• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Total Antosianin Monomerik

Hasil pengujian kandungan total antosianin monomerik (metode perbedaan pH) dari buah duwet segar yang matang rata-rata sebesar 161 mg/100 g buah segar (bb). Kandungan total antosianin monomerik buah duwet dari Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan buah duwet dari brazil rata-rata sebesar 211 mg/100g buah segar (Faria et al. in press). Bagian kulit buah duwet matang mengandung antosianin rata-rata sebesar 731 mg/100 g kulit buah (bb). Kandungan antosianin pada bagian kulit buah memiliki kandungan ~4,5 kali lebih banyak dibandingkan pada buah utuh yang segar. Hal ini menunjukkan bahwa bagian kulit buah duwet berpotensi untuk digunakan sebagai sumber antosianin. Antosianin yang terkandung dalam buah duwet banyak terakumulasi pada bagian kulit buah yang ditunjukkan berwarna ungu kehitaman. Sesuai yang dinyatakan oleh Bridle dan Timberlake (1997) dan Giusti dan Wrolstad (2003), salah satu ciri khas adanya kandungan antosianin pada bagian tanaman adalah warna biru, ungu, violet, dan merah.

Beberapa buah dan sayuran lainnya yang juga mengandung antosianin disajikan pada Tabel 3.1. Kandungan antosianin buah duwet segar (161 mg/100 g buah segar) lebih tinggi dibandingkan apel, kubis merah, plum, bawang merah, lobak merah, dan strawberi yang mengandung antosianin pada kisaran nilai antara 2-60 mg/g buah segar, namun lebih rendah dibandingkan dengan bilberry

(300-320 mg/100 g buah segar). Kandungan antosianin buah duwet segar di dalam kisaran nilai kandungan antosianin dari blackberry, black currant,

cranberry, blueberry, dan anggur dengan kisaran nilai 25-600 mg/g buah segar. Kulit buah duwet mengandung antosianin lebih tinggi dibandingkan pada anggur yang mengandung antosianin pada kisaran nilai 6-600 mg/100 g. Nilai kisaran ini merupakan kandungan antosianin buah anggur utuh dan kulit anggur. Kulit anggur digunakan sebagai bahan baku untuk pewarna antosianin komersial (enosianin) yang banyak digunakan untuk mewarnai produk pangan. Kulit buah duwet dengan kandungan antosianin yang tinggi juga berpotensi digunakan sebagai bahan baku untuk pewarna alami berbasis antosianin.

Tabel 3.1 Kandungan antosianin beberapa buah dan sayuran Buah dan sayuran Kandungan antosianin (mg/100 g)*

Apel 10 Bawang merah 7-21 Plum 2-25 Kubis merah 25 Stroberi 15-35 Lobak merah 11-60 Cranberry 60-200 Bilberry 300-320 Blackberry 83-326 Black currant 130- 400 Blueberry 25-495 Anggur 6-600

*Kandungan antosianin dinyatakan sebagai bobot buah/sayuran segar

Sumber: Mazza dan Miniati (1993); Clifford (2000).

Identifikasi Jenis dan Komposisi Antosianin

Komposisi Antosianidin

Analisis antosianidin merupakan pendekatan awal yang diperlukan untuk mendapatkan informasi jenis aglikon antosianin (antosianidin). Identifikasi awal menjadi lebih mudah karena hanya terdapat 6 antosianidin utama yang ditemukan pada bahan pangan, yaitu pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin (Brouillard 1982; Hong & Wrolstad 1990a). Hidrolisis dari antosianin buah duwet terpurifikasi menghasilkan 5 antosianidin yang dipisahkan menggunakan KCKT-DAD dideteksi pada panjang gelombang 520 nm (Gambar 3.1). Identifikasi dilakukan dengan membandingkan waktu retensi dan spektrum

( vis-maks) dari antosianidin buah duwet dengan standar antosianidin (delfinidin, sianidin, dan pelargonidin). Selain itu, kromatogram KCKT dari antosianidin buah duwet juga dibandingkan dengan antosianidin dari anggur (concord grape) yang diperoleh dari pustaka (Ordaz-Galindo et al. 1999; Durst & Wrolstad 2001). Lebih lanjut menurut Hong dan Wrolstad (1990a), pada pemisahan antosianidin dengan sistem KCKT fase terbalik, urutan elusi dari antosianidin (aglikon) dapat diprediksi berdasarkan jumlah fenolik hidrofilik dan gugus metoksil hidrofobik, dengan urutan elusi adalah delfinidin, sianidin, petunidin, pelargonidin, peonidin, dan malvidin.

Gambar 3.1 Kromatogram KCKT dari antosianin buah duwet terhidrolisis asam (antosianidin): (1) delfinidin, (2) sianidin, (3) petunidin,

(4) peonidin, dan (5) malvidin.

Lima antosianidin yang terdapat pada buah duwet adalah delfinidin (41%), sianidin (7%), petunidin (27%), peonidin (2%), dan malvidin (23%). Delfinidin, petunidin, dan malvidin merupakan antosianidin utama. Kandungan antosianidin pada buah duwet memiliki komposisi antosianidin yang sama dengan anggur (red dan concord grape), namun berbeda dalam persentase relatifnya. Antosianidin utama pada anggur concord adalah delfinidin dan sianidin (Ordaz-Galindo et al. 1999; Durst & Wrolstad 2001; Wu & Prior 2005a). Ciri kromatogram KCKT dan spektrum antosianidin buah duwet ditabulasi pada Tabel 3.2, sedangkan struktur kimia dari kelima antosianidin buah duwet ditampilkan pada Gambar 3.2.

Tabel 3.2 Ciri kromatogram KCKT dan spektrum dari antosianin buah duwet terhidolisis asam (antosianidin)

Puncak tR a

(menit) % Relatif antosianidinb vis-maksc(nm) Antosianidin

1 7,37 41 531 delfinidin 2 11,35 7 524 sianidin 3 12,73 27 533 petunidin 4 16,96 2 526 peonidin 5 17,84 23 535 malvidin a tR, waktu retensi b

persen relatif antosianidin didasarkan pada total luas puncak

c

panjang gelombang daerah visibel yang menghasilkan nilai absorbans maksimum.

0,0 2,5 5,0 7,5 10,0 12,5 15,0 17,5 20,0 Waktu retensi (menit)

2 4 A b s o rb a n s ( 5 2 0 n m ) 1 3 5

Gambar 3.2 Struktur antosianidin buah duwet. Struktur antosianidin berdasarkan sitasi dari Brouillard (1982).

Komposisi Antosianin

Gambar 3.3 menampilkan kromatogram KCKT dari antosianin buah duwet terpurifikasi yang dideteksi menggunakan detektor diode array pada panjang gelombang 520 nm. Hasil pemisahan antosianin dengan KCKT-DAD diperoleh 5 puncak antosianin (Gambar 3.3) yang memiliki jumlah puncak yang sama dengan hasil pemisahan pada antosianidin (Gambar 3.1), sehingga 5 puncak antosianin dapat diidentifikasi secara berurutan sebagai delfinidin glikosida (puncak 1), sianidin glikosida (puncak 2), petunidin glikosida (puncak 3), peonidin glikosida (puncak 4), dan malvidin glikosida (puncak 5). Secara umum Hong dan Wrolstad (1990a); Durst dan Wrolstad (2001) menjelaskan bahwa identifikasi antosianin pada sistem KCKT fase terbalik didasarkan pada relatif hidrofobisitas dari antosianin serta tingkat glikosidasi (tri, di, dan mono-glikosida) dan jenis gula yang terkonjugasi (heksosa dan pentosa). Pola elusi antosianin pada sistem KCKT fase terbalik adalah antosianin dengan substitusi tri-glikosida dielusi sebelum di-glikosida dan di-glikosida dielusi sebelum mono-glikosida. Sementara itu, glikosida dari heksosa lebih polar dan terelusi lebih dahulu daripada glikosida gula pentosa. Urutan elusi dari aglikon didasarkan pada gugus fenolik hidrofilik dan metoksil hidrofobik.

Data spektrum memberikan informasi tentang keberadaan gugus asil pada molekul antosianin. Keberadaan gugus asil asam organik aromatik dapat dideteksi dengan adanya puncak pada spektrum pada daerah panjang gelombang 310-340 nm (Harborne 1958; Hong & Wrolstad 1990a). Pada setiap spektrum antosianin buah duwet tidak ditemukan absorbans maksimum pada

sianidin

peonidin delfinidin

malvidin

daerah 310-340 nm yang mengindikasikan tidak ada asilasi asam organik aromatik (asam sinamat) pada antosianin buah duwet.

Gambar 3.3 Kromatogram KCKT dari antosianin buah duwet yang telah dipurifikasi: (1) delfinidin glikosida, (2) sianidin glikosida, (3) petunidin glikosida, (4) peonidin glikosida, dan (5) malvidin glikosida.

Selain itu, informasi mengenai pola substitusi glikosidasi antosianin juga dapat diperoleh dari data spektrum. Pola substitusi 3-glikosida dan 3,5-diglikosida memiliki spektrum visibel maksimum yang sama tetapi menunjukkan perbedaan pada daerah 400-460 nm. Umumnya digunakan nisbah A440/Avis-maks untuk menunjukkan perbedaan karakteristik spektrum dari 3-glikosida dan diglikosida; 3-glikosida menunjukkan nisbah dua kali lebih besar daripada 3,5-diglikosida. Apabila nisbah lebih besar dari ~0,3 (30%), maka antosianin diidentifikasi sebagai 3-glikosida dan apabila nisbah lebih kecil dari 0,2 (20%) maka antosianin diidentifikasi sebagai 3,5-diglikosida (Harborne 1958; Harborne 1967; Hong & Wrolstad 1990a). Pada Tabel 3.3 dicantumkan nilai nisbah A440/A vis-maks dari masing-masing antosianin buah duwet. Nilai nisbah A440/A vis-maks berkisar 10-17%. Nilai nisbah ini menunjukkan bahwa seluruh antosianin buah duwet mengandung glikosida pada posisi 3 dan 5 (3,5-diglikosida).

Keberadaan substituen glikosidik pada posisi 5 juga dikonfirmasi dengan berpendarnya antosianin buah duwet di bawah radiasi ultraviolet 366 nm (Francis 1982), Gambar 3.4. Antosianin buah duwet (baris 1) semuanya berpendar di bawah radiasi ultraviolet, hal ini menunjukkan bahwa semua antosianin buah duwet mempunyai substituen glikosidik yang berikatan pada posisi 5. Antosianin

Waktu retensi (menit)

0,0 2,5 5,0 7,5 10,0 12,5 15,0 17,5 20,0 2 4 5 A b s o rb a n s ( 5 2 0 n m ) 1 2 3 4 5

kubis merah (baris 2) kebanyakan mengandung antosianin bentuk mono-glikosida dan hanya sedikit mengandung substituen glikosidik posisi 5 yang berpendar di bawah radiasi ultraviolet. Pemisahan antosianin pada KLT hanya bagian atas yang berpendar. Antosianin stroberi (baris 3) semuanya dalam bentuk mono-glikosida sehingga tidak menunjukkan senyawa berpendar di bawah radiasi ultraviolet.

Tabel 3.3 Ciri kromatogram KCKT dan spektrum dari antosianin buah duwet Puncak tRa (menit) % Relatif

antosianinb vis-maks c (nm) A440/Avis-maks d Antosianine 1 3,14 41 524 0,15 (15%) dpd-3,5-diglukosida 2 3,64 4 516 0,16 (16%) cyd-3,5-diglukosida 3 3,88 28 525 0,17 (17%) ptd-3,5-diglukosida 4 4,89 1 520 0,16 (16%) pnd-3,5-diglukosida 5 5,35 26 526 0,10 (10%) mvd-3,5-diglukosida a tR, waktu retensi b

persen relatif antosianin didasarkan pada total luas puncak

c

panjang gelombang daerah visibel yang menghasilkan nilai absorbans maksimum

d

nisbah nilai absorbans pada panjang gelombang 440 nm dengan nilai absorbans maksimum pada panjang gelombang daerah visibel

e

dpd, delfinidin; cyd, sianidin; ptd, petunidin; pnd, peonidin; mvd, malvidin.

1 2 3

Gambar 3.4 Antosianin duwet (1), kubis (2), dan stroberi (3) dibawah radiasi ultraviolet (366 nm), pemisahan antosianin dengan KLT-ODS.

Identifikasi gula dengan kromatografi lapis tipis (KLT-gel silika) menunjukkan bahwa gula yang berikatan pada antosianin buah duwet adalah glukosa yang ditunjukkan mempunyai nilai Rf yang sama dengan standar glukosa. Identifikasi jenis gula (glukosa) yang berikatan pada antosianin buah duwet juga diperkuat dengan hasil identifikasi gula dari peneliti sebelumnya Brito

1 2 3

Gambar 3.5 Pemisahan gula dengan KLT-silika. (1) gula pada antosianin buah duwet, (2) standar glukosa, (3) standar galaktosa.

Dari semua informasi yang diperoleh, dapat diidentifikasi bahwa semua antosianin pada buah duwet dalam bentuk 3,5-diglukosida tanpa adanya asilasi dari asam sinamat. Oleh karena itu, puncak 1, 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut dapat diidentifikasi sebagai delfinidin-3,5-diglukosida (41%), sianidin-3,5-diglukosida (4%), petunidin-3,5-diglukosida (28%), peonidin-3,5-diglukosida (1%), dan malvidin-3,5-diglukosida (26%). Antosianin utama buah duwet ialah delfinidin-3,5-diglukosida, petunidin-3,5-delfinidin-3,5-diglukosida, dan malvidin-3,5-diglukosida. Struktur antosianin yang terkandung dalam buah duwet disajikan pada Gambar 3.6. Besarnya nilai persen relatif dari delfinidin dan petunidin (69%) dapat juga dikonfirmasi oleh adanya pergeseran batokromik setelah penambahan AlCl3 pada ekstrak terpurifikasi (Markakis 1982; Jackman & Smith 1996).

Gambar 3.6 Struktur antosianin buah duwet.

Nilai persen relatif dari setiap antosianidin (Tabel 3.2) dan antosianin (Tabel 3.3) yang hampir sama menunjukkan bahwa kedua metode yang

R1

R2

sianidin-3,5-diglukosida R1 = OH, R2 = H (orange - merah) delfinidin-3,5-diglukosida R1 = R2 = OH (biru - merah) malvidin-3,5-diglukosida R1 = R2 = OCH3 (biru - merah) peonidin-3,5-diglukosida R1 = OCH3, R2 = H (orange - merah) petunidin-3,5-diglukosida R1 = OH, R2 = OCH3 (biru - merah)

digunakan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Perbedaan hanya ditemukan pada waktu retensi, dengan antosianidin menunjukkan waktu retensi yang lebih lama dibandingkan antosianin. Hal ini berhubungan dengan ciri kepolaran dari kedua molekul. Antosianidin bersifat nonpolar dan antosianin bersifat polar karena adanya gugus gula (diglukosida).

Hasil identifikasi antosianin pada penelitian ini menunjukkan kesamaan hasil seperti yang dilakukan oleh Brito et al. (2007) yang juga mengidentifikasi antosianin buah duwet yang tumbuh di Brazil. Identifikasi dilakukan menggunakan KCKT-ESI-MS/MS. Lima antosianin yang berhasil diidentifikasi oleh Brito et al. (2007) yaitu delfinidin (33%), sianidin (4%), petunidin (32%), peonidin (10%) dan malvidin (21%), dengan semua antosianin dalam bentuk 3,5-diglukosida. Identifikasi antosianin buah duwet dari Brazil menggunakan KCKT-DAD-MS/MS yang dilakukan oleh Faria et al. (in press) juga menunjukkan hasil yang sama. Antosianin utama (mayor) yang ditemukan dalam buah duwet yang tumbuh di Brazil adalah delfinidin diglukosida (45%), petunidin diglukosida (32%), dan malvidin diglukosida (15%). Selain itu, sianidin 3,5-diglukosida, peonidin 3,5-3,5-diglukosida, delfinidin 3-glukosida, delfinidin asetil-diglukosida, sianidin 3-glukosida, petunidin 3-glukosida, dan malvidin 3-glukosida juga diidentifikasi sebagai antosianin minor dalam buah duwet. Sementara itu, hasil identifikasi antosianin buah duwet yang dilakukan oleh Lestario (2003), Nazif (2007), dan Veigas et al. (2007) menunjukkan hasil yang berbeda. Lestario (2003) melaporkan tiga jenis antosianin yang terkandung dalam buah duwet yang tumbuh di Indonesia, yaitu pelargonidin-3,5-diglukosida, sianidin-3-ramnosil-glukosida-5-glukosida, dan pelargonidin-3-(p-kumaril-glukosida)-5-glukosida. Antosianin dipisahkan dengan kromatografi kertas. Hasil identifikasi antosianin buah duwet Indonesia yang dilakukan oleh Lestario (2003) mengandung pelargonidin (aglikon), sedangkan hasil identifikasi antosianin pada penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa buah duwet Indonesia tidak mengandung aglikon pelargonidin. Nazif (2007) melaporkan empat antosianin yang diisolasi dari buah duwet yang tumbuh di Arab, yaitu pelargonidin-3-glukosida, pelargonidin-3,5-diglukosida, sianidin-3-malonil-glukosida, dan delfinidin-3-glukosida. Identifikasi dilakukan dengan analisis spektrum (1H-NMR dan FAB/MS). Veigas et al. (2007) melaporkan tiga jenis antosianin didalam buah duwet yang tumbuh di India, yaitu delfinidin (23%), petunidin (35%), dan malvidin (38%) yang diidentifikasi sebagai diglukosida menggunakan KCKT-ESI-MS.

Veigas et al. (2007) hanya dapat mengindentifikasi antosianin mayor dalam buah duwet, sedangkan antosianin minor (sianidin-3,5-diglukosida dan peonidin-3,5-diglukosida) tidak teridentifikasi.

SIMPULAN

Kandungan total antosianin monomerik dari kulit buah duwet (731 mg/ 100 g, bb) ~4,5 kali lebih banyak dibandingkan pada buah utuh yang segar (161 mg/100 g, bb). Tiga antosianin utama (mayor) dalam buah duwet, diidentifikasi dengan menggunakan KCKT-DAD, yaitu delfinidin-3,5-diglukosida (41%), petunidin-3,5-diglukosida (28%), dan malvidin-3,5-diglukosida (26%). Sianidin-3,5-diglukosida (4%) dan peonidin-Sianidin-3,5-diglukosida (1%) juga ditemukan dalam buah duwet sebagai antosianin minor.

PENDAHULUAN

Antosianin telah digunakan secara luas sebagai pewarna alami untuk pangan (Mateus & Freitas, 2009). Problem utama dari antosianin yang digunakan sebagai pewarna adalah karakteristik kestabilan yang rendah. Beberapa faktor fisik dan kimia yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin meliputi struktur dan konsentrasi pigmen, pH, suhu, cahaya, keberadaan kopigmen, ion-ion metal, enzim, oksigen, asam askorbat, gula dan produk degradasinya dan sulfur dioksida (Markakis 1982; Francis 1989; Elbe & Schwartz 1996; Jackman & Smith 1996). Meskipun antosianin tidak stabil dan mudah mengalami kerusakan selama proses, senyawa antosianin secara luas digunakan sebagai pewarna alami yang aman dalam pangan (MacDougall 2002). Pewarna alami berbasis antosianin berbahan baku kulit anggur, kubis merah, dan wortel ungu telah digunakan secara komersial untuk mewarnai bahan pangan (Delgado-Vargas dan Paredes-Lopez, 2003).

Buah duwet mengandung antosianin terutama pada bagian kulit. Kulit buah duwet mengandung antosianin lebih tinggi dibandingkan kandungan antosianin kulit anggur dan kubis merah yang telah digunakan secara komersial sebagai pewarna. Antosianin buah duwet yang banyak terakumulasi pada bagian kulit juga dapat digunakan sebagai pewarna pangan alami bebasis antosianin. Keunggulan penggunaan ekstrak antosianin buah duwet sebagai pewarna adalah berasal dari buah-buahan yang dapat dikategorikan dalam status GRAS (generally recognized as safe) yang aman digunakan sebagai pewarna sehingga nantinya lebih mudah untuk dikomersialisasikan. Sampai sekarang belum ditemukan penelitian yang melakukan pengkajian karakterisasi warna dan kestabilan antosianin buah duwet terutama kajian stabilitas terhadap pH, pemanasan, pencahayaan, dan kondisi penyimpanan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Sari et al. (2005) telah melakukan penelitian mengenai karakterisasi stabilitas warna antosianin buah duwet pada model bufer pH 1, pada kondisi pH ini tidak sesuai untuk aplikasi pada pangan. Selain itu, Veigas et al. (2007) menguji stabilitas antosianin buah duwet dalam ekstrak pekat dan sirup antitusif yang mengandung salbutamol yang disimpan pada suhu ruang. Berdasarkan penjelasan diatas maka pada penelitian ini dilakukan karakterisasi

warna dan stabilitas warna antosianin buah duwet untuk tujuan penggunaan sebagai pewarna pangan. Pengaplikasian dilakukan pada model minuman pH 3 yang merupakan kondisi pH minuman berbasis asam. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi informasi-informasi dari penelitian sebelumnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan karakterisasi warna dan stabilitas warna antosianin buah duwet yang dibandingkan dengan antosianin kubis merah dan pewarna enosianin (pewarna antosianin komersial), sehingga dapat diketahui potensi penggunaannya sebagai pewarna pangan.

BAHAN DAN METODE

Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan SEAFAST Center

(Gedung PAU), IPB; Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen ITP, FATETA, IPB; serta Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Medik, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah buah duwet matang berwarna ungu kehitaman yang diperoleh dari hutan di Probolinggo, Jawa Timur. Sampel buah duwet telah mendapat pengesahan determinasi jenis tanaman dari LIPI Biologi, Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah kubis merah diperoleh dari supermarket di Bogor, Jawa Barat dan bubuk enosianin E-163 (pewarna antosianin komersial dari kulit anggur merah yang mengandung 3% antosianin) diperoleh dari Sensient Food Colors (Jerman).

Bahan kimia yang digunakan berspesifikasi pro analisis. Asam klorida (HCl), kalium klorida, natrium asetat, asam sitrat, natrium sitrat, kalium sorbat, dan natrium meta bisulfit diperoleh dari Merck (Darmstadt, Jerman). Etanol teknis (96%) dan gas nitrogen diperoleh dari suplier bahan kimia di Bogor.

Peralatan yang digunakan adalah pisau baja tahan-karat, hand blender, timbangan analitik, pengaduk/stirer, batang stirer, sentrifugasi, kertas Whatman no 1, pompa vakum, vakum rotary evaporator, pH-meter, pipet mikrometer, vortek, spektrofotometer UV-Vis, refraktometer, lemari pendingin, lampu fluoresens, penangas air, kromameter (CR-310), dan alat-alat kaca.

Metode Penelitian

Persiapan sampel

Buah duwet matang (warna ungu kehitaman) dan kubis merah disortasi lalu dicuci dengan air bersih. Selanjutnya kulit buah duwet dikupas menggunakan pisau baja tahan-karat dan kubis merah dipotong-potong dalam ukuran kecil. Kulit buah duwet dan kubis merah diblansir uap panas 80oC secara terpisah selama 3 menit. Kulit buah duwet dan kubis merah dikemas dalam kantong plastik polietilena (PE) dan disimpan pada suhu -20oC.

Ekstraksi antosianin

Kulit buah duwet dan kubis merah beku di-thawing pada suhu ruang, selanjutnya setiap sampel dihancurkan dengan menggunakan hand blender

secara terpisah. Ekstraksi antosianin buah duwet dan kubis merah dilakukan secara maserasi dengan diaduk (stirer). Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi adalah etanol, pelarut food grade (Francis 1982; Cacace & Mazza 2003). Perbandingan sampel dan pelarut 1:2 (b/v). Ekstraksi secara maserasi dilakukan pada suhu ruang selama 60 menit, kemudian disentrifus (3552 g) selama 10 menit untuk memisahkan filtrat dan residu. Ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali dengan menggunakan pelarut dan cara yang sama. Filtrat digabung dan disaring dengan menggunakan penyaring vakum, lalu pelarut organik dievaporasi dengan vakum evaporator putar pada suhu 40oC untuk mendapatkan ekstrak aqueous

antosianin yang berwarna ungu kehitaman, Gambar 4.1. Ekstrak ditempatkan dalam botol, diembus dengan nitrogen lalu disimpan pada -20oC sampai digunakan untuk analisa.

Ekstrak dianalisis kandungan total antosianin monomerik dengan metode perbedaan pH (Giusti & Wrolstad 2001). Ekstrak juga diukur nilai pH dengan pH-meter dan total padatan menggunakan refraktopH-meter.

Pengukuran kandungan total antosianin monomerik

Kandungan total antosianin monomerik diukur berdasarkan metode perbedaan pH (Giusti & Wrolstad 2001). Sampel dalam jumlah tertentu dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah larutan bufer kalium klorida (0,025 M) pH 1 hingga volume menjadi 5 mL. Tabung reaksi kedua ditambahkan larutan bufer natrium asetat (0,4 M) pH 4,5 hingga

volume menjadi 5 mL. Absorbans dari kedua perlakuan pH diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm dan 700 nm setelah didiamkan selama 15 menit. Nilai absorbans dihitung dengan rumus: A = [(A520 - A700)pH 1 - (A520 - A700)pH 4,5]. Kandungan antosianin dihitung sebagai sianidin-3-glikosida menggunakan koefisien ekstingsi molar sebesar 29 600 dan bobot molekul sebesar 448,8. Kandungan antosianin (mg/L) = (A x BM x FP x 1000) / (ε

x 1), A adalah absorbans, BM adalah berat molekul, FP adalah faktor pengencer, dan ε adalah koefisien ekstingsi molar. Kandungan total antosianin monomerik dinyatakan sebagai mg CyE/g sampel.

Gambar 4.1 Ekstrak antosianin kulit buah duwet.

Karakterisasi warna antosianin pada nilai pH 1-8

Setiap sampel pigmen disiapkan pada pH 1-8 menggunakan larutan bufer kalium klorida (0,025 M) untuk pH 1-4 dan bufer natrium asetat (0,4 M) untuk pH 5-8. Penambahan pigmen dilakukan sehingga diperoleh pembacaan absorbans pada kisaran nilai 1 ( vis-maks) pada pH 1. Campuran didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang kemudian dilakukan pengukuran spektra dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 350-700 nm.

Stabilitas warna antosianin dalam minuman model

Pengujian stabilitas warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin dilakukan dalam minuman model menggunakan bufer sitrat (0,1 M; asam sitrat-natrium sitrat) pada pH 3 yang mewakili kondisi pH pada pangan berbasis asam. Kalium sorbat 0,05% (b/v) ditambahkan untuk mencegah pertumbuhan mikroba selama perlakuan. Penambahan pigmen dilakukan sehingga diperoleh pembacaan absorbans pada kisaran nilai 0,75-0,8 pada panjang gelombang penyerapan maksimum di daerah visibel ( vis-maks).

Campuran didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang untuk mencapai kesetimbangan. Stabilitas warna antosianin dianalisis terhadap pengaruh suhu pemanasan, cahaya, dan kondisi penyimpanan.

Pengaruh suhu pemanasan terhadap stabilitas warna antosianin dilakukan dengan merendam botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin di dalam penangas air pada suhu 80 and 98oC selama interval waktu 0, 30, 60, 90, dan 120 menit. Pengaruh cahaya terhadap stabilitas warna antosianin dilakukan dengan menyinari botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin dengan lampu fluoresens putih (lampu Philip, 23 watt) didalam kotak berukuran 58 x 72 x 60 cm sehingga diperoleh intensitas pencahayaan 4000 lux. Pencahayaan dilakukan selama interval waktu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 hari pada suhu 32oC. Kontrol untuk perlakuan suhu pemanasan dan pencahayaan dibuat dengan membungkus botol-botol transparan yang berisi larutan bufer sitrat dan ekstrak antosianin dengan aluminium foil kemudian disimpan pada suhu ruang untuk perlakuan suhu pemanasan dan disimpan pada suhu 32oC untuk perlakuan pencahayaan. Pengujian stabilitas antosianin terhadap kondisi penyimpanan dilakukan pada suhu refrigerasi dan ruang selama 8 minggu pada kondisi gelap.

Masing-masing sampel pigmen pada setiap perlakuan dihitung nilai persen retensi warna menggunakan persamaan: % Retensi warna = At/A0 x 100, dimana t = waktu; At = absorbans setelah perlakuan (waktu t); A0 = absorbans sebelum perlakuan (waktu 0) (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004).

Warna polimerik dan indeks degradasi

Warna polimerik (WP) dan indeks degradasi (ID) juga dapat digunakan untuk mengetahui terjadinya degradasi warna antosianin. Kandungan warna polimerik (polymeric color) dalam minuman model dianalisa menggunakan metode bleaching bisulfit (Giusti & Wrolstad 2001). Kandungan warna polimerik dinyatakan sebagai % dari total densitas warna (colour density). Indeks degradasi dihitung sebagai nisbah antara A420nm and Aλvis-maks (Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004). Pengukuran warna polimerik dan indeks degradasi dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Perbedaan nilai WP dan ID sebelum dan setelah perlakuan dinyatakan sebagai nilai ΔWP dan ΔID. Semakin tinggi

nilai ΔWP dan ΔID menunjukkan terjadinya degradasi antosianin selama perlakuan semakin besar.

Pengukuran warna dengan kromameter

Pengukuran warna menggunakan alat Minolta Chroma CR-310

colorimeter menggunakan sistem pengukuran CIELAB. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. Parameter-parameter yang diukur meliputi L* (lightness), a* (redness), b* (yellowness), C* (chroma), H* (hue angle), and ΔE (perbedaan warna secara keseluruhan). Perbedaan warna secara keseluruhan dihitung menggunakan persamaan, ΔE = [(ΔL*)2 + (ΔC*)2 + (ΔH*)2]1/2. Nilai ΔE

merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna

kromasitas secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai ΔE menunjukkan perubahan

warna sampel selama perlakuan semakin besar (Gonnet 1998).

Kinetika degradasi antosianin

Degradasi warna antosianin buah duwet, kubis merah, dan enosianin selama perlakuan pemanasan, pencahayaan, dan penyimpanan mengikuti kinetika reaksi orde pertama. Kinetika degradasi antosianin secara umum berlangsung pada orde pertama (Kirca & Cemeroglu 2003; Cevallos-Casals & Cisneros-Zevallos 2004; Wang & Xu 2007). Konstanta laju reaksi (k) dan waktu paruh (t1/2), waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan/degradasi antosianin sebesar 50%, untuk reaksi orde pertama dihitung menggunakan persamaan berikut :

ln(At/Ao) = -kt + C

ln (retensi warna) = -kt + C

t1/2 = -ln 0.5 x k-1

A0 = absorbansi sebelum perlakuan (waktu 0), At = absorbansi setelah perlakuan (waktu t); k = konstanta laju reaksi; t1/2 = waktu paruh.

Analisa data secara statistik

Dokumen terkait