• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kadar Klorofil Pasta Daun Singkong

Penelitian ini, untuk mendapatkan sumber senyawa klorofil, maka digunakan daun singkong karena kandungan klorofilnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang lain (Alsuhendra 2004). Klorofil daun singkong diekstrak menggunakan etanol 95%. Penentuan kandungan klorofil suatu tanaman diperlukan pengembangan teknik eksraksi untuk memecah integritas sel sebanyak mungkin, sehingga klorofil dapat dikeluarkan dari protein membran intrinsik. Molekul klorofil terdiri dari dua bagian, yaitu tetrapirol yang menghelat ion Mg2+ pada inti porfirin dan dihubungkan dengan protein tanaman serta bagian fitol yang larut dalam lemak dan dihubungkan dengan lapisan lipid (Hutchings 1994). Menurut Alsuhendra (2004) karena klorofil terikat kuat pada protein, teknik utama dikembangkan adalah teknik untuk kimia protein.

Pemilihan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi klorofil merupakan faktor penting untuk mencapai tujuan dan sasaran ekstraksi. Beberapa pelarut yang biasa digunakan dalam ekstraksi klorofil adalah dietil eter, aseton, metanol, petroleum eter dan alkohol (etanol). Aseton paling umum digunakan untuk ekstraksi klorofil dari daun segar atau kering. Namun, alkohol merupakan salah satu jenis pelarut selain air, yang dianjurkan untuk digunakan dalam proses ekstraksi komponen aktif pangan untuk pembuatan produk yang akan dikonsumsi manusia karena relatif lebih aman dibandingkan pelarut lain. Penggunaan etanol dalam proses ekstraksi menyebabkan terjadinya kompleks etil-klorofilida jika enzim klorofilase yang ada di dalam jaringan tanaman tidak diinaktifkan atau jika ekstraksi tidak dilakukan dalam waktu yang cepat (Robinson 1991). Proses ekstraksi dalam penelitian ini dilakukan dalam waktu relatif lebih cepat untuk menghindari terbentuknya kompleks etil-klorofilid.

Ekstraksi diawali dengan menghancurkan daun singkong untuk memecah jaringan sayuran menggunakan blender setelah daun singkong terlebih dahulu dikecilkan ukurannya menggunakan gunting. Pengecilan ukuran daun singkong ini memudahkan proses penghancuran, sehingga waktu yang digunakan menjadi lebih cepat. Hal ini menguntungkan karena dengan semakin cepatnya waktu pemecahan matriks/jaringan sayuran, kerusakan dan perubahan yang terjadi pada senyawa klorofil selama proses menjadi minimal. Hal tersebut didukung dengan analisis kadar klorofil pada pasta daun singkong (Tabel 1).

12

Tabel 1. Kadar klorofil pada pasta daun singkong

Klorofil Kadar Klorofil (mg/g Bahan)

a 7.67

b 2.96

Total 10.63

Rasio a : b 2.59 : 1

Tabel 1 menunujukkan bahwa kadar klorofil a dan b pada pasta daun singkong masing-masing mengandung 7.67 dan 2.96 mg/g bahan, dengan rasio antara klorofil a dan b berkisar antara 2.59 : 1, sedangkan kadar klorofil total sebesar 10.63 mg/g bahan. Nilai ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Alsuhendra (2004) bahwa kadar klorofil a dan b pada ekstrak daun singkong masing-masing sebesar 2.85 dan 1.11 mg/g bahan, dengan rasio antara klorofil a dan b berkisar antara 2.57 : 1, sedangkan kadar klorofil total sebesar 3.96 mg/g bahan. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti letak geografis, stres biotik dan abiotik, variasi musiman, praktik pertanian serta penanganan pascapanen (Bruni dan Sacchetti 2009).

Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pasta Daun Singkong

Selain senyawa klorofil yang terdapat dalam pasta daun singkong juga terdapat senyawa fitokimia lain. Hasil uji menunjukkan adanya senyawa steroid, flavonoid, tanin dan saponin pada pasta daun singkong, seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis fitokimia pasta daun singkong

Komponen Pasta daun singkong

Flavonoid +++ Alkaloid - Tanin +++ Saponin +++ Quinon - Steroid +++ Triterpenoid -

Ket: (-) = tidak terdeteksi dan (+++) = terdeteksi dengan positif kuat

Mangunwardoyo et al. (2009) dan Chaitali dan Preeti (2014) menyatakan bahwa senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin memiliki aktivitas sebagai antimikroba, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh pada puyuh-puyuh yang dipapar panas. Menurut Zahro (2013) saponin bekerja sebagai antimikroba dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan bakteri tersebut lisis. Pambudi et al. (2016) melaporkan bahwa tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengganggu permeabilitas membran sel, sehingga pertukaran zat yang dibutuhkan sel bakteri terganggu, mengakibatkan pertumbuhannya terhambat dan mati. Kandungan isoflavon berupa flavonoid memiliki aktivitas estrogenik (Satyaningtijas et al. 2016) dan memiliki aktivitas antioksidan (Afanas’ev et al. 1989 dan Hanasaki et al. 1994). Ravinder et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan fitoestrogen (steroid) pada kunyit dapat memacu hormon estrogen dalam mensintesis vitolegenin.

13

Rataan Suhu Rektal Burung Puyuh

Pengukuran suhu rektal mencerminkan suhu tubuh. Etches et al. (2008) melaporkan bahwa suhu tubuh normal unggas berkisar antara 40.5-41.05 C. Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa suhu rektal pada kelompok burung puyuh yang tidak mendapatkan paparan panas berkisar 39.25

C pada K0 dan 39.90 C pada KL. Suhu rektal kelompok burung puyuh yang

dipapar panas dan diberikan pasta daun singkong dosis bertingkat cenderung lebih rendah. Secara umum, burung puyuh yang mendapatkan paparan panas suhu rektalnya meningkat dibandingkan kelompok K0 dan KL. Suhu rektal kelompok burung puyuh yang mendapatkan paparan panas tanpa pasta daun singkong (P) meningkat sampai dengan 41.03 C (Tabel 3) dan suhu rektal ini adalah yang tertinggi dibandingkan dengan suhu rektal perlakuan lain. Rataan suhu tubuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan suhu tubuh puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Perlakuan Rataan Suhu Rektal (C)

K0 39.25±0.17a KL 39.90±0.32b P 41.03±0.17c P + KL1 40.95±0.75c P + KL2 40.90±0.25c P + KL3 40.78±0.78c

Ket: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

Virden dan Kidd (2009) menyatakan bahwa ketika ternak menderita cekaman panas, maka sistem neurogenik langsung diaktifkan yang pada fase alarm ditandai dengan peningkatan tekanan darah, otot, sensitivitas saraf, gula darah dan respirasi. Peningkatan laju respirasi yang ditandai dengan aktivitas panting mengindikasikan bahwa sistem neurogenik telah diaktifkan. Ophir et al. (2002) menyatakan bahwa unggas (puyuh) tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu tubuh adalah pelepasan panas melalui evaporasi dan saluran pernapasan dengan cara panting. Pelepasan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua cara, yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss (Bird et al. 2003). Sensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi dan konveksi, sedangkan secara insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses panting. Panting merupakan proses pengeluaran panas secara evaporasi dengan melakukan getaran osilasi melalui saluran pernafasan dan merupakan mekanisme utama pelepasan panas pada saat suhu lingkungan tinggi. Osilasi terjadi ketika produksi panas dan pengeluaran panas tubuh terganggu, sehingga menyebabkan puyuh diduga banyak minum.

14

Rataan Konsumsi Pakan, Kecernaan Pakan dan Bobot Badan Burung Puyuh

Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi pakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh untuk melakukan proses hidup pokok, seperti pertumbuhan, perkembangan dan produksi (Parakkasi 1999). Konsumsi pakan dan kecernaan pakan merupakan faktor yang mempengaruhi bobot badan. Peningkatan suhu rektal akibat adanya paparan panas diduga dapat mempengaruhi konsumsi pakan, kecernaan pakan dan bobot badan. Tabel 4 menunjukkan rataan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan bobot badan puyuh selama 28 hari perlakuan. Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan konsumsi pakan pada kelompok burung puyuh yang tidak mendapatkan paparan panas berkisar 104.86 g pada K0 dan 100.96 g pada KL. Secara umum, burung puyuh yang mendapatkan paparan panas (P) konsumsi pakannya cenderung menurun dibandingkan kelompok K0 yang tidak mendapatkan paparan panas. Konsumsi pakan kelompok burung puyuh yang dipapar panas dan diberikan pasta daun singkong dosis bertingkat cenderung lebih rendah, namun pada dosis tertentu (P+KL1) memperlihatkan adanya peningkatan konsumsi pakan jika dibandingkan dengan perlakuan P (Tabel 4).

Tabel 4. Rataan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan bobot badan puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

Penelitian ini kelompok burung puyuh yang tidak dipapar panas tetapi diberi pasta daun singkong (KL), nilai kecernaan pakan adalah yang tertinggi serta berbeda secara signifikan dibandingkan K0 dan puyuh-puyuh yang dipapar panas (P dan P+KL1) (P<0.05). Penelitian ini juga melaporkan bahwa kelompok puyuh yang dipapar panas dan diberi pasta daun singkong (P+KL2) dan (P+KL3) cenderung lebih tinggi nilai rataan kecernaan pakannya dibandingkan K0, P dan P+KL1. Sun et al. 2015 menyatakan bahwa ayam yang terpapar panas 32 C selama 10 jam per hari selama 7 hari menyebabkan kerusakan sel epitel usus halus. Pemberian cekaman panas pada suhu 35 C selama 10 jam/hari menyebabkan penurunan ukuran tinggi vili jejunum mencapai 19% dibandingkan vili jejunum ayam yang dipelihara pada suhu 22 C (Mitchell dan Carlisle 1992).

15

Pemaparan panas 40 C selama 8 jam per hari pada penelitian ini juga diduga dapat menurunkan ukuran tinggi vili usus, karena adanya radikal bebas yang merusak sel mukosa usus. Usus halus merupakan tempat absorbsi utama nutrisi dan makanan, sehingga menyebabkan nilai kecernaan pakan tidak meningkat.

Menurut Afanas’ev et al. (1989) dan Hanasaki et al. (1994) bahwa senyawa flavonoid memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa flavonoid diduga berfungsi sebagai penampung radikal hidroksil di dalam sel usus, sehingga melindungi lipid membran dan mencegah kerusakan sel usus. Pemberian pasta daun singkong dapat mencegah gangguan fungsi absorbsi. Pakan yang dikonsumsi puyuh dapat dicerna dan dimanfaatkan secara optimal, kecuali pada perlakuan P+KL1. Kecernaan pakan pada perlakuan P+KL1 tidak meningkat, diduga dosis pasta daun singkongnya yang rendah. Kecernaan pakan pada kelompok K0 dan dipapar panas saja (P) tidak berbeda, sedangkan puyuh-puyuh yang tidak dipapar panas (KL) lebih tinggi.

Bobot badan berkaitan erat dengan konsumsi dan kecernaan pakan. Secara umum, bobot badan puyuh yang mendapatkan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan dengan perlakuan K0 dan P. Kandungan flavonoid yang ada pada pasta daun singkong kemungkinan dapat berfungsi sebagai antioksidan yang akan menekan stres yang ditimbulkan karena paparan panas. Mangunwardoyo et al. (2009) dan Chaitali dan Preeti (2014) menyatakan bahwa senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin memiliki aktivitas sebagai antimikroba, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh pada puyuh-puyuh yang dipapar panas. Menurut Zahro (2013) saponin bekerja sebagai antimikroba dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan bakteri tersebut lisis. Pambudi et al. (2016) melaporkan bahwa tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengganggu permeabilitas membran sel, sehingga pertukaran zat yang dibutuhkan sel bakteri terganggu, mengakibatkan pertumbuhannya terhambat dan mati.

Produksi Telur Burung Puyuh dan Kualitas Datanya

Berdasarkan hasil rataan kecernaan pakan dan bobot badan menunjukkan bahwa pasta daun singkong cenderung meningkatkan kecernaan pakan yang akan berpengaruh pada produksi telur. Kecernaan pakan yang tinggi dapat mempengaruhi metabolisme tubuh, termasuk produktivitas seperti produksi telur. Rataan produksi telur beserta kualitas datanya disajikan pada Tabel 5.

16

Tabel 5. Rataan produksi telur puyuh dan kualitas datanya setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

Rataan jumlah telur pada kelompok yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan kelompok K0, kecuali pada kelompok P+KL3. Hasil ini juga terjadi pada rataan bobot telur yang mengikuti pola yang sama bahwa kelompok yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong cenderung memiliki bobot telur yang lebih berat dibandingkan kelompok K0, kecuali pada kelompok P+KL3. Adanya pemberian paparan panas 40 C tidak membuat produksi jumlah dan bobot telur menjadi menurun. Pada paparan suhu 40 C, burung puyuh menunjukkan jumlah telur yang tertinggi dengan kualitas bobot telur yang tertinggi juga. Perbedaan rataan jumlah telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan diduga karena peran kandungan senyawa metabolit sekunder pada pasta daun singkong yakni steroid. Ravinder et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan fitoestrogen pada kunyit dapat memacu hormon estrogen dalam mensintesis vitolegenin. Vitelogenin diinduksikan oleh hormon estrogen (Yamashita et al. 2011), selanjutnya ditransportasikan melalui darah menuju oosit untuk perkembangan folikel (Ito et al. 2003). Senyawa steroid dalam pasta daun singkong diduga meningkatkan kadar hormon estrogen sehingga memacu fungsi aktivitas anabolik sel hati dengan meningkatkan sintesis vitolegenin yang merupakan prekursor kuning telur (yolk). Peningkatan kadar hormon estrogen memacu sintesis yolk di dalam hati, sehingga mempengaruhi peningkatan bobot ovarium (Saraswati 2015).

Berdasarkan analisa tinggi yolk seperti pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rataan tinggi yolk pada kelompok K0 dan P (panas) berbeda secara signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan tinggi yolk pada kelompok yang mendapat pasta daun singkong. Rataan tinggi yolk pada semua kelompok yang mendapat pasta daun singkong lebih tinggi dibandingkan K0 dan P. Pasta daun singkong mengandung flavonoid dan steroid yang cukup untuk memberikan pengaruh terhadap tinggi yolk. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa steroid diduga

17

mampu meningkatkan fungsi aktivitas anabolik sel hati dengan meningkatkan sintesis vitolegenin yang merupakan prekursor kuning telur (yolk), sehingga mempengaruhi tinggi yolk. Flavonoid diduga dapat mendukung fungsi-fungsi tersebut. Menurut Satyaningtijas et al. (2016) adanya kandungan isoflavon berupa flavonoid yang terkandung di dalam akar purwoceng memiliki aktivitas estrogenik. Pola yang sama juga terlihat pada tinggi albumen dari kelompok puyuh yang mendapat pasta daun singkong bahwa tinggi albumennya cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok K0 dan P (P>0.05). Peningkatan yang signifikan terdapat pada kelompok P+KL2.

Tabel 5 menunjukkan bahwa bobot ovarium dan uterus pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan (P>0.05). Rataan bobot ovarium pada semua kelompok puyuh yang diberi pasta daun singkong cenderung lebih tinggi dibandingkan K0. Adanya pemberian paparan panas 40 C selama 8 jam per hari tidak membuat bobot ovarium menjadi menurun. Pada paparan panas 40 C, menunjukkan bobot ovarium yang tertinggi.

Bobot uterus pada kelompok burung puyuh yang tidak mendapatkan paparan panas berkisar 4.68 g pada K0 dan 5.37 g pada KL. Secara umum, burung puyuh yang mendapatkan paparan panas bobot uterusnya menurun dibandingkan kelompok K0 dan KL, kecuali pada P+KL1. Bobot uterus kelompok burung puyuh yang mendapatkan paparan panas dan diberi pasta daun singkong (P+KL1) meningkat sampai dengan 5.61 g dan bobot uterus ini adalah yang tertinggi dibandingkan dengan bobot uterus perlakuan lain. Pada penelitian ini peningkatan bobot ovarium diduga karena pasta daun singkong mengandung bahan aktif yang bersifat estrogenik yaitu steroid dan flavonoid, sehingga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan pertumbuhan dan perkembangan ovarium. Efek estrogenik dari purwoceng pada ovarium telah dilaporkan (Jefferson et al. 2002) melibatkan kerja hormon estrogen pada reseptor estrogen. Selanjutnya, rangsangan purwoceng yang meningkatkan bobot ovarium karena aktivitas ikatannya terhadap reseptor estrogen yang menghasilkan terjadinya proliferasi sel-sel pada uterus (Satyaningtijas et al. 2016). Estrogen mempunyai dua jenis reseptor yaitu reseptor

estrogen alfa (REα) dan beta (REβ) (Couse et al. 1997). Reseptor α terdapat pada

organ ovarium, uterus, dan hipofisis (Yaghmaie et al. 2005). Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium, serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Peningkatan bobot uterus terjadi karena penebalan endometrium dan vaskularisasi yang baik dari pembuluh darah (Satyaningtijas et al. 2016). Pasta daun singkong diduga memengaruhi aktivitas mitogenik sel-sel epitel uterus berupa proliferasi maupun diferensiasi sel-sel epitel.

Tebal kerabang pada kelompok P tanpa pasta daun singkong paling rendah dibandingkan kelompok yang lain. Hal ini diduga berhubungan dengan stres panas menyebabkan terganggunya keseimbangan kalsium dan fosfor dalam darah (Ma et al. 2014). Kalsium merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas kerabang telur. Kerabang telur merupakan bagian terluar dari telur yang berfungsi sebagai pelindung isi telur. Kerabang telur tersusun oleh lapisan kutikula, kalsium karbonat (CaCO3) dan dua membran kerabang (Li-Chan et al. 1995). Tebal kerabang burung puyuh tidak berbeda nyata pada semua kelompok perlakuan, kecuali perlakuan P. Perbedaan ini diduga ada peran dari kalsium karbonat yang

18

ditimbun dari dalam matrik organik yang berisi protein dan mukopolisakarida. Faktor yang mempengaruhi kualitas tebal kerabang adalah ketersedian mineral Ca dan P dalam pakan. Kalsium berperan dalam efisiensi penggunaan pakan, produksi telur dan kualitas kerabang serta komponen utama dalam kerabang adalah kalsium (McDowell 2003; Shen dan Chen 2003). Mineral-mineral tersebut diperlukan dalam pembentukan kerabang yang membutuhkan ion-ion karbonat serta ion-ion kalsium yang cukup untuk pembentukan CaCO3 kerabang (Wahju 1997). Absorbsi kalsium pada usus juga mempengaruhi terbentuknya kerabang. Telah disebutkan bahwa adanya cekaman panas juga akan menurunkan tinggi vili usus halus tempat berlangsungnya absorbsi. Absorbsi kalsium juga dipengaruhi oleh peran vitamin D yang dapat meningkatkan absorbsi. Pemberian pasta daun singkong pada puyuh yang mendapatkan paparan panas diduga dapat menekan adanya gangguan akibat paparan panas tersebut.

Profil Hematologi Puyuh Petelur

Jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai PCV dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) merupakan profil hematologi yang dapat dijadikan sebagai indikator status kesehatan pada ternak. Rataan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, PCV dan indeks eritrosit (MCH, MCHC) pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata (P>0.05) antar perlakuan (Tabel 6).

Tabel 6. Rataan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, PCV dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) dalam darah puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

19

Eritrosit merupakan sel darah yang mempunyai nukleus pada unggas dan berperan dalam membawa hemoglobin dengan mengikat oksigen ke seluruh tubuh

(O’Brien et al. 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat pada puyuh tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) antar perlakuan. Rataan jumlah eritrosit puyuh penelitian berada pada kisaran 8.64 x106/mm3 pada K0 sampai dengan nilai tertinggi yaitu 10.47 x106/mm3 pada P+KL3. Mohamed et al. (2015) menyatakan bahwa rataan eritrosit normal adalah 3.03 x106/mm3 sedangkan yang mendapatkan paparan panas 34 C dan ekstrak garlik, eritrositnya sebesar 2.88 x106/mm3. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa jumlah eritrosit pada kelompok puyuh yang dipapar panas juga meningkat dibandingkan K0 karena puyuh melakukan panting yang akan meningkatkan aktivitas respirasi dan peningkatan kebutuhan oksigen (O2). Peningkatan O2 akan memicu peningkatan jumlah eritrosit dalam tubuh. Pasta daun singkong berperan sebagai antioksidan. Peran pasta daun singkong sejalan dengan hasil uji analisis enzim SOD (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa semua kelompok puyuh yang dipapar panas dan diberi pasta daun singkong, kadar enzim SOD lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang dipapar panas. Menurut Hall dan Guyton (2010) menyatakan bahwa jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, aktivitas individu, kandungan nutrient pakan, ketinggian tempat dan suhu lingkungan.

O’Brien et al. (2015) menyatakan bahwa hemoglobin merupakan pigmen merah yang membawa oksigen dalam darah. Hemoglobin berfungsi untuk mendistribusikan oksigen (O2) ke jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun terjadi peningkatan jumlah sel darah merah tetapi tidak meningkatkan kandungan hemoglobin (P>0.05) antar perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan kadar hemoglobin berkisar 21.26-22.99 g/dl. Nilai kadar hemoglobin tertinggi dijumpai pada perlakuan P+KL3 sebesar 22.99 g/dl. Menurut Weiss dan Wardrop (2010) bahwa hemoglobin dipengaruhi oleh kadar oksigen dan jumlah eritrosit, sehingga ada kecenderungan jika jumlah eritrosit rendah, maka kadar hemoglobin akan rendah dan jika oksigen dalam darah rendah, maka tubuh akan terangsang meningkatkan produksi hemoglobin dan eritrosit.

Vatsalya dan Arora (2012) menyatakan bahwa nilai hematokrit menggambarkan persentase volume sel eritrosit terhadap total dalam darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai PCV pada pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05). Nilai hematokrit pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya peningkatan. Nilai PCV tertinggi dijumpai pada perlakuan P+KL3 sebesar 38.66%. Vatsalya dan Arora (2012) menyatakan bahwa nilai hematokrit normal puyuh berkisar 36.0-48.5%.Menurut Hemid et al. (2010) stres panas dapat terjadi ketika suhu lingkungan melebihi 32 C. Kondisi tersebut diduga menyebabkan puyuh petelur mengkonsumsi air minum lebih banyak. Tingginya konsumsi air minum menyebabkan konsentrasi air dalam darah meningkat, sehingga menurunkan persentase benda darah (hematokrit). Pada penelitian ini, pemaparan suhu 40 C tidak meningkatkan PCV.

Nilai MCV (Mean Corpuscular Volume) menggambarkan volume atau ukuran rata-rata sebuah eritrosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

20

tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap MCV. Kadar MCV tertinggi dijumpai pada perlakuan K0 sebesar 0.48 fl. Faktor yang mempengaruhi MCV adalah stres akibat temperatur lingkungan yang tinggi. Stres panas akan menurunkan konsumsi makan. Hal ini tentu akan menurunkan nutrient seperti protein, zat besi dan asam folat yang sangat diperlukan untuk perkembangan, mengontrol ukuran sel darah dan produksi eritrosit (Weiss dan Wordrop 2010; Campbell dan Ellis 2012). MCV yang bernilai tinggi saat terjadi anemia menandakan difisiensi asam folat, sedangkan bernilai rendah saat terjadi anemia menandakan difisiensi zat besi. Hoffman et al. (2013) menyatakan bahwa perubahan ukuran eritrosit bisa mempengaruhi viskositas cairan darah, sehingga bisa mempengaruhi fungsi, aktivitas dan kelancaran sirkulasi darah.

Nilai MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) menggambarkan banyaknya hemoglobin per eritrosit (Mahmoud et al. 2013). Tabel 6 menunjukkan rataan kadar MCH puyuh selama 28 hari perlakuan. Kadar MCH setelah pemaparan suhu

Dokumen terkait