• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Daun Tanaman Mangrove

Daun dapat dijadikan sebagai indikator keadaan dari suatu tanaman. Tanaman yang tumbuh pada lingkungan yang tidak optimal maka akan mempengaruhi bagian daunnya (Ai & Banyo 2011). Daun yang digunakan pada penelitian ini merupakan daun yang segar dan diambil dengan ukuran yang seragam. Daun diambil dari beberapa daerah di pesisir Utara Pulau Jawa. Gambar daun dari keenam jenis tanaman mangrove disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Daun mangrove: (a) daun S. caseolaris, (b) daun B. gymnorhiza, (c) daun A. marina, (d) daun R. apiculata, (e) daun R. stylosa, (f) daun R. mucronata

Daun mangrove yang digunakan merupakan daun yang memiliki kondisi baik. Daun dihilangkan kotoran dan tangkainya kemudian diambil sebanyak 30 helai untuk dilakukan pengukuran morfometrik. Hasil morfometrik disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Hasil pengukuran morfometrik daun mangrove

Sampel Panjang (cm) Lebar (cm) Bobot (g)

A. marina 7,70 ± 0,65 3,86 ± 0,31 0,66 ± 0,14 B. gymnorhiza 20,74 ± 1,58 8,02 ± 0,81 5,13 ± 0,71 R apiculata 17,01 ± 1,26 6,44 ± 0,48 3,29 ± 0,52 R .mucronata 18,38 ± 1,45 9,50 ± 0,88 5,99 ± 1,27 R. stylosa 11,47 ± 0,84 5,25 ± 0,38 3,15 ± 0,83 S. caseolaris 11,46 ± 1,26 4,45 ± 0,59 0,10 ± 0,23

Daun bakau yang diambil memiliki panjang dan lebar yang bervariasi sesuai dengan jenisnya. Data yang didapat menunjukkan daun yang digunakan merupakan daun yang cukup besar atau hampir dalam ukuran maksimal. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan FAO (2007) yakni daun B. gymnorhiza

d e f

9

memiki panjang berkisar 8-22 cm. Noor et al. (2006) menambahkan daun jenis

A. marina memiliki ukuran daun panjang 9 cm dan lebar 4,5 cm, jenis S. caseolaris memiliki panjang maksimal 13 cm dan lebar maksimal 5 cm, jenis

R. mucronata panjang maksimal mencapai 23 cm dan lebar maksimal 13 cm, dan jenis R. apiculata yang memiki panjang dan lebar maksimal 19 dan 8 cm. Daun jenis R. stylosa menurut Setyawan & Ulumudin (2012) memiliki panjang maksimal 12,5 cm dan lebar maksimal 7,5 cm.

Daun yang terpanjang di antara keenam jenis tanaman mangrove adalah daun jenis B. gymnorhiza dengan panjang rata-rata sebesar 20,74 cm dan lebar sebesar 8,02 cm. Panjang daun B. gymnorhiza tidak jauh berbeda dari apa yang dinyatakan FAO (2007) yakni daun B. gymnorhiza memiki panjang berkisar 8-22 cm.

Daun dengan ukuran terkecil dari seluruh sampel adalah jenis A. marina

yang memiliki panjang 7,7 cm dengan lebar 3,86 cm. Panjang daun jenis A. marina tidak jauh berbeda dari apa yang dinyatakan oleh Noor et al. (2006)

yakni daun A. marina memiliki panjang 9 cm dengan lebar 4,5 cm.

Karakteristik Buah Tanaman Mangrove

Buah merupakan bagian tanaman yang memiliki beberapa fungsi. Pada umumnya buah digunakan sebagai tempat menyimpan hasil fotosintesis, namun pada beberapa tanaman mangrove propagul buah digunakan sebagai alat reproduksi (Jamili et al. 2009). Buah bakau yang diuji dalam penelitian ini diambil dari tiga tempat yang berbeda. Gambar buah dari keenam jenis tanaman mangrove disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Buah mangrove: (a) buah S. caseolaris, (b) buah B. gymnorhiza, (c) buah A. marina, (d) buah R. apiculata, (e) buah R. stylosa, (f) buah R. mucronata

Buah mangrove dibersihkan dan dipotong bagian tangkainya. Buah yang telah bersih kemudian diukur berat, panjang dan diameternya sebanyak masing

a b c

10

masing 30 buah. Hasil pengukran morfometrik buah mangrove disajikan pada Tabel 2

Tabel 2 Hasil pengukuran morfometrik buah mangrove

Sampel Panjang (cm) Lebar (cm) Bobot (g)

A. marina 2,04 ± 0,30 1,37 ± 0,18 1,64 ± 0,45 B. gymnorhiza 20,60 ± 1,75 1,66 ± 0,17 39,82 ± 6,87 R. apiculata 25,79 ± 4,23 0,99 ± 0,14 17,38 ± 6,30 R. mucronata 43,29 ± 4,15 1,33 ± 0,14 42,93 ± 5,94 R. stylosa 35,20 ± 0,28 1,06 ± 0,25 31,65 ± 4,19 S. caseolaris 3,63 ± 0,69 5,22 ± 0,60 55,27 ± 14,21

Buah mangrove dari keenam jenis yang diteliti memiliki bentuk yang cukup beragam. Buah mangrove dari jenis S. caseolaris memiliki bentuk bulat sedangkan buah mangrove jenis R. stylosa, R. apiculata, R. mucronata, dan B. gymnorhiza memiliki bentuk yang memanjang. Buah mangrove jenis A. marina memiliki bentuk seperti buah mangga dalam ukuran yang lebih kecil.

Buah jenis B. gymnorhiza memiliki panjang berkisar 15-25 cm dengan diameter 1.5-2 cm. Buah R. mucronata memiliki panjang antara 40-70 cm dengan diameter 1-2 cm, dan buah R. apiculata memiliki panjang 25-30 cm (FAO 2007). Noor et al. (2006) menyatakan buah mangrove jenis A. marina memiliki ukuran panjang 2-3 cm, buah R. stylosa memiliki panjang 20-35 cm dan diameter 1-2 cm, dan buah S. caseolaris memiliki diameter 5-8 cm. Hal ini menunjukkan buah yang digunakan dalam penelitian ini termasuk buah yang sudah matang.

Buah yang memiliki nilai panjang terbesar adalah buah jenis R. mucronata dengan panjang rata-rata 43,29 cm dan lebar 1,33 cm. Panjang dan lebar buah yang digunakan tidak jauh berbeda dari apa yang dinyatakan FAO (2007) yakni panjang buah R. mucronata berkisar 40-70 cm.

Buah yang memiliki ukuran terkecil adalah buah jenis A. marina. Buah A. marina yang didapat memiliki panjang 2,04 cm dan lebar 1,37 cm. Panjang dan

lebar buah A. marina tidak jauh berbeda dari apa yang dinyatakan beberapa penelitian. Noor et al. (2006) menyatakan buah jenis A. marina memiliki panjang 2-3 cm.

Rendemen Ekstrak Tanaman Bakau

Ekstraksi merupakan salah satu cara untuk menarik unsur-unsur maupun komponen zat aktif yang ada dalam suatu bahan. Proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari suatu campuran dengan bantuan pelarut disebut ekstraksi (Harborne 1987). Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai pelarut sesuai dengan kepolarannya. Penelitian ini menggunakan pelarut polar yakni jenis methanol. Rendemen ekstrak adalah persentase hasil ekstrak dengan bahan baku yang digunakan. Semakin tinggi rendemen ekstrak maka semakin tinggi kandungan zat yang tertarik ada pada suatu bahan baku. Rendemen ektrak tanaman mangrove dapat dilihat pada Tabel 3.

11

Tabel 3 Rendemen ekstrak

Jenis Bagian Rendemen (%)

Avicennia marina Daun 6,59

Buah 12,59

Kulit Batang 9,37

Bruguiera gymnorhiza Daun 7,94

Buah 2,66

Kulit Batang 8,22

Rhizopora apiculata Daun 8,90

Buah 4,60

Kulit Batang 4,31

Rhizopora mucronata Daun 11,02

Buah 4,10

Kulit Batang 5,54

Rhizopora stylosa Daun 13,99

Buah 3,80

Kulit Batang 18,07

Sonneratia caseolaris Daun 6,24

Buah 4,29

Kulit Batang 4,10

Rendemen merupakan persentase bagian yang dapat dimanfaatkan. Berdasarkan hasil ekstraksi enam jenis tanaman mangrove, kulit batang R. stylosa yang memiliki rendemen paling tinggi yakni 18,07 %. Hal ini berbeda dari hasil yang ditunjukkan Batubara et al. (2010) yang menyatakan batang Rhizopora sp. memiliki rendemen 11 %.

Rendemen ekstrak dipengaruhi oleh jenis sampel, jenis pelarut, rasio pelarut, waktu dan suhu ekstraksi (Qusti et al. 2010). Perbedaan rendemen kulit batang Rhizopora stylosa diduga disebabkan perbedaan daerah pengambilan sampel. Tempat pengambilan sampel yang berbeda menyebabkan kandungan bahan berbeda satu sama lainnya.

Rendemen ekstrak buah Bruguiera gymnorhiza terendah dari semua jenis tanaman mangrove. Rendemen ekstrak buah B. gymnorhiza sebesar 2,66 %. Hasil ini berbeda dari hasil penelitian Sudirman (2013) yakni sebesar 9,94% untuk buah tua dan 6,83% untuk buah muda. Perbedaan ini diduga akibat perlakuan awal sampel yang berbeda. Sampel yang digunakan oleh Sudirman (2013) merupakan sampel kering dengan kadar air kurang lebih 10%, sedangkan sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan sampel segar. Bobot sampel segar tidak sama dengan bobot sampel kering karena masih tingginya kadar air di dalam sampel basah. Dugaan ini diperkuat dengan hasil penelitian Anwar et al. (2013), bahwa sampel yang dikeringkan menggunakan oven lebih tinggi rendemennya dibandingkan dengan sampel yang diangin-anginkan.

Nilai Toksisitas

Penentuan nilai toksisitas merupakan salah satu cara penapisan awal dalam pembuatan obat-obatan. Penentuan nilai toksisitas ini dilakukan dengan metode brine shrimp letal test. Meyer et al. (1982) menjelaskan uji BSLT

12

merupakan cara untuk memprediksi aktivitas sitotoksik dan senyawa yang bersifat racun dengan mudah dan sederhana. Menurut Mesnage et al. (2011) sitotoksik memilki arti sifat senyawa yang memiliki kemampuan dalam membunuh sel. Hasil uji toksisitas dari beberapa bagian tanaman mangrove dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji toksisitas

Jenis Bagian LC50 (µg/mL)

Avicennia marina Daun 863,69

Buah 924,23

Kulit Batang 1410,41

Bruguiera gymnorhiza Daun 1372,51

Buah 728,67

Kulit Batang 322,36

Rhizopora apiculata Daun 512,82

Buah 329,28

Kulit Batang 936,06

Rhizopora mucronata Daun 1404,36

Buah 327,09

Kulit Batang 774,66

Rhizopora stylosa Daun 814,66

Buah 518,11

Kulit Batang 215,11

Sonneratia caseolaris Daun 852,03

Buah 126,73

Kulit Batang 996,05

Hasil dari pengujian nilai toksisitas menunjukkan buah S. caseolaris memiliki nilai LC50 terendah yakni sebesar 126,73 µg/mL. Hal ini dapat dikatakan buah S. caseolaris memiliki senyawa yang lebih toksik diantara jenis sampel lainnya. Menurut Mclaughlin et al. (1998) nilai LC50 antara 31-200 ppm dapat dinyatakan sebagai senyawa toksik. Nilai LC50 pada buah S. caseolaris sasuai dengan hasil penelitian Bandarayake (2002) yang menyatakan bahwa buah S. caseolaris bersifat toksik pada larva nyamuk.

Aktivitas toksik yang ditemukan dalam uji BSLT menunjukkan senyawa tersebut memiliki potensi sebagai senyawa antikanker dan antitumor baru (Peteros & Mylene 2010). Hasil dari uji BSLT adalah nilai LC50 yangmemiliki arti bahwa konsentrasi yang dapat membunuh 50 % dari populasi total. Nilai LC50 yang dihasilkan pada penelitian kali ini belum dapat dikatakan sebagai bahan yang berpotensi sebagai antitumor. Mojica & Micor (2007) mengungkapkan untuk menjadi zat yang efektif dalam menjadi obat kanker harus memiliki nilai LC50 diantara atau lebih rendah dari 30 ppm.

Nilai toksisitas dipengaruhi oleh kandungan aktif dari suatu bahan. Hasil toksisitas buah S. caseolaris juga diduga akibat senyawa aktif yang terkandung di dalamnya. Menurut Wu et al. (2009) sebagian besar kandungan buah S. caseolaris adalah senyawa triterpenoid. Senyawa triterpenoid yang tinggi memiliki pengaruh terhadap nilai toksisitas buah S. caseolaris. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Anaya et al. (2003) yakni senyawa triterpenoid dari C. acuminata

13

memiliki efek merusak organ perasa pada Artemia salina sehingga menghentikan asupan makanannya. Peteros & mylene (2010) menyatakan nilai LC50 bervariasi akibat perbedaan dalam jumlah zat aktif. Jenis zat aktif yang mempengaruhi nilai toksisitas adalah tanin, flavonoid, dan triterpenoid. Mojica & Micor (2007) dalam penelitiannya tentang tanaman pantai Barringtonia asiatica menambahkan nilai LC50 dipengaruhi oleh zat aktif saponin.

Aktivitas Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menunda dan memperlambat aktivitas oksidasi. Antioksidan juga membantu tubuh dalam menangkal radikal bebas yang ada di lingkungan. Molyneux (2004) menyatakan antioksidan bekerja berdasarkan mekanisme menyumbangkan satu atau lebih elektron untuk meredam radikal bebas. Astuti (2008) menambahkan radikal bebas yang berikatan dengan molekul protein maupun lemak di dalam sel akan menyebabkan kerusakan pada sel.

Antioksidan dapat diketahui aktivitasnya dengan menggunakan uji DPPH. Zheng et al. (2011) menyatakan aktivitas antioksidan dinyatakan dengan presentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko dikurangi absorbansi sampel. Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah inhibitor concentration (IC50). Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%. Molyneux (2004) menyatakan bahwa semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Hasil IC50 dari keenam jenis tanaman mangrove dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji aktivitas antioksidan

Jenis Bagian IC50 (µg/mL)

Avicennia marina Daun 101,78

Buah 477,34

Kulit Batang 93,99

Bruguiera gymnorhiza Daun 59,17

Buah 24,90

Kulit Batang 19,11

Rhizopora apiculata Daun 102,05

Buah 25,53

Kulit Batang 6,51

Rhizopora mucronata Daun 20,77

Buah 6,65

Kulit Batang 13,39

Rhizopora stylosa Daun 21,15

Buah 65,12

Kulit Batang 7,23

Sonneratia caseolaris Daun 37,70

Buah 55,39

Kulit Batang 3,03

Ekstrak kulit batang S. caseolaris memiliki nilai IC50 yang cukup rendah

yakni sebesar 3,03 µg/mL. Hasil penelitian lain yang telah dilakukan oleh Milon et al. (2012) menyatakan bahwa kulit batang S. caseolaris memiliki nilai

14

IC50sebesar 14 µg/mL. Menurut Molyneux (2004), nilai IC50 kurang dari 50 ppm dapat dinyatakan sebagai antioksidan sangat kuat.

Nilai aktivitas antioksidan banyak dipengaruhi oleh senyawa aktif yang ada di dalam suatu bahan. Salah satu senyawa aktif yang mampu berperan sebagai antioksidan adalah fenol. Hakim et al. (2008) menyatakan fenol merupakan kelompok antioksidan yang penting guna menghambat terjadinya oksidasi pada jaringan tubuh.

Kemampuan antioksidan kulit batang S. caseolaris diduga akibat tingginya kandungan fenol yang ada. Hasil penelitian Suh et al. (2004) yakni kandungan fenol di kulit batang S. caseolaris yang hampir mencapai dua kali lipat dari kandungan fenol teh hijau. Total fenol yang terkandung di dalam ekstrak metanol kulit batang S. caseolaris sebesar10,58 mg/g, sedangkan total fenol yang ada pada ekstrak metanol teh hijau sebesar 6,29 mg/g.

Nilai IC50 tertinggi dari seluruh sampel adalah buah Avicennia marina dengan nilai IC50 sebesar 477,34 µg/mL. Hasil ini dapat dikategorikan buah A. marina tidak memiliki kemampuan antioksidan. Hasil ini berbeda dengan hasil yang ditemukan oleh Bunyapraphatsara (2003) pada buah Avicennia alba. Nilai IC50 pada buah Avicennia alba adalah sebesar 20,67 µg/mL

Antioksidan dalam tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor internal maupun eksternal. Qusti et al. (2010) pada penelitiannya tentang antioksidan pada madu dan minyak zaitun menyatakan bahwa perbedaan aktivitas antioksidan dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yakni varietas tanaman, kondisi tempat tumbuh, tingkat kematangan, musim, lokasi geografis yang berbeda, jenis tanah dan jumlah sinar matahari yang diterima. Yulianto & Widyaningsih (2013) menambahkan kandungan kimia dalam tanaman cincau hitam, jahe, dan kayu manis dipengaruhi oleh faktor cara pemeliharaan tanaman, cara pemanenan, kematangan pada waktu panen, dan kondisi penyimpanan setelah panen.

Hasil uji aktivitas antioksidan dipilih yang terbaik untuk kemudian dilakukan uji selanjutnya yakni uji inhibitor tirosinase. Uji inhibitor tirosinase dilakukan untuk mengetahui ekstrak yang mampu menghambat enzim tirosinase.

Sampel yang diuji inhibitor tirosinase adalah bagian daun R. stylosa, daun R. apiculata, daun R. mucronata dan kulit batang S. caseolaris.

Inhibitor Tirosinase

Uji aktivitas inhibitor tirosinase merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak dalam menghambat jalannya melanogenesis. Melanogenesis adalah seluruh proses yang mengarah pada pembentukan pigmen makromolekul gelap, yakni melanin (Chang 2009). Tirosinase yang merupakan enzim biosintesis melanin, akan dihambat sehingga menurunkan produksi melanin (Hartanti & Setiawan 2009). Hasil uji inhibitor tirosinase dinyatakan dengan nilai IC50. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi dimana ekstrak mampu menghambat aktivitas tirosinase sebesar 50%.

Pigmen dikatalisasi oleh enzim tirosinase melalui dua reaksi yang berbeda. Reaksi yang pertama adalah proses autooksidasi dari tirosin (monofenolase) menjadi 3,4-dihidroksiphenilalanin atau DOPA. Reaksi ini disebut aktivitas menofenolase. Reaksi kedua adalah aktivitas oksidasi DOPA menjadi dopaquinon

15

yang dinamakan aktivitas difenolase (Batubara et al. 2010). Hasil dari oksidasi keduanya akan menghasilkan pigmen berwarna hitam, merah, atau coklat. Hasil uji inhibitor tirosinase dari keempat jenis mangrove ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil uji inhibitor tirosinase

Jenis Bagian Monofenolase

(µg/mL)

Difenolase (µg/mL)

Sonneratia caseolaris Kulit batang 117,67 364,10

Rhizopora stylosa Daun >2000 >2000

Rhizopora mucronata Daun 508,69 >2000

Rhizopora apiculata Daun >2000 >2000

Hasil inhibitor tirosinase yang ditunjukkan pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa nilai inhibitor tirosinase tertinggi dimiliki oleh kulit batang S. caseolaris dengan nilai IC50 sebesar 117,674 µg/mL untuk monofenolase dan untuk difenolase sebesar 364,10 µg/mL. Hasil inhibitor tirosinase pada kulit batang tanaman mangrove jenis lain memiliki hasil yang berbeda. Hasil penelitian Batubara et al. (2010) menyatakan IC50 batang dari Rhizopora sp. dan jenis Xylocarpus granatum masing-masing sebesar 108,2 µg/mL dan 215,1 µg/mL untuk monofenolase, sedangkan untuk difenolase sebesar 124 µg/mL dan sebesar 199,7 µg/mL.

Nilai IC50 pada kulit batang S. caseolaris cukup baik, namun cukup berbeda jika dibandingkan asam kojat yang biasa digunakan sebagai pencerah kulit. Nilai IC50 monofenolase asam kojat sebesar 11,18 µg/mL dan difenolase sebesar 63,64 µg/mL. Perbedaan hasil ini diduga karena asam kojat merupakan senyawa murni sehingga memiliki kemampuan menghambat enzim tirosinase yang lebih baik.

Kemampuan suatu bahan baku untuk menghambat tirosinase dipengaruhi oleh komponen aktif yang terkandung di dalamnya. Flavonoid merupakan senyawa aktif yang memiliki kemampuan dalam menghambat enzim tirosinase. Simlai et al. (2014) menyatakan kandungan senyawa aktif tertinggi di dalam ekstrak kulit batang S. caseolaris adalah flavonoid sebesar 90,04 mg/g berat kering. Chang (2009) menyatakan flavonoid mampu bersifat kompetitor terhadap enzim tirosinase sehingga mampu menghambat tirosinase.

Ekstrak Terbaik

Ekstrak kasar dari enam jenis mangrove yakni jenis Avicennia marina,

Bruguiera gymnorhiza, Rhizopora stylosa, Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, dan Sonneratia caseolaris diuji toksisitas dan antioksidan.

Hasil terbaik dari kedua uji tersebut yakni daun Rhizopora stylosa, daun Rhizophora apiculata, daun Rhizopora mucronata, dan kulit batang jenis

Sonneratia caseolaris diuji inhibitor tirosinase. Hasil keseluruhan akan dibandingkan sehingga menghasilkan ekstrak terbaik. Hasil dari kandidat ekstrak terpilih disajikan pada Gambar 4.

16

Gambar 4 Nilai antioksidan, inhibitor tirosinase, dan toksisitas, (A) kulit batang S. caseolaris, (B) Daun R. stylosa, (C) Daun R. mucronata, (D) Daun R. apiculata

Gambar 4 diatas menunjukkan hasil dari uji antioksidan, toksisitas, dan aktivitas inhibitor tirosinase. Uji antioksidan dan uji inhibitor tirosinase memiliki keterkaitan. Hal ini dapat dilihat semakin baik aktivitas antioksidan diikuti dengan semakin baiknya kemampuan dalam inhibitor tirosinase.

Senyawa yang memiliki kemampuan antioksidan dilaporkan dapat pula menghambat enzim tirosinase. Chang (2009) menyatakan penghambatan aktivitas enzim tirosinase dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah menghentikan proses oksidasi yang mengubah kembalinya dopa menjadi dopaquinon sehingga mengurangi terbentuknya dopakrom dan melanin. Senyawa yang melakukan penghambatan melalui proses ini salah satunya adalah asam askorbat.

Beberapa senyawa aktif yang ada pada kulit batang Sonneratia caseolaris memiliki kemampuan antioksidan, maupun inhibitor tirosinase. Redha (2010) menyatakan senyawa flavonoid memiliki kemampuan untuk mendonorkan atom hidrogennya sebagai antioksidan. Chang (2009) menambahkan senyawa flavonoid yang memiliki kamampuan sebagai antioksidan juga memiliki kemampuan dalam menghambat enzim tirosinase. Senyawa flavonoid yang merupakan golongan fenolik mampu digunakan sebagai inhibitor tirosinase.

Tanin juga merupakan senyawa aktif yang memiliki kemampuan dalam antioksidan maupun inhibitor tirosinase. Hagerman (1998) menyatakan senyawa tanin yang memiliki kemampuan antioksidan juga memiliki kemampuan dalam menghambat enzim tirosinase. Pernyataan ini diperkuat oleh Kim (2004) yakni golongan fenolik yang salah satunya tanin memiliki kemampuan dalam melakukan depigmentasi.

Gambar 4 menunjukkan ekstrak kulit batang Sonneratia caseolaris memiliki nilai toksisitas yang cukup rendah yakni 996,08 µg/mL. Menurut Mclaughlin et al. (1998) nilai LC50 201-1000 ppm dikategorikan sebagai toksik rendah. Kulit batang Sonneratia caseolaris yang memiliki nilai toksisitas rendah, dengan nilai antioksidan dan inhibitor tirosinase monofenolase maupun difenolase

3.0303 21.153 20.77 102.05 996.0679365 814.6627 1404.3646 512.8241 117.674 0 508.6982 0 364.9969 0 0 0 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 A B C D

Antioksidan Toksisitas Monofenolase Difenolase

K ons ent ra si (pp m ) (ppm )(p pm )

17

yang cukup baik menjadikan ektrak ini kandidat terbaik sebagai senyawa yang dapat digunakan bagi keperluan obat obatan.

Komponen Aktif Ekstrak Terbaik

Ekstrak kasar didapat dari proses maserasi menggunakan orbital shaker selama 24 jam menggunakan metanol. Hasil ekstrak kasar kemudian di uji fitokimia untuk mengetahui komponen aktifnya. Uji ini dilakukan untuk mengetahui senyawa yang terkandung pada ekstrak terbaik. Senyawa aktif atau yang biasa disebut metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-beda antara spesies yang satu dan lainnya (Rasyid 2012). Metabolit sekunder ini sangat berguna bagi manusia, salah satunya adalah sebagai obat-obatan. Uji komponen aktif yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, tanin, fenol hidrokuinon, dan triterpenoid. Hasil uji komponen aktif pada ekstrak kulit batang S. caseolaris dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil fitokimia ekstrak kasar kulit batang S. caseolaris

Uji Hasil Alkaloid (a) Dragendorff (b) Meyer (c) Wagner Tanin - - - + Saponin + Fenol hidrokuinon + Flavonoid Steroid Triterpenoid + - - Keterangan: (+) Terdeteksi (-) Tidak Terdeteksi

Hasil pengujian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa ekstrak kasar kulit batang mengandung tannin, saponin, fenol hidrokuinon, dan flavonoid. Produksi metabolit sekunder banyak diakibatkan oleh tekanan dan rangsangan lingkungan. Verpoorte & Alfermann (2000) menjelaskan bahwa fungsi metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan penyakit, menarik polinator, dan sebagai molekul sinyal. Simlai et al. (2014) yang menyatakan bahwa ekstrak kulit batang Sonneratia caseolaris mengandung tannin, fenol, flavonoid, dan saponin.

Mangrove dikenal sebagai sumber tanin yang baik (Banarjee et al. 2008). Hal ini terbukti dari senyawa tanin yang terdeteksi pada ekstrak kulit batang Sonneratia caseolaris cukup tinggi. Senyawa tanin terdeteksi dengan munculnya warna hijau kehitaman pada ekstrak yang diujikan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Simlai et al. (2014) yakni tanin yang ada pada kulit batang S.

18

caseolaris cukup tinggi. Total tanin yang dideteksi mencapai 48,04 mg/g berat kering.

Kandungan tanin yang cukup tinggi mempengaruhi hasil antioksidan yang didapat. Hagerman (1998) menyatakan bahwa tanin mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas. Tanin sangat efektif sebagai pendonor elektron/atom hidrogen dan pengkelat logam, sebab senyawa ini memiliki gugus hidroksil dan ikatan rangkap terkonjugasi yang memungkinkan terjadinya delokalisasi elekron. Hal ini menyebabkan kulit batang memiliki aktivitas antioksidan yang cukup baik. Kulit batang Sonneratia caseolaris yang tinggi akan tanin juga memiliki pengaruh terhadap hasil inhibitor tirosinase. Tanin merupakan salah satu golongan polimer dari komponen fenolik (Harborne 1987). Golongan fenolik memiliki kemampuan depigmentasi, karena memiliki struktur kimia yang mirip dengan tirosin yang merupakan substrat dari reaksi tirosin-tirosinase (Kim et al. 2004).

Flavonoid merupakan senyawa kimia yang banyak ditemukan pada tanaman mangrove. Flavonoid memiliki fungsi sebagai pelindung tanaman dari kerusakan akibat sinar ultraviolet. Kandungan flavonoid pada tanaman lebih tinggi apabila tanaman terpapar sinar ultraviolet (uv) secara terus menerus (Sisa et al. 2010). Ekstrak kulit batang Sonneratia caseolaris diketahui memiliki kandungan flavonoid yang cukup tinggi. Menurut penelitian Simlai et al. (2014) kulit batang S. caseolaris kaya akan kandungan flavonoid yakni sebesar 90,04 mg/g berat kering.

Flavonoid merupakan senyawa golongan fenolik yang memiliki kemampuan dalam menangkal radikal bebas, maupun menghambat enzim tirosinase. Flavonoid mampu dikatakan sebagai sumber antioksidan akibat kemampuannya dalam mendonorkan atom hidrogen atau kemampuannya dalam mengkelat logam (Redha 2010). Akhlghi dan Bandy (2009) menambahkan bahwa falvonoid mampu mengkelat logam sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi redoks yang menghasilkan senyawa radikal bebas.

Senyawa aktif flavonoid juga mampu menghambat enzim tirosinase. Menurut Chang (2009) tujuh grup dari flavonoid mampu menjadi inhibitor tirosinase. Flavonoid mampu bersifat kompetitor terhadap tirosinase pada saat oksidasi L-DOPA oleh enzim tirosinase

Uji komponen aktif pada ekstrak kulit batang Sonneratia caseolaris menunjukkan hasil positif pada uji saponin. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya busa yang stabil setelah dilakukan pengocokan. Saponin dapat dideteksi

Dokumen terkait