• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Keadaan Umum Pertanaman

Lahan yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian ini adalah lahan bekas pertanaman padi sawah pada musim tanam ke-2 tahun 2013 dengan jenis tanah Alluvial.Padi yang ditanam sebelumnya adalah varietas Ciherang yang dipupuk 200 Kg Urea/ ha dan 300 Kg Phonska.Sebelum dilakukan percobaan, lahan dalam keadaan bera selama 3 bulan.

Masa penelitian selama 5 bulan dilaksanakan akhir November 2013 sampai awal April 2014. Data dari Stasiun Klimatologi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi menunjukkan selama penelitian rata-rata curah hujan per bulan adalah 343 mm, curah hujan terendah terjadi pada bulan November 2013 sebesar 82 mm. Lokasi penelitian didukung irigasi teknis yang baik. Rata-rata suhu udara maksimum 30.79 oC.dan suhu udara minimum 24.52 oC. Curah hujan, suhu udara, jumlah hari hujan dan kelembaban (RH) selama penelitian berlangsung dapat dilihat pada Lampiran 5.

Serangan keong mas cukup tinggi pada awal pertumbuhan, terutama pada sistem budidaya SRI, sehingga dilakukan beberapa kali penyulaman. Pada saat fase generatif, terutama saat tanaman mengisi, terjadi serangan False smut atau

green smutyang disebabkan oleh jamurUstylago sp.

Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Penelitian

Rekapitulasi hasil sidik ragam peubah yang diamati pada sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma serta interaksinya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma terhadap peubah penelitian

Kuadrat tengah Peubah Sistem budidaya (S) Teknik pengendalian (T) Interaksi (S x T) KK (%)

Bobot kering gulma 21 HST ** * ** 20.17

Bobot kering gulma 42 HST * ** tn 17.67

Serapan hara N tanaman padi ** * tn 14.93

Serapan hara P tanaman padi ** tn tn 15.25

Serapan hara K tanaman padi ** * tn 14.24

Tinggi tanaman tn tn tn 2.56

Jumlah anakan maksimum ** * tn 10.44

Bobot kering biomass total ** * tn 11.67

ILD 84 HST tn tn tn 19.68

LPT 84 HST ** ** tn 15.84

LAB 84 HST tn ** tn 35.14

Jumlah anakan produktif * ** tn 9.82

Jumlah gabah per malai * tn tn 12.69

Jumlah gabah isi per malai tn * tn 13.71

Jumlah gabah hampa * tn tn 18.40

Bobot 1000 butir tn tn tn 1.22

GKP tn ** tn 13.09

GKG tn ** tn 13.82

Keterangan: ** sangat nyata, *nyata pada uji F taraf α 5%,; HST= hari setelah tanam; KK= koefisien keragaman

Dominansi dan Kepadatan Gulma

Hasil analisis vegetasi yang dilakukan 30 hari sebelum percobaan (HSbP) menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis gulma di lokasi percobaan.Jenis gulma dominan adalah Fimbristylis miliacea (L.)Vahl (NJD 30.40%) dan Leptochloa chinensis(L). Nees (NJD 27.72%) (Tabel 3).

Sistem budidaya mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi jenis gulma yang dominan.Budidaya SRI (S1) muncul gulma dominan jenisSphenoclea zeylanica Gaertn. dan Cyperus iria L. Sistem budidaya PTT (S2) muncul gulma dominan jenisC. difformisL., sedangkan pada sistem budidaya konvensional (S3) muncul gulma dominan jenis L. chinensis. Jenis M. vaginalis (Burm. F.) dan F. miliacea (L.) Vahl merupakan jenis gulma yang dominan pada ketiga sistem budidaya.

Teknik pengendalian manual (T1), mekanis (T2) dan kimia (T3) dapat menekan dominansi jenisL. chinensis pada SRI (S1), tetapi tidak dapat menekan

S. zeylanica (Burm F.) dan M. vaginalis.Pada PTT (S2), teknik pengendalian mekanis (T2) dapat menekan dominansi F. miliacea tetapi tidak dapat menekan dominansi jenis M. vaginalis tetapi dapat mengendalikan E.colona dan L. hexandra. Teknik pengendalian manual (T1) dan mekanis (T2) pada sistem konvensional (S3) dapat menekan dan mengurangi dominansi jenis F. miliacea

pengendalian kimia (T3) dapat menekan dominansi jenis L. chinensis pada PTT (S2) danF. miliaceapada konvensional (S3) (Tabel 3).

Tabel 3 Nisbah jumlah dominansi (NJD) spesies gulma pada perlakuan sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma saat 30 HSbP dan 42 HST

Teknik pengendalian gulma Sistem budidaya dan Jenis gulma 30

HSbP Tanpa pengendalian (T0) Manual (T1) Mekanis (T2) Kimia (T3) NJD NJD NJD NJD NJD SRI(S1)

Fimbristylis miliacea(L.) Vahl 30.4* 21.92* 16.99* 10.83* 11.37*

Leptochloa chinensis(L.) Nees 27.72* 5.38 0.00 12.13 3.01

Cyperus iriaL. 8.31 10.34* 0.00 1.99 1.88

Ludwigia octovalvis(Jacq.) Raven 7.34 4.62 7.58 4.00 11.93*

Leersia hexandraSw. 5.94 3.66 0.00 0.00 1.88

Echinochloa colona(L.) Link 5.86 3.02 0.00 0.00 0.00

Altenanthera sessilis(L.) 4.76 3.03 13.43* 4.61 1.67

Ipomoea aquaticaForssk. 4.36 0 0 0 0

Sphenoclea zeylanicaGaertn. 1.66 16.43* 10.67* 10.10* 18.13*

C. difformisL. 0.04 3.65 9.91* 13.28* 5.50

Monochoria vaginalis(Burm. F) 0 27.97* 38.96* 43.06* 42.21*

E. crus-galli(L.) P. Beauv. 0 0 2.45 0.00 2.41

PTT (S2)

Fimbristylis miliacea(L.) Vahl 30.4* 13.02* 16.70* 9.40 20.35*

Leptochloa chinensis(L.) Nees 27.72* 7.35 10.63* 11.61* 4.05

Cyperus iriaL. 8.31 2.28 4.72 2.17 0.00

Ludwigia octovalvis(Jacq.) Raven 7.34 4.85 11.15* 10.46 25.59*

Leersia hexandraSw. 5.94 0.00 1.52 0.00 0.00

Echinochloa colona(L.) Link 5.86 3.04 0.00 0.00 0.00

Altenanthera sessilis(L.) 4.76 3.07 8.66 5.25 2.66

Ipomoea 13quaticForssk. 4.36 0 0 0 0

Sphenoclea zeylanicaGaertn. 1.66 11.06 9.39 9.77 6.34

C. difformisL. 0.04 13.49* 6.46 6.28 7.57

Monochoria vaginalis(Burm. F) 0 41.83* 30.76* 39.54* 26.47*

E. crus-galli(L.) P. Beauv. 0 0.00 0 5.52 6.96

Konvensional (S3)

Fimbristylis miliacea(L.) Vahl 30.4* 16.38* 10.98* 10.12* 9.13

Leptochloa chinensis(L.) Nees 27.72* 12.49* 13.86* 17.65* 16.30*

Cyperus iriaL. 8.31 1.62 5.53 4.06 6.15

Ludwigia octovalvis(Jacq.) Raven 7.34 5.85 4.37 8.41 12.92*

Leersia hexandraSw. 5.94 0 1.88 2.52 2.08

Echinochloa colona(L.) Link 5.86 6.71 3.57 0.00 0.00

Altenanthera sessilis(L.) 4.76 1.31 1.83 2.40 1.98

Ipomoea aquaticaForssk. 4.36 0 0 0 0

Sphenoclea zeylanicaGaertn. 1.66 9.08 17.57* 6.11 9.02

C. difformisL. 0.04 16.02* 6.75 6.97 2.07

Monochoria vaginalis(Burm. F) 0 26.38* 31.88* 35.65* 40.35*

E. crus-galli(L.) P. Beauv. 0 4.17 1.78 6.11 0.00

Keterangan: HSbP= hari sebelum percobaan;* Gulma dominan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada 21 HST, interaksi antara sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering gulma.Bobot kering gulma tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa pengendalian gulma dalam sistem budidaya SRI (S1) dan berbeda

nyata dengan perlakuan tanpa sistem konvensional (S3) (G

Gambar 1Pengaruh interaksi gulma terhadap bobot Ketiga sistem budiday secara nyata menekan pertum kering gulma dengan penge dibandingkan kontrol, dan rendah dibandingkan kont pengendalian secara kimia sistem budidaya PTT (S2) m kimia (T3) tidak berbeda diduga disebabkan oleh ba diaplikasikan saat 14 HST ( Tabel 4 Rata-rata bobot ke dan teknik pengend

Perlakuan Sistem Budidaya SRI (S1) PTT (S2) Konvensional (S3) Teknik Pengendalian Tanpa pengendalian (T Manual (T1) Mekanis (T2) Kimia (T3)

Keterangan: angka yang diikuti berdasarkan uji BNJ Perlakuan sistem budi sangat nyata terhadap bobot nyata pada saat 42 HST.B berbeda nyata dengan perl dengan PTT (S2).Teknik pe 0 20 40 60 80 100 120 SRI B o b o t k e ri n g g u lm a ( g /m 2) Sistem budidaya

tanpa pengendalian pada sistem budidaya PTT (Gambar 1).

aksi antara sistem budidaya dengan teknik pen bobot kering biomassa gulma saat 21 HST daya yang diuji, perlakuan manual (T1) dan me

rtumbuhan gulma. Pada sistem budidaya SRI ( engendalian manual (T1) adalah 91.7% lebi dan pada pengendalian mekanis (T2) adalah 92.3

ontrol. Hasil penelitian ini juga menunjukka ia (T3), kurang efektif menurunkan gulma.P ) memperlihatkan bobot kering gulma pada pen da nyata dengan tanpa pengendalian (T0).Ke bahan aktif herbisida yang digunakan tida T (Gambar 1).

kering biomassa gulma pada perlakuan sistem endalian gulma saat 42 HST

Bobot kering gulma ( 51.53 a 38.73 ab 32.45 b n (T0) 59.96 a 23.76 b 22.17 b 57.71 a uti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak be BNJ pada α= 5%

budidaya dan teknik pengendalian gulma be obot kering gulma, tetapi interaksinya tidak be T.Bobot kering gulma pada SRI (S1) lebih t erlakuan konvensional (S3) tetapi tidak berbe k pengendalian gulma dengan manual (T1) dan

PTT Konvensional Sistem budidaya Tanpa pengendalian Manual Mekanis Kimia TT (S2) dan pengendalian mekanis (T2) I (S1), bobot ebih rendah 92.3% lebih ukkan bahwa a.Perlakuan pengendalian .Keadaan ini tidak sesuai em budidaya a (g m-2) berbeda nyata berpengaruh berpengaruh h tinggi dan rbeda nyata dan mekanis Tanpa pengendalian

(T2) menunjukkan bobot kering biomass gulma yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan teknik tanpa pengendalian (T0) tetapi tidak berbeda nyata dengan pengendalian kimia (T3) (Tabel 4).

Serapan Hara pada Tanaman Padi

Hasil analisis laboraturium terhadap unsur hara pada jaringan tanaman padi menunjukkan bahwa, perentase unsur N pada SRI (S1) lebih rendah dibandingkan dengan N pada PTT (S2) dan konvensional (S3). Begitupun dengan persentase unsur hara P dan K pada SRI (S1) lebih rendah dibandingkan dengan PTT (S2) dan konvensional (S3).Data ini menunjukkan bahwa sejumlah hara yang penting bagi tanaman padi, menjadi hilang akibat keberadaan gulma pada sistem SRI (S1) (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil analisis jaringan tanaman pada umur 56 HST pada perlakuan sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma

Perlakuan Kandungan Unsur (%)

N P K Sistem Budidaya SRI (S1) 0.66 0.19 1.09 PTT (S2) 1.37 0.19 1.32 Konvensional (S3) 1.28 0.22 1.45 Teknik Pengendalian Tanpa pengendalian (T0) 1.22 0.19 1.34 Manual (T1) 1.43 0.20 1.30 Mekanis (T2) 1.39 0.20 1.35 Kimia (T3) 1.39 0.21 1.15

Hasil perhitungan terhadap hara yang diserap oleh tanaman menunjukkan bahwa tanaman padi pada sistem budidaya SRI (S1) menyerap unsur N, P dan K lebih rendah, jika dibandingkan dengan serapan hara oleh tanaman pada sistem budidaya PTT (S2) dan konvensional (S3). Serapan hara N tanaman oleh sistem budidaya konvensional (S3) 21.7% lebih tinggi dari SRI (S1) dan 19.2% lebih tinggi dibandingkan dengan PTT (S2).

Tabel 6 Hasil perhitungan serapan hara tanaman pada umur 56 HST pada perlakuan sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma

Perlakuan Serapan unsur hara tanaman (g per rumpun)

N P K Sistem Budidaya SRI (S1) 50.97 b 7.71 b 44.59 b PTT (S2) 52.61 b 7.33 b 48.94 b Konvensional (S3) 65.12 a 9.87 a 66.10 a Teknik Pengendalian Tanpa pengendalian (T0) 49.64 b 7.74 55.14 a Manual (T1) 61.07 a 8.68 55.43 a Mekanis (T2) 61.77 a 8.92 59.04 a Kimia (T3) 52.46 ab 7.86 43.23 b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada α= 5%

Serapan hara tanaman pada teknik pengendalian gulma menunjukkan bahwa perlakuan tanpa pengendalian (T0) menyerap hara lebih rendah dibandingkan dengan teknik pengendalian gulma lainnya. Serapan hara N pada perlakuan tanpa pengendalian (T0) lebih tinggi 19,6% dibandingkan dengan teknik pengendalian mekanis (T2), 18.7% dibandingkan teknik pengendalian manual (T1) serta 5% lebih tinggi dibandingkan teknik pengendalian kimia (T3) (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah hara yang tidak terserap oleh tanaman.Hara yang tidak terserap oleh tanaman, diduga sebagiannya diserap oleh gulma dan terbukti biomass kering gulma lebih tinggi dari tanaman padi pada saat 56 HST.

Pertumbuhan Tanaman Padi

Sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum dan biomass padi, tetapi tidak berpengaruh nyata pada interaksinya. Jumlah anakan maksimum pada SRI (S1) 30.1% lebih tinggi dibandingkan dengan PTT (S2) dan 13.4% lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional (S3). Teknik pengendalian gulma berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum dan biomass padi.Teknik pengendalian gulma berbeda nyata terhadap peubah jumlah anakan maksimum pada tanpa pengendalian (T0) jika dibandingkan dengan manual (T1) dan mekanis (T2), tetapi tidak berbeda nyata jika dibandingkan teknik pengendalian kimia (T3.Biomass tanaman padi yang tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pengendalian kimia 17.7% (T3) dibandingkan dengan tanpa pengendalian tetapi tidak berbeda nyata tidak berbeda nyata dengan biomass padi pada pengendalian manual (T1) dan mekanis (T2) (Tabel 7).

Tabel 7 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan dan bobot biomassa total padi pada tiga sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma saat 84 HST

Perlakuan Tinggi tanaman maksimum (cm) Jumlah anakan maksimum/ rumpun Bobot kering total (g/rumpun) Sistem budidaya SRI (S1) 109.8 16.4 a 80.18 a PTT (S2) 109.7 11.4 c 56.18 b Konvensional (S3) 108.4 14.2 b 71.14 ab Teknik pengendalian Tanpa pengendalian (T0) 108.0 12.4 b 61.89 b Manual (T1) 110.0 14.8 a 72.43 a Mekanis (T2) 108.3 14.9 a 67.10 ab Kimia (T3) 110.8 13.7 ab 75.21 a

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada α= 5%

Indeks Luas Daun (ILD)

Sistem budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap indeks luas daun (ILD) tanaman pada saat umur 84 HST. ILD pada konvensional (S3) lebih tinggi

dibandingkan dengan ILD pada SRI (S1) dan PTT (S2).Teknik pengendalian gulma tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata nilai ILD pada umur 84 HST.ILD pada perlakuan tanpa pengendalian lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan teknik pengendalian lainnya (Tabel 8).

Tabel 8Rata-rata nilai indeks luas daun (ILD) tanaman padi umur 84 HST

Perlakuan ILD (cm2) Sistem Budidaya SRI (S1) 2.41 PTT (S2) 2.54 Konvensional (S3) 2.66 Teknik Pengendalian Tanpa pengendalian (T0) 2.27 Manual (T1) 2.57 Mekanis (T2) 2.81 Kimia (T3) 2.50

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada α= 5%

Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT) dan Laju Asimilasi Bersih (LAB)

Sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma berpengaruh sangat nyata terhadap laju pertumbuhan tanaman (LPT) pada umur 84 HST (Tabel 9). Sistem budidaya SRI (S1) menunjukkan hasil LPT yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan PTT (S2) dan konvensional (S3), sedangkan PTT (S2) dan konvensional (S3) menghasilkan LPT yang tidak berbeda nyata. Teknik pengendalian gulma dengan kimia (T3) menghasilkan LPT yang berbeda nyata dengan teknik pengendalian mekanis (T2) dan kontrol (T0), tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan teknik pengendalian manual (T1) (Tabel 9).

Tabel 9 Nilai laju pertumbuhan tanaman (LPT) dan laju asimilasi bersih (LAB) tanaman padi pada 84 HST

Perlakuan

Laju pertumbuhan tanaman (LPT)

(g cm2hari-1)

Laju asimilasi bersih (LAB) (g m2hari-1) Sistem budidaya SRI (S1) 63.9 a 31.3 PTT (S2) 34.9 b 20.3 Konvensional (S3) 45.0 b 23.3 Teknik pengendalian Tanpa pengendalian (T0) 40.9 c 13.1 c Manual (T1) 50.7 ab 24.7 ab Mekanis (T2) 44.7 bc 18.9 bc Kimia (T3) 55.6 a 29.8 a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada α= 5%.

Sistem budidaya tidak berpengaruh terhadap laju asimilasi bersih (LAB) tanaman padi, sedangkan teknik pengendalian gulma berpengaruh sangat nyata terhadap LAB.Nilai LAB teknik pada perlakuan teknik pengendalian kimia

(T3)nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan teknik pengendalian mekanis (T2), tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan teknik pengendalian manual (T1).Teknik pengendalian manual (T1) tidak berbeda nyata dengan teknik mekanis (T2) dan kontrol (T0) (Tabel 9).

Komponen Hasil dan Hasil Panen

Sistem budidaya berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan produktif, jumlah gabah hampa per malai dan bobot 1 000 butir gabah, tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah gabah per malai dan jumlah gabah isi per malai.Jumlah anakan produktif pada SRI (S1) tidak berbeda nyata dengan PTT (S2) dan konvensional (S3).Jumlah gabah hampa terendah diperoleh pada SRI (S1), berbeda nyata dengan PTT (S2), tetapi tidak berbeda nyata dengan konvensional (S3).Sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma tidak berpengaruh terhadap peubah jumlah gabah isi per malai, demikian juga dengan interaksinya.Sistem budidaya PTT (S2) cenderung menghasilkan gabah isi lebih tinggi dibandingkan dengan SRI (S1) dan konvensional (S3).

Teknik pengendalian gulma tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan bobot 1 000 butir gabah.Teknik pengendalian manual (T1) menghasilkan jumlah gabah isi 4.0% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, tetapi teknik pengendalian mekanis (T2) dan kimia (T3) menghasilkan jumlah gabah isi per malai lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa bobot 1 000 butir gabah tertinggi diperoleh pada konvensional (S3) (Tabel 10).

Tabel 10 Rata-rata komponen hasil tanaman padi pada perlakuan sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma

Perlakuan Jumlah anakan produktif/ rumpun Jumlah gabah / malai Jumlah gabah isi/malai Jumlah gabah hampa / malai bobot 1000 butir (g) Sistem budidaya SRI (S1) 12.2 ab 125.0 111.3 13.9 b 25.7 b PTT (S2) 11.1 b 136.6 113.0 23.6 a 25.8 ab Konvensional (S3) 14.1 a 124.1 106.1 18.1 ab 26.0 a Teknik Pengendalian Tanpa pengendalian (T0) 10.7 b 131.7 112.3 19.3 25.9 Manual (T1) 13.4 a 135.0 117.0 18.4 25.8 Mekanis (T2) 13.4 a 119.6 102.9 16.8 25.8 Kimia (T3) 12.3 a 128.0 108.3 19.7 25.8

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama menunjukkan

hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ pada α= 5%

Sistem budidaya SRI (S1) dengan pengendalian gulma secara manual (T1) menghasilkan 28.99% lebih tinggi dibanding tanpa pengendalian (T0), SRI (S1) dengan pengendalian mekanis (T2) 26.17% lebih tinggi dibanding tanpa pengendalian (T0), dan SRI (S1) dengan pengendalian kimia (T3) 27.81% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengendalian (T0). Sistem budidaya PTT (S2) dengan pengendalian manual (T1) menghasilkan 27.44% lebih tinggi

dibandingkan dengan tanpa pengendalian (T0). PTT (S2) dengan pengendalian mekanis (T2) 29.44% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengendalian (T0), dan PTT (S2) dengan pengendalian kimia (T3) 24.53% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengendalian (T0). Sistem konvensional (S3) dengan pengendalian manual (T1) 14.55% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengendalian (T0).Konvensional (S3) dengan pengendalian mekanis (T2) 3.59% lebih tinggi dibandingkan tanpa pengendalian (T0), dan pengendalian kimia (T3) 7.63% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengendalian (T0) (Tabel 11).

Tabel 11 Rata-rata bobot gabah kering giling (GKG) pada sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma

Teknik pengendalian gulma Sistem budidaya SRI (S1) PTT(S2) Konvensional (S3) ...GKG (kg ha-1) ... Tanpa pengendalian (T0) 3 215.0 3 347.9 3 836.6 Manual (T1) 4 147.0 4 199.6 4 394.7 Mekanis (T2) 4 056.3 4 333.5 3 974.6 Kimia (T3) 4 109.0 4 169.5 4 129.4 Analisis Usahatani

Hasil analisis usaha tani terhadap tiga sistem budidaya dengan masing-masing teknik pengendalian gulma ditunjukkan pada (Lampiran 6-17).

Hasil analisis usahatani dan teknik pengendalian gulma pada SRI (S1), memperlihatkan bahwa keuntungantertinggi dihasilkan oleh SRI (S1) dengan teknik pengendalian kimia (T3) dengan B/C rasio sebesar 1.35. Sistem budidaya PTT (S2) dengan teknik pengendalian gulma, keuntungan tertinggi dihasilkan oleh teknik pengendalian mekanis (T2) dan teknik pengendalian kimia (T3) dengan B/C rasio sebesar 1.57.Sistem budidaya konvensional (S3) dengan teknik pengendalian gulma, keuntungan tertinggi dihasilkan oleh teknik pengendalian manual dengan B/C rasio sebesar 1.54 (Tabel 12).

Tabel 12 Perbandingan hasil B/C ratio tiap teknik pengendalian gulma pada tiga sistem budidaya padi sawah

Perlakuan Total biaya

(Rp) Total pendapatan (Rp) B/C ratio 1. SRI-tanpa pengendalian 16 805 000 18 004 000 1.07 2. SRI-manual 17 605 000 23 223 200 1.32 3. SRI-mekanis 17 065 000 22 715 280 1.33 4. SRI-kimia 17 080 000 23 010 400 1.35 5. PTT-tanpa pengendalian 15 175 000 18 748 240 1.24 6. PTT-manual 14 985 000 23 517 760 1.57 7. PTT-mekanis 15 465 000 24 267 600 1.57 8. PTT-kimia 15 505 000 23 349 200 1.51 9. Konvensional-tanpa pengendalian 15 105 000 21 484 960 1.42 10. Konvensional-manual 15 935 000 24 610 320 1.54 11. Konvensional-mekanis 15 395 000 22 257 760 1.45 12. Konvensional-kimia 15 285 000 23 124 640 1.51

Pembahasan

Dominansi dan Kepadatan Gulma

Hasil analisis vegetasi saat 30 hari sebelum percobaan (30 HSbP) menunjukkan bahwa jenis gulma dominan terdiri dari 2 jenis yaitu Fimbristylis miliacea (L.)Vahl (NJD 30.40%) dan Leptochloa chinensis (L). Nees (NJD 27.72%). Jenis gulma dominan pada setiap sistem budidaya pada saat 42 HST adalah jenis Monochoria vaginalis, tetapi jenis gulma ini tidak muncul saat analisis vegatasi sebelum percobaan (30 HSbP), hal ini disebabkan karena saat 30 HSbP, lahan percobaan dalam keadaan tidak berair, sedangkan saat 42 HST lahan dalam keadaan basah dan berair. Selain itu diduga disebabkan oleh golongan gulma berdaun lebar lebih lambat dalam berkecambah dan mengalami masa tumbuh yang baik di fase vegetatif akhir (Merryet al. 2011).Jenis gulma dominan ke dua pada setiap sistem budidaya adalah Fimbritylis miliacea (L.)Vahl.Hal ini diduga karena gulma ini telah mendominasi sejak lahan diberakan sebelum percobaan dilakukan (hasil analisis 30 HSbP), sehingga menyebabkan kandungan biji-biji gulma yang tinggi di lahan percobaan.Jenis gulma ini mampu menghasilkan kurang lebih 10 000 biji per tanaman, biji tersebut tidak mempunyai masa dormansi, sehingga langsung dapat berkecambah (Kostermans et al. 1987) (Tabel 3).

Bobot kering gulma pada SRI (S1) menunjukkan bobot tertinggi dibandingkan dengan PTT (S2) dan konvensional (S3) (Gambar 1 dan Tabel 4). Jika dikonversi kedalam bobot kering per hektar, maka SRI (S1) menghasilkan sebanyak 0.5 tonha-1, dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan PTT (S2) dan konvensional (S3) (0.3 tonha-1 ). Hal ini menunjukkan bahwa potensi gangguan gulma pada SRI (S1) lebih tinggi dibandingkan pada PTT (S2) dan konvensional (S3).Pertumbuhan gulma yang tinggi pada SRI (S1) disebabkan oleh sistem pengairan intermitten pada fase vegetatif yang berakibat pada tingginya daya kecambah biji gulma sehingga menyebabkan infestasi gulma lebih tinggi (Dobermann 2004).Juraimi et al. (2009), Chauhan& Johnson (2011) menyatakan bahwa bobot kering gulma pada pertanaman padi yang ditanam dengan sistem tegel 30 cm x 30 cm seperti pada SRI, lebih tinggi dan dapat menurunkan hasil padi (Gambar 1, Tabel 4 dan 11). Potensi gangguan gulma pada SRI paling tinggi dibandingkan dengan PTT dan konvensional.

Serapan Hara pada Tanaman Padi

Tingginya jumlah dan bobot kering gulma juga berpengaruh terhadap persentase unsur hara N, P dan K pada jaringan tanaman padi (Tabel 5). Unsur hara N 48%, P 13% dan K 24% lebih rendah pada jaringan tanaman padi SRI (S1) dibandingkan dengan PTT (S2) dan konvensional (S3). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan gulma menjadi kompetitor bagi tanaman dalam penyerapan unsur hara (Guntoro et al. 2009).Rendahnya unsur hara pada SRI (S1) mengakibatkan produksi padi menjadi rendah (Tabel 5 dan 11).Batas antara kecukupan dan defisiensi unsur hara berdasarkan analisis tanaman untuk tanaman padi menurut Sanchez 1976 dalam Hardjowigeno 2007 adalah 2.5 % N.Berdasarkan kecukupan dan defisiensi hara seperti disebutkan di atas, terlihat

bahwa kandungan unsur hara N dalam jaringan tanaman pada ketiga sistem budidaya (S) dan teknik pengendalian gulma (T) sangat rendah. Unsur hara P dan K dengan kadar tercukupi pada jaringan tanaman.

Serapan hara merupakan jumlah hara yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tanaman terhadap sejumlah hara yang diberikan.Asumsinya bahwa hara yang diserap tanaman hanya berasal dari hara atau pupuk yang diberikan.Hasil perhitungan terhadap serapan hara menunjukkan bahwa tanaman pada sistem budidaya konvensional (S3), lebih tinggi dalam menyerap hara dibandingkan dengan SRI (S1) dan dan PTT (S2) (Tabel 6). Jumlah serapan hara N tanaman pada sistem budidaya SRI (S1) 21.7% lebih rendah dibandingkan sistem konvensional (S3) dan 19.2% lebih rendah dibandingkan PTT (S2). Unsur hara N yang dapat diserap oleh tanaman, umumnya berkisar antara 30-50% (Gonggo et al. 2006), hara P (SP18 atau SP36) sebesar 10-15% (Busyra 2010) dan hara K (KCl) sebesar 17-39% (Boroomand dan Grouh 2012). Melalui data di Tabel 7 mengindikasikan bahwa terdapat sejumlah hara N, P dan K yang tidak terserap oleh tanaman.Diduga sebagian unsur hara diambil oleh gulma selama persaingan dengan tanaman. Tisdale et al. (1985) serta Brady dan Weil (2002) menyatakan bahwa sejumlah hara tidak terserap tanaman dapat terjadi karena pupuk yang diberikan terbawa air hujan atau tercuci (leaching), mengalami penguapan, terikat oleh mineral lain dan koloid tanah, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Tabel 6 memperlihatkan bahwa serapan hara terendah adalah pada serapan unsur P (fosfor).Menurut Brady dan Weil (2002) rendahnya serapan P dapat disebabkan oleh sebagian besar unsur P terikat oleh kation Al dan Fe dan tidak mudah larut dalam larutan tanah, sehingga tidak cepat tersedia di dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman.

Pertumbuhan Tanaman Padi

Sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum dan biomass padi (Tabel 7).Jumlah anakan tanaman pada SRI lebih banyak (30.5%) dibandingkan dengan dua sistem budidaya lainnya.Tingginya jumlah anakan pada SRI (S1) dan biomassnya disebabkan oleh tanaman padi yang ditanam pada umur muda lebih cepat dalam pembentukan anakan dan lebih banyak dibandingkan bibit tua. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Latif et al. (2005) yang melaporkan bahwa tanaman padi pada SRI dengan bibit muda dan tanam tunggal berpengaruh terhadap jumlah anakan maksimum, tetapi tidak berbanding lurus dengan hasil panen yang tinggi.Makarim & Ikhwani (2008) melaporkan bahwa umur bibit padi yang muda (dibawah 15 hari setelah sebar) lebih cepat berkembang untuk menghasilkan anakan.

Indeks luas daun tanaman padi pada SRI (S1) saat umur 84 HST lebih rendah dibandingkan dengan ILD pada PTT (S2) dan konvensional (S3) (Tabel 8).Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan gulma yang tinggi pada SRI (S1) menurunkan ILD tanaman.

Laju pertumbuhan tanaman (LPT) adalah peningkatan bahan kering tanaman per satuan waktu per satuan luas lahan.LPT saat 84 HST dipengaruhi oleh sistem budidaya dan teknik pengendalian gulma.Sistem budidaya SRI (S1) menghasilkan LPT yang tertinggi dibandingkan dengan hasil LPT pada PTT (S2) dan konvensional (S3) (Tabel 9).Hasil LPT yang tertinggi pada SRI (S1) diduga

disebabkan oleh pertanaman tunggal dan bibit muda dengan jumlah anakan yang tinggi pada anakan maksimum (Tabel 7).Laju pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh teknik pengendalian gulma.Terlihat bahwa teknik pengendalian gulma secara kimia menghasilkan LPT tertinggi dibandingkan teknik pengendalian gulma lainnya.

Laju asimilasi bersih (LAB) tanaman dipengaruhi oleh teknik pengendalian gulma, tetapi tidak dipengaruhi sistem budidaya.Teknik pengendalian kimia (T3) menghasilkan LAB 56% lebih tinggi dibandingkan dengan teknik tanpa pengendalian.LAB teknik pengendalian manual 46% lebih tinggi dibandingkan kontrol (Tabel 9).Hal ini menunjukkan bahwa LAB tanaman padi meningkat jika dilakukan pengendalian gulma.

Biomassa padi yang tinggi pada konvensional diduga karena pengaruh pemupukan N yang tinggi dan menyebabkan pertumbuhan tanaman yang tinggi, seperti yang dilaporkan Chauhan& Abugho (2013) bahwa peningkatan bobot kering dapat disebabkan karena peningkatan pemakaian pupuk N pada vegetatif awal tanaman, seperti pemakaian N yang tinggi pada konvensional. Sedangkan rendahnya biomass padi pada PTT disebabkan karena pengaruh sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan jumlah bibit per lubang tanaman yang lebih rapat, menyebabkan persaingan antar tanaman menjadi lebih kuat.Guntoroet al. (2009) melaporkan terjadinya penurunan bobot kering tanaman padi akibat kompetisi hara antara tanaman dan gulma, serta adanya alelopati pada gulma (Gambar 1 , Tabel 4).

Komponen Hasil dan Hasil Panen

Walaupun teknik pengendalian manual menghasilkan jumlah gabah tertinggi per malai pada SRI dan konvensional, tetapi hasil gabah kering giling (GKG) tertinggi dihasilkan oleh teknik pengendalian mekanis pada PTT (4 333.5 kg ha-1) (Tabel 11). Hal ini disebabkan oleh teknik pengendalian mekanis pada PTT lebih mudah dengan cara tanam jajar legowo 2:1, serta mengurangi kompetisi terhadap sumber daya lainnya dibandingkan dengan cara tanam tegel 30

Dokumen terkait