Gambar 9 Dinamika konsentrasi gula tereduksi cairan rumen dengan substrat dan waktu fermentasi yang berbeda dan dengan atau tanpa penambahan ekstrak daun murbei.

GLUKOSA y=-0.0164x + 0.0773; R2 = 0.9998 y=-0.0139x + 0.067; R2 = 0.9987 - 0,0400 0,0800 0,1200 O 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) % SUKROSA y = -0.0285x + 0.1116; R2 = 0.9993 y = -0.0266x + 0.1015; R2 = 0.9988 - 0,0400 0,0800 0,1200 O 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) % PATI y = -0,0564x2 + 0,2193x - 0,1433 R2 = 1 y = -0,019x2 + 0,0708x - 0,0337 R2 = 1 - 0,0400 0,0800 0,1200 O 2 4

Waktu Fermentasi (Jam)

% MALTOSA y = -0.0336x + 0.1181; R2 = 0.998 y = -0.0128x + 0.0647; R2 = 0.9266 - 0,0400 0,0800 0,1200 O 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) % LAKTOSA y = -0.0348x + 0.1325; R2 = 0.9235 y = -0.0277x + 0.1136; R2 = 0.9774 - 0,0400 0,0800 0,1200 O 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) % SELULOSA y = -0.0014x + 0.0054; R2 = 0.9934 y = -0.001x + 0.0042; R2 = 0.6705 - 0,0020 0,0040 0,0060 O 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) %

Senyawa DNJ tidak memblok proses glikolisis semua tipe oligosakarida (Gross et al. 1983). Hal yang sama dinyatakan oleh Hock & Elstner (2005) bahwa senyawa DNJ dapat menghambat aktivitas α-glukosidase secara kompetitif, namun tidak menghambat aktivitas β-glukosidase, α dan β mannosidase maupun β-galaktosidase.

Konsentrasi VFA yang dihasilkan dari substrat yang difermentasi sampai 4 jam ada pada kisaran normal, dimana konsentrasi berkisar pada nilai 60 sampai 150 mM (Gambar 10). Penambahan EDM yang mengandung senyawa DNJ berdampak menghasilkan VFA yang lebih tinggi dibandingkan dengan media tanpa penambahan EDM. Gambar 10 juga memperlihatkan peningkatan konsentrasi VFA lebih tinggi pada fermentasi dari jam ke dua sampai jam ke-4 dengan penambahan EDM, dibandingkan tanpa penambahan EDM. Dinamika konsentrasi VFA yang dihasilkan tersebut menggambarkan adanya perbaikan proses fermentasi dalam media rumen dengan penambahan EDM yang mengandung senyawa DNJ. Penghambatan senyawa DNJ terhadap aktivitas enzim glukosidase tidak komplit (Gross et al. 1983) sehingga dapat melepas RAC secara perlahan dalam sistem rumen. Kemampuan ini akan menjaga kesinambungan penyediaan RAC, sehingga mikroba-mikroba penghasil enzim pencerna karbohidrat struktural dapat berkembang optimal.

Keterangan : --- = - EDM

= +EDM

Gambar 10 Dinamika konsentrasi VFA cairan rumen dengan substrat dan waktu fermentasi yang berbeda dan dengan atau tanpa penambahan ekstrak daun murbei. MALTOSA 0 30 60 90 120 150 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) mM GLUKOSA 0 30 60 90 120 150 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) mM SUKROSA 0 30 60 90 120 150 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) mM PATI 0 30 60 90 120 150 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) mM SELULOSA 0 30 60 90 120 150 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) mM LAKTOSA 0 30 60 90 120 150 2 4

Waktu Fermentasi (Jam) mM

Efektivitas EDM dan Daun Murbei dalam Sistem Rumen in vitro Substitusi Konsentrat dengan Tepung Daun Murbei

Pengaruh tingkat substitusi konsentrat dengan daun murbei pada pakan berbasis jerami padi terhadap nilai pH, konsentrasi amonia, VFA total dan produksi gas in vitro disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Nilai rataan pH, N-NH3, VFA total dan produksi gas secara in vitro pada

perlakuan tingkat penggunaan murbei

Peubah Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 pH 6.97+0.14 6.94+0.09 6.93+0.06 6.92+0.07 6.92+0.07 N-NH3 (mM) 13.52+4.93 12.55+5.56 11.81+4.96 10.81+4.64 13.93+6.02 VFA Total (mM) 82.85 c +17.39 105.54ab+12.02 114.68ab+6.99 122.46a+7.88 98.27bc+20.30 Produksi Gas (ml) 43.25+11.18 48.75+10.40 49.25+9.84 52.25+08.54 53.50+16.76 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

P0 = 50% jerami padi + 50% konsentrat (kontrol)

P1 = 50% jerami padi + 37.5 % konsentrat + 12.5 % murbei P2 = 50% jerami padi + 25% konsentrat + 25 % murbei P3 = 50% jerami padi + 12.5% konsentrat + 37.5% murbei P4 = 50 % jerami padi + 50 % murbei

Nilai pH rumen terendah umumnya dicapai antara dua sampai enam jam setelah makan (Dehority & Tirabasso 2001). Nilai pH yang diukur setelah 4 jam fermentasi dikategorikan ke dalam pH optimal yakni pada kisaran 6.9 sampai 7.0. Hal tersebut menjadi salah satu indikator terjadinya proses degradasi pakan yang baik, karena pada pH tersebut mikroba penghasil enzim pencerna serat kasar dapat hidup secara optimum dalam rumen (Jean-Blain 1991).

Pemberian tepung daun murbei sebagai pengganti konsentrat tidak mengganggu keseimbangan mikroorganisme rumen karena tidak menimbulkan perbedaan nyata pada nilai pH rumen antar perlakuan. Penggunaan daun murbei menggantikan seluruh konsentrat dalam ransum (P4) masih dapat mempertahankan kondisi pH media untuk kelangsungan proses fermentasi.

Sebagian besar mikroba rumen menggunakan amonia untuk prolifikasi diri, terutama dalam proses sintesis selnya. Dinamika konsentrasi amonia dalam cairan rumen menggambarkan efektivitas proses fermentasi. Konsentrasi amonia cairan rumen fermentasi setiap perlakuan yang diukur pada 4 jam setelah proses fermentasi berlangsung disajikan pada Tabel 12.

Tidak ada perbedaan konsentrasi amonia antar perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan memberikan efisiensi penggunaan amonia yang sama. Konsentrasi amonia yang dihasilkan dari keseluruhan perlakuan berkisar antara 10.81- 13.93 mM. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM. Konsentrasi amonia terendah dihasilkan dari perlakuan P3, meskipun konsentrasi amonia tersebut tidak berbeda nyata dengan P0, P1 dan P2.

Konsentrasi amonia yang rendah dalam cairan rumen dapat mencerminkan proses fermentasi yang berjalan baik sehingga amonia dimanfaatkan dengan baik, protein ransum sulit terdegradasi atau kandungan protein ransum rendah. Ransum pada setiap perlakuan adalah iso nitrogen, dengan kandungan protein kasar konsentrat sebesar 18.4%. Oleh karena itu rendahnya konsentrasi amonia yang dihasilkan dari penelitian ini mencerminkan proses fermentasi yang berjalan lebih baik.

Pencernaan karbohidrat dalam rumen menghasilkan produk utama berupa VFA yang menjadi sumber kerangka karbon bagi bakteri rumen serta sumber energi bagi ternak ruminansia. Produksi VFA total percobaan dapat dilihat pada Tabel 12. Konsentrasi VFA antar perlakuan berbeda nyata (P<0.05), berkisar antara 82.85-122.46 mM. Nilai tersebut masih berada pada kisaran konsentrasi VFA yang menunjang kondisi optimal sistem rumen. Konsentrasi VFA total berkisar 60 – 120 mM (Waldron et al. 2002). Perlakuan P3 menghasilkan konsentrasi VFA lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 122.46 mM, kemudian diikuti perlakuan P2 (114.68 mM), P1 (105.54 mM), P4 (98.26 mM), dan P0 (82.85 mM).

Ransum yang tidak menggunakan murbei (P0) menghasilkan VFA total lebih kecil dibandingkan dengan ransum yang mengandung murbei (P1 sampai P4). Hasil produksi VFA total mengindikasikan potensi daun murbei yang baik untuk digunakan

sebagai pakan ternak ruminansia, menggantikan penggunaan konsentrat, dengan bahan pakan dasar berupa sumber serat seperti jerami padi. Data produksi VFA total mengindikasikan terdapat konsentrasi optimum penggunaan murbei untuk menunjang proses fermentasi yang paling efektif. Hal ini tampak pada produksi VFA total tertinggi dicapai pada perlakuan P3, dan tidak berbeda nyata dengan P1 dan P2.

Produksi VFA yang semakin meningkat seiring dengan penggunaan daun murbei dalam ransum yang semakin tinggi, sampai level 37.5% dalam ransum (P0 sampai P3) mengindikasikan adanya peran murbei dalam meningkatkan kualitas fermentasi rumen. Peran murbei tersebut berkaitan dengan kemampuan senyawa DNJ yang terdapat pada daun murbei untuk menghambat hidrolisais karbohidrat mudah terdegradasi, sehingga sumber energi tersedia secara bertahap. Senyawa DNJ mampu menghambat hidrolisis oligosakarida namun penghambatannya tidak komplit (Mellor et al. 2002). Penggunaan murbei sampai level 50% dalam ransum cenderung mengurangi ketersediaan energi dalam rumen, ditandai dengan produksi VFA total yang menurun pada perlakuan P4, meskipun produksi VFA total P4 masih relatif lebih tinggi dibandingkan P0. Penggunaan daun murbei yang terlalu tinggi memungkinkan penghambatan degradasi karbohidrat oleh senyawa DNJ murbei dalam sistem rumen secara berlebihan, sehingga cenderung menurunkan ketersediaan sumber energi.

Konsentrasi VFA yang tinggi pada perlakuan P3 mengindikasikan pertumbuhan bakteri rumen pada perlakuan tersebut lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini ditunjang oleh konsentrasi amonia perlakuan P3 yang lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 10.81 mM. Tingginya produksi VFA yang diikuti dengan rendahnya konsentrasi amonia pada perlakuan P3 merupakan cerminan efisiensi penggunaan amonia oleh bakteri untuk sintesis protein mikroba dan pertumbuhan. Selanjutnya bakteri tersebut akan mencerna pakan untuk memproduksi VFA yang akan digunakan sebagai sumber energi untuk induk semang dan sumber karbon untuk bakteri itu sendiri.

Tingkat produksi gas mencerminkan efektivitas proses fermentasi. Semakin tinggi produksi gas, proses fermentasi semakin baik. Pengaruh perlakuan terhadap total gas yang diproduksi selama 48 jam fermentasi disajikan pada Tabel 12. Total produksi gas yang diperoleh berkisar dari 43.25 ml sampai 53.50 ml. Produksi gas tersebut berada

pada kisaran nilai total produksi gas yang dihasilkan dari penelitian in vitro terhadap daun murbei oleh Liu et al. (2002b) yang menghasilkan produksi gas sebanyak44.8 ml.

Produksi gas yang dihasilkan dari perlakuan P0 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P1 sampai P4. Meskipun total gas fermentasi yang dihasilkan dari P1 sampai P4 tidak berbeda nyata, akan tetapi ada kecenderungan peningkatan produksi gas dengan semakin tingginya penggunaan daun murbei dalam ransum. Kecenderungan produksi gas yang semakin meningkat tersebut sejalan dengan nilai pH yang cenderung semakin menurun serta produksi VFA total yang semakin meningkat dengan tingkat penggunaan daun murbei yang semakin tinggi.

Selain menghasilkan CH4 (gas metan), fermentasi dalam sistem rumen juga

menghasilkan CO2 dan H2. Gas CO2 dan H2 akan terproduksi bila karbohidrat di dalam

sistem rumen terfermentasi dan menghasilkan asetat dan butirat, sedangkan pada fermentasi yang menghasilkan propionat, dibutuhkan H2 (Orskov 1992). Komposisi

konsentrat yang tinggi pada ransum perlakuan P0 berdampak pada prediksi produksi propionat yang lebih tinggi. Karena itu produksi gas yang relatif lebih rendah pada P0 mengindikasikan penggunaan H2 pada proses pembentukan propionat.

Peningkatan produksi gas menjelaskan adanya potensi daun murbei untuk meningkatkan kualitas fermentasi dalam rumen. Peningkatan kualitas fermentasi diharapkan juga akan meningkatkan kecernaan sumber serat pakan seperti jerami bila dikombinasikan dengan murbei dalam ransum, sehingga nutrien sumber serat tersebut dapat termanfaatkan dengan baik. Laju produksi gas selama 48 jam fermentasi yang mengandung tepung daun murbei sebagai substitusi konsentrat pada pakan berbasis jerami padi disajikan pada Gambar 11.

Laju produksi gas setiap jam pengamatan pada semua perlakuan meningkat. Hal ini menjelaskan bahwa proses fermentasi terus berjalan. Laju produksi gas yang relatif lebih tinggi pada perlakuan P1 sampai P4 mencerminkan efektivitas fermentasi yang lebih baik, dibandingkan dengan P0. Daun murbei yang terdapat pada perlakuan P1 sampai P4 mendukung perbaikan kualitas fermentasi dalam media in vitro.

Gambar 11 Produksi gas selama 48 jam fermentasi ransum berbasis jerami padi yang mengandung tepung daun murbei sebagai substitusi

konsentrat.

Tingkat degradasi pakan dapat digunakan sebagai indikator kualitas pakan. Semakin tinggi degradasi bahan kering dan bahan organik pakan maka semakin tinggi nutrien yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Tingkat degradasi pakan yang diperoleh dari penelitian ini disajikan pada Gambar 12. Persentase degradasi bahan kering dari seluruh percobaan ini berkisar antara 46.0-58.3% dan degradasi bahan organik berkisar antara 44.5-57.8%. Tingkat degradasi bahan kering dan bahan organik tersebut berbeda nyata (P<0.05) antar perlakuan.

Penggunaan daun murbei dalam fermentasi in vitro mencapai tingkat optimal pada perlakuan P2, ditandai tingkat degdarasi bahan kering dan bahan organik tertinggi diperoleh pada perlakuan tersebut. Keseimbangan ketersediaan nutrien dalam media in vitro , khususnya sumber energi, dicapai pada perlakuan P2. Griswold et al. (2003) menyatakan bahwa penggunaan amonia oleh bakteri rumen dipengaruhi oleh ketersediaan energi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pertumbuhan mikroba rumen

0 10 20 30 40 50 60 2 4 8 12 24 48

Waktu Fermentasi (Jam)

P rod uk s i G a s ( m l) P0 P1 P2 P3 P4

yang optimum, dibutuhkan keseimbangan antara ketersediaan energi dan amonia dalam rumen. Penggunaan daun murbei dapat menyediakan sumber energi mudah difermentasi yang cukup secara bertahap.

Gambar 12 Degradasi bahan kering ( ) dan bahan organik ( ) ransum berbasis jerami padi yang mengandung tepung daun murbei sebagai substitusi konsentrat.

Penggunaan daun murbei dalam ransum berbahan dasar jerami padi akan meningkatkan efektivitas fermentasi dalam rumen. Seluruh peubah yang diamati mengindikasikan adanya perbaikan efektivitas fermentasi akibat kehadiran murbei dalam ransum. Nilai pH yang cenderung semakin rendah, produksi gas yang semakin

Dokumen terkait