Metode yang dapat digunakan untuk menetapkan kerentanan organisme terhadap suatu senyawa adalah dengan menginokulasikan plat agar dengan biakan dan membiarkan senyawa tersebut berdifusi ke media agar. Metode ini disebut metode cakram Kirby – bauer. Pada metode tersebut efektivitas anti mikroba ditunjukkan dengan adanya zona hambatan. Zona hambatan ini tampak sebagai area jernih/bening yang mengelilingi cakram, yang menunjukkan zat dengan aktivitas anti mikroba terdifusi.
Metode Kirby – bauer telah digunakan secara luas dengan cakram kertas saring yang tersedia secara komersial. Efektifitas relatif dari suatu senyawa anti mikroba menjadi dasar dari spektrum sensitivitas suatu organisme. Informasi ini bersama dengan pertimbangan farmakologi digunakan dalam memilih suatu senyawa anti mikroba untuk pengobatan (Harmita dan Maksum 2005).
Pada penelitian ini Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto, masing–masing dengan konsentrasi 50%, 10%, 2% dan 0.4% diuji sensitivitasnya terhadap bakteri M. gallisepticum strain lokal 88016 (konsentrasi 107 CFU) dengan menggunakan metode cakram Kirby – bauer.
Tabel 1 Zona hambat (mm) Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan herba sambiloto terhadap M. gallisepticum.
Tanaman Konsentrasi (%) 50 10 8 6 4 2 0.4 Jahe 27,75 13,5 0 0 0 0 0 Sambiloto 0 0 0 0 0 0 0 Temulawak 19,5 0 0 0 0 0 0 Kencur 0 0 0 0 0 0 0 Kontrol positif 26 (Enrofloksacin 5 µg) Kontrol negative 0
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 didapatkan hasil pengukuran zona hambat pada masing – masing ekstrak tanaman. Ekstrak air rimpang kencur
dan sambiloto tidak efektif terhadap M. gallisepticum sampai dengan konsentrasi 50%. Ekstrak air jahe dan temulawak memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri M. gallisepticum dengan konsentrasi yang berbeda. Ekstrak air jahe efektif pada konsentrasi 10%, sedangkan temulawak pada konsentrasi 50%. Berdasarkan data tersebut analisis lebih lanjut hanya dilakukan terhadap ekstrak jahe. Ekstrak rimpang Temulawak memiliki dosis efektif terlalu tinggi. Pada dosis tersebut Ekstrak rimpang Temulawak tidak potensial untuk dikembangkan sebagai anti CRD, sehingga tidak dilakukan analisa lanjutan. Tabel 2 Zona hambat (mm) Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto
terhadap E.coli. Tanaman Konsentrasi (%) 50 10 8 6 4 2 0.4 Jahe 0 0 0 0 0 0 0 Sambiloto 0 0 0 0 0 0 0 Temulawak 0 0 0 0 0 0 0 Kencur 0 0 0 0 0 0 0 Kontrol positif 18 (Enrofloksacin 5 µg) Kontrol negatif 0
Hasil pengamatan pada Tabel 2 terlihat bahwa pada semua kelompok perlakuan dan semua konsentrasi tidak menunjukkan adanya zona hambatan terhadap E. Coli. Sehingga pada konsentrasi tersebut tidak memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan E.coli.
Analisis lebih lanjut terhadap ekstrak jahe adalah fraksinasi menggunakan pelarut n heksan, chloroform, etil asetat dan metanol. Hal ini bertujuan untuk memisahkan senyawa dari ekstrak tersebut berdasarkan sifat kepolaran. Metode fraksinasi yang digunakan adalah metode ekstraksi cair-cair. Jahe diekstraksi dalam corong pisah dengan n- heksan untuk membebaskan ekstrak air dari zat-zat yang kepolarannya rendah seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil. Fraksinasi dilakukan tiga kali untuk mengoptimalkan pemisahan (Markham, 1988). Larutan air kemudian difraksinasi kembali secara berturut-turut dengan pelarut
18
chloroform, etil asetat dan methanol. Hasil fraksinasi didapatkan fraksi n heksan, chloroform, etil asetat dan fraksi methanol (Tabel 3). Ekstrak jahe yang digunakan untuk fraksinasi sebanyak 70 g.
Tabel 3 Hasil fraksinasi ekstrak jahe
Ekstrak/Fraksi Jahe Berat Rendemen (g) (%) Fraksi n- hexan 12,6 17,37 Fraksi chloroform 1,8 2,5
Fraksi Etil asetat 9,66 13,8
Fraksi methanol 17,53 25,04
Setiap fraksi yang diperoleh diuji dengan metode yang sama dengan ekstrak air (metode cakram Kirby–bauer) untuk menentukan efektivitas hasil fraksinasi ekstrak tanaman tersebut terhadap M. gallisepticum.
Gambar 5 Zona hambat terhadap Mycoplasma gallisepticum, fraksi n heksan jahe 2 % (Perbesaran 8x)
Pengujian juga dilakukan untuk menentukan nilai konsentrasi hambat minimal dari ekstrak tersebut terhadap M. gallisepticum. Konsentrasi yang digunakan adalah 10%, 8%, 6%, 4% dan 2%. Konsentrasi yang digunakan berdasarkan hasil pengujian ekstrak air jahe. Hasil pengujian zona hambat ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap M. gallisepticum dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Zona hambat (mm) ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap M. Gallisepticum Tanaman Fraksi Konsentrasi (%) 10 8 6 4 2 Jahe Heksan 15.5B 8 0 D 0 0 CHCl3 0 E 0 0 0 0 Etil asetat 0 0 0 0 0 Metanol 0 0 0 0 0 Air 13,5C 0 0 0 0 Kontrol positif 26A (Enrofloksacin 5 µg) Kontrol negatif 0
* Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf (P>0,05).
Berdasarkan Tabel 4 diketahui fraksi n-heksan dari jahe memiliki konsentrasi hambat minimal 8%. Secara statistik, kelompok tersebut berbeda nyata lebih besar (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini berarti kelompok tersebut memiliki daya hambat yang sensitif terhadap M. gallisepticum.
Tahap selanjutnya, pengujian fraksi air, n – heksan, chloroform, etil asetat dan methanol terhadap bakteri E. coli dengan metode cakram Kirby – bauer. Konsentrasi yang diuji adalah 10%, 8%, 6%, 4% dan 2%. Konsentrasi ini mengacu pada konsentrasi terbaik pada hasil pengujian terhadap M. gallisepticum.
20
Gambar 6 Zona hambat terhadap E. coli , fraksi n heksan jahe 10 % (Perbesaran 8x)
Pengujian terhadap E. coli dilakukan karena bakteri tersebut merupakan bakteri yang ikut berperan pada kasus CRD kompleks selain bakteri M. gallisepticum. Hasil pengujian diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengujian
in vivo terhadap kasus CRD kompleks.
Tabel 5 Zona hambat (mm) ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap E. coli
Tanaman Fraksi Konsentrasi (%)
10 8 6 4 2 Jahe Heksan 0 B 0 0 0 0 CHCl3 0 0 0 0 0 Etil asetat 0 0 0 0 0 Metanol 0 0 0 0 0 Air 0 0 0 0 0 Kontrol positif 18A (Enrofloksacin 5 µg) Kontrol negatif 0B
* Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf (P>0,05).
Pada Tabel 5 diketahui ekstrak jahe tidak memiliki zona hambat terhadap E. coli. Hal ini berarti bahwa dengan perlakuan ekstraksi dan fraksinasi yang dilakukan tidak memberikan hambatan pada E. coli.
Tahap terakhir dari penelitian ini adalah identifikasi senyawa dalam ekstrak yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dan E. coli dengan menggunakan metode Kromatografi lapis tipis (KLT) . Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk keperluan yang luas dalam identifikasi senyawa karena memberikan hasil pemisahan yang lebih baik dan membutuhkan waktu yang lebih cepat. Waktu rata-rata untuk kromatografi lapis tipis dengan panjang 10 cm pada silika gel adalah sekitar 20-30 menit (tergantung sifat fase gerak). Kromatografi lapis tipis hanya membutuhkan penyerap dengan jumlah sampel sedikit dan spot yang terpisahkan dilokalisir pada plat.
Sistem pelarut untuk KLT dapat dipilih dari pustaka berdasarkan zat yang diuji. Sistem yang paling sederhana adalah campuran pelarut organiknya yang dipakai untuk memisahkan molekul yang mempunyai satu atau dua gugus fungsi dengan cara kromatografi cair preparatif pada lapisan silika gel atau alumina aktif (Harborne 2006). Jarak pengembang senyawa pada kromatogram dinyatakan dengan Retardation factor (Rf), dimana Rf merupakan jarak pusat spot dari titik awal dibagi dengan jarak elusi total.
Tabel 6 Hasil KLT jahe
Ekstrak jahe
Rf
Penampakan bercak
Sinar UV 254 nm Sinar UV 366 nm
Fraksi n – heksan 0,9 Coklat Biru tua
0,76 Coklat
0,65 Coklat biru muda
0,36 Coklat biru tua
Kromatografi lapis tipis (KLT) fraksi rimpang jahe menggunakan fase diam silica gel GF254 dan fase gerak n heksan : dietil eter (8 : 2 ). Profil KLT pada Tabel 6 menunjukan terdapat empat spot berdasarkan hasil identifikasi dengan
22
sinar UV 254 nm dan tiga spot berdasarkan sinar UV 366 nm. Satu senyawa tidak teridentifikasi pada UV 366 nm karena senyawa tersebut tidak menyerap warna pada panjang gelombang tersebut
Senyawa yang terdapat pada jahe yang berperan sebagai anti M. gallisepticum diduga keempat spot tersebut, dua diantaranya gingerols dan zingiberen. Hal ini didukung pada hasil KLT, dimana karakterisasi fraksi n- heksan jahe menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menunjukan adanya empat spot. Spot pertama dengan nilai Rf 0,9 dengan warna ungu dan spot kedua 0,36 berwarna biru tua. Berdasarkan nilai Rf dan warna yang bersumber pada referensi, spot pertama diduga sebagai senyawa zingiberen dan spot kedua sebagai gingerol. Kedua senyawa tersebut bersifat non polar, sehingga larut dalam pelarut n-heksan yang bersifat non polar. Hal ini sesuai dengan prinsip ”like dissolves like” yang berarti suatu zat akan larut pada pelarut dengan kepolaran yang hampir sama (Harborne 2006).
Zingiberen dalam jahe termasuk dalam golongan minyak atsiri. senyawa tersebut diduga mampu mencegah terbentuknya membran sel M. gallisepticum.
Menurut Juliantina et al (2008) Minyak atsiri berperan sebagai anti mikroba dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel bakteri, sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. Minyak atsiri yang aktif sebagai anti bakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil.
Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Diduga peran dari gingerol dalam mempengaruhi lisisnya membran sel M. gallisepticum sangat besar. Fenol pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol kedalam sel dan menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Juliantina et al
Senyawa yang terdapat pada jahe tidak mampu menghambat pertumbuhan
E. coli. Pada penelitian sebelumnya jahe, kencur dan temulawak memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan E. coli. Hal ini diduga metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini tidak sesuai untuk pengujian E. coli secara in vitro. Struktur sel dari M. gallisepticum dan E. coli berbeda, sehingga senyawa yang efektif terhadap M. gallisepticum belum tentu memiliki khasiat yang sama terhadap E. coli. M. gallisepticum tidak memiliki dinding sel, sehingga senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut bekerja pada membran sel atau inti selnya. Sedangkan E. coli termasuk bakteri gram negatif yang memiliki tiga lapis dinding sel, sehingga senyawa yang berpotensi bekerja mempengaruhi dinding sel dan inti sel bakteri tersebut.
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah kami laksanakan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
• Jahe memilki aktivitas anti mikroba terhadap M. gallisepticum dengan KHM ekstrak air 10% dan fraksi heksan 8%, tetapi tidak memiliki aktivitas terhadap
E. coli.
• Berdasarkan hasil KLT terhadap fraksi n-heksan jahe, terdapat dua spot dengan nilai Rf 0.9 dan 0.36. Diduga senyawa tersebut adalah gingerol dan zingiberen.
• Rimpang temulawak dengan konsentrasi tinggi (50%) memiliki sensitivitas terhadap M. gallisepticum.
• Rimpang kencur dan sambiloto tidak memiliki sensitivitas terhadap M. gallisepticum.
• Jahe paling potensial sebagai anti mikroba terhadap M. gallisepticum, tetapi tidak terhadap E. coli.