• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstrak jahe, kencur, temulawak dan sambiloto mempunyai efektivitas cukup baik terhadap bakteri Streptococcus. Di antaranya mempunyai efek cukup baik terhadap, B cereus dan L monocytogenes (Natta et al 2008). Meskipun demikian, efek ekstrak keempat tanaman terhadap M. gallisepticum belum pernah dilaporkan meskipun secara empiris sudah digunakan peternak ayam di beberapa tempat sebagai obat untuk pernafasan.

Jahe (Zingiber officinale Rosc.).

Jahe mengandung minyak atsiri yang terdiri atas senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral, zingiberal, felandren, vitamin A, B, dan C, serta senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol. Senyawa kelompok fenol pada rimpang jahe sebagai unsur utama yang memberi rasa pedas. Unsur lainnya gingerols, shogaols, paradols dan zinerone. Rimpang jahe segar mengandung senyawa gingerols 1 - 2%. Senyawa gingerols memiliki aktivitas perlindungan pada hati, terutama menghadapi bahaya keracunan carbon tetrachloride (Leung dan Foster 1966). Leung dan Foster (1966) dalam Encyclopedia of Common Natural Ingredient Use in Food, Drugs and Cosmetics menyebutkan, rimpang jahe dapat mencegah infeksi pada luka, antiradang rematik artritis, menurunkan tekanan darah dan antitumor.

Ekstrak air jahe mempunyai aktivitas menghambat dan membunuh bakteri Stapylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Streptococcus pyogenes, E. coli dan Haemophilus influenza dengan Minimum Inhibitory concentration (MIC) 0.7 µg/ml dan Minimum bactericidal concentration (MBC) 2.04 µg/ml . Senyawa dari jahe yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri adalah minyak atsiri (Akoachere et al 2002). Aktivitas farmakolgis jahe terhadap saluran pernapasan menjadi dasar penggunaan jahe untuk menangani penyakit pernapasan pada hewan. Di samping itu, jahe mempunyai efektivitas cukup baik untuk ,meningkatkan kekebalan tubuh dan menekan aflatoksin dalam pakan. (Iskandar dan Husen 2003; Cahyaningsih dan Suryani 2006).

6

Gambar 1 Rimpang jahe

Kencur (Kaempferia galanga L.).

Kencur mengandung minyak atsiri yang terdiri dari borneol, methyl- pcumaric acid, cinnamicacid ethyl-ester pentadecane, cinnamic aldehyde, camphene, eucalyptol, carvone. Kencur dengan ekstrak air pada konsentrasi 100 µg/ml mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, E. coli, Salmonella typhi. Selain itu juga mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans (Tewtrakul et al 2005).

Kencur mempunyai afektifits mengencerkan dahak (Nuhardiyati et al 1985). Seskuiterpena mempunyai daya analgesik. Kencur juga bersifat stimulan sehingga bisa digunakan sebagai penambah stamina. Selain itu, kencur juga bersifat karminatif untuk menghilangkan kembung (Winarno dan Sundari 1996).

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb)

Temulawak mengandung zat warna kurkumin, desmetoksi kurkumin, glukosida, kalium oksalat, pati dan minyak atsiri yang terdiri atas felandren, turmerol, sineol, xanthorrizhol, zingiberen, zingiberol, dan turmeron. Selain itu, temulawak mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan antioksidan yang cukup kuat. Kurkuminnya telah terbukti sebagai antiradang dan hasilnya telah dipatenkan (Dirjen POM 2000). Efek lain dari kurkumin yang cukup potensial di antaranya adalah efek sebagai antioksidan dan hepatoprotektor (Sumartini 2009).

Xanthorrizhol dari rimpang temulawak mempunyai efektifitas sebagai anti fungi khususnya terhadap Candida sp. Konsentrasi hambat minimal temulawak terhadap Candida sp adalah 10 mg/L (Rukayadi et al 2006). Selain itu xanthorrizol juga mempunyai aktifitas sebagai anti bakteri, khususnya untuk Staphylococcus aureus dan Clostridium spp (Chomnawang et al 2003).

Gambar 3 Rimpang temulawak

Sambiloto (Andrographis paniculata nees)

Herbal ini rasanya pahit dan dingin. Daun dan percabangannya mengandung laktone yang terdiri atas deoksiandrografolid, andrografolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-deoksi-11-12-didehidroandrografolid, dan homoandrografolid. Selain itu, sambiloto juga menganduing flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik, dan damar.

8

Flavotioid diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0- metilwithin, dan apigenin 7, 4 dimetileter.

Infusa Andrografolid pada konsentrasi 5 sampai dengan 15% mempunyai efek antipiretik yang ditunjukkan dengan kemampuanya menurunkan demam yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin pada kelinci dan marmut. Komponen aktif yang bekerja sebagai antiinflamasi dan antipiretik seperti dilaporkan oleh (Dirjen POM 2000) adalah neoandrografolid, andrografolid, deoksiandrografolid dan 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid. Fraksi etanolnya mempunyai efek antihistaminergik yang berguna untuk mengatasi gejala peradangan. Menurut Zaidan et al (2005) sambiloto mempunyai efek sebagai antipiretik, antiinflamasi dan antibakteri. Bakteri yang dapat dihambat oleh sambiloto adalah Stapylococcus aureus dan Pseudomonas aeroginosa.

Pada hewan, sambiloto digunakan sebagai salah satu komponen yang terdapat dalam ramuan herbal untuk mengatasi snot atau flu, dan meningkatkan stamina (Iskandar dan Husen 2003, Cahyaningsih dan Suryani 2006).

Gambar 4 Tanaman sambiloto

Jahe, kencur, temulawak, sambiloto mempunyai efek antimikroba yang

yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai obat untuk menangani penyakit CRD. Hal ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai Antibakterial, antiinflamasi, antipiretik dan analgesik. Selain itu karena efektifitasnya cukup baik terhadap gram negatif, sehingga efektivitasnya terhadap M. gallisepticum diharapkan memberikan hasil yang positip.

Mycoplasma gallisepticum

Infeksi M. gallisepticum menyebabkan penyakit pada ayam yang disebut Chronic respiratory disease (CRD). Penyakit ini ditemukan pada semua kelompok umur dan menyerang ayam petelur dan ayam pedaging. Sulitnya mengobati penyakit ini secara tuntas, menyebabkan penyakit berjalan menjadi kronis dan menjadi predisposisi terhadap mikroorganisme lain seperti E.coli. Infeksi kontribusiinfeksi E. coli memperparah kejadian CRD dan penanganannya akan menjadi semakin sulit. Infeksi campuran ini dikenal juga sebagai CRD kompleks (Soeripto 1988; Ley 2003).

Mycoplasma gallisepticum merupakan organisme prokaryotik terkecil, termasuk kedalam kelas molicutes yang memiliki dinding sel lunak. Sel mycoplasma tidak memiliki dinding sel, tetapi dikelilingi oleh 3 lapis plasma membran yang elastis. Ukuran sel mikoplasma bervariasi antara 0.2 – 0.8 µm, sel dapat diwarnai dengan pewarnaan giemsa atau pewarnaan gram. Bentuk koloni pada media agar seperti telor mata sapi dengan ukuran 0.1 – 1 cm, bulat, permukaan halus dan ditengahya terdapat bagian yang menonjol yang disebut bleb (Soeripto 2009).

Mekanisme infeksi M. galisepticum masuk melalui rongga hidung, kemudian melekat pada reseptor epithelium yang disebut sialoglycoprotein yang dimediasi oleh adhesin dan protein yang disebut bleb (Pathogen associate moleculer patrons) yang terletak pada ujung organ sel mycoplasma. Selanjutnya, sel mycoplasma melakukan penetrasi dan merusak mukosa epithelium sambil memperbanyak diri. Dengan perantaraan gerakan silia epithel dan bleb, sel mycoplasma bergerak menuju kantong membran udara abdominal. Sedangkan mekanisme masuknya M. gallisepticum masuk ke saluran sel telur sampai saat ini belum diketahui (Soeripto 2009).

10

Peradangan yang terjadi pada jaringan epithel tidak disebabkan oleh toksin mycoplasma, tetapi disebabkan oleh respon imun dari induk semang berupa reaksi inflamatory. Peradangan ini menyebabkan terhambatnya perkembangan sel T helper 1 (Th 1 cell) sehingga sel T sitotoksik menjadi tidak aktif yang mengakibatkan infeksi patogen menjadi persisten. Selain itu juga terjadi peningkatan produksi tumor necrosis factor α (TNF α) yang mengakibatkan respon sel Th 2 menurun. Sebagai akibatnya maka respon netralisasi antibodi terhadap infeksi bakteri atau virus juga menurun drastis. Kondisi ini menjelaskan bahwa infeksi mycoplasma menyebabkan immunosupresif terhadap ayam yang terinfeksi M. gallisepticum (Soeripto 2009).

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri yang biasa ditemukan pada saluran

pencernaan baik pada manusia atau hewan. Bakteri ini tergolong gram negatif, merupakan basilus yang tidak membentuk spora serta mempunyai ukuran 2 – 3 x 0.6 µ m. E. coli disebut sebagai opportune pathogens, hal ini disebabkan karena infeksi bersifat sekunder mengikuti penyakit lain, misalnya gumboro dan chronic respiratory diseases (CRD kompleks). Pada kasus CRD kompleks, E. coli banyak ditemukan didaerah kantung udara (air sac) dan pericardium (Tabbu 2000).

Escherichia coli menyerang semua kelompok umur ayam, tetapi ayam muda lebih sensitif dibandingkan dengan ayam dewasa. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung antara ayam yang sakit dengan ayam yang sensitif dengan bahan yang tercemar oleh E. coli. Penularan terjadi secara oral melalui pakan dan minuman yang masuk kedalam saluran pencernaan. Pada ayam yang sehat, sekitar 10 – 15 % populasi E. coli yang ada didalam saluran pencernaan tergolong serotipe yang pathogen. Mekanisme lain masuknya E. coli adalah melalui debu yang tercemar E. coli. Debu atau kotoran mengandung E. coli tersebut akan masuk kedalam saluran pernafasan dan memungkinkan terjadinya infeksi pada saluran tersebut (Tabbu 2000). Kasus ini biasa ditemukan pada kejadian CRD kompleks, dimana infeksi Mycoplasma gallisepticum disertai adanya infeksi E. coli (Soeripto 2009).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi FKH IPB, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) dan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan April sampai dengan Juli 2010.

Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan antara lain : Rotary evaporator, gelas ukur, cawan petri, tabung reaksi, mikroskop, pipet 1 mL, botol bijou’s, rak tabung, D8 Seitz Filter, incubator , botol kedap udara (jar), laminar flow, pH meter.

Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media untuk pertumbuhan M. gallisepticum dan E. coli.

Medium Mycoplasma yang digunakan terdiri dari kaldu basa mikoplasma (Gibco), Sistein HCL (BDH), dan air suling ganda (pH 7.8). Medium Tersebut disterilkan pada suhu 121

Medium Mycoplasma

o

C selama 15 menit, kemudian suhu medium tersebut diturunkan menjadi 50 oC didalam water bath. Selanjutnya medium ditambahkan medium penyubur yang terdiri dari serum babi (diinaktifkan pada suhu 56o

C selama 30 menit), ekstrak ragi (Difco), DNA (Koch light), dan Amoksisilin (Beecham P. I). Untuk Mencegah kontaminasi cendawan, medium diberi aktidion (Up John).

Medium E. coli yang digunakan adalah natrium chloride, glukosa, casein, papaic digest of soy bean, kalium dihidrogen fosfat dan agar.

12

Isolat

Isolat M. gallisepticum 88016dan E. coli adalah isolat local yang diisolasi dari peternakan ayam broiler di Jawa barat. Isolat ini diperoleh dari Prof(R). Dr. Drh. Soeripto, MS. Staff peneliti di Balai Besar Penelitian Veteriner.

Metode Penelitian

Penelitian terhadap potensi ekstrak daun sirih, rimpang jahe, kencur, temulawak dan herba sambiloto sebagai obat untuk CRD dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dengan pembuatan ekstrak sirih, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto dengan pelarut ethanol 96%. Tahap kedua dilakukan penapisan efek anti bakteri dari esktrak tersebut terhadap M. gallisepticum dan E. coli secara in vitro. Tahap ketiga, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform, etil asetat dan methanol. Hal ini dilakukan untuk menentukan pelarut terbaik dari tanaman tersebut sebagai ekstrak anti M. gallisepticum. Selanjutnya ekstrak yang berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang sama, untuk menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Setelah hasil KHM diketahui, selanjutnya adalah pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik terhadap E. coli.

Bahan baku untuk pembuatan ekstrak diperoleh dari UPT Kebun Percobaan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Setelah dipanen, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto melalui perlakuan sebagai berikut :

Persiapan sampel.

a. Sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari tanaman yang diteliti, pencucian untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah

b. Perajangan daun sirih, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto untuk mempermudah proses pengeringan dan penggilingan

c. Pengeringan yang dilakukan dengan udara kering sampai kadar airnya dibawah 10% untuk menjaga agar bahan yang diperoleh tidak mudah rusak akibat mikroorganisme

Ekstraksi simplisia jahe, kencur, temulawak dan sambiloto dilakukan dengan metode maserasi selama 3 x 24 jam dengan pelarut etanol 96%. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40°C dan 50 rpm sampai diperoleh ekstrak kental. Selanjutnya terhadap ekstrak kental dilakukan proses spray dry, sehingga dihasilkan ekstrak kering.

Ekstraksi Sampel.

Cara untuk menentukan kerentanan organisme terhadap anti mikroba adalah dengan menginokulasikan pelat agar dengan biakan dan membiarkan anti mikroba berdifusi ke media agar.

Uji hambatan pertumbuhan mikroba dengan metode cakram Kirby - bauer.

Cawan petri steril yang telah disiapkan diisi dengan medium M. gallisepticum sebayak 20 ml untuk setiap cawan petri, kemudian didiamkan sampai dingin dan membeku. Selanjutnya kultur M. gallisepticum diinokulasikan (Konsentrasi 107

Dua buah cakram kertas saring yang sudah mengandung ekstrak (sesuai kelompok perlakuan, masing-masing 25 µL) diletakkan kedalam cawan petri dengan cara menjatuhkan tegak lurus diatas lapisan medium dari jarak ketinggian 10-13 mm dengan letak berseberangan membentuk bidang bujur sangkar.

CFU) pada permukaan media M. gallisepticum sebanyak 1 ml . Cawan petri digoyang-goyangkan sampai kultur menyebar merata diatas media, diamkan selama 10 menit, sampai tebentuk suatu medium yang mengandung kuman uji M. gallisepticum.

Cawan petri dimasukkan kedalam tabung kedap udara, selanjutnya cawan tersebut disimpan kedalam inkubator pada suhu 37 oC. Pengamatan dilakukan pada jam ke 24 setelah inkubasi untuk memonitor adanya kontaminan, dan pada hari ke-3 untuk mengamati dan mengukur terbentuknya zona hambat terhadap M. gallisepticum.

14

Persiapan cawan petri dan cakram

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 18 perlakuan. Setiap perlakuan diulang 2 kali. Selanjutnya perlakuan tersebut disajikan sebagai berikut :

Kelompok kontrol positip : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian antibiotik standar (kuinolon)

Kelompok kontrol negatip : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum Kelompok Perlakuan 1: Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan

pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 2 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 3 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 4 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/125 x 50%

Kelompok Perlakuan 5 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 6 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 7 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 8 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/125 x 50%

Medium Mycoplasma

gallisepticum sebanyak 20 ml Diamkan hingga membeku

Ditambahkan kultur bakteri Mycoplasma gallisepticum dengan konsentrasi 107 Diamkan hingga mengering Diletakkan kertas

cakram pada 2 sisi Cawan

Kelompok Perlakuan 9 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 10 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 11 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 12 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/125 x 50%

Kelompok Perlakuan 13 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 14 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 15 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 16 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/125 x 50 %

Selanjutnya dilakukan pengamatan setiap hari untuk mengamati dan mengukur adanya perubahan zona hambat masing-masing kelompok perlakuan.

Tahap berikutnya, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform, etil asetat dan methanol. Selanjutnya ekstrak yang berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang sama, untuk menentukan nilai konsentrasi hambat minimal (KHM). Setelah hasil KHM diketahui, selanjutnya dilakukan pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik terhadap E. coli. Sehingga diperoleh ekstrak dengan efek terbaik masing – masing terhadap M. gallisepticum dan E. coli.

Analisis data. Data yang diperoleh akan dianalisa dengan analisis sidik ragam ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan.

Dokumen terkait