• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Wilayah Penelitian Letak Geografis dan Batas Administrasi Wilayah

Kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Barangin dan Talawi Kota Sawahlunto dengan luas kawasan sekitar 4 km2 atau 400 hektar. Secara geografis wilayah penelitian terletak 0°36’30” – 0° 39’00” Lintang Selatan dan 100°43’30” – 100°46’30” Bujur Timur.

Batas-batas fisik dari wilayah penelitian adalah sebagai berikut:

- sebelah Utara berbatasan dengan Batang (sungai) Ombilin dan Batang Malakutan;

- sebelah Timur berbatasan dengan Batang Ombilin dan Jalan Propinsi Sawahlunto-Batusangkar;

- sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Propinsi Sawahlunto-Batusangkar dan Jalan Kota Santur-Talawi; dan

- sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Kota Santur-Talawi dan Batang Malakutan.

Kemudian secara administrasi wilayah penelitian merupakan bagian dari 5 (lima) desa yaitu Desa Kolok Mudik dan Desa Kolok Nan Tuo di Kecamatan Barangin serta Desa Salak, Desa Sijantang Koto, dan Desa Sikalang di Kecamatan Talawi. Lebih rinci mengenai desa, kecamatan, dan luas wilayah yang termasuk dalam wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas wilayah penelitian

No Desa Kecamatan Luas Wilayah (Ha) Administrasi Penelitian 1. Kolok Mudik Barangin 1.125,62 95,15 2. Kolok Nan Tuo Barangin 1.406,74 0,63 3. Salak Talawi 641,78 55,49 4. Sijantang Koto Talawi 413,10 170,49 5. Sikalang Talawi 260,89 78,24

Jumlah 6.339,19 400,00

Kondisi Biofisik Lahan

- Geologi

Daerah Kota Sawahlunto terletak pada cekungan pra-tersier Ombilin yang berbentuk belah ketupat panjang dengan ujung bulat, selebar 22,50 km dan Panjang 47,00 km. kedalaman cekungan ini diperkirakan 2,00 km, diisi oleh lapisan yang muda yang disebut dengan Formasi Brani, Formasi Sangkarewang, Formasi Sawahlunto, Formasi Sawah Tambang dan Formasi Ombilin. Formasi Ombilin merupakan lapisan paling muda menurut kategori zaman tersier atau berumur sekitar 2 juta tahun. Kota Sawahlunto terletak di atas Formasi Sawahlunto, batuan yang terbentuk pada zaman yang diberi istilah kala (epoch) Eocen sekitar 40 – 60 juta tahun yang lalu. Para ahli geologi beropini bahwa Kepulauan Nusantara sekarang ini terbentuk sekitar 4 juta tahun yang lalu. Mereka menduga ketika Formasi Sawahlunto terbentuk belum ada Pulau Sumatera seperti sekarang ini. Pada Cekungan Ombilin inilah tersimpan batubara. Sampai saat ini, 30 juta ton batubara telah ditambang sedangkan yang telah teruji dan terkira diperkirakan masih tersisa sekitar 132 juta ton lagi (Antono, 1993).

Biasanya lapisan tanah dan batuan tanah ini memang membeku atau liat serta sulit untuk meluruskan atau menyimpan air tanah dan kemungkinan air tanah hanya tersimpan hanya tersimpan pada kulit bumi yang telah lapuk. Akan tetapi tidak demikian pada Formasi Sawahlunto. Tanah pada Formasi Sawahlunto mengandung butiran pasir yang dapat meluruskan air, tetapi dari gambar penampang Geologi Ombilin diduga air itu justru lolos ke tempat lain.

Aspek geologi yang perlu mendapat perhatian yang sangat serius dalam perencanaan dan pengembangan Kota Sawahlunto adalah : sesar, gempa bumi, dan gerakan tanah.

(1). Sesar. Sesar atau patahan yang dapat menimbulkan bencana adalah sesar yang aktif. Prasarana vital seperti pipa minyak, pipa air bersih harus direncana pembangunannya tidak memotong sesar aktif. Berdasarkan pola sesarnya yang sejajar dengan Sesar Besar Sumatera diperkirakan Sesar Sawahlunto adalah sesar aktif.

(2). Gempa Bumi. Kota Sawahlunto dan sekitarnya telah teridentifikasi sebagai daerah rawan gempa bumi. Telah tercatat bahwa gempa bumi

yang sering terjadi di Propinsi Sumatera Barat menyebabkan kerusakan di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung.

(3). Gerakan Tanah. Gerakan tanah sering terjadi di Kota Sawahlunto adalah gerakan tanah dengan tipe aliran bahan rombakan (debris slide), runtuhan batu (rock fall), longsor (land slide), dan rayapan tanah (soil creep). Gerakan tanah ini dapat terjadi pada semua jenis batuan mulai dari batu gamping, konglomerat, dan batu lempung. Gerakan tanah inipun dapat terjadi pada semua batuan yang memiliki salah satu atau beberapa keadaan berikut :

- morfologi atau kemiringan lereng yang curam - kekar atau retakan batu yang rapat

- kemiringan perlapisan batuan searah dengan kemiringan lereng dan tanah pelapukan cukup tebal.

Dapat disimpulkan bahwa terjadinya gerakan tanah di sekitar Kota Sawahlunto sering dipicu oleh kegiatan pemotongan lereng (misalnya pada road cut), curah hujan yang tinggi dan minimnya upaya penguatan lereng. Bahaya sesar aktif dan gempa bumi dapat diamati secara langsung di lapangan. Hasil pengamatan lapang ditemukan 4 (empat) tipe gerakan tanah yang semuanya terjadi di Kota Sawahlunto. Berikut ini 4 (empat) tipe gerakan tanah tersebut antara lain:

(1). Aliran bahan rombakan (debris slide)

Aliran bahan rombakan terutama terjadi karena aktivitas manusia seperti pemotongan tebing bagian bawah untuk pelebaran jalan dan panggalian tanah urug. Pemotongan tebing bagian bawah menyebabkan hilangnya kekuatan penyangga sehingga jika musim hujan, batuan yang lapuk di bagian atas menjadi mudah longsor. (2). Longsor (land slide)

Banyak terjadi di sepanjang jalan Sawahlunto – Talawi, terutama pada ruas Lubang Panjang – Sungai Durian, baik pada jalan bawah maupun jalan atas. Longsor terjadi karena sisi barat daya jalan yang umumnya berupa lembah yang tererosi secara alami yang menyebabkan jalan kehilangan penyangga. Apabila tanah di bawah bertambah berat

karena peresapan air hujan, sebagian atau seluruh badan jalan akan longsor atau turun ke bawah. Beban kendaraan dapat mempercepat terjadinya longsor.

(3). Rayapan Tanah (soil creep)

Dapat ditemui pada sisi timur laut jalan Sawahlunto–Talawi di Sungai Durian di bagian yang lerengnya agak landai. Rayapan tanah telah dikelola dengan pemberian teras di bagian kaki rayapan. Rayapan tanah terjadi karena masuknya air hujan ke dalam bagian tanah yang merayap. Air hujan yang meresap menambah berat massa tanah, tetapi mengurangi daya gesek tanah.

(4). Runtuhan Batu (rock fall)

Dapat terjadi alami pada tempat-tempat yang bertebing terjal, terutama pada tempat yang batuannya keras dan rapat, seperti pada batu pasir dan batu gamping di sekitar Kota Sawahlunto pada sepanjang ruas jalan Muara Kelaban–Sawahlunto, sepanjang ruas jalan Muara Kelaban Padang Sibusuk, sepanjang gawir sesar turun di Sungai Durian dan sepanjang Batang Ombilin. Secara alamiah runtuhan batu pada kekar bertambah lebar karena pelapukan. Oleh karena itu, kejadian runtuhan batu baru terjadi pada periode yang lama dan sulit untuk diramalkan. Hal ini justru menyebabkan masyarakat menjadi lupa akan bahaya yang ditimbulkannya.

Untuk formasi geologi kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam sendiri tersusun oleh jenis batuan sebagai berikut:

(1). Formasi Ombilin (Tmol) yang terdiri dari batupasir konglomeratan berselingan dengan batu lanau dan lapisan batubara. Merupakan lapisan paling muda menurut kategori zaman tersier atau berumur sekitar 2 (dua) juta tahun. Penyebarannya meluas dari Desa Kolok Mudik sampai ke Desa Sikalang;

(2). Formasi Gunung Api (Qpt) dan formasi Silungkang (Psl) berupa Satuan Batuan Vulkanik, lapisan batu lempung, batu lanau yang mengandung lapisan batubara. Penyebarannya di bagian utara dan barat dari wilayah penelitian;

(3). Formasi Sangkarewang (Tos) berupa lapisan batu konglomerat dan batu pasir, dimana penyebarannya dominan di seluruh wilayah penelitian; dan

(4). Sebagian kecil dari wilayah penelitian berupa lapisan Aluvial yang terdapat di pinggiran sungai Batang Ombilin dan Batang Malakutan, terlihat pada Gambar 7.

- Topografi

Wilayah penelitian terletak pada ketinggian berkisar antara 210-350 meter di atas permukaan laut (m dpl) dengan bentuk wilayah dominan (80%) berbukit dan bergelombang yang sebagian besar berlokasi di bagian tengah kawasan bekas tambang dengan kemiringan lahan antara 15-40%, sisanya (20%) termasuk datar, landai sampai agak curam (lereng 0-15%) terletaknya di pinggir jalan propinsi, dan sangat curam (lereng >40%) yang terletak pada areal bekas tambang Kandi-Tanah Hitam (Tabel 7).

Perbukitan yang terjal merupakan bentang alam yang dominan dalam daerah administrasi Kota Sawahlunto yang dicirikan oleh bukit-bukit yang membulat dengan lereng bukit curam sampai terjal (Gambar 8). Kemiringan lahan yang terjal ini menjadi kendala atau faktor pembatas pengembangan wilayah Kota Sawahlunto. Bentuk wilayah yang landai tersebar hampir di tengah Kota Sawahlunto, yang umumnya merupakan jalur- jalur sempit sehingga dirasa sulit untuk dikembangkan menjadi permukiman perkotaan; posisinya memanjang sepanjang Sesar Sawahlunto, memisahkan perbukitan terjal yang terletak di kedua sisinya. Bentuk wilayah yang relatif landai sehingga memungkinkan berkembangnya permukiman perkotaan hanya dijumpai di Talawi dan Kota Sawahlunto sendiri.

Topografi yang berbukit atau bergunung tidak menguntungkan untuk dilakukannya kegiatan pertanian di kawasan bekas tambang ini; dan karena pada daerah ini telah tertimbun material hasil aktivitas pertambangan, sehingga sangat mungkin dan rentan terhadap erosi dan longsor. Sebagaimana yang diketahui bahwa terjadinya erosi dan longsor mempunyai hubungan yang erat dengan sifat-sifat tanah, topografi dan curah hujan serta vegetasi penutup. Sehubungan dengan

kegiatan penambangan terbuka, terjadi perubahan terhadap lereng/topografi dan tanah, yaitu:

(1). tanah puncak (top soil) dan mineral tanah yang akan tergusur dan teraduk yang menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah di bekas tambang terbuka;

(2). bentang alam, permukaan tanah yang berbukit dan bergelombang akan menjadi rata, sebaliknya lembah-lembah akan tertutup tanah timbunan; dan

(3). kemantapan lereng (slope stability), untuk kawasan yang memiliki lereng yang besar dari 45° akan berkurang kemantapannya karena tumbuhan penutup/vegetasi telah ditebas dan banyak tanah kupasan yang tergusur ke lembah-lembah ternyata menyangkut di lereng-lereng.

Tabel 7. Pola distribusi kelas lereng pada kawasan wisata Kandi-Tanah Hitam

No Lereng Distribusi Lokasi Luas

(Ha) % 1 0 – 8 %

(Datar-agak landai)

Relatif sedikit dan berada di pinggir Jalan Kota, Jalan Propinsi, sungai dan pada areal bekas tambang batubara

23,279 6,69

2 9 – 15 % (Landai-agak curam)

Sebagian besar berada dekat lahan dengan lereng 0 – 8 %

31,737 9,12

3 16 – 40 % (Agak curam-curam)

Tersebar di seluruh lokasi wilayah penelitian

280,874 80,69

4 > 40 % (Sangat curam)

Berada di bagian timur wilayah penelitian

12,189 3,50

- Iklim

Keadaan iklim di wilayah penelitian lebih kurang sama dengan iklim Kota Sawahlunto yaitu beriklim tropis. Peta Curah Hujan Indonesia memberikan gambaran bahwa Kota Sawahlunto berada di dalam isohyat (garis curah hujan) antara 1.500 - 2.000 mm per tahun dengan rata-rata curah hujan per tahunnya sebesar 1.754,7 mm dengan rata-rata hari hujan 128 hari. Suhu udara berkisar antara 22,5 - 27,9 °C. Musim kemarau di daerah ini terjadi pada bulan Juni sampai Oktober, sedangkan musim penghujan terjadi pada bulan Nopember sampai Mei.

Menurut Schmitt & Ferguson, iklim Sawahlunto termasuk dalam tipe Afa, iklim hujan tropis dengan suhu pada bulan terdingin >18 °C. Curah hujan tahunan ± 2350 mm, dengan bulan kering (curah hujan bulanan <60 mm) rata-rata selama 1,5 bulan dan maksimum 4 bulan, serta rata-rata bulan basah selama 7-8 bulan. Berdasarkan hal tersebut regim suhu tanahnya tergolong dalam isohipertermik dan regim kelembaban tanahnya tergolong dalam udik.

Keadaan tersebut juga memberikan petunjuk perlunya pemilihan tanaman (pertanian/kehutanan) yang menyukai kelembaban tinggi dan suhu yang panas atau tanaman yang dapat beradaptasi dengan iklim tersebut. Perlu ditambahkan bahwa tanah di daerah ini sebagian besar dipadatkan sehingga permeabilitasnya lambat yang berakibat terhambatnya proses pencucian secara vertikal, dan perakaran tanaman akan terhambat perkembangannya sehingga tanaman semusim akan lebih mudah mengalami kekeringan.

- Tanah

Berdasarkan data dari Bagian Pengelolaan Lingkungan PT. BA-UPO (Depkimpraswil, 2003), tanah-tanah di kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam didominasi oleh Podsolik Merah Kuning atau setara dengan Typic Hapludults, dan sebagian tanah Aluvial di sepanjang Batang Ombilin. Secara lengkap klasifikasi tanah kawasan bekas tambang ini hingga tingkat subgrup menurut Soil Taxonomy tahun 2003 dan padanannya menurut kriteria Pusat Penelitian Tanah (PPT) tahun 1983 dicantumkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Klasifikasi tanah di kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam Klasifikasi Tanah

Soil Taxonomy

PPT (1983)

Ordo Subordo Grup Subgrup

Ultisols Udults Kandiudults Kanhapludults Hapludults Typic Kandiudults Typic Kanhapludults Typic Hapludults Podsolik Kandik Podsolik Kandik Podsolik Haplik

Tanah Podsolik Merah Kuning merupakan tanah mineral yang mengalami tingkat perkembangan cukup sampai kuat yang dicirikan oleh adanya horizon diagnostik (horizon penciri perkembangan) argilik (pelindian liat ke lapisan bawah), kejenuhan basa rendah (< 40%), dan sangat peka erosi. Penyebarannya dijumpai pada fisiografi teras angkatan dan dataran volkan tua. Podsolik Merah Kuning berwarna coklat tua kekuningan sampai kemerahan, bertekstur lempung liat berpasir di horizon atas dan lempung berliat di horizon bawah, struktur gumpal bersudut dengan konsistensi teguh sampai sangat teguh. Kerikil, kwarsit, dan kongresi besi dijumpai dalam tanah, dan pada beberapa tempat merupakan lapisan padat dan tersembul di permukaan, seperti yang terlihat pada Tabel 9.

Dalam keadaan alami kesuburan pada lapisan berbahan organik tanah ini tergolong cukup baik hanya terbatas di atas tetapi bila digunakan dengan kurang seksama, kesuburannya cepat menurun dan merupakan tanah yang marginal untuk pertanian tanaman semusim. Umumnya tanah ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan misalnya berbentuk perkebunan dan kehutanan. Pada daerah datar sampai berombak dapat di usahakan pertanian tanaman pangan dan peternakan dengan ketentuan harus diiringi dengan manajemen yang tepat.

Tabel 9. Susunan kimia tanah asli dari kawasan Kandi-Tanah Hitam

No Blok/ profil

Kedalaman Tekstur

Ekstrak

1;2,5 Terhadap contoh kering 105

O

C

pH Bahan

organik HCl 25%

Nilai Tukar Kation

(NH4-Acetat 1N, pH7) KCl 1N

Pasir Debu Liat H2O KCl C N C/N P2O5 K2O Ca Mg K Na KTK KB* AL3+ H+

cm % % Mg/100 g m.e/100 g % m.e/100 g

UPO-1 0-40 51 20 29 4,2 3,7 0,92 0,06 15 2 6 0,31 0,15 0,06 0,18 7,28 10 3,32 0,34 40-130 38 19 43 4,4 3,8 0,34 0,05 7 5 7 0,16 0,12 0,04 0,06 7,19 5 4,26 0,47 130-170 29 34 37 4,2 3,8 0,21 0,03 7 5 6 0,36 0,15 0,04 0,05 7,82 8 3,88 0,38 Sumber : Bag. Pengelolaan Lingkungan, PT. BA – UPO, (Depkimpraswil, 2003) * >100 terdapat kation-kation bebas disamping kation-kation dapat ditukar

Jenis tanah Aluvial yang terdapat di sepanjang Batang Ombilin, umumnya memiliki solum dangkal sampai dalam, berwarna kelabu sampai kelabu kekuningan dan kecoklatan, sering berglei dan bercak kuning, coklat dan merah, bertekstur lempung sampai liat, berlapis-lapis debu dan pasir, lapisan atas masih selalu mengalami penambahan bahan, kadang-kadang mengandung bahan organik (PPTA, 1994). Umumnya secara tetap atau semusim dipengaruhi penggenangan air (berkala/menetap) atau pelimpahan air banjir (pasang). Konsistensi basah lekat sampai teguh dengan daya penahan air rendah sampai tinggi. Kesuburan tanah Aluvial dipengaruhi pula oleh asam-asam humus dan bahan-bahan racun (Al dan Fe) yang ikut terbawa oleh air. Beragamnya daerah penyebaran tanah Aluvial dan tingkat kesuburan tanah, terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Data kesuburan tanah di kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam

No Parameter Satuan

Lokasi Sampel Tingkat Kesuburan Tanah Kandi Tanah

Hitam Rendah Sedang Tinggi

1 PH - H2O 5.31 6.07 < 6 6 - 7 7 - KCl 5.11 6.00 < 6 6 - 7 7 2 Cu PPM 2.60 5.10 < 10 10 - 40 40 - 80 3 Zn PPM 7.60 7.70 < 10 10 - 200 200 - 300 4 Mn PPM 49.00 112.00 < 20 20 - 200 200 - 300 5 Fe PPM 253.00 155.00 < 1000 1.000 - 10.000 10.000 - 100.000 6 P PPM TU 3.10 < 5 5 - 39 40 7 Ca m.e / 100 gr 0.76 2.56 2 - 5 6 - 10 11 - 20 8 Mg m.e / 100 gr 0.80 0.56 0,1 - 0,3 1,1 - 2,0 2,1 - 8,0 9 Na m.e / 100 gr 0.48 0.48 0,1 - 0,3 0,4 - 0,7 0,8 - 1,0 10 K m.e / 100 gr 0.18 0.10 0,1 - 0,3 0,4 - 0,7 0,8 - 1,0 11 KTK m.e / 100 gr 12.20 13.00 5 - 16 17 - 24 24 - 80 12 H+ m.e / 100 gr 0.74 0.21 - - - 13 Al m.e / 100 gr 2.10 0.21 < 3 3,1 - 8 8,1 - 40 Sumber : Bag. Pengelolaan Lingkungan, PT. BA – UPO, (Depkimpraswil, 2003) Keterangan : TU = Tidak Terukur

Selain tanah asli, perlu diperhatikan sifat-sifat bahan timbunan yang mendominasi daerah ini. Berdasarkan komponen penyusunnya, bahan timbunan pada kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam, umumnya terdiri dari:

(1). komponen lapisan bawah yang terdiri dari fragmen-fragmen/bongkahan batuliat, batupasir, dan batubara muda yang tidak terpilih berukuran besar. Fragmen batuan tersebut sangat masif, sangat

keras, dan sulit ditembus perakaran. Sebaliknya dalam keadaan terbuka di permukaan dan terkena air (air hujan) bahan ini mudah rekah, hancur, dan melumpur, sehingga mudah terbawa air aliran permukaan; dan

(2). komponen lapisan atas yang merupakan bahan tanah merah, sering berkerikil, berkerakal, serta berfragmen bahan induk/batuan induknya. Lapisan ini ketebalannya berbeda-beda, padat, dan sangat keras; karena penggunaan alat berat dan dipadatkan pada saat penimbunan dan perataan.

- Hidrologi

Sungai besar yang terdapat di sekitar wilayah penelitian ada dua yaitu Batang Ombilin dan Batang Malakutan, sedangkan sungai kecil juga dua yaitu Batang Lurah Gadang dan Batang Tandikat. Batang Malakutan, Batang Lurah Gadang dan Batang Tandikat merupakan anak sungai Batang Ombilin, sehingga sungai yang melewati wilayah penelitian hanya dua yaitu Batang Lurah Gadang dan Batang Tandikat yang keseluruhan sungai tersebut mengalir dari Barat ke Timur atau Utara ke selatan.

Pada kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam ini juga terdapat beberapa danau yang terbentuk dari aktivitas penambangan batubara, yaitu:

(1). Danau Kandi, Danau Tanah Hitam, dan Danau Belibis yang terbentuk dari bekas galian tambang batubara;

(2). Danau Tandikat yang terbentuk akibat terhalangnya aliran sungai Tandikat oleh timbunan (disposal) dari kegiatan tambang batubara di sekitarnya.

Berdasarkan kajian awal yang dilakukan oleh Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, mendeskripsikan bahwa air tanah akan relatif sulit didapatkan di Kota Sawahlunto karena kondisi lapisan tanah dan batuan yang ada di kota ini bersifat masif (Pemda Kota Sawahlunto, 2004).

- Perubahan Lingkungan Akibat Penambangan

Rona awal lingkungan kawasan Kandi dan Tanah Hitam sebelum tahun 1990 dapat dideskripsikan sebagai berikut:

(1). sebagian besar berupa hutan dengan pohon-pohon kecil (Hutan Tersier) dan semak belukar; dan

(2). sebagian kecil berupa permukiman yang tersebar di masing-masing pusat Desa Kolok Nan Tuo, Kolok Mudik, Sikalang dan Salak serta berupa danau alam yaitu danau Tandikat.

Setelah dilakukannya kegiatan penambangan batubara setelah tahun 1990 oleh Perusahaan Terbatas Bukit Asam-Unit Pertambangan Ombilin (PT. BA-UPO), maka rona lingkungan kawasan ini mengalami perubahan atau gangguan, yaitu berupa:

(1). pada lereng-lereng terjadi erosi alur (gully erotion) cukup berat. Untuk menahan laju erosi dan perbaikan struktur tanah telah dilakukan penanaman Albazia sp dan Accasia auriculiformis sejak tahun 1992; (2). kawasan hutan berkurang secara signifikan, terutama di bagian timur

wilayah penelitian yang merupakan kawasan kegiatan penambangan batubara PT. BA-UPO (kawasan Kandi dan Tanah Hitam). Kawasan tersebut telah berubah menjadi kawasan terbuka (tidak bervegetasi) dan terbentuknya danau-danau; dan

(3). kawasan permukiman tidak ada pertambahannya.

Konsekuensi dari terjadinya perubahan rona lingkungan ini, maka PT. BA-UPO sebagai perusahaan pemegang Kuasa Pertambangan kawasan tersebut, berkewajiban melaksanakan Kegiatan Pemantauan dan Pengelolaan Lingkungan sebelum kegiatan tambang ditutup. Dalam hal ini kegiatan pemantauan lingkungan dari PT. BA-UPO dijadikan sebagai bahan untuk menilai kondisi eksisting lingkungan kawasan bekas tambang, terutama pada kawasan yang telah mengalami perubahan rona lingkungan. Lingkungan kawasan bekas tambang setelah dilakukan reklamasi pasca aktivitas penambangan batubara menunjukkan bahwa lahan tersebut sudah hampir kembali ke keadaan sebelumnya, yaitu sudah menjadi hutan kembali. Di beberapa tempat sempat terjadi perusakan areal

reklamasi karena aktivitas penambangan liar, namun akhirnya aktivitas tersebut berhasil dihentikan pada akhir tahun 2006 (Tabel 11).

Tabel 11. Status dan kondisi lahan reklamasi di Kawasan Kandi-Tanah Hitam

No Uraian Luas (Ha) Jumlah

(Ha) Kandi Tanah Hitam

1 Daerah Terganggu 192,796 201,34 394,136

2 Daerah Tereklamasi 141,296 160,908 302,204

3 Dirusak Tambang Liar 42,038 27,99 70,028

4 Kewajiban Reklamasi* 61,500 32,114 93,614

Jumlah 437,63 422,352 859,982

Sumber : Bag. Pengelolaan Lingkungan, PT. BA – UPO, (Depkimpraswil, 2003) Ket : * tidak termasuk yang dirusak peti

Berdasarkan laporan bagian pengelolaan lingkungan PT BA-UPO, pada tahun 2003 lahan yang dirusak penambangan liar seluas 70, 028 Ha, terlihat pada Gambar 9. Hal ini perlu mendapat perhatian dan penangan khusus karena berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan.

Untuk kepentingan analisis potensi pencemaran akibat kegiatan penambangan atau pasca penambangan, mengacu kepada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 113 tahun 2003 yang membatasi parameter untuk pengawasan kegiatan penambangan batubara hanya terbatas pada empat parameter, yaitu: pH, zat padat tersuspensi, besi, dan mangan (Diperindagkop Kota Sawahlunto, 2006). Data Kondisi Air Permukaan (Depkimpraswil, 2003), dipantau pada dua titik yaitu pada titik Batang Ombilin setelah pertemuan dengan Batang Lurah Gadang di Tanah Hitam dan Batang Ombilin setelah bertemu Batang Lurah Tandikat di Kandi. Kedua titik itu memiliki data pemantauan sejak tahun 1998 sampai dengan Juli 2003. Titik-titik tersebut digunakan untuk melihat kecenderungan kondisi kualitas air permukaan, terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Data pemantauan kualitas air di Batang Ombilin sesudah pertemuan dengan Batang Tandikat

No Parameter Satuan Tahun

1998 1999 2000 2001 2002 2003*

1 pH - 7.59 7.26 7.23 7.6 7.29 7.59

2 TSS mg/l 27 17.6 25 7 31 8

3 Besi mg/l 0.071 2.728 0.25 2.496 0.86 0.27 4 Mangan mg/l 0.04 0.385 0.38 0.048 0.05 0.05 Sumber : Bag. Pengelolaan Lingkungan, PT. BA – UPO, (Depkimpraswil, 2003) Ket: *sampai dengan Juli 2003

- Infrastruktur Penunjang

Infrastruktur penunjang yang terdapat di sekitar kawasan bekas tambang Kandi-Tanah Hitam dapat diuraikan sebagai berikut:

(1). fasilitas keamanan, terdiri dari 1 Polres di Desa Sikalang, 1 Polsek yaitu di desa Kolok Mudik dan Pos Hansip pada setiap pusat desa; (2). fasilitas peribadatan, berupa Mesjid yang berlokasi di Desa Kolok

Nan Tuo 2 unit, Desa Kolok Mudik 1 unit, Desa Santur 2 unit, Desa Sikalang 2 unit dan Desa Salak 2 unit serta Desa Sijantang 1 unit dengan kondisi baik; dan

(3). fasilitas kesehatan berupa Puskesmas di Desa Kolok Nan Tuo, Desa Kolok Mudik dan Desa Salak masing-masing 1 unit, poliklinik sebanyak 1 unit di Desa Sikalang dan Posyandu sebanyak 6 unit yang berlokasi pada Pusat Desa (Gambar 10).

Berdasarkan data kondisi jalan yang ada saat ini (Diperindagkop Kota Sawahlunto, 2006), panjang jaringan jalan di sekitar wilayah penelitian adalah 22,52 km dengan luas 11,07 Ha yang terdiri dari : (1) jalan propinsi berupa jalan aspal sepanjang 3,43 km dengan kondisi sebagian rusak akibat longsoran dan amblas; (2) jalan kota berupa jalan aspal 5,46 km, jalan tanah/perkerasan 1,88 km; dan (3) jalan tambang berupa jalan tanah sepanjang 11,74 km yang dulunya merupakan sarana transportasi kegiatan penambangan batubara yang dilakukan oleh PT BA-UPO (Tabel 13).

Tabel 13. Data kondisi jalan eksisting

No Status Jalan

Kondisi Eksisting Jalan

Keterangan Jenis Konstruksi Panjang (m) Lebar (m) Luas (m2) Kondisi 1 Jalan Propinsi

Aspal 3.423,23 5,00 17.161,15 Baik & Rusak

Rusak = 250 m 2 Jalan Kota Aspal 5,460,60 5,00 27.303,00 Baik &

Rusak Rusak = 25 m Tanah & Perkerasan

Dokumen terkait