• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi dan Identifikasi Penyebab Blas

Pengamatan dan isolasi penyakit blas pada tanaman padi dilakukan di Desa Cikarawang, Bogor. Sebelum dilakukan isolasi, survei penyakit blas juga dilakukan di Desa Situgede, tetapi kejadian dan keparahan penyakit blas di sana lebih rendah dibandingkan dengan Desa Cikarawang. Penyakit blas daun paling mendominasi di Desa Cikarawang. Semua stadia umur padi dapat terserang penyakit blas, namun pada fase generatif gejala terlihat lebih jelas dan bila sudah parah terdapat blas leher malai.

Penyakit blas yang ditemukan di bagian daun (leaf blast) berupa bercak coklat kehitaman berbentuk belah ketupat dengan pusat bercak berwarna putih atau kelabu, di sekitar bercak terlihat dikelilingi oleh warna kuning pucat (Gambar 1a, 1b). Bercak belah ketupat dapat membesar, menyatu, dan mematikan keseluruhan daun. Blas juga menyebabkan tanaman menjadi kerdil serta mengurangi jumlah pembentukan malai (Ou 1985). Gejala blas daun biasanya diawali dengan bercak kecil berwarna keputihan, abu-abu, atau kebiruan.

Hasil reinokulasi penyebab blas pada daun padi (Gambar 2a) menunjukkan gejala yang sama yaitu berupa bercak coklat kehitaman berbentuk belah ketupat

dengan pusat bercak berwarna putih atau kelabu dan di sekitar bercak terlihat dikelilingi oleh warna kuning pucat (Gambar 2b, 2c).

Gambar 1 Gejala blas pada permukaan daun (a,b)

b

Gambar 2 Inokulasi isolat P.oryzae pada daun padi (a),gejala blas pada daun setelah diinokulasi (b,c)

a b

7

Setelah daun tersebut direisolasi, dilakukan pengamatan mikroskopis yang menunjukkan bahwa konidia berbentuk seperti buah pir berukuran 15µm x 25µm dengan miselium bersekat (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan Barnett dan Hunter (1998) serta Agrios (2005) yang menjelaskan bahwa konidia P.oryzae berbentuk seperti buah pir, berbentuk hampir elips dengan ujung konidia yang membulat.

Menurut Ou (1985) ukuran konidia P.oryzae berkisar antara 19-23 × 7-9µm. Ukuran dan bentuk konidia bisa berbeda-beda tergantung dari ras patogen dan kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang optimum untuk infeksi dan sporulasi P.oryzae saat kelembapan 95% dengan suhu 26-27 °C (Munoz 2008). Perkembangan bercak dipengaruhi kerentanan varietas dan umur bercak itu sendiri. Bercak dapat berkembang hingga mencapai panjang 1-1.5 cm dan lebar mencapai 0.3-0.5 cm. Bercak pada varietas rentan yang berkembang pada kelembapan tinggi dan di bawah naungan menunjukkan bercak kecoklatan yang tidak lebar tetapi memiliki daerah halo berwarna kekuningan di daerah sekitar bercak. Pada varietas tahan, bercak tidak akan berkembang dan tetap seperti titik . Hal ini terjadi karena adanya penghambatan perkembangan P.oryzae dalam jaringan inang.

Eksplorasi Rizobakteri

Eksplorasi rizobakteri dilakukan di 4 desa sekitar kampus IPB yaitu Cikarawang (Ckr), Situgede (Stgd), Balumbang Jaya (Blb), dan Babakan lebak (Blk). Isolasi rizobakteri yang dilakukan di Desa Balumbang Jaya menghasilkan 14 isolat, Desa Situgede 5 isolat, Desa Cikarawang 5 isolat, dan Desa Babakan Lebak 9 isolat (Tabel 1). Sebanyak 16 isolat merupakan bakteri patogenik karena menyebabkan daun tembakau mengalami gejala nekrosis sedangkan 17 isolat lainnya tidak menyebabkan gejala nekrotik di daun tembakau (Gambar 4b). Gejala nekrotik yang ditunjukkan dalam penelitian ini hampir seluruhnya sama yaitu bercak kecoklatan yang menyebar dan membesar disertai halo berwarna kuning di pinggiran bercak (Gambar 4a). Pada uji hipersensitif ketahanan tanaman mengenali adanya molekul sinyal khusus yang dihasilkan oleh patogen yang disebut elisitor. Pengenalan elisitor oleh ketahanan tanaman mengaktifkan reaksi biokimia di sekitar sel yang terserang dan menyebabkan hancurnya membran seluler dari sel-sel yang berkontak dengan bakteri. Sel-sel tersebut akan mengering dan daun tembakau pada percobaan ini mengalami nekrosis. Jaringan

Gambar 3 Mikroskopis konidia P.oryzae dengan perbesaran 40x10 15 µm

8

daun yang mengalami nekrosis bertujuan mengisolasi patogen dari substansi hidup di sekitarnya sehingga menyebabkan patogen tersebut mati (Agrios 2005).

Gambar 4 Hasil uji hipersensitif pada daun tembakau; isolat rizobakteri yang menimbulkan gejala nekrotik pada daun tembakau (a), isolat rizobakteri yang tidak menimbulkan gejala nekrotik pada daun tembakau (b)

Perbedaan jumlah isolat yang didapat dipengaruhi oleh keragaman mikroorganisme yang ada di rizosfer. Mikroorganisme yang menyokong Tabel 1 Hasil eksplorasi rizobakteri dan uji hipersensitif dari Desa Balumbang

Jaya (Blb), Situgede (Stgd), Cikarawang (Ckr), dan Babakan Lebak (Blk). No Nama Isolat Hasil Uji Hipersensitifa No Nama Isolat Hasil Uji Hipersensitifa 1 Blb 3.2 - 18 Stgd 5.1 - 2 Blb 3.3 - 19 Stgd 7.1 + 3 Blb 3.4 + 20 Ckr 3.1 - 4 Blb 3.5 + 21 Ckr 3.2 - 5 Blb 3.6 - 22 Ckr 3.3 + 6 Blb 3.7 - 23 Ckr 3.6 + 7 Blb 3.8 - 24 Ckr 3.7 + 8 Blb 3.9 + 25 Blk 3.4 + 9 Blb 3.10 + 26 Blk 3.5 - 10 Blb 3.11 - 27 Blk 3.6 - 11 Blb 4.1 - 28 Blk 3.7 + 12 Blb 4.2 + 29 Blk 3.8 - 13 Blb 5.3 + 30 Blk 4.1 + 14 Blb 6.1 + 31 Blk 4.2 - 15 Stgd 4.1 + 32 Blk 5.1 - 16 Stgd 4.2 - 33 Blk 5.3 - 17 Stgd 4.3 + a

Tanda + menujukkan adanya gejala nekrotik pada daun saat uji hipersensitif, tanda –

menujukkan tidak ada gejala apapun saat uji hipersensitif

9 pertumbuhan tanaman berkembang baik di tanah yang mengandung banyak unsur hara. Faktor fisik dan kimia tanah seperti kelembapan, suhu, kandungan oksigen, karbon dioksida, hara, dan pH akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme di dalamnya (Johnson dan Curl 1972). Beberapa jenis tanah yang mampu membuat mikroorganisme antagonis berkembang baik sehingga dapat menyebabkan patogen tanaman tertekan perkembanganya disebut sebagai suppressive soil. Mekanismenya melibatkan faktor abiotik dan biotik seperti menghasilkan antibiotik, kompetisi terhadap makanan, dan parasitisme langsung (Agrios 2005).

Menurut Hadiwiyono (2010), tanah supresif dibentuk dan dipengaruhi oleh ekosistem yang kompleks. Faktor yang paling berperan pada supresivitas tanah adalah faktor hayati sedangkan faktor nonhayati berperan sebagai pendukung dengan memberikan kondisi yang sesuai untuk aktivitas hayati dan sebagai sumber nutrisi pada aktivitas mikrob yang ada di dalamnya. Usaha yang umum dilakukan adalah memanipulasi kondisi fisik tanah seperti tekstur, struktur, temperatur, dan kelembaban tanah adalah melakukan solarisasi tanah. Praktik budidaya juga dapat diarahkan agar tidak menghambat perkembangan aktivitas mikrob yang berperan pada supresivitas tanah seperti melakukan rotasi tanaman.

Pengamatan karakterisitk koloni dilakukan pada 17 isolat rizobakteri yang tidak menunjukkan gejala nekrotik pada uji hipersensitif. Pemurnian dilakukan dengan metode penggoresan kuadran (Hadioetomo 1993). Ciri koloni yang diamati yaitu warna, elevasi, tepian dan bentuk (Tabel 2).

No Isolat Bentuk Tepian Elevasi Warna

1

Blb 3.2

bundar licin timbul kuning

2

Blb 3.3

bundar licin datar putih Tabel 2 Hasil pengamatan ciri koloni pada isolat rizobakteri yang tidak

10

No Isolat Bentuk Tepian Elevasi Warna

3

Blb 3.6

bundar licin cembung putih

4

Blb 3.7

bundar berombak datar putih

5

Blb 3.8

bundar berombak datar putih

6

Blb 3.11

bundar berombak datar putih

7 Blb 4.1 tak beraturan dan menyebar

11

No Isolat Bentuk Tepian Elevasi Warna

8

Stgd 4.2

bundar berombak datar kuning pekat

9

Stgd 5.1

bundar licin datar putih kekuningan

10

Ckr 3.1

bundar licin cembung putih

11

Ckr 3.2

bundar licin berombak putih

12

Blk 3.5

bundar tak

12

No Isolat Bentuk Tepian Elevasi Warna

13 Blk 3.6 tak beraturan dan menyebar

berombak datar putih

14

Blk 3.8

bundar licin datar putih kekuningan

15

Blk 4.2

bundar licin timbul putih

16

Blk 5.1

bundar licin cembung putih

17

Blk 5.3

13

Mekanisme Antagonisme Rizobakteriterhadap P.oryzae

Isolat rizobakteri yang tidak menyebabkan gejala nekrotik di daun tembakau diuji Gram dan antagonisme dengan isolat P.oryzae. Hasil uji Gram menunjukkan bahwa terdapat 2 isolat bakteri Gram negatif dan 15 isolat bakteri Gram positif (Tabel 3). Isolat rizobateri Gram negatif akan menunjukkan pembentukan lendir setelah tercampur dengan KOH 3% (Gambar 5a) sedangkan isolat Gram positif tidak terdapat pembentukan lendir (Gambar 5b). Menurut Shivas dan Beasley (2005) lendir yang terbentuk pada bakeri Gram negatif disebabkan dinding sel bakteri Gram negatif lebih sensitif dan tidak memiliki ketahanan terhadap penghambat basa seperti KOH sehingga dinding sel akan pecah dan melisis. Setelah itu, DNA akan keluar dari sel dan terbentuklah benang-benang lendir. Pada bakteri Gram positif tidak terdapat pembentukan lendir karena dinding selnya lebih resisten terhadap KOH sehingga dinding sel tidak pecah.

Tabel 4 Hasil uji Gram dan uji antagonisme rizobakteri terhadap P.oryzae No Kode

Isolat Uji Gram

a Presentase Penghambatan (%)b

Diameter Zona Bening (cm)b 1 Blk 3.6 + 91.98a 1.40ef 2 Blk 5.3 - 66.00b 1.72cd 3 Blb 3.11 + 63.56b 0.74h 4 Ckr 3.2 + 57.11bc 0.96gh 5 Blb 3.8 + 54.89bc 0.00i 6 Blb 3.7 + 48.45cd 0.00i 7 Stgd 5.1 + 46.00cd 1.56de 8 Blb 4.1 + 45.11cd 1.46def 9 Ckr 3.1 + 44.67cd 0.00i 10 Blb 3.6 + 43.78cd 2.14ab 11 Blk 4.2 + 39.33de 1.22fg 12 Stgd 4.2 - 38.44de 0.00i 13 Blb 3.3 + 29.56e 1.92bc 14 Blb 3.2 + 16.22f 0.00i 15 Blk 3.8 + 7.78fg 0.00i 16 Blk 5.1 + 7.11fg 0.00i 17 Blk 3.5 + 1.11g 2.36a 18 Kontrol TDc 0.00g 0.00i a

Tanda + merupakan bakteri Gram positif, tanda -merupakan bakteri Gram negatif. b Nilai tengah

yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT

α=5%.c

14

Uji antagonisme menunjukkan 14 isolat rizobakteri mampu menghambat pertumbuhan P.oryzae dan 3 isolat lainya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol ((Tabel 3). Isolat Blk 3.6 mampu menghambat pertumbuhan cendawan P.oryzae dengan persentase paling besar yaitu 91.98% dengan pertumbuhan diameter P.oryzae 0.72 cm saat uji antagonisme (Lampiran 1). Isolat yang tidak mampu menghambat pertumbuhan P.oryzae yaitu Blk 3.5, Blk 5.1, dan Blk 3.8. Terdapat 10 isolat rizobakteri menunjukkan pembentukan zona bening (Gambar 6) dan 7 isolat tidak membentuk zona bening. Isolat Blk 3.5 memiliki diameter zona bening paling besar yaitu 2.36 cm dan isolat Blb 3.11 memiliki diameter paling kecil yaitu 0.74 cm.

Gambar 6 Zona bening yang terbentuk saat uji antagonisme antara rizobakteri dan P.oryzae

Keragaman kemampuan antagonisme isolat rizobakteri tergantung pada jenis zat antifungal yang dihasilkan dan keragaman isolat itu sendiri (William and Asher 1996). Zona bening yang dihasilkan dalam uji antagonisme in vitro pada percobaan ini diduga karena adanya produksi zat antifungal seperti antibiotik. Gamard dan De Boer (1995) melaporkan bahwa salah satu mekanisme rizobakteri dalam menekan perkembangan patogen adalah dengan menghasilkan antibiotik yang ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar inokulum patogen saat uji antagonisme. Antibiosis yang ditunjukkan dalam perlakuan in vitro akan Gambar 5 Hasil uji Gram pada isolat rizobakteri; isolat bakteri Gram negatif (a),

hasil uji Gram pada isolat bakteri Gram positif (b)

a b

15 memudahkan dalam menyeleksi mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens biokontrol. Beberapa mekanisme antibiotik dalam menekan mikroorganisme lain ialah penghambatan sinstesis dinding sel, penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis DNA/RNA (Toha 2004). Chaiharn et al. (2008) juga menggunakan zona bening sebagai indikator adanya enzim litik yang dapat mendegradasi dinding sel patogen. Produksi enzim litik adalah salah satu mekanisme antagonis yang penting karena mampu mendegradasi dinding sel cendawan. Walaupun demikian, tidak ada bukti yang pasti untuk menunjukkan mekanisme rizobakteri yang tepat karena banyaknya aktivitas biokontrol yang terlibat dalam penghambatan pertumbuhan patogen (Wahyudi et al. 2011).

Wahyudi et al. (2011) melakukan penelitian pada Pseudomonas sp. sebagai agens antagonis terhadap Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, dan Sclerotium rolfsii. Beberapa isolat yang menunjukkan adanya produksi enzim kitinase ataupun aktivitas siderofor tidak dapat menghambat pertumbuhan patogen yang diuji tetapi beberapa isolat yang tidak menunjukkan adanya produksi enzim kitinase ataupun aktivitas siderofor dapat menghambat pertumbuhan patogen yang diuji. Hal ini diduga karena adanya mekanisme biokontrol yang lain seperti produksi HCN atau antibiotik yang lain. Lima isolat rizobakteri dalam percobaan ini tidak menunjukkan adanya pembentukan zona bening seperti Blb 3.8, Blb 3.7, Ckr 3.1, Stgd 4.2, dan Blb 3.2, namun tetap menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan P.oryzae yang lebih tinggi (Gambar 7a) dibandingkan dengan perlakuan kontrol (Gambar 7b). Zona bening yang tidak terbentuk pada beberapa isolat dalam percobaan ini diduga karena mekanisme biokontrol lain yang lebih mendominasi dibandingkan dengan produksi antibiotik. Isolat Blk 3.5 yang memiliki zona bening terbesar namun tidak dapat menghambat pertumbuhan P.oryzae karena pembentukan zona bening yang besar tidak menentukan adanya antagonisme yang tinggi dari isolat tersebut.

Beberapa bakteri rizosfer yang sudah sering dijadikan agens hayati dan sudah dikomersialkan adalah Psedomonas fluorescens dan Bacillus subtilis. Psedomonas fluorescens adalah contoh rizobakteri Gram negatif yang dapat menghasilkan enzim kitinolitik. Enzim ini berperan dalam mendegradasi senyawa

4 cm

a

Gambar 7 Hasil uji antagonisme antara rizobakteri dan P.oryzae; perlakuan rizobakteri yang tidak membentuk zona bening (a), perlakuan kontrol (b)

b

16

kitin yang merupakan salah satu komponen penyusun dinding hifa fungi (Folders et al. 2001). Mekanisme lainnya yaitu dengan menghasilkan beberapa antibiotik yaitu agrocin 84, agrocin 434, 2,4-diacetylphloroglucinol (DAPG), herbicolin, oomycin, phenazin, pyoluteorin, dan pyrrolnitrin (Glick dan Pasternak 2003). Bacillus subtilis adalah salah satu rizobakteri gram positif. B.subtilis dapat menghasilkan berbagai jenis antibiotik yaitu oligomycin A, kanosamine, zwittermicin A, dan xanthobaccin (Glick dan Pasternak 2003). Killani et al (2011) melaporkan bahwa B.subtilis menunjukkan kemampuan antibiosis yang tinggi dalam menekan Fusarium verticilloides, F.equiseti, F. Solani, F. Oxysporum, R. solani secara in vitro. Selain dengan antiboisis, bakteri Gram positif yang lain seperti Azospirillum yang memiliki keunggulan dalam kompetisi memperebutkan nutrisi seperti glukosa, asam amino, asam organik. Dalam aplikasinya di dalam tanah, Azospirillum memiliki kemotaksis untuk bergerak menuju ke arah senyawa tersebut (Compant et al. 2005).

Iaolat rizobakteri Blk 3.6, Blk 5.3, Blb 3.11, dan Ckr 3.2 menunjukkan pembentukan zona bening dan presentasi penghambatan pertumbuhan P.oryzae in vitro yang relatif tinggi dibandingkan isolat lainnya. Oleh karena itu, isolat-isolat tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai agens pengendali penyakit blas.

Menurut Dewi et al. (2013), tingkat intensitas serangan penyakit blas juga dipengaruhi oleh kandungan silika yang mampu memperkuat dinding sel epidermis. Sel-sel epidermis yang berdinding kuat dan tebal akan membuat penetrasi P.oryzae mengalami kesulitan atau bahkan tidak bisa dilakukan. Sumber silika dapat diperoleh dari berbagai sumber alam yaitu kompos jerami, sekam padi, terak baja, dan pupuk silika (Husnain et al. 2011). Aplikasi rizobakteri di lapangan dapat dikombinasikan dengan penambahan silika untuk meningkatkan potensi pengendalian penyebab blas padi.

17

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil eksplorasi dari sawah di Desa Babakan Lebak, Balumbang Jaya, Cikarawang, dan Situgede diperoleh 33 isolat rizobakteri. Sebanyak 17 isolat merupakan bakteri non patogenik, 15 isolat diantaranya merupakan bakteri Gram positif dan 2 isolat bakteri Gram negatif. Rizobakteri yang relatif tinggi dalam menghambat pertumbuhan P.oryzae in vitro ialah isolat Blk 3.6 (Gram positif), Blk 5.3 (Gram negatif), Blb 3.11 (Gram positif), dan Ckr 3.2 (Gram positif) berturut-turut sebesar 91.98, 66, 63.56, dan 57.11% .

Saran

Perlu dilakukan uji lanjut yaitu identifikasi rizobakteri yang telah ditemukan, uji pada media agar darah untuk mengetahui apakah rizobakteri yang ditemukan bersifat parasit terhadap manusia atau tidak, dan aplikasi rizobakteri pada padi sawah.

18

Dokumen terkait