• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Rumput Laut Gracilaria verrucosa

Gracilaria verrucosa merupakan rumput laut dari jenis Rhodophyta dan digunakan dalam produksi agar. Perbedaan kualitas rumput laut G. verrucosa diduga dapat mempengaruhi agar yang dihasilkan, sehingga banyak industri pengolah rumput laut memilah-memilah kualitas rumput laut yang didapatkan dari para petambak rumput laut G. verrucosa. Rumput laut yang dihasilkan petani memiliki dua jenis kualitas berbeda, yaitu meet standard dan below standard. Perbedaan dua jenis rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) dapat dilihat pada Gambar 2.

Perbedaan kualitas rumput laut diduga didasari oleh perbedaan warna saat panen, G. verrucosa (meet standard)memiliki warna merah-kehitaman, sedangkan G. verrucosa (below standard)memiliki warna merah pudar, yang disebabkan oleh budidaya dengan kondisi perairan yang tidak mendukung dan penanganan pasca panen yang tidak baik dalam proses penjemuran rumput laut. Penggunaan dua jenis rumput laut dilakukan untuk mengetahui potensi sebagai bahan baku produksi bioetanol.

10

Gambar 1 Visualisasi rumput laut G. verrucosa (meet standard)(a.1), kering (a.2), tepung (a.3) dan G. verrucosa (below standard) (b.1), kering (b.2), tepung (b.3)

Karakteristik Tepung Rumput Laut

Karakterisasi yang diamati meliputi karakterisasi kimia yaitu, kandungan agar, selulosa, hemiselulosa, lignin, kadar air, kadar abu, gugus fungsi dengan FTIR dan karakterisasi fisik meliputi indeks kristalinitas dengan X-RD dan mikrograf rumput laut dengan SEM. Hasil karakterisasi kimia disajikan pada Gambar 3. Komponen terbesar dari kedua jenis rumput laut adalah agar. Agar merupakan jenis polisakarida yang dihasilkan dari rumput laut merah dan merupakan produk utama dari pemanfaatan rumput laut. Kadar agar pada kedua jenis rumput laut memiliki jumlah yang hampir sama dan diketahui sebagai komponen terbesar dalam komposisi kimia yang terdapat pada rumput laut.

Gambar 3 Histogram komposisi kimia tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard)( ) dan G. verrucosa (below standard) ( )

Hasil ekstraksi agar dari rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard)memiliki agar yang tidak jauh berbeda dengan ekstraksi agar dari rumput

0 5 10 15 20 25 30 35

Agar Selulosa Hemiselulosa Lignin Air Abu

Ko n sen trasi ( % ) (a).1 (b).1 . (a).2 (a).3 (b).2 . (b).3 .

11

laut G. verrucosa dengan larutan alkali yang dilakukan Kumar et al. (2013) dengan rendemen agar sebesar 32,53±1,42%. Dalam hal ini, ekstraksi dengan pelarut alkali atau tanpa alkali tidak mempengaruhi jumlah rendemen agar rumput laut G. verrucosa. Marinho-Soriano dan Bourret (2005) melakukan ekstraksi agar dari jenis rumput laut Gracilaria melaporkan bahwa selain musim dan faktor lingkungan, suhu dan salinitas dapat mempengaruhi rendemen agar yang dihasilkan. Pengaruh lain yang dapat mempengaruhi adalah umur panen rumput laut, Santika et al. (2014) melaporkan bahwa umur panen 50, 60, dan 70 hari menghasilkan rendemen agar yang relatif sama, sedangkan viskositas dan kekuatan gel tertinggi pada panen 60 hari dan menurun ketika umur panen 70 hari. Perbedaan rendemen agar diduga karena bahan baku diambil dari perairan yang sama sehingga faktor-faktor pendukung seperti lingkungan, suhu, salinitas dan umur panen tidak berpengaruh.

Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard)masing-masing memiliki kadar yang hampir sama. Santi et al. (2012) melaporkan bahwa kadar lignin dari rumput laut hijau Ulva lactuca dan Chaeteomorpha crassa masing-masing memiliki kadar lignin 2,9% dan 4%, hasil tidak jauh berbeda didapatkan dari kadar lignin G. verrucosa (meet standard dan below standard) masing-masing sebesar 4% dan 5,41%. Masalah utama sumber biomassa lignoselulosa sebagai bahan baku produksi bioetanol adalah kandungan lignin yang berperan sebagai inhibitor dalam konversi polisakarida menjadi monosakarida atau disakarida. Musatto dan Teixeira (2010) menyatakan bahwa lignin berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dan berfungsi memberikan tingkat kekerasan pada dinding sel. Hsu et al. (2010) melaporkan pengukuran kadar lignin jerami sebesar 14,9 %, hasil ini tiga kali lebih besar dari lignin rumput laut dan menyatakan bahwa lignin yang rendah dapat mengindikasikan bahwa sampel tidak perlu melalui proses pretreatment dan hidrolisis dalam keadaan yang ekstrim.

Hasil berbeda karakterisasi tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) diketahui pada kadar air dan abu. Pengukuran menunjukkan bahwa rumput laut G. verrucosa (meet standard) memiliki kadar air lebih rendah daripada kadar abu, sedangkan rumput laut G. verrucosa (below standard) memiliki kadar air dan abu sama. Kumar et al. (2013) melaporkan bahwa rumput laut Gracilaria verrucosa memiliki kadar air lebih rendah (4,4±0,15%) dibandingkan kadar abu (12,73±0,15%) dan menyatakan bahwa perbedaan kadar air dan abu pada rumput laut dapat dipengaruhi oleh penurunan salinitas akibat dari mengalirnya air tawar yang lebih banyak pada periode tertentu. Harun et al. (2013) melaporkan kadar air yang lebih tinggi dipengaruhi oleh pengeringan yang tidak berjalan sempurna. Perbedaan kualitas rumput laut dapat mempengaruhi kadar air dan abu yang diduga disebabkan salinitas dan pengeringan rumput laut yang dilakukan.

Rumput laut memiliki komponen-komponen utama khususnya polisakarida. Gugus fungsi polisakarida dari suatu senyawa dapat ditunjukkan dengan adanya puncak pita pada spektrum transmitan rumput laut pada suatu bilangan gelombang. Bilangan gelombang yang dipancarkan pada rentang 1800-600 cm-1. Spektrum FTIR rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard)dapat dilihat pada Gambar 4.

12

Gambar 4 Spektrum FTIR tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard) (a) dan G. verrucosa (below standard)(b)

Pita gelombang yang lemah pada kedua jenis rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) ditunjukkan pada pita gelombang 1600 cm-1, merupakan peregangan dari cincin aromatik yang menandakan adanya lignin (Kumar et al. 2009), kemudian ditemukan juga puncak gelombang 1434 cm-1 dengan ikatan C-H dan pada 1022 cm-1 dengan ikatan gugus C-O-C yang menunjukkan karakteristik selulosa (Siddhanta et al. 2011) kemudian pita 1040-1060 cm-1 menandakan regangan gugus C-O hemiselulosa (Zhao et al. 2008).

Puncak panjang gelombang kuat ditunjukkan pada 930 cm-1, 895 cm-1 dan 775 cm-1 untuk rumput laut G. verrucosa (meet standard). Puncak 930 cm-1

menandakan getaran gugus C-O-C pada polimer subunit 3,6-anhidro-α-L-galaktosa (Barros et al. 2013), hal ini diduga rumput laut G. verrucosa (meet standard) memiliki polimer subunit 3,6-anhidro-α-L-galaktosa yang tinggi. Marinho-Soriano dan Bourret (2005) melaporkan bahwa polisakarida agar dengan subunit 3,6-anhidrogalaktosa mengindikasikan agar memiliki gel yang kuat. Pita yang muncul pada 897 cm-1 menandakan gugus β-linked glukosa yang merupakan polimer dalam selulosa (Uju et al. 2015), hal ini diduga telah terjadi pemecahan selulosa menjadi glukosa pada rumput laut G. verrucosa (meet standard).

Rumput laut G. verrucosa (below standard) menunjukkan puncak kuat pada panjang gelombang 870 cm-1, 830 cm-1 dan 750 cm-1. Daerah panjang gelombang 800-850 cm-1 merupakan polisakarida agar dari gugus sulfat, pita 830 cm-1 yang muncul menandakan grup sulfat dari 2-O-D-galaktosa (Barros et al. 2013), sedangkan puncak pada 872 cm-1 menandakan keberadaan grup sulfat dari 6-O-galaktosa (Kumar et al. 2012). Grup sulfat galaktosa yang terdeteksi pada rumput laut G. verrucosa (below standard) mengindikasikan bahwa agar mengandung sulfat yang tinggi. Marinho-Soriano dan Bourret (2005) melaporkan bahwa agar dengan sulfat yang tinggi memiliki gel yang lemah.

601 693 785 874 966 1058 1150 1239 1331 1423 1515 1605 1697 1789 T ran sm ittan ce ( %) Wavenumber (cm-1) 1600 1600 1022 930 775 750 830 870 1022 1434 1434 895 (a) (b)

13

Puncak kuat pada rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard)masing-masing memiliki ditandai pada panjang gelombang 775 cm-1 dan 750 cm-1. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa panjang gelombang tersebut mengindikasikanratio dari kristalin selulosa. Puncak 775 cm-1 diduga memiliki kristalinitas selulosa lebih tinggi dibandingkan dengan puncak 750 cm-1. Hasil pengukuran diduga bahwa rumput laut G. verrucosa (meet standard)memiliki agar dengan gel yang kuat dan kristalinitas tinggi, sedangkan rumput laut G. verrucosa (below standard)memiliki agar dengan gel lemah dan kristalinitas rendah.

Rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) masing-masing diukur indeks kristalinitas selulosa. Kristalinitas adalah tingkat keteraturan selulosa dengan sifat seperti kristal yang dicirikan dengan derajat kristalinitas yang terdapat pada sumber bahan baku (Pari et al. 2011). Taherzadeh dan Karimi (2008) melaporkan bahwa susunan mikrofibril yang rapat membuat selulosa menjadi tidak mudah untuk dihidrolisis oleh enzim. Selulosa memiliki bentuk struktur kristalin dan polimer penyusun lainnya seperti hemiselulosa dan lignin memiliki bentuk struktur amorf. Indeks kristalinitas dihitung dengan metode Segal et al. (1959).

Pengukuran indeks kristalinitas menunjukkan bahwa kristalinitas selulosa rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard) sebesar 74,5% dan 54,8% berturut-turut. Selulosa alam mempunyai kristalinitas tinggi karena ikatan inter dan intramolekuler hidrogen yang membuat selulosa tidak larut dan sulit untuk dihidrolisis (Puri 1984). Perbedaan kristalinitas rumput laut diduga karena umur panen rumput laut G. verrucosa. Kamat et al. (2002) melaporkan bahwa tanaman hemp dengan umur panen 30 hari memiliki kadar α-selulosa 37% dan kadar lignin 14%, meningkat pada umur panen 90 hari dengan kadar α-selulosa 44% dan kadar lignin 11%. Hasil ini didukung dengan analisis gugus fungsi bahwa kristalinitas rumput laut G. verrucosa (meet standard) lebih tinggi dibandingkan G. verrucosa (below standard). Indeks kristalinitas yang lebih rendah dapat mempermudah proses pemecahan menjadi gula-gula sederhana.

Karakterisasi fisik dilakukan untuk mengetahui perbedaan struktur pada masing-masing rumput laut G. verrucosa. Hasil mikrograf rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard)dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Mikrograf rumput laut G. verrucosa (meet standard)(a) dan G. verrucosa (below standard) (b) (a.) 100x (b.)1000x (a.) 1000x (b.)100x (b.)10000x (a.) 10000x

14

Hasil mikrograf menunjukkan bahwa permukaan pada masing-masing bahan memiliki perbedaan pada perbesaran 100x, rumput laut G. verrucosa (meet standard)memiliki struktur thallus yang lebih kompak dengan susunan epidermis melapisi thallus rumput laut, sedangkan rumput laut G. verrucosa (below standard) memiliki struktur permukaan thallus yang sudah tidak halus. Perbedaan struktur luar diduga karena rumput laut G. verrucosa (below standard) merupakan jenis kualitas rendah dengan penanganan pasca panen yang tidak baik, disebabkan penjemuran yang terkena air tawar dan menyebabkan permukaan luar jenis rumput laut rusak.

Perbesaran 1000x dan 10000x, tampak lebih jelas struktur dalam dari rumput laut G. verrucosa (meet standard dan below standard). Penyusun jaringan rumput laut diduga sebagai dinding sel dari polisakarida. Rumput laut sebagian besar tersusun dari agar dan sebagian kecil adalah lignoselulosa. Serat-serat polisakarida agar rumput laut hasil perbesaran terlihat jelas, Balakrishnan et al. (2013) melaporkan bahwa rumput laut Gracilaria tersusun atas struktur sel dan matriks interseluler dari polisakarida.

Karakteristik Hidrolisat Tepung Rumput Laut

Rumput laut yang telah menjadi tepung selanjutnya dihidrolisis. Hidrolisis dilakukan menggunakan asam sulfat dengan konsentrasi 3%. Hidrolisat rumput laut kemudian diukur gula pereduksi dan jenis gula. Hasil pengukuran gula pereduksi dan jenis gula hidrolisat rumput laut dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil pengukuran gula pereduksi menunjukkan bahwa hidrolisat G. verrucosa meet standard memiliki gula pereduksi (105,47±19,19 mg/mL) yang hampir sama dengan hidrolisat tepung rumput laut below standard (94,78±0,69 mg/mL). Meinita et al. (2012b) melaporkan hasil pengukuran gula pereduksi terhadap hidrolisat rumput laut K. alvarezii menghasilkan gula pereduksi sebesar 50 mg/mL, jumlah gula pereduksi rumput laut G. verrucosa dua kali lipat lebih besar dari rumput laut K. alvarezii.

Gambar 6 Gula pereduksi (a) dan jenis gula (b) hidrolisat rumput laut G. verrucosa (meet standard)( ) dan G. verrucosa (below standard)( )

0 20 40 60 80 100 120 140 G. verrucosa (meet standard) G. verrucosa (below standard) G u la p ere d u k si (m g /m L ) (a) (b) 0 100 200 300 400 500 600 700 800

Arabinosa Glukosa Maltosa Xilosa

Ko n se n tras i (p p m )

15

Yadav et al. (2011) melaporkan bahwa hidrolisis dengan asam sulfat dapat meningkatkan konsentrasi gula pada hidrolisat mencapai 2 kali lipat. Hal ini diduga karena penggunaan konsentrasi asam sulfat dan waktu hidrolisis yang dilakukan. Penggunaan dua tahap hidrolisis dan konsentrasi asam sulfat 3% yang dipanaskan dengan suhu 121 oC mampu menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak. Penggunaan asam sulfat juga dapat menghasilkan produk samping, Jonsson et al. (2013) melaporkan bahwa lignin akan membentuk komponen fenolik akibat dari hidrolisis asam, sedangkan Meinita et al. (2012b) melaporkan bahwa konsentrasi asam sulfat dan reaksi yang lebih lama dapat menurunkan komponen gula dan menghasilkan produk samping seperti 5-hidroksil-metil-furfural (5-HMF) dan asam levulinik.

Gambar 6b menunjukkan bahwa jenis gula pada hidrolisat tepung rumput laut G. verrucosa diantaranya, arabinosa, glukosa, maltosa, dan xilosa. Gula arabinosa hidrolisat tepung rumput laut G. verrucosa (meet standard)diperkirakan memiliki konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan glukosa, sedangkan gula arabinosa dan glukosa pada G. verrucosa (below standard) diperkirakan memiliki konsentrasi yang hampir sama. Maltosa dan xilosa memiliki konsentrasi yang hampir sama pada kedua jenis rumput laut sebagai gula terendah dan tertinggi.

Rumput laut sebagai sumber biomassa lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin memiliki peran dalam penyusunan jenis monosakarida. Selulosa berperan dalam kontribusi glukosa, kemudian hemiselulosa berperan dalam kontribusi gula pentosa dan heksosa yaitu xilosa, arabinosa dan glukosa (Musatto dan Teixeira 2010). Salah satu komponen terbesar dari rumput laut adalah agar, Guerrero et al. (2014) melaporkan bahwa agar yang tersusun dari 3,6 anhidrogalaktosa berkontribusi dalam menghasilkan galaktosa. Sarfat et al. (2013) menggunakan rumput laut merah (E. cottonii) sebagai bahan baku produksi bioetanol, hasil pengukuran jenis gula menunjukkan bahwa gula tertinggi adalah galaktosa, sedangkan hasil dari pengukuran jenis gula menunjukkan tidak adanya jenis galaktosa. Hal ini diperkirakan bahwa galaktosa dalam rumput laut telah mengalami perubahan dalam bentuk yang lebih sederhana akibat dari hidrolisis dengan panas dan asam, sehingga hanya jenis gula glukosa, arabinosa, xilosa dan maltosa yang terdeteksi pada hidrolisat rumput laut.

Produksi Bioetanol dengan S. cerevisiae AL IX

Produksi bioetanol dilakukan dengan fermentasi sebagai tahap akhir dalam pembuatan etanol. Khamir yang digunakan adalah dari jenis S. cerevisiae AL IX. Saccharomyces cerevisiae AL IX merupakan khamir teradaptasi dengan media tumbuh yang kaya dengan jenis galaktosa, seperti rumput laut, penamaan jenis khamir ini dikarenakan khamir S. cerevisiae AL IX dapat bekerja secara optimum dengan kondisi adaptasi lambat selama 9 hari dengan media tumbuh hidrolisat rumput laut E. cottonii (Setyaningsih et al. 2012). Media yang digunakan selama fermentasi adalah hidrolisat rumput laut G. verrucosa (below standard), hal ini berdasarkan hasil karakterisasi yang hampir sama dengan rumput laut G. verrucosa (meet standard). Kultur fermentasi hasil fermentasi dilakukan dalam skala lebih besar (100 mL) untuk pengukuran kadar etanol kasar dan gula pereduksi, sedangkan pengukuran profil pertumbuhan S. cerevisiae AL IX dilakukan dalam skala

16

fermentasi lebih kecil (10 mL). Hasil pengukuran kadar etanol kasar dan gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 7a.

Hasil pengukuran kadar etanol menunjukkan bahwa kultur fermentasi hidrolisat rumput laut mampu memproduksi etanol. Fermentasi yang dilakukan selama 6 hari, diketahui bahwa etanol kasar mulai terbentuk dari fermentasi hari 1 dan terus meningkat hingga hari 4, sebelum terjadi penurunan pada hari ke-6. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa khamir S. cerevisiae AL IX mampu memproduksi etanol dengan waktu optimum pada hari ke-4 dan menghasilkan etanol kasar sebesar 0,285%.

Gambar 7 Produksi bioetanol ( ) dan gula pereduksi ( ) (a) serta profil pertumbuhan (b) Saccharomyces cerevisiae AL IX

Produksi etanol kasar tertinggi adalah 0,285%, jumlah ini terbilang masih rendah. Setyaningsih et al. (2012) melaporkan bahwa dengan hidrolisat rumput laut E. cottonii produksi etanol yang dihasilkan mencapai 2% dengan bantuan khamir S. cerevisiae. Yanagisawa et al. (2013) melaporkan bahwa etanol yang dihasilkan secara ekonomi layak dilakukan yaitu konsentrasi etanol yang mencapai 4-5% atau lebih besar dari 4%. Hal ini diduga karena khamir yang digunakan berasal dari isolat yang telah disegarkan berulang, sehingga kemampuan aktivitas khamir untuk mengubah gula menjadi etanol menurun. Dugaan lain hasil ini adalah adanya komponen toksik seperti 5-hidroksi-metil-furfural (5-HMF) dan furfural pada hidrolisat yang disebabkan penggunaan asam dan suhu saat hidrolisis yang akan berpengaruh pada mikroorganisme selama fermentasi sehingga tidak bekerja secara maksimal.

Tsigie et al. (2013) melaporkan bahwa pada suhu 120 °C konsentrasi HMF dan furfural masing-masing adalah 0,24 g/L dan 0,17 g/L, tetapi terjadi peningkatan masing-masing sebesar 1,12 g/L dan 0,43 g/L pada suhu 135 °C. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan gula pada substrat terdegradasi menjadi komponen lain seperti 5-hidroksi-metil-furfural (5-HMF) dan furfural yang dapat bersifat toksik untuk mikrorganisme fermentasi. Meinita et al. (2012b) melaporkan bahwa HMF dan asam levulinik mulai menghambat produksi etanol pada konsentrasi 0,05 g/L dan 0,5 g/L. Cho et al. (2011) menyatakan bahwa hidrolisat lignoselulosa seperti rumput laut tidak hanya mengandung gula-gula yang dapat difermentasi, tetapi juga

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 2 4 6 Kad ar E tan o l (%) G u la P er ed u k si (m g /m L )

Waktu Fermentasi (Hari)

(a) 0 1 2 3 4 5 6 7 0 2 4 6 Ju m la h se l (L o g CFU/ m L )

Waktu Fermentasi (Hari)

17

mengandung komponen seperti furan, asam lemah dan komponen fenolik lainnya yang dapat menghambat fermentasi etanol.

Penurunan kadar etanol yang terjadi pada hari ke-6 diduga karena semakin berkurangnya nutrisi dan pertumbuhan sel. Idral et al. (2012) melaporkan bahwa ketersediaan nutrisi dalam medium sudah mulai berkurang sehingga khamir mengubah etanol menjadi asam asetat yang menyebabkan penurunan kadar etanol. Penggunaan jenis mikroba lain dalam hidrolisat rumput laut telah banyak dilakukan seperti Sarfat et al. (2013) yang menggunakan khamir Pachysolen tannophilus, tetapi etanol yang dihasilkan dari jenis khamir ini masih lebih rendah dari jenis khamir S. cerevisiae.

Gula pereduksi yang dihasilkan hidrolisat telah memenuhi syarat untuk dilakukan fermentasi yaitu sebesar 10%, Sebayang et al. (2006) melaporkan bahwa dengan kandungan gula 10-18% etanol yang dihasilkan dari fermentasi sudah cukup baik dengan kadar etanol 12%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gula pereduksi selama proses fermentasi menunjukkan grafik penurunan seiring dengan terbentuknya etanol. Hargreaves et al. (2013) melaporkan bahwa gula pereduksi awal sebelum fermentasi sebesar 80 g/L, ketika etanol mencapai 37 g/L, gula pereduksi turun menjadi 2 g/L dengan konversi gula menjadi etanol mencapai 98%. Gula pereduksi akan menurun ketika etanol telah terbentuk. Hal ini berbeda dengan yang dihasilkan pada penelitian ini, yaitu produksi etanol maksimum hanya 0,285%. Artinya konversi gula yang terjadi hanya sebesar 24,13%, yaitu dari 87 mg/mL pada awal fermentasi menjadi 66 mg/mL pada hari ke-4. Rendahnya konversi gula ini diduga yang menyebabkan rendahnya kadar etanol yang dihasilkan.

Profil pertumbuhan khamir memberikan gambaran mengenai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan suatu khamir seperti substrat, suhu lingkungan dan pH (Kusumaningati et al. 2013). Pengukuran jumlah koloni sel dengan melihat profil pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 7b. Grafik menunjukkan bahwa koloni sel awal S. cerevisiae AL IX pada medium YMGP sebesar 7,483 Log CFU/mL, kemudian dilakukan fermentasi dan pengukuran jumlah koloni sel pada medium hidrolisat rumput, jumlah koloni sel pada hari ke-0 mengalami penurunan hingga hari ke-2, kemudian mulai terjadi kenaikan jumlah koloni hingga hari ke-4 dan terjadi penurunan kembali pada hari ke-6 dengan jumlah koloni sebesar 2,996 Log CFU/mL.

Setyaningsih et al. (2012) melakukan pengukuran jumlah sel dengan dua metode yaitu adaptasi cepat dan lambat, melaporkan bahwa jumlah sel S. cerevisiae dengan adaptasi cepat, memiliki konsentrasi sel 6,90x107 sel/mL pada hari ke-1, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-2 dengan konsentrasi sel 5,35x107 sel/mL dan meningkat kembali pada hari ke-3 7,55x107 sel/mL, selanjutnya terjadi penurunan hingga akhir fermentasi. Pengukuran adaptasi lambat menunjukkan konsentrasi sel 6,90x107 sel/mL pada hari ke-1, kemudian terjadi penurunan pada hari ke-2 dengan konsentrasi sel 2,00x107 sel/mL dan naik kembali dengan konsentrasi sel 6,25x107 sel/mL pada hari ke-7, sebelum mengalami penurunan pada akhir pengukuran sel. Pola pertumbuhan yang terjadi dapat dikatakan memiliki persamaan. Hal ini diduga karena skala fermentasi yang lebih kecil menyebabkan ketahanan hidup khamir lebih rentan, sehingga terjadi penurunan sebelum khamir dapat menyesuaikan terhadap lingkungan dan mulai beradaptasi serta hidup di media hidrolisat rumput laut.

18

Hasil pengukuran jumlah koloni sel jika dihubungkan dengan produksi etanol dengan S. cerevisiae AL IX, mempunyai perbedaan karena etanol kasar yang diproduksi mengalami kenaikan hingga hari ke-4, sedangkan jumlah koloni sel mengalami penurunan pada hari ke-2. Sarfat et al. (2013) melaporkan S. cerevisiae AL IX merupakan khamir yang telah teradaptasi pada media yang mengandung galaktosa, hasil pengukuran jumlah total sel dan etanol yang dilakukannya memiliki korelasi, jumlah total sel yang semakin tinggi, konsentrasi etanol yang dihasilkan meningkat. Timson (2007) melaporkan khamir menghasilkan enzim galaktosa mutarotase dan UDP-4-epimerase yang dapat memetabolisme galaktosa hingga menjadi glukosa, melalui glikolisis mengubah glukosa menjadi etanol.

Penurunan total sel pada pengukuran profil pertumbuhan dengan hidrolisat rumput laut diduga S. cerevisiae AL IX merupakan khamir teradaptasi dengan media galaktosa, sedangkan hidrolisat tidak menghasilkan jenis galaktosa sehingga khamir diduga mengalami adaptasi dengan media glukosa, xilosa dan arabinosa. Borines et al. (2013) dan Mohagheghi et al. (2002) melaporkan bahwa proses fermentasi oleh S. cerevisiae merupakan proses pengubahan sebagian besar energi gula ke dalam bentuk etanol dibawah kondisi anaerob melalui jalur Embden-Meyerhoff-Parnas (EMP). Pembentukan etanol melalui jalur Embden-Meyerhoff-Parnas (EMP) dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Jalur Embden-Meyerhoff-Parnas (EMP) (Berry 1988) Glukosa (C6H12O6)

ATP, Mg++

Glukosa 6-Fosfat Fruktosa 6-Fosfat Fruktosa 1,6-Difosfat

Dihdroksi Aseton Fosfat Gliseraldehida 3-P Asam 1,3-difosfogliserat Asam 3-Fosfogliserat Asam 2-Fosfogliserat Fosfoenol Piruvat Asam Piruvat

Asam Laktat Asetildehida

Etanol

Fosfo glukoisomerase Fosfo fruktokinase Aldolase

Triosa fosfat isomerase Pi

Gliseridaldehida fosfat dehidrogenase Fosfogliseratkinase Fosfogliseseromutase Enolase Mg++ Piruvatkinase Mg++ Laktat dehidrogenase Piruvat dekarboksilase Alkohol dehidrogenase NAD+ NADH + H+ ADP ATP ADP ATP NADH + H+ NAD+ CO2 Heksokinase

19

Jalur Embden-Meyerhoff-Parnas (EMP) merupakan jalur glikolisis yang dilalui oleh khamir S. cerevisiae untuk mengubah glukosa menjadi etanol. Glukosa dengan bantuan enzim-enzim mampu dipecah hingga menjadi piruvat, kemudian piruvat dipecah menjadi etanol dengan enzim piruvat dekarboksilase (PDC) dan alkohol dehidrogenase (ADH). Ndaba et al. (2014) melaporkan bahwa S. cerevisiae ketika difermentasi dalam media campuran glukosa dan xilosa, khamir tidak mampu memanfaatkan xilosa sebagai sumber karbon. Li et al. (2010) melaporkan bahwa khamir S. cerevisiae 424A (LNH-ST) mampu memanfaatkan gula-gula pentosa dan heksosa, dikarenakan jenis khamir ini merupakan hasil rekayasa genetik untuk memfermentasikan xilosa.

Dokumen terkait