• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variabilitas Genetik Pohon Induk Amplifikasi Silang

Banyak penelitian terkait keragaman genetik yang menggunakan mikrosatelit sebagai penanda genetik (Ng et al. 2009, Lemes et al. 2011, Mantello et al. 2012, Zalapa et al. 2012, Dillon et al. 2013, Goetze et al. 2013). Namun menurut Azrai (2005), mikrosatelit memiliki beberapa kelemahan, misalnya mikrosatelit tidak tersedia pada semua jenis tanaman, sehingga untuk merancang primer baru membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.

Penggunaan primer mikrosatelit yang bukan merupakan primer asli dari jenis yang di PCR disebut amplifikasi silang (cross-amplification). Amplifikasi silang primer mikrosatellit mimba ke mindi dalam penelitian ini mengacu pada Abaloso et al. (2009), Costa et al. (2013), Lemes et al. (2011), Thode et al. (2013), Wang et al. (2013), dan Wee et al. (2013). Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai DNA antara 18-24 nukleotida yang didesain komplemen dengan DNA target dan menjadi batas multiplikasi segmen

11 DNA target (Aritonang et al. 2007). Hasil amplifikasi silang dari tujuh primer mimba didapatkan lima primer yang polimorfik (Lampiran 1). Frekuensi alel pada tiap primer disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 menunjukkan bahwa primer Ai-5 dan Ai-11 terdiri atas 2 alel, kemudian primer Ai-13, Ai-34 dan Ai-4 terdiri atas 3 alel. Pada alel ke tiga Ai-13 hanya terdapat alel dari populasi Nagrak, ini disebut private allele (Blyton & Nicola 2006; Kwapata et al. 2013). Hasil skoring alel pada tiap primer disajikan pada Lampiran 2.

Gambar 3.1 Frekuensi alel mindi di hutan rakyat Jawa Barat pada beberapa primer mimba,

Keragaman Genetik dalam Populasi

Kelebihan dari teknik mikrosatelit adalah bersifat polimorfik (Varshney et al. 2007), dengan tingkat reproduksi yang tinggi, dan merupakan penanda kodominan (Rajora dan Rahman 2001; Weising et al. 2005). Perez et al. (2005) melaporkan mikrosatelit merupakan penanda genetik yang sangat baik untuk studi keragaman genetik dalam berbagai tanaman.

Finkeldey (2005) menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan perbedaan gen yang terkandung dalam individu suatu populasi dan berhubungan dengan kemampuan beradaptasi suatu individu dalam mengalami perubahan selama proses perkembangan. Keragaman genetik dapat diwariskan kepada keturunannya dan terjadi karena adanya rekombinasi genetik sebagai akibat adanya

persilangan-persilangan dan adanya mutasi. Secara umum variasi genetik dapat diukur dengan

dua parameter, yaitu dalam populasi dan antar populasi.

Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi yaitu Presentase Lokus Polimorfik (PLP), dan rata-rata jumlah alel per lokus (A/L), dan variasi genetik (He) (Finkeldey 2005). Nilai parameter keragaman genetik dalam populasi mindi disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 menunjukkan rata-rata alel yang diamati sebasar 2.200, PLP sebesar 93.33%, dan keragaman genetik dalam populasi (He) sebesar 0.3656. Nilai keragaman genetik tersebut tergolong pada keragaman sedang. Hal ini sesuai dengan Rambey (2011) yang menyatakan bahwa mindi di hutan rakyat Garut memiliki nilai keragaman genetik sebesar 0,3730 dikategorikan pada keragaman sedang.

Keragaman genetik mindi dengan teknik analisis RAPD sebesar 0.1712 dikategorikan dalam keragaman genetik sedang, dan populasi Babakan Rema dilaporkan mempunyai keragaman genetik yang paling rendah diantara 5 populasi lainnya (Yulianti et al. 2011). Hasil penelitian ini didapatkan bahwa dari 6

12

populasi yang diamati keragaman genetik tertinggi adalah populasi Padasari (He=0.4537), dan terendah adalah Babakan Rema (He=0.2195).

Tabel 3.1 Nilai parameter keragaman genetik dalam populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat

No Populasi* N Na Ne PLP (%) He 1 Nagrak 20 2.600 1.8032 100 0.4127 2 Babakan Rema 20 1.800 1.4210 80 0.2195 3 Padasari 20 2.000 1.8519 100 0.4537 4 Legok Huni 20 2.400 1.8059 100 0.3742 5 Sukakarya 20 2.000 1.7595 80 0.3840 6 Gambung 20 2.400 1.6421 100 0.3497 Rata-rata 2.200 1.7139 93.33 0.3656 *)

urutan lokasi berdasarkan ketinggian (rendah ke tinggi), N: jumlah individu, Na: jumlah alel yang teramati, Ne: jumlah alel efektif, He: heterozigositas/keragaman genetik, PLP: Persentase Lokus Polimorfik

Tinggi rendahnya keragaman dalam populasi dapat dipengaruhi oleh pola sebaran tanaman, khususnya di hutan rakyat yang umumnya tanaman tersebar dengan jumlah yang terbatas (Hamid et al. 2008). Tegakan mindi di Babakan rema merupakan areal yang berdekatan dengan perkebunan teh, sehingga tegakan mindi di lahan masyarakat berasal dari area perkebunan yang hanya dikelola satu pengelola (Yulianti 2011). Berbeda dengan tegakan mindi di Padasari yang tersebar pada berbagai tipe dan pemilik lahan dengan sejarah penanaman bervariasi, dan cenderung menghasilkan musim buah yang bervariasi, serta diduga variasi genetiknya lebih tinggi (Pramono 2012). Selain itu, Pramono (2012) juga melaporkan bahwa musim buah tegakan mindi di Babakan Rema tergolong serentak. Musim buah yang serentak ini diduga karena populasi kuningan mempunyai keragaman genetik yang rendah.

Keragaman Genetik antar Populasi

Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi menurut Finkeldey (2005) yaitu pembagian variasi genetik (Fst atau Gst), jarak genetik, dan analisis klaster/kelompok. Perbedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey 2005). Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik antar populasi pada suatu lokus gen tertentu. Jarak genetik antar populasi mindi di hutan rakyat disajikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Jarak genetik dan geografis populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat

Populasi* Nagrak Babakan

Rema Padasari

Legok

Huni Sukakarya Gambung

Nagrak 160.6 116.8 71.9 4.1 123.8 Babakan Rema 0.6625 44.4 89.1 158.6 75.6 Padasari 0.0405 0.3702 46.6 114.6 50.6 Legok Huni 0.6275 0.3318 0.4317 70.2 71.5 Sukakarya 0.3353 0.2305 0.1453 0.2579 120.4 Gambung 0.4274 0.1388 0.2137 0.3892 0.2293 *)

angka di atas garis diagonal merupakan jarak geografis (km), dan bawah diagonal merupakan jarak genetik antar lokasi

13 Tabel 3.2 menunjukkan bahwa jarak genetik terjauh adalah populasi Nagrak dan Babakan Rema, sedangkan jarak genetik terdekat adalah Nagrak dan Padasari. Sehingga Nagrak dan Babakan Rema mempunyai kekerabatan yang jauh, sedangkan Nagrak dan Padasari mempunyai kekerabatan yang dekat. Gambar 3.2 memperlihatkan tidak ada korelasi antara jarak geografis dan jarak genetik, sesuai yang dilaporkan oleh Yulianti (2011).

Selain dari jarak genetik, peubah lain yang dapat digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah analisis gerombol/kelompok atau dendogram jarak genetik antar populasi. Berdasarkan analisis nilai jarak genetik dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi dan PCA yang dapat digunakan untuk melihat kekerabatan antar populasi seperti disajikan pada Gambar 3.3 dan 3.4. Gambar 3.3 dan 3.4 menunjukkan adanya pengelompokkan populasi mindi, yaitu terdapat 3 kluster. Klaster pertama terdiri atas Nagrak dan Padasari, klaster ke dua Babakan Rema, Gambung dan Sukakarya, serta klaster ke tiga hanya populasi Legok Huni.

Gambar 3.2 Korelasi jarak geografis dan jarak genetik populasi mindi

Gambar 3.3 Dendogram mindi di hutan rakyat Jawa Barat

Yulianti (2011) melaporkan bahwa mindi di Gambung, Sukakarya dan Legok Huni merupakan bagian atau berdekatan dengan perkebunan teh yang ada di daerah tersebut, sehingga kemungkinan sumber bibit mindi yang ada di lahan masyarakat berawal dari area perkebunan. Oleh karena itu jarak genetik dari populasi-populasi tersebut cukup dekat. Berbeda dengan populasi Nagrak dan

14

Padasari, dimana di daerah ini tidak terdapat perkebunan, sehingga mempunyai struktur genetik yang cukup berbeda dengan populasi lainnya.

Gambar 3.4 PCA mindi di hutan rakyat Jawa Barat,

Struktur Hardy-Weinberg (HWE) setiap populasi dan lokus dapat diketahui dengan uji log-ratio probabilitas (uji G) (Muller & Liu 1989). Hasil uji G menunjukkan bahwa sebagian besar populasi di setiap lokus mengindikasikan penyimpangan yang signifikan dari HWE. Penyimpangan ini bisa disebabkan oleh sistem perkawinan yang tidak acak. Nilai pengujian struktur Hardy-Weinberg (HWE) menggunakan log-ratio probabilitas (uji G) disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Nilai pengujian struktur Hardy-Weinberg (HWE) menggunakan log-ratio probabilitas (uji G)

Lokus Nagrak Babakan Rema Padasari Legok Huni Sukakarya Gambung

AI_5 26.71*** 0.00ns 26.71*** 26.71*** 3.06* 10.97***

AI_11 26.71*** 26.71*** 26.71*** 0.16ns 26.71*** 26.71***

AI_13 7.26* 26.71*** 26.71*** 0.16ns 26.71*** 13.36***

AI_34 0.16ns 0.00ns 2.36ns 4.88* 26.71*** 0.05ns

AI_4 26.71*** 26.71*** 0.69ns 16.17** 14.37** 0.33 ns

Tingkat signifikansi: non signifikan (ns), α = 0.05 (*), 0.01 (**), 0.001 (***)

Efek dari perkawinan yang tidak acak pada frekuensi genotipa dapat diukur menggunakan perbandingan frekuensi heterozigositas harapan HWE, yang diasumsikan kawin acak, dengan frekuensi heterozigositas yang diamati dalam suatu populasi. Besaran tersebut disebut indeks fiksasi (Fis) (Hamilton 2009). Hasil nilai indeks fiksasi setiap lokus disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 memperlihatkan rata-rata nilai Fis pada semua lokus dan populasi bernilai negatif dengan rata-rata -0.5168. Hal ini menunjukkan bahwa lokus gen secara keseluruhan menunjukkan kelebihan heterozigot, dan semua populasi tidak terjadi inbreeding. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Syamsuwida (2012), bahwa tingkat inbreeding tanaman mindi tergolong rendah. Berdasarkan hasil pengujian struktur inbreeding (Tabel 3.5) menunjukkan bahwa sebagian besar populasi menunjukkan penyimpangan inbreeding. Syamsuwida (2012) juga melaporkan adanya fenomena assortative mating pada mindi, yaitu adanya genotipa yang spesifik memilih perkawinan pada saat pembungaan sedikit misalnya saat pembungaan awal (early flowering) atau pembungaan akhir (late flowering) seperti yang dilaporkan oleh Fox (2003) dan Weis et al. (2005).

15 Populasi Padasari mempunyai nilai Fis paling tinggi (-0.6962), hal ini bisa disebabkan oleh adanya efek Wahlund (Syamsuwida 2012). Menurut Isoda dan Rimbawanto (2001), efek Wahlund merupakan skema yang dapat meningkatkan heterosigositas. Namun menurut Isik dan Kaya (2010), kekurangan heterozigositas pada jenis pinus (Pinus brutia) merupakan akibat dari efek Wahlund, assortative mating, dan atau seleksi homozigot serta silang dalam.

Tabel 3.4 Nilai indeks fiksasi setiap lokus pada microsatellit populasi mindi

Lokus Nagrak Babakan

Rema Padasari

Legok

Huni Sukakarya Gambung Rata-rata

AI_5 -1.0000 -0.0256 -1.0000 -1.0000 -0.3333 -0.6667 -.33760 AI_11 -1.0000 -1.0000 -1.0000 -0.0811 -1.0000 -1.0000 -0.8468 AI_13 0.4425 0.0000 -1.0000 -0.0811 0.0000 -0.7391 -0.2296 AI_34 -0.0619 -0.0256 -0.2903 -0.3833 -1.0000 -0.0390 -0.3000 AI_4 -0.7738 -1.0000 -0.1905 -0.5152 -0.6514 -0.0884 -0.5366 Rata-rata -0.4786 -0.41024 -0.6962 -0.41214 -0.59694 -0.50664 -0.5168

Tabel 3.5 Nilai pengujian struktur inbreeding menggunakan uji chi square (X2)

Lokus Nagrak Babakan Rema Padasari Legok Huni Sukakarya Gambung

AI_5 19.00*** 0.00ns 19.00*** 19.00*** 1.96ns 8.26** AI_11 19.00*** 19.00*** 19.00*** 0.09ns 19.00*** 19.00*** AI_13 8.30* 19.00*** 19.00*** 0.09ns 19.00*** 10.21** AI_34 0.09ns 0.00ns 1.47ns 3.32ns 19.00*** 0.03ns

AI_4 19.00*** 19.00*** 0.56ns 10.33* 12.09** 0.18ns Tingkat signifikansi: non signifikan (ns), α = 0.05 (*), 0.01 (**), 0.001 (***)

Berdasarkan tampilan struktur populasi (Gambar 3.5), dapat dikatakan hampir semua populasi mempunyai struktur yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa gen pool semua populasi mindi dalam penelitian diduga berasal dari satu sumber.

Gambar 3.5 Tampilan struktur populasi mindi

Variabilitas Dimensi Buah Ukuran Buah

Buah mindi merupakan jenis buah batu (drupe) (Orwa et al. 2009). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata ukuran buah paling besar yaitu buah

16

yang berasal dari Nagrak dan Padasari. Ukuran panjang dan lebar buah mindi pada tiap lokasi disajikan pada Tabel 3.6.

Secara umum Tabel 3.6 menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat, maka ukuran buah akan semakin kecil. Buah dari Sukakarya dan Gambung mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan lokasi lainnya. Dilihat dari ketinggian tempat, kedua lokasi tersebut memiliki ketinggian yang lebih tinggi (Tabel 2.1). Orwa et al. (2009) melaporkan bahwa mindi mampu beradaptasi pada ketinggian 0-1 800 m dpl. Kecilnya ukuran buah mindi yang berasal dari Sukakarya dan Gambung bisa disebabkan oleh adaptasi suhu yang rendah pada ketinggian lokasi tersebut.

Tabel 3.6 Nilai rata-rata panjang dan lebar buah mindi pada tiap lokasi

Lokasi*

Panjang Buah Lebar Buah

Mean** (cm) Range (cm) CV (%) Mean** (cm) Range (cm) CV (%) Nagrak 1.22 ± 0.17a 0.75-1.64 13.93 0.74 ± 0.08a 0.55-0.96 10.81 Babakan Rema 1.19 ± 0.13a 0.78-1.54 10.92 0.70 ± 0.07b 0.52-0.93 10.00 Padasari 1.21 ± 0.19a 0.66-1.62 15.70 0.73 ± 0.08a 0.44-0.94 10.96 Sukakarya 1.13 ± 0.19b 0.77-1.55 16.81 0.70 ± 0.07b 0.47-0.85 10.00 Gambung 1.12 ± 0.13b 0.77-1.40 11.61 0.70 ± 0.08b 0.47-0.85 11.42

*) urutan lokasi berdasarkan ketinggian (rendah ke tinggi)

**)huruf di samping angka menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji Duncan pada α = 0.05

Massa Buah

Rata-rata massa buah mindi pada tiap lokasi didapatkan 0.37-0.40 g. Hasil pengukuran massa buah menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada tiap lokasi. Jika massa buah tersebut dikonversi menjadi jumlah buah tiap kg, maka akan didapatkan 2 500 - 2 700 butir. Menurut Danu (2005), jumlah buah mindi kering sebanyak 1 286 butir kg-1. Sedangkan menurut Orwa et al. (2009), jumlah buah mindi tiap kg 470 - 2 800 butir. Sehingga dapat dikatakan hasil pengukuran massa buah mindi dalam studi ini masih dalam kisaran normal. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa buah paling berat yaitu buah yang berasal dari Nagrak seperti disajikan pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Nilai rata-rata massa buah mindi pada tiap lokasi

Lokasi* Kadar Air

(%) Massa buah Mean** (g) Range (g) CV (%) Nagrak 15.40 0.40 ± 0.04a 0.34-0.47 10.95 Babakan Rema 15.41 0.37 ± 0.05a 0.31-0.47 12.37 Padasari 15.45 0.37 ± 0.05a 0.31-0.46 14.37 Sukakarya 15.47 0.38 ± 0.05a 0.35-0.46 12.82 Gambung 15.34 0.37 ± 0.02a 0.35-0.39 4.82 *)

urutan lokasi berdasarkan urutan ketinggian (rendah ke tinggi)

**)

huruf di samping angka menunjukkan perbandingan nilai tengah berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.05

Persentase pembentukan benih (seed set)

Seed set merupakan perbandingan ovul terhadap jumlah benih (Hansen & Molau 1994). Informasi seed set dapat digunakan untuk memprediksi jumlah

17 benih yang ada pada tiap kg buah. Penampang melintang dan membujur buah mindi disajikan pada Gambar 3.6. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata seed set tertinggi yaitu pada buah yang berasal dari Nagrak dengan rata-rata 85.47 ± 15.09%. Sebaran seed set mindi pada tiap lokasi disajikan pada Gambar 3.7. Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa nilai koefisien variasi (CV) pada dimensi buah berkisar 4.82-14.73% yang dikategorikan keragaman sedang (Ginwal et al. 2005).

Gambar 3.6 Penampang dan bagian-bagian buah mindi, (a) penampang membujur dan melintang (foto pribadi), (b) bagian-bagian buah mindi, ovl:ovul, cp:karpel, exc:eksocarp, msc:mesocarp, end:endocarp (Syamsuwida et al. 2012)

Gambar 3.7 Sebaran seed set mindi pada tiap lokasi Perkecambahan

Sutopo (2012) melaporkan bahwa persentase kecambah umumnya digunakan sebagai parameter viabilitas benih. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua benih pada hari ke-112 tidak mengalami penambahan persentase kecambah yang ditandai garis mulai mendatar (Gambar 3.8).

Gambar 3.8 menunjukkan bahwa benih dari Nagrak dan Padasari pada hari ke-7 sudah mulai berkecambah, kemudian disusul benih dari Babakan Rema yang berkecambah pada hari ke-14. Pengamatan sampai hari ke-56 baru menunjukkan benih dari Sukakarya dan Gambung mulai berkecambah. Pada Tabel 3.6 terlihat bahwa benih dari Sukakarya dan Gambung mempunyai ukuran yang lebih kecil. Khan et al. (1999) dan Kuniyal et al. (2013) melaporkan bahwa benih dari buah yang kecil dan ringan akan mempunyai laju perkecambahan yang lebih lama dibandingkan dengan buah yang lebih besar dan berat.

Persentase kecambah menunjukkan jumlah kecambah normal yang dihasilkan oleh benih pada kondisi lingkungan tertentu (Sutopo 2012). Dari lima sumber benih, persentase perkecambahan tertinggi yaitu benih dari Nagrak, mencapai 65.10% (Gambar 3.9).

(a )

(b )

18

Gambar 3.8 Nilai persentase perkecambahan benih mindi dari awal sampai akhir pengamatan,

Gambar 3.9 Persentase perkecambahan benih mindi dari lima sumber benih Tabel 3.8 Rekapitulasi nilai GP (persentase kecambah), GV (nilai kecambah), dan GS

(kecepatan kecambah) benih mindi pada tiap lokasi

Waktu Pengamatan Asal Beniha GP

(%) GV GS Czabatorb Modifikasic T50 Nagrak 22.15 0.35 0.24 0.40 Babakan Rema 8.81 0.14 0.05 0.16 Padasari 8.08 0.14 0.03 0.14 Sukakarya 1.55 0.00 0.00 0.03 Gambung 2.00 0.00 0.00 0.04 T100 Nagrak 63.09 1.00 0.78 0.60 Babakan Rema 29.41 0.44 0.21 0.28 Padasari 33.00 0.67 0.22 0.32 Sukakarya 27.91 0.12 0.07 0.27 Gambung 27.00 0.07 0.05 0.26 a

urutan lokasi berdasarkan urutan ketinggian (rendah ke tinggi), b persamaan Gzabator (Djavanshir & Pourbeik 1976), c persamaan modifikasi (Caliskan 2014)

Menurut Sutopo (2012), diduga bahwa benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan lebih banyak dan embrionya lebih besar dibandingkan dengan benih yang kecil. Khan et al. (1999) dan Kuniyal et al.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 Nagrak Babakan Rema

Padasari Sukakarya Gambung

per sentase kecam bah ( %) Asal benih

19 (2013) melaporkan bahwa benih dari buah yang kecil dan ringan akan memiliki persentase perkecambahan yang rendah. Selain itu, Khan (2004) juga melaporkan bahwa massa buah berkorelasi positif dengan persentase perkecambahan, semakin berat suatu buah maka persentase perkecambahannya akan lebih tinggi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa benih dari Nagrak mempunyai GP, GV dan GS yang paling tinggi diantara benih lainnya (Tabel 3.8). Jika dikaitkan dengan ukuran buah (Tabel 3.6), maka secara umum ukuran buah berbanding lurus dengan GP, GV dan GS. Semakin besar ukuran buah maka semakin besar pula nilai GP, GV dan GS suatu benih.

Pertumbuhan Bibit Mindi

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa media penyapihan berpengaruh sangat nyata (α = 0.05) terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter bibit mindi. Namun interaksi antara media dengan asal benih tidak berpengaruh nyata. Analisis varian asal benih dan kombinasi media pada pertumbuhan tinggi dan diameter bibit mindi disajikan pada Tabel 3.9. Untuk nilai CV pada pengamatan pertumbuhan tinggi dan diameter bibit mindi didapatkan sebesar 11.79-21.77%. Nilai tersebut dikategorikan variasi yang sedang (Ginwal et al. 2005). Dokumentasi pengamatan pertumbuhan bibit mindi di persemaian disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 3.9 Analisis varian pengaruh media dan asal benih pada pertumbuhan tinggi dan

diameter bibit mindi pada taraf α = 0.05 dan 0.01

Sumber keragaman p < 0.05

Tinggi Diameter

media 0.0001** 0.0001**

ulangan 0.0820ns 0.8715ns

asal benih 0.0287** 0.0029**

interaksi media dan asal benih 0.3471ns 0.1989ns

**

sangat nyata, ns tidak nyata

Pengaruh Asal Benih pada Pertumbuhan Bibit Mindi

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertambahan diameter dan tinggi pada bibit mindi paling besar adalah bibit yang sumber benihnya dari Nagrak. Uji lanjut Duncan dengan

α

= 0.05 menunjukkan pertambahan tinggi dan diameter bibit dari Nagrak berbeda nyata dengan bibit dari Padasari dan Babakan Rema (Gambar 3.8).

Blade dan Vallejo (2008) melaporkan bahwa benih dengan ukuran dan massa yang lebih besar akan memberikan efek positif pada pertumbuhan diameter dan tinggi suatu bibit, serta memberikan pertumbuhan bibit yang lebih cepat. Berdasarkan studi awal, diantara tiga lokasi (Nagrak, Padasari, dan Babakan Rema) yang mempunyai rata-rata ukuran dan massa buah paling tinggi yaitu benih dari Nagrak (Tabel 3.4 dan 3.5). Gambar 3.10 menunjukkan bahwa pertumbuhan bibit yang paling tinggi yaitu pada benih yang berasal dari Nagrak.

20

Gambar 3.10 Pertambahan diameter dan tinggi bibit mindi umur 4 bulan dari sumber benih yang berbeda

Pengaruh Media Sapih pada Pertumbuhan Bibit Mindi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media P4 (tanah + pupuk kandang) memberikan pertambahan tinggi yang relatif sama baiknya dengan penggunaan media P6 (tanah + arang sekam + pupuk kandang) dan media P7 (tanah + pasir + pupuk kandang). Sedangkan media yang paling baik untuk pertambahan diameter adalah P6 (Gambar 3.11).

Gambar 3.11 Pengaruh media sapih terhadap pertambahan tinggi dan diameter bibit mindi selama 4 bulan, P1: tanah, P2: tanah + arang sekam (3:1), P3: tanah + pasir (3:2), P4: tanah + pupuk kandang (3:1), P5: tanah + arang sekam + pasir (3:1:2), P6: tanah + arang sekam + pupuk kandang (3:1:1), P7: tanah + pasir + pupuk kandang (3:2:1). Huruf-huruf di atas balok menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 0.05

Sudomo dan Santosa (2011) melaporkan bahwa media campuran tanah dan pupuk kandang memberikan pertambahan tinggi bibit mindi yang paling besar,

a b b 0 5 10 15 20 25

Nagrak Padasari Babakan Rema Pertam bah an ti ng gi (cm ) asal benih a b b 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Nagrak Padasari Babakan Rema Pertam bah an diam et er (m m ) asal benih b b b a b a a 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Pertam bah an ti ng gi (cm ) Media sapih c c c b c a ab 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 Pertam bah an diam et er (m m ) Media sapih

21 karena pemberian pupuk kandang akan menjamin ketersediaan unsur hara dan perbaikan aerasi media. EPA (2007) melaporkan bahwa kandungan nitrogen dari pupuk kandang biasanya langsung dapat tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu, pertumbuhan tinggi dan diameter bibit mindi lebih cepat pada media yang mengandung pupuk kandang.

Potensi Sumber Benih Mindi di Hutan Rakyat Jawa Barat

Sumber benih merupakan areal atau tempat dimana koleksi benih dilakukan. Perbedaan genetik antar sumber benih akan berpengaruh terhadap keberhasilan dalam pembangunan hutan (Na’iem 2011). Menurut Santoso (2011), salah satu permasalahan dalam penanaman adalah sumber benih dengan kualitas genetik tinggi yang masih sangat sedikit. Roshetko et al. (2004), melaporkan bahwa sumber benih hendaknya dibangun dengan mutu setinggi mungkin dan keragaman genetik setinggi mungkin. Mutu genetik perlu diperhatikan karena menyangkut daya adaptasi dengan lingkungan tempat tumbuh. Semakin tinggi keragaman genetiknya semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Keragaman genetik yang rendah pada suatu populasi akan menyebabkan inbreeding (silang dalam). Inbreeding yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan kepunahan dalam jangka panjang (Hamilton 2009).

Hasil analisis genetik menunjukkan tingkat keragaman genetik yang ada di dalam maupun antar populasi mindi dapat mengindikasikan bagaimana sumberdaya genetik tanaman mindi di hutan rakyat Jawa Barat. Berdasarkan hasil pengolahan data, keragaman genetik tanaman mindi rata-rata sebesar 0.3656. Hal ini menunjukkan keragaman genetik tanaman mindi di hutan rakyat tergolong sedang. Sehingga mindi di enam populasi ini masih dapat direkomendasikan sebagai sumber benih. Pembangunan hutan rakyat sebaiknya juga memperhatikan kekerabatan antar populasi. Populasi yang berkekerabatan dekat hendaknya tidak ditanam berdekatan, misalnya populasi Nagrak dan Padasari. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan inbreeding. Berbeda halnya dengan populasi Nagrak dan Legok Huni yang mempunyai kekerabatan jauh, sumber benih dari kedua populasi tersebut dapat ditanam secara berdekatan.

Keutuhan sumberdaya genetik mindi dapat dilakukan dengan konservasi in situ dan ex situ. Konservasi in situ merupakan metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Sedangkan konservasi ex situ meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penyimpanan atau pengklonan dengan alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi, dan (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan, misalnya dengan pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji, dan koleksi kultur jaringan.

Peningkatan keragaman genetik mindi bisa dilakukan dengan infusi genetik. Infusi genetik merupakan kegiatan memasukkan populasi tanaman yang berkeragaman tinggi ke populasi yang berkeragaman rendah. Hal ini dimaksudkan pada generasi populasi berikutnya akan mempunyai keragaman yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Nurtjahjaningsih (2007).

22

4

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Keragaman genetik dalam populasi (He) mindi dengan penanda mikrosatellit didapatkan sebesar 0.3656. Nilai keragaman genetik tersebut tergolong pada keragaman sedang, dengan keragaman genetik tertinggi adalah populasi Padasari (He= 0.4537) dan terendah adalah Babakan Rema (He= 0.2195). Berdasarkan nilai jarak genetik, analisis gerombol (dendogram), dan PCoA menunjukkan ada 3 pengelompokkan populasi mindi. Klaster pertama terdiri atas Nagrak dan Padasari, klaster ke dua Babakan Rema, Gambung dan Sukakarya, serta klaster ke tiga hanya populasi Legok Huni. Jarak genetik terjauh adalah populasi Nagrak dan Babakan Rema, sedangkan jarak genetik terdekat adalah Nagrak dan Padasari. Sehingga Nagrak dan Babakan Rema mempunyai kekerabatan yang jauh, sedangkan Nagrak dan Padasari mempunyai kekerabatan yang dekat. Dilihat dari tampilan struktur populasi hampir semua populasi mempunyai struktur yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa gen pool semua populasi mindi dalam penelitian diduga berasal dari satu sumber.

Variabilitas dimensi buah mindi secara spasial yang dikumpulkan dari lima sumber benih berbeda, dan pertumbuhan bibit mindi di persemaian tergolong sedang. Buah mindi dari Nagrak mempunyai ukuran, berat, dan seed set yang paling tinggi, serta persentase, nilai dan kecepatan kecambah paling tinggi. Hasil

Dokumen terkait