• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan dengan metode dipping ke dalam larutan ketamin terhadap benih ikan patin dengan tujuan untuk mengetahui onset, durasi, dan kematian anastesi ketamin. Ikan yang sudah teranastesi dipindahkan ke dalam wadah berisi air bersih untuk proses pulih sadar (recovery). Berdasakan hasil analisis statistik dari seluruh parameter yang diamati, didapatkan hasil signifikansi >0,05 yang menandakan hipotesa diterima. Hasil penelitian yang diperoleh disajikan sebagai berikut.

4.1. Onset Ketamin

Onset suatu anastetikum merupakan waktu dari mulai hewan diinduksi dengan anastetikum sampai dengan keadaan dimana hewan yang dianastesi mulai berkurang kesadarannya atau bahkan hilang. Onset suatu anastetikum dapat diketahui dengan memperhatikan tahap-tahap anastesi yang ditapilkan pada ikan. Parameter utama untuk mengetahui onset suatu sediaan anastetikum adalah hilangnya beberapa refleks. Hasil rataan onset ketamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil rataan onset ketamin

Perlakuan R1 R2 R3 R4 Rataan ± SD P0 0 0 0 0 0 P1 31,01 79,22 22,09 85,72 54,51 ± 32,60a P2 36,97 71,78 21,09 53,95 45,95 ± 21,83 a P3 31,47 49,85 13,79 28,32 30,86 ± 14,82 a P4 32,10 37,92 13,42 20,57 26 ± 11,06 a P5 22,79 56,06 10,02 21,20 27,52 ± 19,86 a

Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat secara berurutan rata-rata onset tercepat adalah P4 (26 menit), P5 (27,52 menit), P3 (30,86 menit), P2 (45,95 menit), P1 (54,51 menit) dan P0 merupakan kontrol negatif yang tidak direndam ketamin sehingga memiliki onset 0. Terlihat dari data yang sudah dipaparkan bahwa semakin besar dosis yang diberikan maka onsetnya juga akan semakin cepat. Secara umum, anastetikum yang ideal adalah anastetikum yang memiliki onset

21 yang cepat, sehingga dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dosis 40 ppm pada P4 merupakan dosis paling baik. Hal ini didukung oleh Tidwell et al. (2004), yang menyatakan bahwa anastesi ideal adalah yang menimbulkan anastesi dengan cepat dengan tingkat stres minimum. Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan dengan ANOVA didapatkan hasil signifikansi >0,05 yang menandakan hipotesa diterima. Kemudian pada uji lanjut dengan uji Duncan dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap penurunan onset pada kelima perlakuan. Hal ini mengindikasikan perbedaan dosis tidak mempengaruhi onset anastesi.

Pada prinsipnya anastesi ikan dengan cara perendaman (dipping) sama halnya dengan anastesi secara inhalasi pada mamalia. Pada pemberian anastesi dengan cara perendaman (dipping) ini, anastetikum akan masuk melalui insang dan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Disamping itu, anestestikum juga dapat diabsorbsi oleh permukaan tubuh ikan. Onset anastetikum tercapai ketika ikan mulai kehilangan refleks dan keseimbangannya (Browser 2001). Ikan yang dianastesi akan mulai menunjukkan gejala awal berupa hilangnya keseimbangan, sehingga ikan akan terlihat berenang dengan posisi yang tidak seimbang bahkan terbalik. Selanjutnya, perlahan-lahan ikan akan kehilangan tonus otot yang ditandai dengan kondisi ikan yang terlihat lemah dan tidak mampu berenang, namun respons nyeri masih ada setelah dirangsang. Pada saat ikan kehilangan respons nyeri, inilah saat dimana onset anastesi tercapai. Biasanya ikan yang teranastesi akan diam di dasar wadah tanpa gerakan. Pada Tabel Lampiran 1 disajikan gejala-gejala yang timbul dari mulai ikan diinduksi dengan anastetikum sampai dengan tercapainya onset anastesi. Ikan patin yang mulai teranastesi ditampilkan pada Gambar 6.

22 Sifat suatu anastetikum bergantung pada kelarutannya dalam lemak, ikatan dengan protein, pKa, diffusi pada jaringan, dan efek vasodilatasi. Ketamin didistribusikan dengan cepat ke seluruh jaringan tubuh dan konsentrasi yang tinggi ditemukan di otak, hati dan paru-paru (Plumb 2005). Dengan demikian, ikan yang memiliki kandungan lemak yang banyak akan cepat teranastesi sehingga onsetnya menjadi lebih cepat. Dari hasil penelitian diperoleh onset tercepat adalah 26 menit. Pemberian anastesi ketamin secara intramuskular pada kucing memiliki onset sekitar 10 menit. Hal ini berkaitan dengan sifat kerja obat yang dipengaruhi oleh dosis, rute pemberian, dan berat badan. Dengan demikian, pemberian dosis yang besar akan mempercepat onset suatu anastetikum.

4.2. Durasi Ketamin

Durasi suatu anastetikum dilihat mulai dari ikan teranastesi sampai ikan sadar kembali. Proses pulih sadar (recovery) dimulai ketika stadium anastesi berakhir dan konsentrasi anastetikum di otak mulai berkurang. Kejadian ini dapat diamati melalui respons terhadap nyeri dan keaktifan gerak ikan. Hal ini dapat diamati dengan membandingkan ikan yang dalam proses pulih sadar dengan ikan pada kelompok kontrol negatif. Hasil rataan durasi ketamin disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil rataan durasi ketamin

Perlakuan R1 R2 R3 R4 Rataan ± SD P0 0 0 0 0 0 P1 93,62 172,83 83,50 183,44 133,35 ± 52,01 a P2 101,60 199,11 96,81 158,98 139,12 ± 48,96 a P3 78,75 123,97 82,09 111,34 99,04 ± 22,15 a P4 91,99 120,45 103,35 97,87 103,41 ± 12,27 a P5 103,95 141,33 77,37 74,93 99,39 ± 30,89 a

Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi anastesi dari yang paling cepat sampai yang paling lambat adalah P5 (96,39 menit), P3 (99,04 menit), P4 (103,41 menit), P1 (133,35 menit) dan P2 (139,12 menit). Dengan demikian,

23 terlihat bahwa perlakuan 2 (P2) atau kelompok ikan yang direndam dengan ketamin 20 ppm memiliki durasi anastesi paling lama yaitu 139,12 menit, Sedangkan durasi anastesi paling cepat terlihat pada perlakuan 3 (P3) yang menggunakan dosis 30 ppm yaitu 99,39 menit. Transportasi ikan tentunya memerlukan anastesi yang mimiliki durasi anastesi yang lama, sehingga memungkinkan untuk digunakan pada transportasi jarak jauh. Hasil pengamatan terhadap durasi anastesi bertentangan dengan pernyataan Plumb (2005), bahwa dengan meningkatnya dosis ketamin yang diberikan maka durasi anastesinya juga akan meningkat.Durasi anastesi dipengaruhi oleh daya ikat anastetikum terhadap protein. Semakin tinggi kemampuan ikatan proteinnya, maka semakin lama durasi anastesi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh dinding sel saraf yang mengandung kurang lebih 10% protein (Wirjoatmodjo 2000). Selanjutnya Ross dan Ross (2008) menambahkan bahwa anastesi yang dilakukan pada ikan yang mengandung kadar lemak tinggi menyebabkan senyawa anastesi semakin lama dikeluarkan dari cadangan lemak sebagai aksi pembersihan melalui insang, ginjal atau degradasi metabolik.

Berdasarkan perhitungan dengan ANOVA dan uji Duncan, peningkatan dosis ketamin tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap peningkatan durasi anastesi. Dengan demikian, perbedaan dosis ketamin tidak mempengaruhi durasi anastesi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat ketamin yang memiliki margin of safety yang luas. Ikan yang sudah pulih sadar ditandai dengan kembalinya fungsi refleks, keseimbangan, tonus otot dan rasa nyeri. Kembalinya refleks ikan ditandai dengan respons yang diberikan ikan ketika diberi rangsangan, sedangkan pulihnya keseimbangan dan tonus otot ikan ditandai dengan keaktifan ikan dalam bergerak atau berenang dengan seimbang. Semua parameter ini juga dibandingkan dengan kelompok kontrol ketamin.

4.3. Kematian

Kematian karena anastesi dapat terjadi dalam waktu singkat atau dapat pula dalam waktu panjang. Kematian dalam waktu singkat dapat disebabkan oleh pemberian dosis yang berlebihan (overdose), gangguan pernapasan, dan gangguan sirkulasi, sedangkan kematian dalam waktu panjang dapat disebabkan oleh kegagalan fungsi fisiologis hati dan ginjal (Wirjoatmodjo 2000). Hasil rataan

24 persentase kematian yang disebabkan oleh anastesi ketamin disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil rataan kematian (%)

Perlakuan R1 (%) R2 (%) R3 (%) R4 (%) Rataan ± SD P0 0 0 0 0 0% P1 1,1 1,1 0 0 0,55% ± 0,63 ab P2 0 0 0 0 0 % ± 0 a P3 2,4 0 0,8 0 0,8% ± 1,13 ab P4 1,2 1,2 0,4 0,4 0,8% ± 0,46 ab P5 3,2 2,4 0,8 0,8 1,8% ± 1,2 bc

Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Hasil penelitian menunjukkan tingkat kematian dari setiap perlakuan adalah P1 (0,55%), P2 (0%), P3 (0,8%), P4 (0,8%), dan P5 (1,8%). Dari data tersebut terlihat bahwa tingkat kematian paling tinggi disebabkan oleh dosis tertinggi yaitu pada kelompok P5 dengan dosis 50 ppm sebesar 1,8% dan tingkat kematian paling rendah terjadi pada kelompok P2 dengan dosis 20 ppm sebesar 0%. Tingkat kematian yang ditimbulkan oleh ketamin dalam penelitian ini sangat rendah yaitu dibawah 20%. Anastetikum yang menimbulkan kematian kurang dari 20% dapat dikatakan aman. Rendahnya tingkat kematian yang ditimbulkan oleh ketamin disebabkan oleh sifat ketamin pada dosis tinggi hanya meningkatkan durasi anastesi, sehingga ketamin memiliki margin of safety yang luas. Dengan demikian risiko terjadinya overdose juga sangat kecil.

Ketamin tidak mendepres pernapasan secara signifikan pada dosis biasa, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan frekuensi pernapasan menurun. Menurunnya frekuensi pernapasan mengakibatkan berkurangnya gas transfer sehingga akan menyebabkan hipoksia dan asidosis pernapasan akibat berkurangnya kadar oksigen darah dan kenaikan serentak CO2 darah. Keadaan ini akan berlanjut dengan meningkatnya konsentrasi adrenalin dan kortisol dalam darah. Meningkatnya durasi anastesi akibat peningkatan dosis ketamin menyebabkan terjadinya perpanjangan tahap III anastesi. Pada banyak kasus,

25 perpanjangan anastesi tahap III tanpa irigasi insang akan menyebabkan kematian (Iwama et al. 2010).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa dari kelima perlakuan terlihat perbedaan yang nyata terhadap peningkatan jumlah kematian antara perlakuan dosis 20 ppm dan 50 ppm, sehingga perbedaan dosis mempengaruhi tingkat kematian. Tingkat kematian yang dihasilkan relatif rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketamin merupakan anastetikum yang aman, dan dosis terbaik untuk meminimalisir tingkat kematian adalah 20 ppm.

4.4. Pembahasan Umum

Anastesi adalah hilangnya sensasi dan kemampuan merasakan sakit. Pembiusan ikan dilakukan untuk berbagai keperluan seperti dalam prosedur pemeriksaan, transportasi, sampling diagnostik dan pembedahan. Menurut Tjay dan Raharja (2007), analgesia yang baik adalah analgesia yang mulai bekerja dengan cepat tanpa efek samping dan tidak merangsang mukosa. Selain itu juga cepat dalam pemulihannya tanpa efek sisa dan juga tidak boleh meningkatkan peredaran kapiler selama pembedahan. Karena tidak ada obat yang memiliki sifat seperti itu sekaligus, biasanya anastetikum dikombinasikan dengan obat-obat pembantu. Obat pembantu digunakan dengan tujuan untuk meniadakan efek samping obat dan dapat juga untuk memperkuat efek anestetik agar anastetikum bekerja lebih dalam sehingga dosisnya dapat diturunkan.

Kemampuan ikan merasakan sakit masih menjadi suatu kontroversi. Hal ini dikarenakan ikan tidak memiliki cerebral cortex terutama neocortex yang berperan dalam persepsi nyeri. Sebagian ikan memang diketahui memiliki cerebral cortex namun sangat kecil (Ross dan Ross 2008). Walaupun demikian, Summerfelt dan Smith (1990) menyebutkan bahwa banyak bukti yang menunjukkan penggunaan obat bius meningkatkan kesejahteraan ikan.

Pada dasarnya anastesi ikan bertujuan untuk membuat ikan tidak bergerak, disamping itu anastesi juga digunakan untuk menurunkan tingkat stres ikan. Hal ini dipertegas oleh Eppard et al. (2003) bahwa, penggunaan agen anastesi telah terbukti mengurangi stres fisiologis dalam tindakan pengambilan sampel darah

26 dan mengurangi angka kematian ketika dihadapkan pada tekanan yang berat dan berulang.

Pada penelitian ini terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk mengamati gejala anastesi antara lain kesadaran, keseimbangan, tonus otot, rasa nyeri, dan refleks. Keseimbangan ditentukan dengan mengamati cara berenang ikan, sedangkan tonus otot ditentukan dengan mengamati kemampuan berenang ikan. Selanjutnya, rasa nyeri dan refleks ditentukan dengan respons yang dihasilkan setelah pemberian rangsangan. Secara umum gejala anastesi yang terlihat pada saat penelitian diawali dengan menurunnya keseimbangan ikan, kemudian diikuti dengan berkurangnya respons terhadap refleks dan rasa nyeri. Selanjutnya, kesadaran dan tonus otot mulai berkurang sampai benar-benar hilang yang menandakan ikan sudah teranastesi.

Anastesi yang ideal adalah anastesi yang menimbulkan efek anastesi dengan cepat dengan tingkat stres minimum dan administrasinya mudah. Selain itu juga harus efektif pada dosis rendah serta memiliki margin of safety yang luas. Hal ini mendukung hasil penelitian terhadap ketamin bahwa ketamin bekerja efektif pada dosis rendah yaitu 20 ppm dan memiliki margin of safety yang luas yang ditunjukkan dengan tingkat kematian yang relatif rendah.

Mekanisme kerja ketamin yaitu berinteraksi dengan reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) yang merupakan reseptor glutamat. Pada saat stres glutamat direlease dalam jumlah berlebih yang menyebabkan stimulasi berlebihan terhadap hypotalamus. Akibatnya Corticotropin Releasing Hormone (CRH) diproduksi dalam jumlah berlebihan dan merangsang hypofise anterior untuk memproduksi Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) dalam jumlah berlebihan. ACTH akan merangsang kortek adrenal untuk memproduksi kortisol. Produksi ACTH yang tidak terkontrol menyebabkan produksi kortisol secara berlebihan, sehingga kadar kortisol dalam darah akan tinggi. Peran ketamin dalam menghambat stres adalah dengan berkompetisi dengan glutamat untuk menduduki reseptor NMDA sehingga glutamat menjadi tidak aktif. Dengan demikian kadar kortisol dalam darah akan tetap rendah.

Dokumen terkait