• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Jahe, Kencur, Temulawak dan Sambiloto Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab Chronic Respiratory Diseases Kompleks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Jahe, Kencur, Temulawak dan Sambiloto Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab Chronic Respiratory Diseases Kompleks"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI JAHE, KENCUR, TEMULAWAK DAN SAMBILOTO SEBAGAI

ANTI Mycoplasma gallisepticum DAN Escherichia coli PENYEBAB

CHRONIC RESPIRATORY DISEASES KOMPLEKS

AULIA ANDI MUSTIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Jahe, Kencur, Temulawak dan Sambiloto Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab Chronic Respiratory Diseases Kompleks adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

(3)

ABSTRACT

AULIA ANDI MUSTIKA. Potention of Zingiber officinale, Kaempferia galanga, Curcuma xanthorriza and Andrographis paniculata as anti Mycoplasma gallisepticum and Eschericia coli Agents of Complex Chronic Respiratory Diseases.

Under supervision of MIN RAHMINIWATI, SOERIPTO and UNANG PATRIANA

Zingiber officinale Rosc, Kaempferia galanga, Curcuma xanthorrhiza roxb and

Andrographis paniculata nees are medicinal plants that have been used widely for traditional treatment for human in Indonesia. The herbs have also been used for treatment in animals but they have not been proven scientifically. The advantages of using herbs for treatment compared to antibiotics are the herbs have less resistances, low toxicity and no residual component produce in the body organs. Complex chronic respiratory disease (CCRD) of chickens was known to be infectious and causes high economic losses against poultry industries. The main agent of the disease is

Mycoplasma gallisepticum (M. gallisepticum) and complicated by Escherichia coli (E. coli) as the secondary infection. Antibiotics have been used widely for treatment the disease but the disease is still spread widely in the world up to now. The other disadvantages are bacterial resistance and drug residues have frequently been reported. The aim of this study is to evaluate the potency of four medicinal plants against Mycoplasma gallisepticum (M. gallisepticum) and Eschirichia coli (E. coli)

infections. The potencies of those plants were examined using growth inhibition test according to Kirby bauer method. The study was treated as followed: the M. gallisepticum and E. coli were treated with traditional herbs (extract of Zingiber officinale Rosc, kaempferia galanga, Curcuma xanthorrhiza roxb and Andrographis paniculata nees) in different concentrations from 0.4% to 50%. The study was provided by negative and positive controls. The negative control was used without treatment on the disc and positive control was using 5 ug enrofloxacin disc. The result of this study showed that the zingiber water extract and zingiber n hexan fraction had good inhibition zones for M. gallisepticum but not for E.coli. No inhibition zones were performed by other herbs against neither M. gallisepticum nor

E.coli. Further compound inhibition effect of Zingiber officinale Rosc against M. gallisepticum was carried out using thin layer chromatography (TLC) technique. Gingerol and zingiberen compounds were obtained from this technique and these compounds were suspected to be the main compound causing inhibition. According to literature search, these two compounds are belonging to essential oil.

(4)

Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab Chronic Respiratory Diseases Kompleks. Dibimbing oleh MIN RAHMINIWATI, SOERIPTO dan UNANG PATRIANA

Tanaman obat sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit serta peningkatan daya tahan tubuh. Banyak tanaman obat dan ramuan khas obat tradisional atau obat asli Indonesia dimiliki oleh setiap suku bangsa (etnis) di Indonesia. Beberapa tanaman obat tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat antara lain jahe, kencur, temulawak dan sambiloto. Tanaman ini banyak digunakan dalam aktivitas hidup sehari-hari baik sebagai bumbu masak maupun bahan baku obat tradisional (Depkes 2000). Pengobatan dengan menggunakan tanaman obat memiliki beberapa keuntungan, yaitu relatif aman untuk dikonsumsi, memiliki toksisitas yang rendah serta tidak meninggalkan residu.

Chronic Respiratory Diseases (CRD) merupakan penyakit pernapasan pada ayam yang ditemukan pada semua kelompok umur. Penyakit CRD mempunyai arti ekonomi yang cukup penting dalam intensifikasi peternakan ayam karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Menurut OIE (2007) CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi. Penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit pada ayam sudah dibatasi. Informasi tentang bahaya resistensi dan residu antibiotik pada produk pangan khususnya daging ayam dan telur semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan penyediaan bahan makanan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).

Penelitian terhadap potensi ekstrak daun sirih, rimpang jahe, kencur, temulawak dan herba sambiloto sebagai obat untuk CRD dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dengan pembuatan ekstrak sirih, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto dengan pelarut ethanol 96%. Tahap kedua dilakukan penapisan efek anti bakteri dari esktrak tersebut terhadap M. gallisepticum dan E. coli secara in vitro. Tahap ketiga, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform, etil asetat dan methanol. Hal ini dilakukan untuk menentukan pelarut terbaik dari tanaman tersebut sebagai ekstrak anti M. gallisepticum. Selanjutnya ekstrak yang berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang sama, untuk menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Setelah hasil KHM diketahui, selanjutnya adalah pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik terhadap E. coli. Sehingga diperoleh hasil yang terbaik masing–masing terhadap

M. gallisepticum dan E. coli.

(5)

berwarna biru tua. Berdasarkan nilai Rf dan warna yang bersumber pada referensi, spot pertama diduga sebagai senyawa zingiberen dan spot kedua sebagai gingerol. Kedua senyawa tersebut bersifat non polar, sehingga larut dalam pelarut n-heksan yang bersifat non polar. Hal ini sesuai dengan prinsip ”like dissolves like” yang berarti suatu zat akan larut pada pelarut dengan kepolaran yang hampir sama (Harborne 2006).

Zingiberen dalam jahe termasuk dalam golongan minyak atsiri. senyawa tersebut diduga mampu mencegah terbentuknya membran sel M. gallisepticum.

Menurut Juliantina et al (2008) Minyak atsiri berperan sebagai anti mikroba dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel bakteri, sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. Minyak atsiri yang aktif sebagai anti bakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil.

Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Diduga peran dari gingerol dalam mempengaruhi lisisnya membran sel M. gallisepticum sangat besar. Fenol pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol kedalam sel dan menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Juliantina et al

2008).

Senyawa yang terdapat pada jahe tidak mampu menghambat pertumbuhan

E. coli. Pada penelitian sebelumnya jahe, kencur dan temulawak memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan E. coli. Hal ini diduga metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini tidak sesuai untuk pengujian E. coli secara in vitro. Struktur sel dari M. gallisepticum dan E. coli berbeda, sehingga senyawa yang efektif terhadap M. gallisepticum belum tentu memiliki khasiat yang sama terhadap E. coli. M. gallisepticum tidak memiliki dinding sel, sehingga senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut bekerja pada membran sel atau inti selnya. Sedangkan E. coli termasuk bakteri gram negatif yang memiliki dinding sel, sehingga senyawa yang berpotensi bekerja mempengaruhi dinding sel dan inti sel bakteri tersebut.

Kata kunci : Jahe, kencur, temulawak, sambiloto, M. gallisepticum, E. coli,

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan karya hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

POTENSI JAHE, KENCUR, TEMULAWAK DAN SAMBILOTO SEBAGAI

ANTI Mycoplasma gallisepticum DAN Escherichia coli PENYEBAB

CHRONIC RESPIRATORY DISEASES KOMPLEKS

AULIA ANDI MUSTIKA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 31 Oktober 1982. Penulis

adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan suami istri A. Muslim

dan S. Murwani. Pendidikan sekolah dasar penulis tempuh di SDN Mangkang

Wetan 1 Semarang (1989-1995), penulis melanjutkan sekolah di SLTPN 1

Semarang (1995-1998). Setelah lulus dari SMUN 6 Semarang pada tahun 2001,

penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui

jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor) untuk

menyelesaikan program sarjana dan pendidikan profesi dokter hewan. Tahun 2008

penulis melanjutkan pendidikan di mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat

sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa organisasi

intra kampus dan ekstra kampus antara lain : Unit Kegiatan Mahasiswa

Bulutangkis Institut Pertanian Bogor (2001-2004), Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Hewan - Institut Pertanian Bogor (2002-2003), Ikatan

Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (2004-2006), Asisten peneliti pada

Pusat Studi Biofarmaka - Insitut Pertanian Bogor, serta menjadi asisten mata

kuliah Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Kedokteran Hewan - Institut

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelasaikan penelitian dan

penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister

sains di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Dengan selesainya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Dr. drh. Min Rahminiwati, MS; Prof(R). Dr. drh. Soeripto, MS dan drh.

Unang Patriana MSi. sebagai dosen pembimbing atas didikan, arahan,

bimbingan, perhatian, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada

penulis dari awal penelitian hingga akhir penulisan tesis.

2. Dra. Masniari Poeloengan, MS. sebagai dosen penguji atas segala saran

dan masukan yang telah diberikan.

3. Staff dan teknisi dari bagian bakteriologi Bbalitvet

4. Staff dan teknisi dari bagian Farmasetik dan Bakteriologi BBPMSOH

5. Istri tercinta, Aldida, Kedua orang tua, Mas Mukhlis, Mas Mukhlas Mas

Patria dan Neni atas do’a, nasehat, dan dukungan baik moral maupun

material.

6. Teman-teman seperjuangan : Mang Huda, Pak RT, Mas ndin, Pak Edi dan

Pak Mul

7. Teman-teman mayor IFO, IBH, BRP dan EMK yang tidak bisa disebutkan

satu persatu, terima kasih atas segala dorongan semangatnya dan ukhuwah

yang terjalin selama ini.

Penulis menyadari bahwa adanya kekurangan dalam tulisan ini, namun

penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2010

(10)

Halaman

Daftar isi …... ………...………... i

Daftar Tabel ...………...………... ii

Daftar gambar ………...………... ii

Pendahuluan ………...…...………... 1

Latar belakang ………….……...………... 1

Tujuan penelitian ...………... 4

Manfaat penelitian ...…...…………....……... 4

Tinjauan pustaka ...………... 5

Jahe ...…….……….….…... 5

Kencur ...………... 6

Temulawak ...…………..…...…... 7

Sambiloto …...………...……….... 7

Mycoplasma gallisepticum... Escherichia coli ………..…. 9 10 Metode penelitian ………...………..………….. 11

Waktu dan tempat penelitian …... 11

Peralatan ………... 11

Bahan penelitian …………. …... 11

Isolat …..………... 12

Metode penelitian ... 12

Hasil dan pembahasan .………...………..………….. 16

SIMPULAN ……...………….………... 24

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Zona hambat Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto

terhadap M. gallisepticum ………... 16

Tabel 2 Zona hambat Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto

terhadap E. coli ………..……….

Tabel 3 Hasil fraksinasi ekstrak jahe……..……….……..

Tabel 4 Zona hambat ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap M.

gallisepticum ………...

Tabel 5 Zona hambat ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap

E. coli ...

17

18

19

20

Tabel 6 Hasil KLT………..……... 21

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Rimpang jahe ………. 6

Gambar 2 Rimpang kencur ………...

Gambar 3 Rimpang temulawak ………..

Gambar 4 Tanaman sambiloto ………

Gambar 5 Zona hambat terhadap M. gallisepticum, fraksi n heksan jahe

2 % ……….………...….

6

8

10

18

(12)

Latar belakang

Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Brazil dalam hal

kekayaan keanekaragaman hayati. Dari sekitar 30.000 jenis tumbuhan yang ada di

Indonesia, lebih dari 1.000 jenis telah dapat dimanfaatkan untuk pengobatan.

Tanaman obat tersebut sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia

dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit serta peningkatan daya tahan

tubuh. Banyak tanaman obat dan ramuan khas obat tradisional atau obat asli

Indonesia dimiliki oleh setiap suku bangsa (etnis) di Indonesia. Ramuan ini

diproduksi dan dipasarkan oleh industri obat tradisional yang sebagian besar

untuk tujuan pengobatan (Dirjen POM 2000).

Beberapa tanaman obat tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat

antara lain jahe, kencur, temulawak dan sambiloto. Kencur, jahe, dan temulawak

termasuk dalam tanaman rimpang. Tanaman ini banyak digunakan dalam

aktivitas hidup sehari-hari baik sebagai bumbu masak maupun bahan baku obat

tradisional (Dirjen POM 2000).

Jahe banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional antara lain batuk,

luka dan alergi gigitan serangga serta pengobatan untuk infeksi bakteri karena

memiliki aktifitas anti mikroba yang baik (Amalia et al 1995). Pada hewan, jahe

dimanfaatakan untuk pengobatan kembung (bloat) (Ma’sum dan Murdiati 1991),

influenza dan mastitis (Gultom et al 1991)

Kencur banyak digunakan untuk bahan baku obat tradisional (jamu), industri

kosmetika, rempah-rempah serta penyedap makanan dan minuman. Secara

empiris kencur digunakan untuk menambah nafsu makan, obat batuk ekspektoran,

antibakteri dan obat asma . Dalam dunia kedokteran hewan, kencur belum banyak

dimanfaatkan untuk pengobatan. Temulawak merupakan salah satu tanaman

tradisional yang paling banyak digunakan, yaitu sebagai antioksidan, antiinflamasi

(Sumartini 2009) serta memiliki kemampuan sebagai hepatoprotektor (Dirjen

POM 2000). Dalam pengobatan hewan temulawak dimanfaatkan sebagai anti

(13)

2

Sambiloto mempunyai ciri khas dengan rasanya yang pahit. Tanaman ini

dimanfaatkan sebagai antiinflamasi, antipiretik dan antimikroba.

Pengobatan dengan menggunakan tanaman obat memiliki beberapa

keuntungan, yaitu relatif aman untuk dikonsumsi, memiliki toksisitas yang

rendah serta tidak meninggalkan residu. Selain itu, penggunaan tanaman obat

dapat mengurangi alokasi dana untuk pengobatan sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan manfaat secara ekonomi.

Chronic Respiratory Diseases (CRD) merupakan penyakit pernapasan

yang sangat merugikan pada ayam, ditemukan pada semua kelompok umur.

Penyakit CRD mempunyai arti ekonomi yang cukup penting dalam intensifikasi

peternakan ayam karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang

besar. Menurut OIE (2007) CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika

terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera

ditanggulangi.

Chronic Respiratory Diseases telah dilaporkan oleh berbagai negara

penghasil unggas di dunia. Penyakit ini sering ditemukan pada setiap periode

pemeliharaan ayam pedaging maupun petelur. CRD disebabkan oleh Mycoplasma

gallisepticum (M. .gallisepticum). Pada kondisi kronis penyakit ini sering disertai

dengan infeksi sekunder yaitu Escherchia coli (E. coli), sehingga penyakit ini

disebut juga CRD kompleks. Di Indonesia kejadian CRD pertama kali dilaporkan

oleh Richey dan Dirdjosoebroto (1965). Belum banyak peternak yang menyadari

bahwa CRD selain merugikan secara ekonomi dari hulu ke hilir (Kleven 1990)

juga menyebabkan tekanan terhadap kekebalan tubuh (Immunosuppresive).

Kejadian CRD dilaporkan telah menyebar luas ke seluruh dunia. Kejadian

CRD tidak hanya menyerang ayam pembibit tetapi juga menyerang ayam

komersial lainnya di seluruh Indonesia (ROMINDO 2007, BPPH 2007).

Kerugian akibat CRD adalah penurunan bobot badan, banyaknya ayam yang

harus diafkir dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan serta

kematian. Selain itu, CRD kompleks pada ayam sering kali menyebabkan

terjadinya kegagalan vaksinasi karena penyakit ini bersifat immunosuppresive

(Soeripto 2009), sehingga menimbulkan komplikasi dengan mikroba penyebab

(14)

Bronhitis (IB). Peternakan ayam pembibit yang ada di indonesia pada umumnya

tidak ada yang terbebas dari CRD, hal ini disebabkan ayam yang terinfeksi

menjadi karier sehingga wilayah dimana peternakan itu berada menjadi daerah

endemik (Soeripto 2009).

Beberapa alternatif untuk mengobati adanya infeksi bakteri adalah dengan

pemberian antibiotik. Pengobatan, pencegahan dan control terhadap CRD pada

peternakan ayam sudah sering dilakukan, tetapi sampai sekarang kejadian CRD

masih terus mewabah (Soeripto 2000; Ley 2003; Vance et al 2008 dan BPPH

2007). Antibiotika yang sering digunakan untuk pengobatan CRD adalah

golongan makrolide dan kuinolon (Bywater 1991 dan Soeripto 1989, 1990) .

Akhir – akhir ini resiko penggunaan antibiotika mulai dibatasi, terutama adanya

efek resisten dan residu pada bahan pangan. Menurut Soeripto (1996) residu yang

biasa ditemukan didalam daging dan telur ayam adalah antibiotika dari golongan

sulfa dan tetracycline. Pengobatan yang terus menerus dengan obat yang sama

tidak disarankan, karena dapat menyebabkan resistensi serta meninggalkan residu

yang berbahaya bagi konsumen produk ayam (Purwadikarta dan Soeripto 1990;

Soeripto 1996; Wahyuwardani dan Soeripto 1998)

Penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit pada ayam sudah

dibatasi. Informasi tentang bahaya resistensi dan residu antibiotik pada produk

pangan khususnya daging ayam dan telur semakin penting seiring dengan

meningkatnya kesadaran konsumen akan penyediaan bahan makanan yang aman,

sehat, utuh, dan halal (ASUH). Sebaliknya, efisiensi biaya produksi untuk

menyediakan produk daging ayam yang ASUH tersebut juga menjadi

pertimbangan utama peternak ayam termasuk di dalamnya penanggulangan

penyakit dengan menggunakan obat-obatan. Oleh karena itu, peternak ayam selalu

berusaha berinovasi untuk mencari obat alternatif dengan memanfaatkan tanaman

sebagai obat.

Peternak unggas menggunakan tanaman obat untuk menanggulangi

penyakit yang didasarkan pada pengalaman empiris mereka yang sudah

dilakukan secara turun-temurun. Beberapa peternak ayam di Indonesia secara

empiris menggunakan jahe, kencur, temulawak dan sambiloto sebagai sediaan

(15)

4

pengobatan gangguan pernafasan. Pengalaman empiris yang telah dipaparkan di

atas menunjukkan bahwa tanaman obat yang selama ini banyak digunakan oleh

manusia untuk pengobatan penyakit pernafasan juga memiliki khasiat yang

hampir sama pada hewan atau ternak.

Tujuan penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui potensi jahe, kencur,

temulawak dan sambiloto yang mempunyai daya antibakterial terhadap M.

gallisepticum dan E. coli sebagai agen penyebab CRD kompleks secara in vitro.

Manfaat Penelitian

Penggunaan jahe, kencur, temulawak dan sambiloto sebagai alternatif

pengobatan CRD komplek diharapkan mampu bersaing dengan pengobatan

konvensional.

(16)
(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Ekstrak jahe, kencur, temulawak dan sambiloto mempunyai efektivitas cukup baik terhadap bakteri Streptococcus. Di antaranya mempunyai efek cukup baik terhadap, B cereus dan L monocytogenes (Natta et al 2008). Meskipun demikian, efek ekstrak keempat tanaman terhadap M. gallisepticum belum pernah dilaporkan meskipun secara empiris sudah digunakan peternak ayam di beberapa tempat sebagai obat untuk pernafasan.

Jahe (Zingiber officinale Rosc.).

Jahe mengandung minyak atsiri yang terdiri atas senyawa-senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen, borneol, sineol, sitral, zingiberal, felandren, vitamin A, B, dan C, serta senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol. Senyawa kelompok fenol pada rimpang jahe sebagai unsur utama yang memberi rasa pedas. Unsur lainnya gingerols, shogaols, paradols dan zinerone. Rimpang jahe segar mengandung senyawa gingerols 1 - 2%. Senyawa gingerols memiliki aktivitas perlindungan pada hati, terutama menghadapi bahaya keracunan carbon tetrachloride (Leung dan Foster 1966). Leung dan Foster (1966) dalam Encyclopedia of Common Natural Ingredient Use in Food, Drugs and Cosmetics menyebutkan, rimpang jahe dapat mencegah infeksi pada luka, antiradang rematik artritis, menurunkan tekanan darah dan antitumor.

Ekstrak air jahe mempunyai aktivitas menghambat dan membunuh bakteri Stapylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Streptococcus pyogenes, E. coli

(18)

Gambar 1 Rimpang jahe

Kencur (Kaempferia galanga L.).

Kencur mengandung minyak atsiri yang terdiri dari borneol, methyl-pcumaric acid, cinnamicacid ethyl-ester pentadecane, cinnamic aldehyde, camphene, eucalyptol, carvone. Kencur dengan ekstrak air pada konsentrasi 100 µg/ml mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, E. coli, Salmonella typhi. Selain itu juga mampu menghambat pertumbuhan Candida albicans (Tewtrakul et al 2005).

Kencur mempunyai afektifits mengencerkan dahak (Nuhardiyati et al 1985). Seskuiterpena mempunyai daya analgesik. Kencur juga bersifat stimulan sehingga bisa digunakan sebagai penambah stamina. Selain itu, kencur juga bersifat karminatif untuk menghilangkan kembung (Winarno dan Sundari 1996).

(19)

7

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb)

Temulawak mengandung zat warna kurkumin, desmetoksi kurkumin, glukosida, kalium oksalat, pati dan minyak atsiri yang terdiri atas felandren, turmerol, sineol, xanthorrizhol, zingiberen, zingiberol, dan turmeron. Selain itu, temulawak mempunyai efek analgesik, antipiretik, dan antioksidan yang cukup kuat. Kurkuminnya telah terbukti sebagai antiradang dan hasilnya telah dipatenkan (Dirjen POM 2000). Efek lain dari kurkumin yang cukup potensial di antaranya adalah efek sebagai antioksidan dan hepatoprotektor (Sumartini 2009).

Xanthorrizhol dari rimpang temulawak mempunyai efektifitas sebagai anti fungi khususnya terhadap Candida sp. Konsentrasi hambat minimal temulawak terhadap Candida sp adalah 10 mg/L (Rukayadi et al 2006). Selain itu xanthorrizol juga mempunyai aktifitas sebagai anti bakteri, khususnya untuk Staphylococcus aureus dan Clostridium spp (Chomnawang et al 2003).

Gambar 3 Rimpang temulawak

Sambiloto (Andrographis paniculata nees)

(20)

Flavotioid diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0- metilwithin, dan apigenin 7, 4 dimetileter.

Infusa Andrografolid pada konsentrasi 5 sampai dengan 15% mempunyai efek antipiretik yang ditunjukkan dengan kemampuanya menurunkan demam yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin pada kelinci dan marmut. Komponen aktif yang bekerja sebagai antiinflamasi dan antipiretik seperti dilaporkan oleh (Dirjen POM 2000) adalah neoandrografolid, andrografolid, deoksiandrografolid dan 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid. Fraksi etanolnya mempunyai efek antihistaminergik yang berguna untuk mengatasi gejala peradangan. Menurut Zaidan et al (2005) sambiloto mempunyai efek sebagai antipiretik, antiinflamasi dan antibakteri. Bakteri yang dapat dihambat oleh sambiloto adalah Stapylococcus aureus dan Pseudomonas aeroginosa.

Pada hewan, sambiloto digunakan sebagai salah satu komponen yang terdapat dalam ramuan herbal untuk mengatasi snot atau flu, dan meningkatkan stamina (Iskandar dan Husen 2003, Cahyaningsih dan Suryani 2006).

Gambar 4 Tanaman sambiloto

(21)

9

yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai obat untuk menangani penyakit CRD. Hal ini berkaitan dengan aktivitasnya sebagai Antibakterial, antiinflamasi, antipiretik dan analgesik. Selain itu karena efektifitasnya cukup baik terhadap gram negatif, sehingga efektivitasnya terhadap M. gallisepticum diharapkan memberikan hasil yang positip.

Mycoplasma gallisepticum

Infeksi M. gallisepticum menyebabkan penyakit pada ayam yang disebut Chronic respiratory disease (CRD). Penyakit ini ditemukan pada semua kelompok umur dan menyerang ayam petelur dan ayam pedaging. Sulitnya mengobati penyakit ini secara tuntas, menyebabkan penyakit berjalan menjadi kronis dan menjadi predisposisi terhadap mikroorganisme lain seperti E.coli. Infeksi kontribusiinfeksi E. coli memperparah kejadian CRD dan penanganannya akan menjadi semakin sulit. Infeksi campuran ini dikenal juga sebagai CRD kompleks (Soeripto 1988; Ley 2003).

Mycoplasma gallisepticum merupakan organisme prokaryotik terkecil, termasuk kedalam kelas molicutes yang memiliki dinding sel lunak. Sel mycoplasma tidak memiliki dinding sel, tetapi dikelilingi oleh 3 lapis plasma membran yang elastis. Ukuran sel mikoplasma bervariasi antara 0.2 – 0.8 µm, sel dapat diwarnai dengan pewarnaan giemsa atau pewarnaan gram. Bentuk koloni pada media agar seperti telor mata sapi dengan ukuran 0.1 – 1 cm, bulat, permukaan halus dan ditengahya terdapat bagian yang menonjol yang disebut bleb (Soeripto 2009).

(22)

Peradangan yang terjadi pada jaringan epithel tidak disebabkan oleh toksin mycoplasma, tetapi disebabkan oleh respon imun dari induk semang berupa reaksi inflamatory. Peradangan ini menyebabkan terhambatnya perkembangan sel T helper 1 (Th 1 cell) sehingga sel T sitotoksik menjadi tidak aktif yang mengakibatkan infeksi patogen menjadi persisten. Selain itu juga terjadi peningkatan produksi tumor necrosis factor α (TNF α) yang mengakibatkan respon sel Th 2 menurun. Sebagai akibatnya maka respon netralisasi antibodi terhadap infeksi bakteri atau virus juga menurun drastis. Kondisi ini menjelaskan bahwa infeksi mycoplasma menyebabkan immunosupresif terhadap ayam yang terinfeksi M. gallisepticum (Soeripto 2009).

Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri yang biasa ditemukan pada saluran

pencernaan baik pada manusia atau hewan. Bakteri ini tergolong gram negatif, merupakan basilus yang tidak membentuk spora serta mempunyai ukuran 2 – 3 x 0.6 µ m. E. coli disebut sebagai opportune pathogens, hal ini disebabkan karena infeksi bersifat sekunder mengikuti penyakit lain, misalnya gumboro dan chronic respiratory diseases (CRD kompleks). Pada kasus CRD kompleks, E. coli banyak ditemukan didaerah kantung udara (air sac) dan pericardium (Tabbu 2000).

(23)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi FKH IPB, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET) dan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan April sampai dengan Juli 2010.

Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan antara lain : Rotary evaporator, gelas ukur, cawan petri, tabung reaksi, mikroskop, pipet 1 mL, botol bijou’s, rak tabung, D8 Seitz Filter, incubator , botol kedap udara (jar), laminar flow, pH meter.

Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media untuk pertumbuhan M. gallisepticum dan E. coli.

Medium Mycoplasma yang digunakan terdiri dari kaldu basa mikoplasma (Gibco), Sistein HCL (BDH), dan air suling ganda (pH 7.8). Medium Tersebut disterilkan pada suhu 121

Medium Mycoplasma

o

C selama 15 menit, kemudian suhu medium tersebut diturunkan menjadi 50 oC didalam water bath. Selanjutnya medium ditambahkan medium penyubur yang terdiri dari serum babi (diinaktifkan pada suhu 56o

C selama 30 menit), ekstrak ragi (Difco), DNA (Koch light), dan Amoksisilin (Beecham P. I). Untuk Mencegah kontaminasi cendawan, medium diberi aktidion (Up John).

Medium E. coli yang digunakan adalah natrium chloride, glukosa, casein, papaic digest of soy bean, kalium dihidrogen fosfat dan agar.

(24)

Isolat

Isolat M. gallisepticum 88016dan E. coli adalah isolat local yang diisolasi dari peternakan ayam broiler di Jawa barat. Isolat ini diperoleh dari Prof(R). Dr. Drh. Soeripto, MS. Staff peneliti di Balai Besar Penelitian Veteriner.

Metode Penelitian

Penelitian terhadap potensi ekstrak daun sirih, rimpang jahe, kencur, temulawak dan herba sambiloto sebagai obat untuk CRD dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dengan pembuatan ekstrak sirih, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto dengan pelarut ethanol 96%. Tahap kedua dilakukan penapisan efek anti bakteri dari esktrak tersebut terhadap M. gallisepticum dan E. coli secara in vitro. Tahap ketiga, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform, etil asetat dan methanol. Hal ini dilakukan untuk menentukan pelarut terbaik dari tanaman tersebut sebagai ekstrak anti M. gallisepticum. Selanjutnya ekstrak yang berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang sama, untuk menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Setelah hasil KHM diketahui, selanjutnya adalah pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik terhadap E. coli.

Bahan baku untuk pembuatan ekstrak diperoleh dari UPT Kebun Percobaan Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Setelah dipanen, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto melalui perlakuan sebagai berikut :

Persiapan sampel.

a. Sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari tanaman yang diteliti, pencucian untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang masih menempel pada bahan yang sudah disortasi basah

b. Perajangan daun sirih, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto untuk mempermudah proses pengeringan dan penggilingan

(25)

13

Ekstraksi simplisia jahe, kencur, temulawak dan sambiloto dilakukan dengan metode maserasi selama 3 x 24 jam dengan pelarut etanol 96%. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 40°C dan 50 rpm sampai diperoleh ekstrak kental. Selanjutnya terhadap ekstrak kental dilakukan proses spray dry, sehingga dihasilkan ekstrak kering.

Ekstraksi Sampel.

Cara untuk menentukan kerentanan organisme terhadap anti mikroba adalah dengan menginokulasikan pelat agar dengan biakan dan membiarkan anti mikroba berdifusi ke media agar.

Uji hambatan pertumbuhan mikroba dengan metode cakram Kirby - bauer.

Cawan petri steril yang telah disiapkan diisi dengan medium M. gallisepticum sebayak 20 ml untuk setiap cawan petri, kemudian didiamkan sampai dingin dan membeku. Selanjutnya kultur M. gallisepticum diinokulasikan (Konsentrasi 107

Dua buah cakram kertas saring yang sudah mengandung ekstrak (sesuai kelompok perlakuan, masing-masing 25 µL) diletakkan kedalam cawan petri dengan cara menjatuhkan tegak lurus diatas lapisan medium dari jarak ketinggian 10-13 mm dengan letak berseberangan membentuk bidang bujur sangkar.

CFU) pada permukaan media M. gallisepticum sebanyak 1 ml . Cawan petri digoyang-goyangkan sampai kultur menyebar merata diatas media, diamkan selama 10 menit, sampai tebentuk suatu medium yang mengandung kuman uji M. gallisepticum.

(26)

Persiapan cawan petri dan cakram

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan 18 perlakuan. Setiap perlakuan diulang 2 kali. Selanjutnya perlakuan tersebut disajikan sebagai berikut :

Kelompok kontrol positip : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian antibiotik standar (kuinolon)

Kelompok kontrol negatip : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum Kelompok Perlakuan 1: Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan

pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 2 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 3 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 4 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi 1/125 x 50%

Kelompok Perlakuan 5 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 6 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 7 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 8 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak kencur dengan konsentrasi 1/125 x 50%

Medium Mycoplasma

gallisepticum sebanyak 20 ml Diamkan hingga membeku

(27)

15

Kelompok Perlakuan 9 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 10 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 11 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 12 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak temulawak dengan konsentrasi 1/125 x 50%

Kelompok Perlakuan 13 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 50%

Kelompok Perlakuan 14 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/5 x 50%

Kelompok Perlakuan 15 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/25 x 50%

Kelompok Perlakuan 16 : Media agar PPLO dengan infeksi M. gallisepticum dan pemberian ekstrak sambiloto dengan konsentrasi 1/125 x 50 %

Selanjutnya dilakukan pengamatan setiap hari untuk mengamati dan mengukur adanya perubahan zona hambat masing-masing kelompok perlakuan.

Tahap berikutnya, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform, etil asetat dan methanol. Selanjutnya ekstrak yang berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang sama, untuk menentukan nilai konsentrasi hambat minimal (KHM). Setelah hasil KHM diketahui, selanjutnya dilakukan pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik terhadap E. coli. Sehingga diperoleh ekstrak dengan efek terbaik masing – masing terhadap M. gallisepticum dan E. coli.

(28)

Metode yang dapat digunakan untuk menetapkan kerentanan organisme

terhadap suatu senyawa adalah dengan menginokulasikan plat agar dengan biakan

dan membiarkan senyawa tersebut berdifusi ke media agar. Metode ini disebut

metode cakram Kirby – bauer. Pada metode tersebut efektivitas anti mikroba

ditunjukkan dengan adanya zona hambatan. Zona hambatan ini tampak sebagai

area jernih/bening yang mengelilingi cakram, yang menunjukkan zat dengan

aktivitas anti mikroba terdifusi.

Metode Kirby – bauer telah digunakan secara luas dengan cakram kertas

saring yang tersedia secara komersial. Efektifitas relatif dari suatu senyawa anti

mikroba menjadi dasar dari spektrum sensitivitas suatu organisme. Informasi ini

bersama dengan pertimbangan farmakologi digunakan dalam memilih suatu

senyawa anti mikroba untuk pengobatan (Harmita dan Maksum 2005).

Pada penelitian ini Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto,

masing–masing dengan konsentrasi 50%, 10%, 2% dan 0.4% diuji sensitivitasnya

terhadap bakteri M. gallisepticum strain lokal 88016 (konsentrasi 107 CFU)

dengan menggunakan metode cakram Kirby – bauer.

Tabel 1 Zona hambat (mm) Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan herba sambiloto terhadap M. gallisepticum.

Tanaman

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 didapatkan hasil pengukuran

(29)

17

dan sambiloto tidak efektif terhadap M. gallisepticum sampai dengan konsentrasi

50%. Ekstrak air jahe dan temulawak memiliki kemampuan dalam menghambat

pertumbuhan bakteri M. gallisepticum dengan konsentrasi yang berbeda. Ekstrak

air jahe efektif pada konsentrasi 10%, sedangkan temulawak pada konsentrasi

50%. Berdasarkan data tersebut analisis lebih lanjut hanya dilakukan terhadap

ekstrak jahe. Ekstrak rimpang Temulawak memiliki dosis efektif terlalu tinggi.

Pada dosis tersebut Ekstrak rimpang Temulawak tidak potensial untuk

dikembangkan sebagai anti CRD, sehingga tidak dilakukan analisa lanjutan.

Tabel 2 Zona hambat (mm) Ekstrak air jahe, kencur, temulawak dan sambiloto terhadap E.coli.

Hasil pengamatan pada Tabel 2 terlihat bahwa pada semua kelompok

perlakuan dan semua konsentrasi tidak menunjukkan adanya zona hambatan

terhadap E. Coli. Sehingga pada konsentrasi tersebut tidak memiliki kemampuan

dalam menghambat pertumbuhan E.coli.

Analisis lebih lanjut terhadap ekstrak jahe adalah fraksinasi menggunakan

pelarut n heksan, chloroform, etil asetat dan metanol. Hal ini bertujuan untuk

memisahkan senyawa dari ekstrak tersebut berdasarkan sifat kepolaran. Metode

fraksinasi yang digunakan adalah metode ekstraksi cair-cair. Jahe diekstraksi

dalam corong pisah dengan n- heksan untuk membebaskan ekstrak air dari zat-zat

yang kepolarannya rendah seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil. Fraksinasi

dilakukan tiga kali untuk mengoptimalkan pemisahan (Markham, 1988). Larutan

(30)

chloroform, etil asetat dan methanol. Hasil fraksinasi didapatkan fraksi n heksan,

chloroform, etil asetat dan fraksi methanol (Tabel 3). Ekstrak jahe yang digunakan

untuk fraksinasi sebanyak 70 g.

Tabel 3 Hasil fraksinasi ekstrak jahe

Ekstrak/Fraksi

Jahe

Berat Rendemen

(g) (%)

Fraksi n- hexan 12,6 17,37

Fraksi chloroform 1,8 2,5

Fraksi Etil asetat 9,66 13,8

Fraksi methanol 17,53 25,04

Setiap fraksi yang diperoleh diuji dengan metode yang sama dengan

ekstrak air (metode cakram Kirby–bauer) untuk menentukan efektivitas hasil

fraksinasi ekstrak tanaman tersebut terhadap M. gallisepticum.

(31)

19

Pengujian juga dilakukan untuk menentukan nilai konsentrasi hambat

minimal dari ekstrak tersebut terhadap M. gallisepticum. Konsentrasi yang

digunakan adalah 10%, 8%, 6%, 4% dan 2%. Konsentrasi yang digunakan

berdasarkan hasil pengujian ekstrak air jahe. Hasil pengujian zona hambat ekstrak

jahe hasil fraksinasi terhadap M. gallisepticum dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4 Zona hambat (mm) ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap M. Gallisepticum

* Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf (P>0,05).

Berdasarkan Tabel 4 diketahui fraksi n-heksan dari jahe memiliki

konsentrasi hambat minimal 8%. Secara statistik, kelompok tersebut berbeda

nyata lebih besar (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal

ini berarti kelompok tersebut memiliki daya hambat yang sensitif terhadap M.

gallisepticum.

Tahap selanjutnya, pengujian fraksi air, n – heksan, chloroform, etil asetat

dan methanol terhadap bakteri E. coli dengan metode cakram Kirby – bauer.

Konsentrasi yang diuji adalah 10%, 8%, 6%, 4% dan 2%. Konsentrasi ini

mengacu pada konsentrasi terbaik pada hasil pengujian terhadap M.

(32)

Gambar 6 Zona hambat terhadap E. coli , fraksi n heksan jahe 10 % (Perbesaran 8x)

Pengujian terhadap E. coli dilakukan karena bakteri tersebut merupakan

bakteri yang ikut berperan pada kasus CRD kompleks selain bakteri M.

gallisepticum. Hasil pengujian diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengujian

in vivo terhadap kasus CRD kompleks.

Tabel 5 Zona hambat (mm) ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap E. coli

Tanaman Fraksi Konsentrasi (%)

10 8 6 4 2

Jahe Heksan 0 B 0 0 0 0

CHCl3 0 0 0 0 0

Etil asetat 0 0 0 0 0

Metanol 0 0 0 0 0

Air 0 0 0 0 0

Kontrol positif

18A (Enrofloksacin 5 µg)

Kontrol negatif 0B

(33)

21

Pada Tabel 5 diketahui ekstrak jahe tidak memiliki zona hambat terhadap E. coli.

Hal ini berarti bahwa dengan perlakuan ekstraksi dan fraksinasi yang dilakukan

tidak memberikan hambatan pada E. coli.

Tahap terakhir dari penelitian ini adalah identifikasi senyawa dalam

ekstrak yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dan E. coli dengan

menggunakan metode Kromatografi lapis tipis (KLT) . Kromatografi lapis tipis

dapat digunakan untuk keperluan yang luas dalam identifikasi senyawa karena

memberikan hasil pemisahan yang lebih baik dan membutuhkan waktu yang lebih

cepat. Waktu rata-rata untuk kromatografi lapis tipis dengan panjang 10 cm pada

silika gel adalah sekitar 20-30 menit (tergantung sifat fase gerak). Kromatografi

lapis tipis hanya membutuhkan penyerap dengan jumlah sampel sedikit dan spot

yang terpisahkan dilokalisir pada plat.

Sistem pelarut untuk KLT dapat dipilih dari pustaka berdasarkan zat yang

diuji. Sistem yang paling sederhana adalah campuran pelarut organiknya yang

dipakai untuk memisahkan molekul yang mempunyai satu atau dua gugus fungsi

dengan cara kromatografi cair preparatif pada lapisan silika gel atau alumina aktif

(Harborne 2006). Jarak pengembang senyawa pada kromatogram dinyatakan

dengan Retardation factor (Rf), dimana Rf merupakan jarak pusat spot dari titik

awal dibagi dengan jarak elusi total.

Tabel 6 Hasil KLT jahe

Kromatografi lapis tipis (KLT) fraksi rimpang jahe menggunakan fase

diam silica gel GF254 dan fase gerak n heksan : dietil eter (8 : 2 ). Profil KLT pada

(34)

sinar UV 254 nm dan tiga spot berdasarkan sinar UV 366 nm. Satu senyawa tidak

teridentifikasi pada UV 366 nm karena senyawa tersebut tidak menyerap warna

pada panjang gelombang tersebut

Senyawa yang terdapat pada jahe yang berperan sebagai anti M.

gallisepticum diduga keempat spot tersebut, dua diantaranya gingerols dan

zingiberen. Hal ini didukung pada hasil KLT, dimana karakterisasi fraksi

n-heksan jahe menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menunjukan adanya

empat spot. Spot pertama dengan nilai Rf 0,9 dengan warna ungu dan spot kedua

0,36 berwarna biru tua. Berdasarkan nilai Rf dan warna yang bersumber pada

referensi, spot pertama diduga sebagai senyawa zingiberen dan spot kedua

sebagai gingerol. Kedua senyawa tersebut bersifat non polar, sehingga larut dalam

pelarut n-heksan yang bersifat non polar. Hal ini sesuai dengan prinsip ”like

dissolves like” yang berarti suatu zat akan larut pada pelarut dengan kepolaran

yang hampir sama (Harborne 2006).

Zingiberen dalam jahe termasuk dalam golongan minyak atsiri. senyawa

tersebut diduga mampu mencegah terbentuknya membran sel M. gallisepticum.

Menurut Juliantina et al (2008) Minyak atsiri berperan sebagai anti mikroba

dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel bakteri,

sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. Minyak atsiri yang aktif

sebagai anti bakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH)

dan karbonil.

Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi dengan sel

bakteri melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Diduga peran

dari gingerol dalam mempengaruhi lisisnya membran sel M. gallisepticum sangat

besar. Fenol pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan

yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol kedalam sel

dan menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol

menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Juliantina et al

(35)

23

Senyawa yang terdapat pada jahe tidak mampu menghambat pertumbuhan

E. coli. Pada penelitian sebelumnya jahe, kencur dan temulawak memiliki

aktivitas menghambat pertumbuhan E. coli. Hal ini diduga metode ekstraksi yang

digunakan pada penelitian ini tidak sesuai untuk pengujian E. coli secara in vitro.

Struktur sel dari M. gallisepticum dan E. coli berbeda, sehingga senyawa yang

efektif terhadap M. gallisepticum belum tentu memiliki khasiat yang sama

terhadap E. coli. M. gallisepticum tidak memiliki dinding sel, sehingga senyawa

yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut bekerja pada membran

sel atau inti selnya. Sedangkan E. coli termasuk bakteri gram negatif yang

memiliki tiga lapis dinding sel, sehingga senyawa yang berpotensi bekerja

(36)

Berdasarkan penelitian yang telah kami laksanakan, dapat disimpulkan sebagai

berikut :

• Jahe memilki aktivitas anti mikroba terhadap M. gallisepticum dengan KHM

ekstrak air 10% dan fraksi heksan 8%, tetapi tidak memiliki aktivitas terhadap

E. coli.

• Berdasarkan hasil KLT terhadap fraksi n-heksan jahe, terdapat dua spot

dengan nilai Rf 0.9 dan 0.36. Diduga senyawa tersebut adalah gingerol dan

zingiberen.

• Rimpang temulawak dengan konsentrasi tinggi (50%) memiliki sensitivitas

terhadap M. gallisepticum.

• Rimpang kencur dan sambiloto tidak memiliki sensitivitas terhadap M.

gallisepticum.

• Jahe paling potensial sebagai anti mikroba terhadap M. gallisepticum, tetapi

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Akoachere, Ndip RN, Chenwi, Ndip LM, Njock TE dan Anong DN. 2002.

Antibacterial Effect of Zingiber officinale and Garcinia kola on Respiratory Track Pathogens. East African Medical Journal. East Africa.

Amalia L, Asep GS, Ellin YS. 1995. Uji Aktivitas Antibakteri dan Antifungi Minyak Atsiri Beberapa Tanaman Suku Piperaceae. Skripsi . ITB, Bandung.

Amer M, Bayomi K, Zenab, Gera S dan Hanafei A. 2009. Field Study on control of chronic Respiratory diseases in vertically infectd broiler chick. Veterinary Medical Journal.

Bajwa N, Siddique M, Javed MT. 1992. Pathogenesis of Escherisia colli in Previously Mycoplasma gallisepticum Infected Layer Chick. Journal of Islamic Academy Sciences.

(BPPH) Balai Penyidikan Penyakit Hewan. 2007. Data Diagnosis Penyakit Pada Unggas. Jakarta.

Bywater R, J. 1991. Macrolide and Lincosamide Antibiotics. Part III. The Control of Infectious Diseases ; Chemotheraphy in : Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. Fifth edition. By G. C. Brander, D. M. Pugh, R. J. Bywater and W. L. Jenkins. ELBS with Bailliere Tindall. Educational Low-priced Book Scheme. Funded by the British Goverment.

Cahyaningsih U. dan Suryani A. 2006. Pemberian Serbuk Daun Sambiloto (Andrographis paniculata) dalam Pakan terhadap Mortalitas, Jumlah Ookista, Pertambahan Bobot Badan pada Ayam yang Diinfeksi Eimeria tenella. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIX. Surakarta Maret 2006. Fakultas Kedokteran Hewan Univ. Sebelas Maret Surakarta bekerjasama dengan POKJANAS Tanaman Obat Indonesia. Surakarta.

Chomnawang MT, Paojinda P, Narknopmanee N, Rungreang L. 2003. Evaluation of Biologycal Quality of Herbal Product in Thailand. Thai Journal of Phytopharmacy.

(Dirjen POM) Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. 2000. Acuan sediaan herbal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

(38)

Harborne JB. 2006. Metode fitokimia: penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Ed ke-2.Penerbit ITB. Bandung.

Harmita dan Maksum. 2005. Analisis Hayati. Ari Cipta. Jakarta.

Iskandar T, dan Husein. 2003. Pemberian Campuran Serbuk Jahe Merah (Zingirberofficinale Rubra) pada Ayam Petelur untuk Penanggulangan Koksidiosis. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. September 2003. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Juliantina F, Citra DA, Nirwani B, Nurmasitoh T dan Bowo ET. Manfaat Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Agen Anti Bacterial Terhadap Bakteri Gram Positip dan Gram Negatip. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia. 2008. Jakarta.

Kleven. SH. 1990. Summary of Discussion of Avian Mycoplasma Team. Avian Pathology 19 Halaman 795 – 800.

Ley , D. H. 2003. Mycoplasma gallisepticum Infection. CD Rom version produced and distributed by lowa state press. A Blackwell Publishing Company.

Leung dan Foster. 1966. Encyclopedia of Common Natural Ingredient Use in Food, Drugs and Cosmetics.

Markham, K.R.1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.

Ma’sum. 1991. Traditional Veterinary Medicine For Ruminants In East Java. Proceedings of a Workshop held at the Central Research Institute for Animal Science. Bogor.

Ma’sum K dan Murdiati TB. 1991. Traditional Veterinary Medicine For Ruminants In East Java. Proceedings of a Workshop held at the Central Research Institute for Animal Science. Bogor.

Mundy EM dan Murdiati TB. 1991. Traditional Veterinary Medicine For small Ruminants In Java. Proceedings of a Workshop held at the Central Research Institute for Animal Science. Bogor.

Murphy MC. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agents.Clinical Microbiology Reviews. USA.

(39)

27

Nuhardiyati M, Johari S, Suratman dan Subroto. 1985. Penelitian Tanaman Obat Sub DAS Tentang Bagian Hulu Kabupaten Semarang. Makalah Dalam Lokakarya Pembudidayaan Tanaman Obat. UNSOED, Surakarta.

OIE . 2007. Quarterly Epidemiology Report. October – desember 2007 (Asian and pacific region). Published by the OIE the Regional Representation for Asia and the Pacific in Cllaboration with the Secretariat of the Pacific Community. Sanseido BLDG.

Poerwadikarta MB dan Soeripto. 1990. Penggunaan Media Cair Untuk Menguji Kepekaan Kuman Mycoplasma gallisepticum Isolat Lokal Terhadap Beberapa Antibiotika. Bogor.

Richey DJ. dan Dirdjosoebroto S. 1965. Chronic Respiratory Diseases of Chicken in West Java , Indonesia. Preliminary Serologic Studies. Com. Vet. 9 ; 1-5.

ROMINDO. 2007. Pengamatan Penyakit Bakterial Pada Unggas di Indonesia Dalam Kurun Waktu Tahun 2004 – 2006. PT. Romindo Primavetcom, Jakarta. Indonesia.

Rukayadi Y, Yong D dan Hwang Jae K. 2006. In vitro Anticandidal Activity of Xanthorrhizol Isolated from Curcuma Xanthorriza roxb. Journal of Antimycrobial chemotherapy. South korea.

Soeripto. 1988. Natural Mycoplasma gallisepticum Infection in Tegal Duck. Penyakit Hewan. 20. Bogor.

Soeripto. 1989. Pengaruh Suanovil Terhadap Kenaikan Bobot Badan Ayam Pedaging Yang Terserang CRD. BBALITVET. Bogor.

Soeripto. 1990. Efikasi Antibiotika Makrolide Untuk Pencegahan Penyakit Pernafasan Menahun dan Pengaruhnya Terhadap Kenaikan Bobot Badan Ayam Pedaging. BBALITVET. Bogor.

Soeripto. 1996. Resistance Pattern of Microbial Agents in The Livestock Production. Indonesian Agricultural Research And Development Journal. The Agency For Agricultural Research and Development. Bogor.

Soeripto. 2000. Penyakit Pernafasan Menahun Pada Ayam. Kumpulan Makalah

Poultry Refresher Course. Bogor.

Soeripto. 2009. Chronic Respiratory Diseases Pada Ayam. WARTAZOA. Bogor.

(40)

Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius. Jakarta.

Tewtrakul S, Yuenyongsawad S, Kummee, Atsawajaruwan L. 2005. Chemical component and Biological Activities of Volatile Oil of Campferia galanga linn. SSongklanakarin J.Sci. Technol. Thailand.

Vance AS. Branton, Collier S, Gerald P dan Peebles E. 2008. Effect of Prelay ts11-strain Mycoplasma gallisepticum Inoculation and Time Specific F-strain Mycoplasma gallisepticum Inoculation Overlays on Internal Egg and Eggshell Characteristics of Commercial Laying hens. Poultry Science.

Wagner H. 1977. New Natural Product and Plants Drugs with Pharmacological, Biological or Therapeutical Activity. Philladelphia.

Wahyuwardani dan Soeripto. 1998. Kepekaan Beberapa Isolat Mycoplasma gallisepticum Terhadap Antibiotika. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Bogor.

Winarno dan Sundari D. 1996. Kerasionalan Komposisi, Jamu Pegel Linu ,

Cermin Dunia Kedokteran No. 108 :30. Jakarta.

(41)

ABSTRACT

AULIA ANDI MUSTIKA. Potention of Zingiber officinale, Kaempferia galanga, Curcuma xanthorriza and Andrographis paniculata as anti Mycoplasma gallisepticum and Eschericia coli Agents of Complex Chronic Respiratory Diseases.

Under supervision of MIN RAHMINIWATI, SOERIPTO and UNANG PATRIANA

Zingiber officinale Rosc, Kaempferia galanga, Curcuma xanthorrhiza roxb and

Andrographis paniculata nees are medicinal plants that have been used widely for traditional treatment for human in Indonesia. The herbs have also been used for treatment in animals but they have not been proven scientifically. The advantages of using herbs for treatment compared to antibiotics are the herbs have less resistances, low toxicity and no residual component produce in the body organs. Complex chronic respiratory disease (CCRD) of chickens was known to be infectious and causes high economic losses against poultry industries. The main agent of the disease is

Mycoplasma gallisepticum (M. gallisepticum) and complicated by Escherichia coli (E. coli) as the secondary infection. Antibiotics have been used widely for treatment the disease but the disease is still spread widely in the world up to now. The other disadvantages are bacterial resistance and drug residues have frequently been reported. The aim of this study is to evaluate the potency of four medicinal plants against Mycoplasma gallisepticum (M. gallisepticum) and Eschirichia coli (E. coli)

infections. The potencies of those plants were examined using growth inhibition test according to Kirby bauer method. The study was treated as followed: the M. gallisepticum and E. coli were treated with traditional herbs (extract of Zingiber officinale Rosc, kaempferia galanga, Curcuma xanthorrhiza roxb and Andrographis paniculata nees) in different concentrations from 0.4% to 50%. The study was provided by negative and positive controls. The negative control was used without treatment on the disc and positive control was using 5 ug enrofloxacin disc. The result of this study showed that the zingiber water extract and zingiber n hexan fraction had good inhibition zones for M. gallisepticum but not for E.coli. No inhibition zones were performed by other herbs against neither M. gallisepticum nor

E.coli. Further compound inhibition effect of Zingiber officinale Rosc against M. gallisepticum was carried out using thin layer chromatography (TLC) technique. Gingerol and zingiberen compounds were obtained from this technique and these compounds were suspected to be the main compound causing inhibition. According to literature search, these two compounds are belonging to essential oil.

(42)

Sebagai Anti Mycoplasma gallisepticum dan Escherichia coli Penyebab Chronic Respiratory Diseases Kompleks. Dibimbing oleh MIN RAHMINIWATI, SOERIPTO dan UNANG PATRIANA

Tanaman obat sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit serta peningkatan daya tahan tubuh. Banyak tanaman obat dan ramuan khas obat tradisional atau obat asli Indonesia dimiliki oleh setiap suku bangsa (etnis) di Indonesia. Beberapa tanaman obat tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat antara lain jahe, kencur, temulawak dan sambiloto. Tanaman ini banyak digunakan dalam aktivitas hidup sehari-hari baik sebagai bumbu masak maupun bahan baku obat tradisional (Depkes 2000). Pengobatan dengan menggunakan tanaman obat memiliki beberapa keuntungan, yaitu relatif aman untuk dikonsumsi, memiliki toksisitas yang rendah serta tidak meninggalkan residu.

Chronic Respiratory Diseases (CRD) merupakan penyakit pernapasan pada ayam yang ditemukan pada semua kelompok umur. Penyakit CRD mempunyai arti ekonomi yang cukup penting dalam intensifikasi peternakan ayam karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Menurut OIE (2007) CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera ditanggulangi. Penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit pada ayam sudah dibatasi. Informasi tentang bahaya resistensi dan residu antibiotik pada produk pangan khususnya daging ayam dan telur semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan penyediaan bahan makanan yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).

Penelitian terhadap potensi ekstrak daun sirih, rimpang jahe, kencur, temulawak dan herba sambiloto sebagai obat untuk CRD dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama dengan pembuatan ekstrak sirih, jahe, kencur, temulawak dan sambiloto dengan pelarut ethanol 96%. Tahap kedua dilakukan penapisan efek anti bakteri dari esktrak tersebut terhadap M. gallisepticum dan E. coli secara in vitro. Tahap ketiga, dari keempat tanaman yang berpotensi sebagai anti M. gallisepticum dilakukan fraksinasi dengan pelarut n – heksan, kloroform, etil asetat dan methanol. Hal ini dilakukan untuk menentukan pelarut terbaik dari tanaman tersebut sebagai ekstrak anti M. gallisepticum. Selanjutnya ekstrak yang berpotensi dari hasil fraksinasi dilakukan pengujian lanjutan dengan metode yang sama, untuk menentukan nilai Konsentrasi Hambat Minimal (KHM). Setelah hasil KHM diketahui, selanjutnya adalah pengujian ekstrak hasil fraksinasi yang terbaik terhadap E. coli. Sehingga diperoleh hasil yang terbaik masing–masing terhadap

M. gallisepticum dan E. coli.

(43)

berwarna biru tua. Berdasarkan nilai Rf dan warna yang bersumber pada referensi, spot pertama diduga sebagai senyawa zingiberen dan spot kedua sebagai gingerol. Kedua senyawa tersebut bersifat non polar, sehingga larut dalam pelarut n-heksan yang bersifat non polar. Hal ini sesuai dengan prinsip ”like dissolves like” yang berarti suatu zat akan larut pada pelarut dengan kepolaran yang hampir sama (Harborne 2006).

Zingiberen dalam jahe termasuk dalam golongan minyak atsiri. senyawa tersebut diduga mampu mencegah terbentuknya membran sel M. gallisepticum.

Menurut Juliantina et al (2008) Minyak atsiri berperan sebagai anti mikroba dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel bakteri, sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. Minyak atsiri yang aktif sebagai anti bakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil.

Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Diduga peran dari gingerol dalam mempengaruhi lisisnya membran sel M. gallisepticum sangat besar. Fenol pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol kedalam sel dan menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Juliantina et al

2008).

Senyawa yang terdapat pada jahe tidak mampu menghambat pertumbuhan

E. coli. Pada penelitian sebelumnya jahe, kencur dan temulawak memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan E. coli. Hal ini diduga metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini tidak sesuai untuk pengujian E. coli secara in vitro. Struktur sel dari M. gallisepticum dan E. coli berbeda, sehingga senyawa yang efektif terhadap M. gallisepticum belum tentu memiliki khasiat yang sama terhadap E. coli. M. gallisepticum tidak memiliki dinding sel, sehingga senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut bekerja pada membran sel atau inti selnya. Sedangkan E. coli termasuk bakteri gram negatif yang memiliki dinding sel, sehingga senyawa yang berpotensi bekerja mempengaruhi dinding sel dan inti sel bakteri tersebut.

Kata kunci : Jahe, kencur, temulawak, sambiloto, M. gallisepticum, E. coli,

(44)

Latar belakang

Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Brazil dalam hal

kekayaan keanekaragaman hayati. Dari sekitar 30.000 jenis tumbuhan yang ada di

Indonesia, lebih dari 1.000 jenis telah dapat dimanfaatkan untuk pengobatan.

Tanaman obat tersebut sudah sejak lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia

dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyakit serta peningkatan daya tahan

tubuh. Banyak tanaman obat dan ramuan khas obat tradisional atau obat asli

Indonesia dimiliki oleh setiap suku bangsa (etnis) di Indonesia. Ramuan ini

diproduksi dan dipasarkan oleh industri obat tradisional yang sebagian besar

untuk tujuan pengobatan (Dirjen POM 2000).

Beberapa tanaman obat tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat

antara lain jahe, kencur, temulawak dan sambiloto. Kencur, jahe, dan temulawak

termasuk dalam tanaman rimpang. Tanaman ini banyak digunakan dalam

aktivitas hidup sehari-hari baik sebagai bumbu masak maupun bahan baku obat

tradisional (Dirjen POM 2000).

Jahe banyak dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional antara lain batuk,

luka dan alergi gigitan serangga serta pengobatan untuk infeksi bakteri karena

memiliki aktifitas anti mikroba yang baik (Amalia et al 1995). Pada hewan, jahe

dimanfaatakan untuk pengobatan kembung (bloat) (Ma’sum dan Murdiati 1991),

influenza dan mastitis (Gultom et al 1991)

Kencur banyak digunakan untuk bahan baku obat tradisional (jamu), industri

kosmetika, rempah-rempah serta penyedap makanan dan minuman. Secara

empiris kencur digunakan untuk menambah nafsu makan, obat batuk ekspektoran,

antibakteri dan obat asma . Dalam dunia kedokteran hewan, kencur belum banyak

dimanfaatkan untuk pengobatan. Temulawak merupakan salah satu tanaman

tradisional yang paling banyak digunakan, yaitu sebagai antioksidan, antiinflamasi

(Sumartini 2009) serta memiliki kemampuan sebagai hepatoprotektor (Dirjen

POM 2000). Dalam pengobatan hewan temulawak dimanfaatkan sebagai anti

(45)

2

Sambiloto mempunyai ciri khas dengan rasanya yang pahit. Tanaman ini

dimanfaatkan sebagai antiinflamasi, antipiretik dan antimikroba.

Pengobatan dengan menggunakan tanaman obat memiliki beberapa

keuntungan, yaitu relatif aman untuk dikonsumsi, memiliki toksisitas yang

rendah serta tidak meninggalkan residu. Selain itu, penggunaan tanaman obat

dapat mengurangi alokasi dana untuk pengobatan sehingga pada akhirnya akan

mendapatkan manfaat secara ekonomi.

Chronic Respiratory Diseases (CRD) merupakan penyakit pernapasan

yang sangat merugikan pada ayam, ditemukan pada semua kelompok umur.

Penyakit CRD mempunyai arti ekonomi yang cukup penting dalam intensifikasi

peternakan ayam karena penyakit ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang

besar. Menurut OIE (2007) CRD masuk dalam notifiable diseases, artinya jika

terjadi kasus CRD di lapang harus segera dilaporkan ke pemerintah untuk segera

ditanggulangi.

Chronic Respiratory Diseases telah dilaporkan oleh berbagai negara

penghasil unggas di dunia. Penyakit ini sering ditemukan pada setiap periode

pemeliharaan ayam pedaging maupun petelur. CRD disebabkan oleh Mycoplasma

gallisepticum (M. .gallisepticum). Pada kondisi kronis penyakit ini sering disertai

dengan infeksi sekunder yaitu Escherchia coli (E. coli), sehingga penyakit ini

disebut juga CRD kompleks. Di Indonesia kejadian CRD pertama kali dilaporkan

oleh Richey dan Dirdjosoebroto (1965). Belum banyak peternak yang menyadari

bahwa CRD selain merugikan secara ekonomi dari hulu ke hilir (Kleven 1990)

juga menyebabkan tekanan terhadap kekebalan tubuh (Immunosuppresive).

Kejadian CRD dilaporkan telah menyebar luas ke seluruh dunia. Kejadian

CRD tidak hanya menyerang ayam pembibit tetapi juga menyerang ayam

komersial lainnya di seluruh Indonesia (ROMINDO 2007, BPPH 2007).

Kerugian akibat CRD adalah penurunan bobot badan, banyaknya ayam yang

harus diafkir dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan serta

kematian. Selain itu, CRD kompleks pada ayam sering kali menyebabkan

terjadinya kegagalan vaksinasi karena penyakit ini bersifat immunosuppresive

(Soeripto 2009), sehingga menimbulkan komplikasi dengan mikroba penyebab

Gambar

Gambar 1 Rimpang jahe
Gambar 3 Rimpang temulawak
Tabel 3  Hasil fraksinasi ekstrak  jahe
Tabel 5  Zona hambat (mm) ekstrak jahe hasil fraksinasi terhadap E. coli
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 3.2 Jumlah Sumber Daya Manusia Kesehatan di Puskesmas Menurut Jenis Tenaga dan Provinsi Tahun 2018. Tabel 3.3 Kecukupan Dokter Umum, Dokter Gigi, Perawat, dan Bidan di

Terakhir, keempat adalah hipotesis yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penyebab turunnya ekspor (growth-reducing export hipothesis). Dari keempat

 Gambar (4) adalah gerakan GLBB (Gerak Lurus Berubah Beraturan) yang dipercepat kemudian diperlambat (percepatan berubah dari positif ke negatif) karena

tersebut, penulis tertarik menyusun skripsi dengan judul “ Analisis Penerapan Balanced Scorecard (Studi Kasus pada PT. Telkom Divisi Consumer Service Barat )”. 1.2

Acara : Undangan Pembuktian Dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran Tempat : Kantor Dinas Bina Marga dan Pengairan Kab. Tangerang lantai II Tanggal : 15 - 16 Oktober 2012 (Senin

Trinoto, 2012 Melakukan Penelitian yang membahas tentang pembuatan Media promosi dan pemasaran yang berbasis website dan manfaat dari Media promosi dan pemasaran yang

peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “ Pengaruh Ukuran Perusahaan , Profitabilitas dan Financial Leverage terhadap Perataan Laba pada Perusahaan Otomotif yang terdaftar

Hasil molecular docking menunjukkan kurkumin dan analognya memiliki nilai energi ikatan yang lebih rendah dibandingkan energi ikatan pada bikalutamida sebesar -6,8 kkal/mol (Gambar