• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Daun Singkong Sebagai Antioksidan Pada Puyuh (Coturnix Coturnix Japonica) Dewasa Yang Diberikan Cekaman Panas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Daun Singkong Sebagai Antioksidan Pada Puyuh (Coturnix Coturnix Japonica) Dewasa Yang Diberikan Cekaman Panas"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI DAUN SINGKONG SEBAGAI ANTIOKSIDAN

PADA PUYUH (

Coturnix coturnix japonica

) DEWASA YANG

DIBERIKANCEKAMAN PANAS

LA JUMADIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Potensi Daun Singkong sebagai Antioksidan pada Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Dewasa yang Diberikan Cekaman Panas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016 La Jumadin

(4)

RINGKASAN

LA JUMADIN. Potensi Daun Singkong sebagai Antioksidan pada Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Dewasa yang Diberikan Cekaman Panas. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan KOEKOEH SANTOSO.

Singkong adalah salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan baik daunnya ataupun umbinya.Daun singkong yang berwarna hijau mengandung klorofil dan flavonoid yang memiliki potensi sebagai antioksidan.Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi daun singkong sebagai antioksidan pada puyuh (Coturnix coturnix japonica) dewasa yang dipapar panas terhadap parameter suhu rektal, konsumsi pakan, kecernaan pakan, bobot badan, jumlah telur, bobot telur dan kualitasnya, pengukuran nilai hematologi, indeks stres, kadarmalondialdehid (MDA) dan kadar superoksidasi dismutase (SOD).

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiriatas enam kelompok.Kelompok (K0) sebagai kontrol, kelompok (KL) hewan uji hanya diberi pasta daun singkong 5.29 mg/168 g bobot badan/oral. Kelompok (P), hewan uji dipapar suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari. Kelompok P+KL1, P+KL2 dan P+KL3 masing-masing dipapar suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari, kemudian diberi pastadaun singkong 5.29, 10.58 dan 21.16/168 g bobot badan per oral selama 28 hari setelah diadaptasikan satu minggu. Parameter seperti konsumsi pakan, kecernaan pakan, jumlah telur dan bobot telur dilakukan setiap hari selama penelitian. Parameter lain dilakukan diakhir perlakuan, kecuali bobot badan dilakukan setiap minggu dan pengukuran nilai hematologi setiap dua minggu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu tubuh tidak mengalami perubahansignifikan (P>0.05) pada puyuh yang mengalami cekaman panas dan diberi pastadaun singkong.Burung puyuh yang mendapatkan paparan panas (P) konsumsi pakannya cenderung menurun dibandingkan kelompok K0.Rataan kecernaan pakan tertinggi dijumpai pada kelompok KL.Rataan bobot badan puyuh yang mendapatkan pastadaun singkong cenderung meningkat dibandingkan dengan perlakuan K0 dan P. Rataan jumlah dan bobot telur pada kelompok yang mendapatkan paparan panas dan pastadaun singkong cenderung meningkat dibandingkan kelompok K0, kecuali pada kelompok P+KL3.Rataan tinggi yolk dan albumen dari kelompok puyuh yang mendapat pastadaun singkong cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok K0 dan P. Rataan bobot ovarium dan uterus pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan (P>0.05). Rataan tebal kerabang pada kelompok P paling rendah dibandingkan yang lain.Jumlah BDM, Hb, PCV, MCH dan MCHC menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan (P>0.05).

(5)

puyuh yang tidak dipapar panas tetapi diberi pastadaun singkong adalah yang terendah serta berbeda secara signifikan dibandingkan K0 (P<0.05).

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa rataan bobot badan yang mendapatkan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan K0 dan P. Produksi telur pada kelompok yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan K0, kecuali P+KL3.Secara keseluruhan gambaran darah tidak berbeda pada semua kelompok puyuh baik yang tidak diberikan cekaman panas atau diberikan cekaman panas dan ditambah pasta daun singkong.Pasta daun singkong memiliki potensi sebagai bahan antioksidan.

(6)

SUMMARY

LA JUMADIN. Potential of cassava leaves as antioxidant of adult quail (Coturnixcoturnix japonica) experiencing heat exposure. Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJASand KOEKOEH SANTOSO.

Cassava is a plant that widely used either itsleaves or other part of the plant. Green cassava leaves contain chlorophyll and flavonoids that have potential as antioxidants. This study aimed to assess the potential of cassava leaves as an antioxidant in adult quail (Coturnixcoturnix japonica) that exposed to heat through the parametersof rectal temperature, feed intake, digestibility of feed, body weight, number of eggs, egg weight and quality, the measurement of the value of hematology, indices of stress, levels malondialdehyde (MDA) and the levels of superoksidasi dismutase (SOD).

This study used completely randomized design that devided into six groups. The control group (K0) was not given cassava leaves pasta and heat exposure. Group (KL) was only given cassava leaves pasta of 5.29 mg/168 gbody weightorally. Group (P) was only given heat exposure. Group P+KL1, P+KL2 and P+KL3 were exposed to heat of 40 ○C and given cassava leaves pasta doses of 5.29 mg, 10.58 mg and 21.16 mg/168 g body weight orally for 28 days post of a week adaptation. The Parameters such as feed intake, feed digestibility, egg numbers and egg weights were observed every day. The other parameters were observed at the end of experiment, while the body weight were observed every week and hematological value measured every two weeks.

The results showed that body temperature were not significantly different (P>0.05) between quail experiencing heat exposure and given cassava leaves pasta.Thefeed intake of quail exposedto heat (P) tended to decrease compared with the group K0. The highest feed digestibility was found in KL group. The body weight average of quail given cassava leaf pasta tended to increase compared with the treatment of K0 and P. The average number and weight of the eggs in the group receiving heat exposure and cassava leaves pasta tended to increase compared to the group K0, except in group P+KL3. The average of the yolk and albumen height of quail that given cassava leaves pasta tended to be higher than the group of K0 and P. The weight of the ovaries and uterus in all treatments showed no difference (P>0.05). The eggshell thickness were lowest on P groups than others.Number of BDM, Hb, PCV, MCH and MCHC in all treatment groups showed no difference (P>0.05).

Total comprising heterophile, leukocytes, lymphocytes and monocytes in all groups of quail treated pasta cassava leaves (KL) increased compared with K0 and P. This increase also occurred in the group of quail that exposed with heat and pasta cassava leaves than K0 and P.The ratio of H/L group of quail that not exposedto heat (KL) lower than group of K0 and P. Group of quail that exposed to heat has average of heart weight smaller than K0 and KL, except in group P+KL1. SOD value of quail that donot exposed toheat but given pasta cassava leaves was the lowest and significantly different with K0 (P< 0.05).

(7)

was not different among quail that not given heat stress and given heat stress but also given cassava leaf paste. Cassava leaf paste material has a potential as antioxidant.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

POTENSI DAUN SINGKONG SEBAGAI ANTIOKSIDAN

PADA PUYUH (

Coturnix coturnix japonica

) DEWASA YANG

DIBERIKANCEKAMAN PANAS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

(Coturnix coturnix japonica) Dewasa yang Diberikan Cekaman Panas Nama : La Jumadin

NIM : B151140021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc Ketua

Dr Drh Koekoeh Santoso Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan KhasiatObat

Prof Dr Drh Agik Suprayogi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.Shalawat dan salam kepada baginda Rasulullah Muhamad SAW yang telah memberi keteladanan, membawa kita dari alam kegelapan kealam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah potensi daun singkong sebagai antioksidan pada puyuh (Coturnix coturnix japonica) dewasa yang diberikan cekaman panas, dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai Januari 2016.

Penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada Ibu Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc dan Bapak Dr Drh Koekoeh Santososelaku pembimbing dalam penelitian ini yang telah banyak memberikan waktu luang, bimbingan, arahan, saran dan motivasi yang luar biasa hingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Drh Hera Maheshwari, MSc sebagai penguji luar komisi ujian tesis yang telah memberikan arahan, saran atas perbaikan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen pendidik Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi (AFF), terkhusus pada mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB) atas ilmu yang bermanfaat.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibunda Wa Miana dan Ayahanda La Sudu tercinta atas segala doa, kasih sayang, kerja keras, kelembutan, kesabaran, perhatian serta dukungan motivasi dan semangat kepada penulis, kepada kakak-kakakku Wa Maliani SPd, La Sumadi dan Wa Sumina SPt serta keluarga yang selalu memberikan dukungan moril dan materil dengan penuh keikhlasan.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bakrie Foundation atas pengadaan program Beasiswa yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis sejak tahun 2015 selama menempuh pendidikan di IPB, staf pegawai akademik IFO yang selalu memfasilitasi kebutuhan akademik penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hj Asmarida dan Ibu Sri Hartini yang telah membantu dan memberikan izin pemakaian fasilitas selama penelitian berlangsung, teman seperjuangan IFO 2014 Aziiz Mardanarian dan kakak IFO 2013 Warysatul Ummah, Zulvia Maika, Cut Dara Dewi, Arria Janovie, Heny Nitbani dan Sumiati Aiba serta putra pondok gledagan Garuda, Asriyanto, Fachruddin Daud, Dustan, Ikbal, Agus Kurniawan Putra, Musthamin Balumbi dan Dias. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Ustadz penulis di Universitas Ibn Khaldun yang telah memberikan arahan, saran dan motivasi serta sahabat-sahabat penulis Maryono, Darwis, Hariadi serta semua pihak yang telah membantu penelitian dan penyelesain tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dicatat sebagai amal ibadah dan bermanfaat bagi masyarakat.Amin.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 2

2 METODE

Tempat dan Waktu Penelitian 3

Alat dan Bahan Penelitian 4

Prosedur Penelitian 4

Rancangan Penelitian 6

Tahap Perlakuan Hewan Coba 6

Parameter yang Diamati 6

Analisis Data 11

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kadar Klorofil Pasta Daun Singkong 11

Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pasta Daun Singkong 12

Rataan Suhu Rektal Burung Puyuh 13

Rataan Konsumsi Pakan, Kecernaan Pakan dan Bobot Badan Burung

Puyuh 14

Produksi Telur Burung Puyuh dan Kualitas datanya 15

Profil Hematologi Puyuh Petelur 18

Rataan Rasio Heterofil Per Limfosit Burung Puyuh 22 Rataan Bobot Hati, Kadar MDA Hati dan Kadar SOD Hati Burung

Puyuh 23

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

(14)

DAFTAR TABEL

1 Kadar klorofil pada pasta daun singkong 12

2 Analisis fitokimia pasta daun singkong 12

3 Rataan suhu tubuh puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta

daun singkong dengan dosis bertingkat 13

4 Rataan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan bobot badan puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan

dosis bertingkat 14

5 Rataan produksi telur puyuh dan kualitas datanya setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat 16 6 Rataan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, PCV dan indeks eritrosit

(MCH, MCHC) dalam darah puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat 18 7 Rataan jumlah leukosit dan total leukosit dalam darah puyuh setelah

pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis

bertingkat 21

8 Rataan rasio heterofil per limfosit setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat 23 9 Rataan bobot hati, kadar MDA hati dan kadar SOD hati setelah

pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis

bertingkat 24

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran 3

2 Bagan alir prosedur pembentukan pasta daun singkong 4

3 Tahap perlakuan hewan coba 6

(15)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Puyuh merupakan hewan yang pertumbuhannya cepat, mulai berproduksi pada umur 42 hari, siklus hidup pendek (Ghazvian et al. 2011). Telurnya dijadikan sektor peternakan yang paling efisien dalam menyediakan pangan sumber hewani (Handarini et al. 2008). Telur puyuh memiliki bobot rata-rata 6-16 g butir-1 dan produksi telur dalam satu tahun mencapai 280-300 butir ekor-1 (Sezer 2007; Reddish et al. 2003). Puyuh tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga pelepasan panas tubuh melalui permukaan kulit menjadi sangat terbatas akibatnya puyuh rentan terhadap cekaman panas. Cekaman ini berpengaruh pada performa hewan, termasuk konsekuensi fisiologi dan tingkah laku hewan (Daghir 2008). Beberapa hasil penelitian telah melaporkan adanya bahan herbal yang dapat mengurangi stres, termasuk stres panas yaitu daun singkong.

Daun singkong yang berwarna hijau telah dilaporkan Alsuhendra (2004) mengandung klorofil yang paling tinggi dibandingkan dengan tanaman daun katuk, daun poh-pohan, daun kangkung, daun bayam, caisin, buncis, selada, daun kemangi, alang-alang dan rumput gajah. Klorofil dan turunannya (yang mengikat logam) mempunyai kapasitas antioksidan dan bioviabilitas yang berbeda. Cu-klorofilin sebagai salah satu turunan klorofil mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan klorofil alami (Marquez et al. 2005).

Tubuh bila terpapar panas yang berlebih dapat mengalami gangguan fisiologis, salah satunya adalah terbentuknya radikal bebas. Muhammad (2009) menyatakan bahwa radikal bebas merupakan elektron yang terlepas karena proses oksidasi. Sel tubuh merespon radikal bebas tersebut dengan memproduksi antioksidan enzimatis, salah satunya superoksidasi dismutase (SOD) untuk mempertahankan hidup (Botham et al. 2009 dan Izyumov et al. 2010). Asni et al. (2009) mengatakan bahwa senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stres oksidatif adalah malondialdehyde (MDA), suatu produk oksidasi fosforilasi membrane sel.

Sel tubuh di tingkat seluler mulai memproduksi dan melepaskan heatshock protein (Hsp) pada sel, termasuk makrofag untuk mencoba dan melindungi diri dari efek radikal bebas (Sarica et al. 2015). Hsp memiliki peran penting dalam perlindungan dan perbaikan sel dan jaringan terhadap suhu tinggi atau rendah (Gu et al. 2012). Hsp ini mengaktivasi makrofag untuk memproduksi sitokinin proinflamasi, salah satunya adalah produksi interleukin-1 menjadi meningkat (Asea et al. 2000; Kohl et al. 1999). Peran antioksidan dalam mengatasi paparan stres panas sangat diperlukan. Menurut Halliwel dan Gutteridge (1999) berbagai tumbuhan sebagai antioksidan diantaranya teh hitam, teh hijau, jeruk, brokoli, anggur merah, kulit apel, strawberry, kubis, anggur putih, kopi dan tomat.

(16)

2

menurunkan produksi dan kualitas telur puyuh. Paparan suhu 34 ○C selama 8 jam/ hari yang ditambahkan ekstrak bawang putih selama 4 minggu menurunkan laju pernapasan, leukosit dan peningkatan eritrosit, hemoglobin (Hb), PCV dan MCHC (Mohamed et al. 2015). Cekaman panas pada suhu 29, 34, 36 dan 40 ○C selama 15 hari menyebabkan penurunan jumlah leukosit, sel darah merah, PCV, konsentrasi hemoglobin dan persentase (%) limfosit dan meningkatkan % sel heterofil, rasio H/ L, % eosinofil, % monosit, % basofil (Mahmoud et al. 2013). Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penelitian ini akan mengkaji dan mempelajari tentang potensi daun singkong sebagai antioksidan pada puyuh (Coturnix coturnix japonica) dewasa yang diberikan cekaman panas pada paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari selama empat minggu.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pasta daun singkong sebagai antioksidan terhadap parameter suhu rektal, konsumsi pakan, kecernaan pakan, bobot badan, jumlah telur, bobot telur dan kualitasnya, hematologi, indeks stres, kadar malondialdehid (MDA) dan kadar superoksidasi dismutase (SOD) akibat pemaparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari selama empat minggu.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah pasta daun singkong memenuhi kriteria sebagai antioksidan sehingga dapat menurunkan stress oksidatif karena cekaman panas.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan:

1. Memanfaatkan pasta daun singkong yang telah diketahui efek antioksidannya untuk mempertahankan profil faali puyuh yang mengalami cekaman panas. 2. Menjadikan pasta daun singkong sebagai bahan alternatif untuk menanggulangi

stres oksidatif.

Kerangka Pemikiran

(17)

3 pada perubahan perilaku puyuh seperti penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum. Selain itu, suhu yang tinggi juga mempengaruhi kondisi fisiologis puyuh seperti komposisi darah. sistem imun produksi dan kualitas telur. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan paparan suhu sebagai sebagai faktor cekaman dan pemberian pasta daun singkong sebagai kandidat antioksidan selama empat minggu. Pemberian paparan suhu dilakukan dengan durasi waktu 8 jam setiap hari pada pukul 09.00-17.00 WIB selama empat minggu (Mohamed et al. 2015).

(18)

4

Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan adalah blender, gunting, pisau, timbangan analitik, corong, seperangkat alat bedah, seperangkat alat gelas, lampu pijar 100 watt, termostat yang sudah dilakukan pengecekkan dan mikroskop cahaya.

Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan adalah burung puyuh dewasa (Coturnix coturnix japonica) betina, etanol 95%, daun singkong dan pakan standar puyuh petelur.

Prosedur Penelitian Tahap Persiapan Daun Singkong (Manihot esculenta Crantz)

Daun singkong segar diperoleh di Kampung Tegal Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Daun singkong yang digunakan dipilih bagian yang dapat dimakan serta tidak rusak. Daun terlebih dahulu dipisahkan dari batang, lalu dicuci dengan air bersih, selanjutnya dikeringanginkan. Kemudian dipotong kecil-kecil untuk memudahkan proses penghancuran yang dilakukan dengan blender.

Ekstraksi Pasta Daun Singkong

Sebanyak ± 50 gram potongan daun singkong dihancurkan dengan blender menggunakan 125 mL etanol 95% selama 3 menit, secara terputus setiap 1 menit. Larutan daun singkong dalam etanol tersebut kemudian disaring dengan saring kain halus, lalu filtrat yang diperoleh disaring lagi dengan corong Buchner menggunakan kertas saring. Residu dicuci dengan 75 mL etanol 95%, kemudian disaring lagi dengan corong Buchner. Filtrat diambil sebagai ekstrak daun singkong. Semua proses dilakukan dalam kondisi terhindar dari cahaya (Alsuhendra 2004). Selanjutnya ekstrak daun singkong tersebut dievaporasi selama satu jam pada suhu 70 ○C, sehingga menghasilkan pasta daun singkong.

Gambar 2 Bagan Alir Prosedur Pembentukan Pasta Daun Singkong (Alsuhendra 2004) Daun Singkong

 Diekstrak (etanol 95%)  Disaring

Filtrat Ampas

 Diekstrak (etanol 95%)  Disaring

Filtrat Ampas Dibuang

Ekstrak daun singkong  Disaring

(19)

5

Analisis Kadar Klorofil Pasta Daun Singkong

Robinson (1991) dan Gross (1991) menyatakan bahwa tumbuhan yang berwarna hijau mengandung dua macam klorofil, yaitu klorofil a dan b. Pengukuran kadar total klorofil dalam pasta daun singkong dilakukan dengan mengikuti prinsip Gross (1991). Pasta daun singkong 0.1 g dicampur dengan 20 mL aseton dalam tabung reaksi 25 mL. Campuran tersebut dikocok secukupnya, lalu dibiarkan selama 2 x 24 jam. Ekstrak berwarna hijau yang diperoleh, kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 663 nm untuk klorofil a dan 645 nm untuk klorofil b. Perhitungan kadar total klorofil dilakukan dengan menggunakan rumus Harborne (1987) berikut:

a. Ca = 12.7 (A.663) – 2.69 (A.645) mg/L x mL aseton

absorbansi pada λ 645 nm, A.663= absorbansi pada λ 663 nm

Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pasta Daun Singkong

Lima gram pasta daun singkong dari sampel disiapkan untuk dianalisa fitokimia menurut metode Harborne (1987) yang dimodifikasi sesuai dengan balai penelitian.

Perhitungan Dosis Pasta Daun Singkong

Dosis perhitungan pasta daun singkong pada burung puyuh berdasarkan nilai konversi bobot tubuh manusia 70 kg ke bobot tubuh tikus 200 g, selanjutnya ke burung puyuh yang memiliki rata-rata bobot badan sebesar 168 g. Dosis klorofil untuk manusia dewasa yaitu 300 mg/hari (Alsuhendra 2004). Dosis standar tikus dengan bobot badan 200 g adalah 0.018 dosis manusia (Laurence dan Bacharah 1964). Perhitungan dosis klorofil diperoleh yaitu:

Konsumsi klorofil: 300 mg/hari (Alsuhendra 2004)

Faktor konversi luas permukaan: 0.07 dengan dengan bobot badan manusia 70 kg= 70.000 g

Rata-rata bobot badan manusia dewasa: 60 kg= 60.000 g (Alsuhendra 2004) Rata-rata bobot badan tikus: 200 g

Dosis perlakuan untuk tikus= 300 mg x 0.018 x 70.000 g

60.000 g = 6.3 mg/ 200 g Dosis puyuh dengan bobot badan 168 g= 6.3 mg/ 200 g x 168 g =5.29 mg Dosis perlakuan P1=P3= 5.29 mg/ 168 g

Dosis perlakuan P4= 2 x 5.29 mg= 10.58 mg/ 168 g Dosis perlakuan P5= 4 x 5.29 mg= 21.16 mg/ 168 g

Burung Puyuh

(20)

6

dengan kebutuhan diet yang terjaga ±17.85% dari bobot badan, minum diberikan ad libitum.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari enam kelompok. Ke enam kelompot tersebut masing-masing terdiri dari empat ekor. Kelompok tersebut adalah:

K0 : Pakan komersil

KL : Pakan komersil + pasta daun singkong 5.29 mg/168 g P : Pakan komersil + paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari

P+KL1 : Pakan komersil + paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari + pasta daun singkong 5.29 mg/168 g

P+KL2 : Pakan komersil + paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari + pasta daun singkong 10.58 mg/168 g

P+KL3 : Pakan komersil + paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari + pasta daun singkong 21.16 mg/168 g

Tahap Perlakuan Hewan Coba

Tahapan dalam penelitian ini diawali dengan tahap adaptasi yang dimulai pada hari ke 0 sampai hari ke 7. Semua kelompok Puyuh yang telah dewasa diberikan paparan suhu 40 ○C selama 8 jam setiap hari selama empat minggu yang dimulai pada hari ke 7 sampai dengan hari ke 35, kecuali K0 dan KL. Mohamed et al. (2015) menyatakan bahwa paparan suhu 34 ○C selama 8 jam/ hari yang ditambahkan ekstrak bawang putih selama 4 minggu menurunkan laju pernapasan, leukosit dan peningkatan eritrosit, hemoglobin (Hb), PCV dan MCH. Pemberian suhu dilakukan pada pukul 09.00-17.00 WIB (Mohamed et al. 2015). Sampel darah diambil setiap 2 minggu, yaitu hari ke 7, 21 dan hari ke 35. Pengorbanan hewan dilakukan pada hari ke 35 untuk diambil hatinya pada semua perlakuan.

Gambar 3 Tahap Perlakuan Hewan Coba

Parameter yang Diamati

1. Suhu Rektal

(21)

7

2. Konsumsi Pakan

Pakan yang tidak dikonsumsi dikumpulkan setiap hari. Jumlah pakan yang dikonsumsi dihitung dari pemberian jumlah pakan dikurangi dengan jumlah pakan yang tidak dikonsumsi tiap hari.

3. Kecernaan Pakan

Kecernaan pakan diukur sesuai dengan metode Tillman et al. (1991). Kecernaan pakan diperoleh dari pengukuran asupan pakan (konsumsi pakan) dengan ekskresi feses yang dilakukan setiap hari.

Kecernaan = konsumsi bahan kering pakan −bahan kering feses

konsumsi bahan kering pakan x 100%

4. Bobot Badan

Bobot badan diperoleh dari pengukuran bobot badan yang dilakukan setiap minggu selama peneltian.

5. Rataan Jumlah, Bobot dan Kualitas Telur

Produksi telur mingguan dihitung dari setiap ulangan, sejak puyuh mulai bereproduksi hingga usia 16 minggu. Produksi telur mingguan mencerminkan total produksi telur dari puyuh hidup setiap minggu. Pengamatan telur puyuh juga dilakukan pengukuran terhadap bobot telur, tinggi yolk, tinggi albumen, bobot ovarium, bobot uterus dan tebal kerabang. Bobot telur diukur dengan cara menimbang telur setiap harinya selama penelitian kemudian dirata-ratakan berdasarkan perlakuan dan ulangan. Tinggi yolk dan albumen diukur menggunakan jangka sorong digital. Bobot ovarium dan uterus diukur setelah puyuh dibedah dan dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengukuran bobot ovarium dan uterus dilakukan dengan cara menimbang. Tebal kerabang (mm) diperoleh dari hasil rataan pengukuran kerabang telur bagian runcing, tengah dan bagian tumpul kerabang telur.

6. Pengukuran Hematologi

Pengukuran hematologi meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) dan indeks eritrosit dilakukan berdasarkan metode yang digunakan Sastradipradja et al. (1989).

a. Perhitungan Jumlah Eritrosit dan Leukosit (Metode Counting Chamber Burker dan Neubauer)

(22)

8

Perhitungan jumlah eritrosit dilakukan dengan menggunakan 5 kotak besar pada kelima kamar hitung hemositometer (kotak R) masing-masing kotak terdiri 16 kotak kecil dengan ukuran luas 1/400 mm2 dan kedalaman 1/10 mm, maka volume ruang hitung yang digunakan 5 x 16 x 1/400 mm2 x 1/10 mm = 1/50 mm3. Apabila jumlah eritrosit dalam ruang tersebut a butir, maka 1 mm3= 50 x a butir. Faktor pengencer darah berasal dari darah 0.5 dan larutan pengencer sampai batas 101-1 bagian yang tidak ikut tercampur (dibuang) maka pengencerannya 200x, sehingga jumlah eritrosit per mm3 darah= 200 x 50 x a butir= a x 104 butir.

Perhitungan jumlah leukosit dilakukan dengan mengambil 4 kotak besar pada keempat kamar hitung hemositometer (kotak W) masing-masing kotak berukuran 1 mm2 dengan kedalaman 1/10 mm, maka volume ruang hitung yang digunakan 4 x 1 mm2 x 1/10 = 4/10 mm2. Apabila jumlah leukosit dalam ruang tersebut b butir, maka 1 mm3= 10/4 x b butir. Faktor pengencer darah berasal dari darah 0.5 dan larutan pengencer sampai batas 11-1 bagian yang tidak ikut tercampur (dibuang) maka pengencerannya 20x, sehingga jumlah leukosit per mm3 darah= 20 x 10/4 x b butir= 50 x b butir.

A B

Gambar 4 Kamar Hitung Hemositometer (A) kotak R untuk menghitung jumlah Eritrosit dan (B) kotak W untuk mengitung jumlah Leukosit

b. Perhitungan Kadar Hemoglobin (Metode Spektrofotometrik)

Pengambilan 5 mL kalium ferisianida dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 1 dan 2. Kemudian menambahkan 0.02 mL darah pada tabung reaksi ke 2, lalu dibiarkan selama paling sedikit 10 menit pada suhu kamar. Selanjutnya melakukan pembacaan dengan menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.

c. Pengukuran Hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) dengan Metode Microhematokrit

(23)

9

Pengamatan leukosit juga dilakukan terhadap diferensiasinnya. Perhitungan diferensiasi leukosit secara manual dilakukan dengan pemeriksaan preparat ulas darah. Sedian preparat ulas darah yang sudah dikeringkan di udara, dimasukan dalam metal alkohol selama 5 menit. Kemudian diangkat, dikeringkan, lalu dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama 30 menit. Preparat tersebut selanjutnya diangkat dan dicuci dengan menggunakan air keran yang mengalir. Kemudian preparat tersebut dikeringkan di udara, lalu dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya. Setiap leukosit yang ditemukan dideferensiasikan ke dalam heterofil, limfosit, monosit, eosinofil dan basofil dalam persentase kemudian dihitung totalnya dengan cara:

Total diferensiasi leukosit (butir/mm3) = persentase diferensiasi leukosit x jumlah total leukosit

8. Indeks Stres

Indeks stres merupakan indikator stres pada unggas yang dapat diukur dengan rasio H/L (Sarica et al. 2015).

9. Analisa Kadar Malondiadialdehid (MDA) dan SOD (Superoksidasi Dismutase) Hati Puyuh

Puyuh dikorbankan pada hari ke 35 dengan cara eutanasi untuk diambil organ hati dan dianalisa kadar MDA dan SOD.

a. Analisa Kadar Malondiadialdehid (MDA)

Analisa kadar MDA hati puyuh dilakukan berdasarkan metode yang digunakan Conti et al. (1991).

1) Persiapan larutan standar

Larutan kerja 10 µM dibuat dengan mengencerkan stok standar 2.5 mM 1.1.3.3-tetraetoksipropana (TEP). TEP (1.1.3.3-tetraetoksipropana) digunakan sebagai larutan standar. Kurva standar dibuat dengan mengencerkan larutan standar hingga menghasilkan beberapa kosentrasi yaitu 500, 1000, 2000, 3000, 4000 dan 5000 pmol/50 µL.

2) Pengukuran kadar MDA

(24)

10

dianalisis pada suhu ruang. Hati digerus dengan menggunakan lumpang (digerus dalam keadaan dingin), dengan ditambahkan 1.25 mL buffer fosfat yang mengandung 11.5 g/L kalium klorida dalam kondisi dingin pH 7.4 (disimpan pada suhu 5 ○C). Campuran ini disentrifus 4000 rpm selama 10 menit, diambil supernatan keruh dan disentrifus lagi 4000 rpm selama 10 menit, sebanyak 1 mL supernatan jernih diambil dan ditambahkan 1 mL campuran larutan asam klorida dingin 0.25 N (2.23 mL asam klorida/100 mL) yang mengandung 15% asam trikloroasetat (w/v); 0.38% asam tiobarbiturat dan 0.5% butilat hidroksitoleun. Campuran larutan asam klorida dan supernatan tersebut dipanaskan 80 ○C (inkubator) selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dengan air mengalir dan disentrifus 3500 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifus tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm.

MDA (µmol/g protein) = A (µmol/g) x 3.75 mL/0.6 g (bb) Ket: A = Kadar MDA yang diperoleh dari persamaan regresi kurva standar.

b. Pengukuran Aktivitas Enzim SOD (Superoksidasi Dismutase) Hati

Pengukuran aktivitas enzim SOD hati puyuh dilakukan berdasarkan metode yang digunakan Chen et al. (1995).

1) Persiapan larutan standar

Larutan standar dibuat dengan melarutkan SOD (Sigma, USA) murni sehingga menghasilkan beberapa konsentrasi larutan, yaitu 0, 50, 100, 200, 250, 300 dan 500 unit/mL H2O dan larutan ini digunakan untuk membuat kurva

standar.

2) Pengukuran aktivitas SOD

Pengukuran aktivitas enzim SOD (Superoksidasi dismutase), ditentukan berdasarkan pengukuran enzim secara tidak langsung, dengan menggunakan spektrofotometer. Pengukuran enzim ini dipakai sistem xantin/xantin (XO) yang menghasilkan anion superoksida (O2-) yang

mereduksi ferrisitokrom c.

Aktivitas enzim SOD diukur berdasarkan laju penghambatan reduksi ferrisitokrom c oleh anion superoksida yang dihasilkan oleh xantin/xantin oksidase. Oksidasi xantin menghasilkan asam urat dan anion superoksida yang selanjutnya mereduksi ferrisitokrom c diamati berdasarkan kenaikan absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Pengukuran aktivitas enzim ini berlangsung pada suhu 25 ○C, larutan oksidase harus tetap dalam keadaan dingin (didinginkan selama 15 menit) sebelum digunakan. Medium reaksi segera dipersiapkan sebelum pengukuran dengan memasukkan 2.9 mL larutan A (campuran larutan xantin dan larutan sitokrom c) ke dalam tabung reaksi 3 mL. Selanjutnya ditambahkan 50 µL larutan beku (kontrol) atau sampel lalu divorteks secara perlahan. Reaksi dimulai dengan larutan B (xantin oksidase) dan divorteks secara perlahan. Kemudian diamati perubahan absorbansi yang terjadi pada spektrofotometer. Blanko digunakan buffer fosfat sebagai pengganti sampel dan sebagai kontrol digunakan air destilasi. Untuk mengembalikkan ke kosentrasi awal yaitu dalam (gr) maka dikonversi dengan rumus:

SOD (U/g) = A (µmol/mL) x 0.67 mL/0.5 g (bb)

(25)

11

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan software SPSS release 16. Urutan uji diawali dengan uji sidik ragam. Apabila hasil uji menunjukkan signifikan (P<0.05) maka terhadap data tersebut dilanjutkan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kadar Klorofil Pasta Daun Singkong

Penelitian ini, untuk mendapatkan sumber senyawa klorofil, maka digunakan daun singkong karena kandungan klorofilnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang lain (Alsuhendra 2004). Klorofil daun singkong diekstrak menggunakan etanol 95%. Penentuan kandungan klorofil suatu tanaman diperlukan pengembangan teknik eksraksi untuk memecah integritas sel sebanyak mungkin, sehingga klorofil dapat dikeluarkan dari protein membran intrinsik. Molekul klorofil terdiri dari dua bagian, yaitu tetrapirol yang menghelat ion Mg2+ pada inti porfirin dan dihubungkan dengan protein tanaman serta bagian fitol yang larut dalam lemak dan dihubungkan dengan lapisan lipid (Hutchings 1994). Menurut Alsuhendra (2004) karena klorofil terikat kuat pada protein, teknik utama dikembangkan adalah teknik untuk kimia protein.

Pemilihan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi klorofil merupakan faktor penting untuk mencapai tujuan dan sasaran ekstraksi. Beberapa pelarut yang biasa digunakan dalam ekstraksi klorofil adalah dietil eter, aseton, metanol, petroleum eter dan alkohol (etanol). Aseton paling umum digunakan untuk ekstraksi klorofil dari daun segar atau kering. Namun, alkohol merupakan salah satu jenis pelarut selain air, yang dianjurkan untuk digunakan dalam proses ekstraksi komponen aktif pangan untuk pembuatan produk yang akan dikonsumsi manusia karena relatif lebih aman dibandingkan pelarut lain. Penggunaan etanol dalam proses ekstraksi menyebabkan terjadinya kompleks etil-klorofilida jika enzim klorofilase yang ada di dalam jaringan tanaman tidak diinaktifkan atau jika ekstraksi tidak dilakukan dalam waktu yang cepat (Robinson 1991). Proses ekstraksi dalam penelitian ini dilakukan dalam waktu relatif lebih cepat untuk menghindari terbentuknya kompleks etil-klorofilid.

(26)

12

Tabel 1. Kadar klorofil pada pasta daun singkong

Klorofil Kadar Klorofil (mg/g Bahan) masing-masing sebesar 2.85 dan 1.11 mg/g bahan, dengan rasio antara klorofil a dan b berkisar antara 2.57 : 1, sedangkan kadar klorofil total sebesar 3.96 mg/g bahan. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti letak geografis, stres biotik dan abiotik, variasi musiman, praktik pertanian serta penanganan pascapanen (Bruni dan Sacchetti 2009).

Analisis Kandungan Senyawa Kimia Pasta Daun Singkong

Selain senyawa klorofil yang terdapat dalam pasta daun singkong juga terdapat senyawa fitokimia lain. Hasil uji menunjukkan adanya senyawa steroid, flavonoid, tanin dan saponin pada pasta daun singkong, seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis fitokimia pasta daun singkong

Komponen Pasta daun singkong

Ket: (-) = tidak terdeteksi dan (+++) = terdeteksi dengan positif kuat

(27)

13

Rataan Suhu Rektal Burung Puyuh

Pengukuran suhu rektal mencerminkan suhu tubuh. Etches et al. (2008) melaporkan bahwa suhu tubuh normal unggas berkisar antara 40.5-41.05 ○C. Hasil pengamatan pada penelitian ini menunjukkan bahwa suhu rektal pada kelompok burung puyuh yang tidak mendapatkan paparan panas berkisar 39.25

C pada K0 dan 39.90 C pada KL. Suhu rektal kelompok burung puyuh yang

dipapar panas dan diberikan pasta daun singkong dosis bertingkat cenderung lebih rendah. Secara umum, burung puyuh yang mendapatkan paparan panas suhu rektalnya meningkat dibandingkan kelompok K0 dan KL. Suhu rektal kelompok burung puyuh yang mendapatkan paparan panas tanpa pasta daun singkong (P) meningkat sampai dengan 41.03 ○C (Tabel 3) dan suhu rektal ini adalah yang tertinggi dibandingkan dengan suhu rektal perlakuan lain. Rataan suhu tubuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan suhu tubuh puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

(28)

14

Rataan Konsumsi Pakan, Kecernaan Pakan dan Bobot Badan Burung Puyuh

Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi pakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh untuk melakukan proses hidup pokok, seperti pertumbuhan, perkembangan dan produksi (Parakkasi 1999). Konsumsi pakan dan kecernaan pakan merupakan faktor yang mempengaruhi bobot badan. Peningkatan suhu rektal akibat adanya paparan panas diduga dapat mempengaruhi konsumsi pakan, kecernaan pakan dan bobot badan. Tabel 4 menunjukkan rataan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan bobot badan puyuh selama 28 hari perlakuan. Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan konsumsi pakan pada kelompok burung puyuh yang tidak mendapatkan paparan panas berkisar 104.86 g pada K0 dan 100.96 g pada KL. Secara umum, burung puyuh yang mendapatkan paparan panas (P) konsumsi pakannya cenderung menurun dibandingkan kelompok K0 yang tidak mendapatkan paparan panas. Konsumsi pakan kelompok burung puyuh yang dipapar panas dan diberikan pasta daun singkong dosis bertingkat cenderung lebih rendah, namun pada dosis tertentu (P+KL1) memperlihatkan adanya peningkatan konsumsi pakan jika dibandingkan dengan perlakuan P (Tabel 4).

Tabel 4. Rataan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan bobot badan puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

(29)

15

Pemaparan panas 40 ○C selama 8 jam per hari pada penelitian ini juga diduga dapat menurunkan ukuran tinggi vili usus, karena adanya radikal bebas yang merusak sel mukosa usus. Usus halus merupakan tempat absorbsi utama nutrisi dan makanan, sehingga menyebabkan nilai kecernaan pakan tidak meningkat.

Menurut Afanas’ev et al. (1989) dan Hanasaki et al. (1994) bahwa senyawa flavonoid memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa flavonoid diduga berfungsi sebagai penampung radikal hidroksil di dalam sel usus, sehingga melindungi lipid membran dan mencegah kerusakan sel usus. Pemberian pasta daun singkong dapat mencegah gangguan fungsi absorbsi. Pakan yang dikonsumsi puyuh dapat dicerna dan dimanfaatkan secara optimal, kecuali pada perlakuan P+KL1. Kecernaan pakan pada perlakuan P+KL1 tidak meningkat, diduga dosis pasta daun singkongnya yang rendah. Kecernaan pakan pada kelompok K0 dan dipapar panas saja (P) tidak berbeda, sedangkan puyuh-puyuh yang tidak dipapar panas (KL) lebih tinggi.

Bobot badan berkaitan erat dengan konsumsi dan kecernaan pakan. Secara umum, bobot badan puyuh yang mendapatkan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan dengan perlakuan K0 dan P. Kandungan flavonoid yang ada pada pasta daun singkong kemungkinan dapat berfungsi sebagai antioksidan yang akan menekan stres yang ditimbulkan karena paparan panas. Mangunwardoyo et al. (2009) dan Chaitali dan Preeti (2014) menyatakan bahwa senyawa golongan alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin memiliki aktivitas sebagai antimikroba, sehingga dapat meningkatkan daya tahan tubuh pada puyuh-puyuh yang dipapar panas. Menurut Zahro (2013) saponin bekerja sebagai antimikroba dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan bakteri tersebut lisis. Pambudi et al. (2016) melaporkan bahwa tanin bekerja sebagai antimikroba dengan cara mengganggu permeabilitas membran sel, sehingga pertukaran zat yang dibutuhkan sel bakteri terganggu, mengakibatkan pertumbuhannya terhambat dan mati.

Produksi Telur Burung Puyuh dan Kualitas Datanya

(30)

16

Tabel 5. Rataan produksi telur puyuh dan kualitas datanya setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

Rataan jumlah telur pada kelompok yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan kelompok K0, kecuali pada kelompok P+KL3. Hasil ini juga terjadi pada rataan bobot telur yang mengikuti pola yang sama bahwa kelompok yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong cenderung memiliki bobot telur yang lebih berat dibandingkan kelompok K0, kecuali pada kelompok P+KL3. Adanya pemberian paparan panas 40 ○C tidak membuat produksi jumlah dan bobot telur menjadi menurun. Pada paparan suhu 40 ○C, burung puyuh menunjukkan jumlah telur yang tertinggi dengan kualitas bobot telur yang tertinggi juga. Perbedaan rataan jumlah telur yang dihasilkan pada setiap perlakuan diduga karena peran kandungan senyawa metabolit sekunder pada pasta daun singkong yakni steroid. Ravinder et al. (2007) menyatakan bahwa kandungan fitoestrogen pada kunyit dapat memacu hormon estrogen dalam mensintesis vitolegenin. Vitelogenin diinduksikan oleh hormon estrogen (Yamashita et al. 2011), selanjutnya ditransportasikan melalui darah menuju oosit untuk perkembangan folikel (Ito et al. 2003). Senyawa steroid dalam pasta daun singkong diduga meningkatkan kadar hormon estrogen sehingga memacu fungsi aktivitas anabolik sel hati dengan meningkatkan sintesis vitolegenin yang merupakan prekursor kuning telur (yolk). Peningkatan kadar hormon estrogen memacu sintesis yolk di dalam hati, sehingga mempengaruhi peningkatan bobot ovarium (Saraswati 2015).

(31)

17

mampu meningkatkan fungsi aktivitas anabolik sel hati dengan meningkatkan sintesis vitolegenin yang merupakan prekursor kuning telur (yolk), sehingga mempengaruhi tinggi yolk. Flavonoid diduga dapat mendukung fungsi-fungsi tersebut. Menurut Satyaningtijas et al. (2016) adanya kandungan isoflavon berupa flavonoid yang terkandung di dalam akar purwoceng memiliki aktivitas estrogenik. Pola yang sama juga terlihat pada tinggi albumen dari kelompok puyuh yang mendapat pasta daun singkong bahwa tinggi albumennya cenderung lebih tinggi dibandingkan kelompok K0 dan P (P>0.05). Peningkatan yang signifikan terdapat pada kelompok P+KL2.

Tabel 5 menunjukkan bahwa bobot ovarium dan uterus pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan (P>0.05). Rataan bobot ovarium pada semua kelompok puyuh yang diberi pasta daun singkong cenderung lebih tinggi dibandingkan K0. Adanya pemberian paparan panas 40 ○C selama 8 jam per hari tidak membuat bobot ovarium menjadi menurun. Pada paparan panas 40 ○C, menunjukkan bobot ovarium yang tertinggi.

Bobot uterus pada kelompok burung puyuh yang tidak mendapatkan paparan panas berkisar 4.68 g pada K0 dan 5.37 g pada KL. Secara umum, burung puyuh yang mendapatkan paparan panas bobot uterusnya menurun dibandingkan kelompok K0 dan KL, kecuali pada P+KL1. Bobot uterus kelompok burung puyuh yang mendapatkan paparan panas dan diberi pasta daun singkong (P+KL1) meningkat sampai dengan 5.61 g dan bobot uterus ini adalah yang tertinggi dibandingkan dengan bobot uterus perlakuan lain. Pada penelitian ini peningkatan bobot ovarium diduga karena pasta daun singkong mengandung bahan aktif yang bersifat estrogenik yaitu steroid dan flavonoid, sehingga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan pertumbuhan dan perkembangan ovarium. Efek estrogenik dari purwoceng pada ovarium telah dilaporkan (Jefferson et al. 2002) melibatkan kerja hormon estrogen pada reseptor estrogen. Selanjutnya, rangsangan purwoceng yang meningkatkan bobot ovarium karena aktivitas ikatannya terhadap reseptor estrogen yang menghasilkan terjadinya proliferasi sel-sel pada uterus (Satyaningtijas et al. 2016). Estrogen mempunyai dua jenis reseptor yaitu reseptor

estrogen alfa (REα) dan beta (REβ) (Couse et al. 1997). Reseptor α terdapat pada organ ovarium, uterus, dan hipofisis (Yaghmaie et al. 2005). Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium, serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Peningkatan bobot uterus terjadi karena penebalan endometrium dan vaskularisasi yang baik dari pembuluh darah (Satyaningtijas et al. 2016). Pasta daun singkong diduga memengaruhi aktivitas mitogenik sel-sel epitel uterus berupa proliferasi maupun diferensiasi sel-sel epitel.

Tebal kerabang pada kelompok P tanpa pasta daun singkong paling rendah dibandingkan kelompok yang lain. Hal ini diduga berhubungan dengan stres panas menyebabkan terganggunya keseimbangan kalsium dan fosfor dalam darah (Ma et al. 2014). Kalsium merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas kerabang telur. Kerabang telur merupakan bagian terluar dari telur yang berfungsi sebagai pelindung isi telur. Kerabang telur tersusun oleh lapisan kutikula, kalsium karbonat (CaCO3) dan dua membran kerabang (Li-Chan et al. 1995). Tebal

(32)

18

ditimbun dari dalam matrik organik yang berisi protein dan mukopolisakarida. Faktor yang mempengaruhi kualitas tebal kerabang adalah ketersedian mineral Ca dan P dalam pakan. Kalsium berperan dalam efisiensi penggunaan pakan, produksi telur dan kualitas kerabang serta komponen utama dalam kerabang adalah kalsium (McDowell 2003; Shen dan Chen 2003). Mineral-mineral tersebut diperlukan dalam pembentukan kerabang yang membutuhkan ion-ion karbonat serta ion-ion kalsium yang cukup untuk pembentukan CaCO3 kerabang (Wahju

1997). Absorbsi kalsium pada usus juga mempengaruhi terbentuknya kerabang. Telah disebutkan bahwa adanya cekaman panas juga akan menurunkan tinggi vili usus halus tempat berlangsungnya absorbsi. Absorbsi kalsium juga dipengaruhi oleh peran vitamin D yang dapat meningkatkan absorbsi. Pemberian pasta daun singkong pada puyuh yang mendapatkan paparan panas diduga dapat menekan adanya gangguan akibat paparan panas tersebut.

Profil Hematologi Puyuh Petelur

Jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, nilai PCV dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) merupakan profil hematologi yang dapat dijadikan sebagai indikator status kesehatan pada ternak. Rataan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, PCV dan indeks eritrosit (MCH, MCHC) pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata (P>0.05) antar perlakuan (Tabel 6).

Tabel 6. Rataan jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, PCV dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) dalam darah puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

(33)

19

Eritrosit merupakan sel darah yang mempunyai nukleus pada unggas dan berperan dalam membawa hemoglobin dengan mengikat oksigen ke seluruh tubuh

(O’Brien et al. 2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat pada puyuh tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) antar perlakuan. Rataan jumlah eritrosit puyuh penelitian berada pada kisaran 8.64 x106/mm3 pada K0 sampai dengan nilai tertinggi yaitu 10.47 x106/mm3 pada P+KL3. Mohamed et al. (2015) menyatakan bahwa rataan eritrosit normal adalah 3.03 x106/mm3 sedangkan yang mendapatkan paparan panas 34 ○C dan ekstrak garlik, eritrositnya sebesar 2.88 x106/mm3. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa jumlah eritrosit pada kelompok puyuh yang dipapar panas juga meningkat dibandingkan K0 karena puyuh melakukan panting yang akan meningkatkan aktivitas respirasi dan peningkatan kebutuhan oksigen (O2). Peningkatan O2 akan memicu peningkatan jumlah eritrosit dalam tubuh.

Pasta daun singkong berperan sebagai antioksidan. Peran pasta daun singkong sejalan dengan hasil uji analisis enzim SOD (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa semua kelompok puyuh yang dipapar panas dan diberi pasta daun singkong, kadar enzim SOD lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang dipapar panas. Menurut Hall dan Guyton (2010) menyatakan bahwa jumlah eritrosit dipengaruhi oleh umur, aktivitas individu, kandungan nutrient pakan, ketinggian tempat dan suhu lingkungan.

O’Brien et al. (2015) menyatakan bahwa hemoglobin merupakan pigmen merah yang membawa oksigen dalam darah. Hemoglobin berfungsi untuk mendistribusikan oksigen (O2) ke jaringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

walaupun terjadi peningkatan jumlah sel darah merah tetapi tidak meningkatkan kandungan hemoglobin (P>0.05) antar perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan kadar hemoglobin berkisar 21.26-22.99 g/dl. Nilai kadar hemoglobin tertinggi dijumpai pada perlakuan P+KL3 sebesar 22.99 g/dl. Menurut Weiss dan Wardrop (2010) bahwa hemoglobin dipengaruhi oleh kadar oksigen dan jumlah eritrosit, sehingga ada kecenderungan jika jumlah eritrosit rendah, maka kadar hemoglobin akan rendah dan jika oksigen dalam darah rendah, maka tubuh akan terangsang meningkatkan produksi hemoglobin dan eritrosit.

Vatsalya dan Arora (2012) menyatakan bahwa nilai hematokrit menggambarkan persentase volume sel eritrosit terhadap total dalam darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai PCV pada pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05). Nilai hematokrit pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya peningkatan. Nilai PCV tertinggi dijumpai pada perlakuan P+KL3 sebesar 38.66%. Vatsalya dan Arora (2012) menyatakan bahwa nilai hematokrit normal puyuh berkisar 36.0-48.5%.Menurut Hemid et al. (2010) stres panas dapat terjadi ketika suhu lingkungan melebihi 32 ○C. Kondisi tersebut diduga menyebabkan puyuh petelur mengkonsumsi air minum lebih banyak. Tingginya konsumsi air minum menyebabkan konsentrasi air dalam darah meningkat, sehingga menurunkan persentase benda darah (hematokrit). Pada penelitian ini, pemaparan suhu 40 ○C tidak meningkatkan PCV.

(34)

20

tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap MCV. Kadar MCV tertinggi dijumpai pada perlakuan K0 sebesar 0.48 fl. Faktor yang mempengaruhi MCV adalah stres akibat temperatur lingkungan yang tinggi. Stres panas akan menurunkan konsumsi makan. Hal ini tentu akan menurunkan nutrient seperti protein, zat besi dan asam folat yang sangat diperlukan untuk perkembangan, mengontrol ukuran sel darah dan produksi eritrosit (Weiss dan Wordrop 2010; Campbell dan Ellis 2012). MCV yang bernilai tinggi saat terjadi anemia menandakan difisiensi asam folat, sedangkan bernilai rendah saat terjadi anemia menandakan difisiensi zat besi. Hoffman et al. (2013) menyatakan bahwa perubahan ukuran eritrosit bisa mempengaruhi viskositas cairan darah, sehingga bisa mempengaruhi fungsi, aktivitas dan kelancaran sirkulasi darah.

Nilai MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) menggambarkan banyaknya hemoglobin per eritrosit (Mahmoud et al. 2013). Tabel 6 menunjukkan rataan kadar MCH puyuh selama 28 hari perlakuan. Kadar MCH setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) antar perlakuan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan kadar MCH berkisar 5.83-6.33 pg. Kadar MCH tertinggi dijumpai pada perlakuan P sebesar 6.33 pg. Rataan kadar MCH kelompok burung puyuh yang mendapatkan pasta daun singkong cenderung menurun dibandingkan dengan kadar MCH pada kelompok yang tidak mendapatkan pasta daun singkong.

Menurut Mahmoud et al. (2013) nilai MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) merupakan parameter untuk mengetahui rataan konsentrasi hemoglobin di dalam eritrosit dan dapat dijadikan sebagai indikator paling penting untuk mengamati terapi anemia. Hal ini dikarenakan MCHC menggunakan dua penentu paling akurat pada hematologi, yaitu hemoglobin dan hematokrit, yang digunakan dalam perhitungan. Rataan kadar MCHC disajikan pada Tabel 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap kadar MCHC. Hal ini terlihat dari analisis kadar MCHC pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Kadar MCHC tertinggi dijumpai pada perlakuan P sebesar 63.38 %. Rataan kadar MCHC kelompok burung puyuh yang mendapatkan pasta daun singkong cenderung menurun dibandingkan dengan kadar MCHC pada kelompok yang tidak mendapatkan pasta daun singkong. Campbell dan Ellis (2012) menyatakan bahwa rataan MCHC normal berkisar 28-38.5%. MCHC akan bernilai rendah saat terjadi anemia. MCHC yang rendah mengindikasikan anemia disertai defisiensi zat besi, sedangkan MCHC yang tinggi mengindikasikan kecilnya ukuran eritrosit yang mempengaruhi kecepatan eritrosit sehingga mempengaruhi kecepatan sirkulasi darah (Hoffman et al. 2013). Menurut Campbell dan Ellis (2012) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi MCHC adalah kandungan hematokrit dan hemoglobin.

Leukosit dan Diferensiasi Leukosit

(35)

21

leukosit berkisar 49.22 x 103/mm3 pada K0 sampai 80.97x 103/mm3 pada P+KL1 yang merupakan jumlah leukosit tertinggi. Jumlah leukosit pada kelompok puyuh yang mendapat pemberian pasta daun singkong menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan kelompok K0 dan P (panas). Hasil ini menunjukkan bahwa pasta daun singkong dapat meningkatkan jumlah leukosit.

Leukosit terdiri dari sel-sel yang bergranula (heterofil, eosinofil dan basofil) serta serta sel-sel yang tidak bergranula (limfosit dan monosit). Adanya peningkatan jumlah leukosit dapat terjadi akibat adanya peningkatan pada salah satu jenisnya. Berkaitan dengan fungsi leukosit sebagai sel-sel yang berfungsi terhadap kekebalan tubuh, maka dapat dikatakan bahwa pasta daun singkong dapat diandalkan sebagai bahan imunomodulator. Total diferensiasi leukosit yang terdiri dari heterofil, limfosit dan monosit pada semua kelompok puyuh yang mendapatkan pasta daun singkong (KL) meningkat dibandingkan K0 dan P. Peningkatan ini juga terjadi pada kelompok puyuh yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong dibandingkan K0 dan P. Rataan jumlah leukosit dan total diferensiasi leukosit setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan jumlah leukosit dan total diferensiasi leukosit dalam darah puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

(36)

22

(KL) meningkat dibandingkan K0 dan P. Peningkatan ini juga terjadi pada kelompok puyuh yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong dibandingkan K0 dan P. Jumlah heterofil tertinggi dijumpai pada perlakuan P+KL1 dengan rata-rata 48.29 butir/mm3. Menurut (Chaitali dan Preeti 2014) saponin merupakan salah satu komponen organik yang memiliki aktivitas antibakteri dan antibiotik. Keberadaan senyawa saponin yang terdapat dalam kandungan pasta daun singkong mampu membantu fungsi kerja dari leukosit. Kerja saponin diduga mampu membentuk ikatan sterol yang terkandung dalam dinding sel mikroba, sehingga mempengaruhi tegangan permukaan membran sel mikroba dan mengakibatkan permeabilitas dinding sel meningkat dan akhirnya cairan dari luar sel akan masuk ke dalam sel mikroba. Masuknya cairan dari luar sel mengakibatkan pecahnya dinding sel sehingga mikroba mengalami kematian atau lisis. Menurut Zahro (2013) saponin bekerja sebagai antimikroba dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan bakteri tersebut lisis.

Limfosit sangat berperan dalam sistem imun (Melvin dan William 1993). Menurut Tizard (2000) fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang terikat dengan makrofag. Rataan jumlah limfosit puyuh selama 28 hari perlakuan setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) antar perlakuan. Total limfosit pada semua kelompok puyuh yang mendapatkan pasta daun singkong (KL) meningkat dibandingkan K0 dan P. Peningkatan ini juga terjadi pada kelompok puyuh yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong dibandingkan K0 dan P. Rataan jumlah limfosit berkisar 29.31 butir/mm3 pada K0 sampai 48.29 butir/mm3 pada P+KL1.

Monosit merupakan leukosit yang memiliki kemampuan memfagositik, yang sama fungsinya dengan heterofil. Perbedaannya, heterofil berperan dalam mengatasi benda asing yang masuk pada sirkulasi, sedangkan monosit yang berada dalam jaringan (makrofag) bekerja lebih baik dibandingkan ketika berada dalam sirkulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap jumlah monosit. Total monosit pada semua kelompok puyuh yang mendapatkan pasta daun singkong (KL) meningkat dibandingkan K0 dan P. Peningkatan ini juga terjadi pada kelompok puyuh yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong dibandingkan K0 dan P. Nilai eosinofil dan basofil pada semua perlakuan tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan jumlah eosinofil dan basofil dalam sirkulasi darah relatif sedikit.

Rataan Rasio Heterofil Per Limfosit Burung Puyuh

(37)

23

limfoid (Virden dan Kidd 2009). Terganggunya fungsi kekebalan tubuh tersebut ditandai dengan peningkatan rasio heterofil limfosit dalam darah (Davis et al. 2008; Tamzil et al. 2014).

Rasio heterofil/limfosit (rasio H/L) merupakan indikator stres pada unggas (Sarica et al. 2015). Nilai rasio tersebut yang tinggi mengindikasikan makin tingginya tingkat stres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat tidak berpengaruh nyata terhadap rasio H/L (Tabel 8).

Tabel 8. Rataan rasio heterofil per limfosit setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

Gross dan Siegel (1983) menyatakan bahwa nilai rasio H/L terbagi pada kondisi minimal, sedang dan maksimal pada ayam adalah 0.2, 0.5 dan 0.8. Rataan nilai rasio H/L kelompok burung puyuh yang tidak dipapar panas (KL) lebih rendah dibandingkan pada kelompok K0 dan P. Keberadaan senyawa flavonoid yang terkandung dalam pasta daun singkong mampu membantu fungsi kerja

enzim SOD dalam menangkap radikal bebas. Menurut Afanas’ev et al. (1989) dan Hanasaki et al. (1994) bahwa senyawa flavonoid memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa flavonoid diduga berfungsi sebagai penampung radikal hidroksil di dalam sel darah, sehingga melindungi lipid membran dan mencegah kerusakan sel darah. Selain itu, faktor yang mempengaruhi jumlah rasio heterofil/limfosit yaitu pakan, penyinaran, umur dan suhu lingkungan (Mashaly et al. 2004). Peningkatan nilai rasio H/L pada ternak yang mengalami stres terhadap suhu lingkungan yang panas terkait dengan meningkatnya hormon glukokortikoid di dalam darah yang bertujuan untuk mempertahankan kondisi normal ketika berada dalam cekaman (Davis et al. 2008). Menurut Tetty (2002), suhu lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan puyuh adalah 20 ○C - 25 ○C, sedangkan pada penelitian ini diberi paparan suhu 40 ○C selama 8 jam.

Rataan Bobot Hati, Kadar MDA Hati dan Kadar SOD Hati Burung Puyuh

(38)

24

Ket: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0.05). K0= kontrol, KL= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, P= paparan suhu 40 ○C selama 8 jam tiap hari, KL1= pasta daun singkong dosis 5.29 mg/g, KL2= pasta daun singkong dosis 10.58 mg/g, KL3= pasta daun singkong dosis 21.16 mg/g

Kelompok burung puyuh yang mendapatkan paparan panas rataan bobot hatinya lebih kecil dibandingkan kelompok K0 dan KL, kecuali pada kelompok P+KL1. Rataan bobot hati kelompok burung puyuh yang mendapatkan paparan panas tanpa pasta daun singkong sebesar 4.78 g (Tabel 9) dan rataan bobot hati ini adalah yang terendah dibandingkan dengan rataan bobot hati perlakuan lain. Rataan bobot hati kelompok burung puyuh yang dipapar panas dan diberikan pasta daun singkong dosis bertingkat cenderung lebih meningkat. Hal ini diduga bahwa senyawa flavonoid yang terdapat dalam pasta daun singkong mampu meningkatkan fungsi aktivitas anabolik sel hati. Fungsi anabolik sel hati berhubungan dengan kemampuan sel hati dalam melakukan proses metabolime. Semakin tinggi sel hati melakukan proses metabolisme, maka kemungkinan bobot hati akan meningkat.

(39)

25

memiliki nilai rataan kadar MDA terendah (1.10 µg/g). Perbedaan kadar MDA antar perlakuan dikarenakan ketersedian enzim-enzim antioksidan, salah satunya adalah SOD. Menurut Repetto (2012) dan Bartosz (2013) antioksidan berperan sebagai pencegah atau penghambat terjadinya peroksidasi lipid karena mampu menetralisir atau menghancurkan radikal bebas sehingga tidak berbahaya bagi tubuh. Suarsana et al. (2013) menyatakan peningkatan produksi radikal bebas di dalam tubuh dapat menurunkan enzim-enzim antioksidan intrasel, sehingga menyebabkan kerusakan sel.

SOD merupakan antioksidan enzimatis yang berperan dalam mengkatalisis dismutase radikal anion superoksida (O2-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan

oksigen (O2) (Batinic-haberle et al. 2014). Tabel 9 menunjukkan kadar SOD pada

hati puyuh setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat lebih tinggi dibandingkan pada kelompok P. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok burung puyuh yang tidak dipapar panas tetapi diberi pasta daun singkong, nilai kadar SOD adalah yang terendah serta berbeda secara signifikan dibandingkan K0 (P<0.05). Perbedaan kadar SOD antar perlakuan disebabkan keberadaan MDA. Menurut Repetto (2012) dan Bartosz (2013) bahwa antioksidan berperan sebagai pencegah atau penghambat terjadinya peroksidasi lipid karena mampu menetralisir atau menghancurkan radikal bebas sehingga tidak berbahaya bagi tubuh. Upaya untuk meningkatkan fungsi kerja dari enzim SOD akibat radikal bebas dapat dilakukan dengan penambahan antioksidan non enzimatis, dalam penelitian ini yaitu pasta daun singkong. Menurut Hernani dan Rahardjo (2006) menyatakan bahwa suatu jenis tumbuhan memiliki aktivitas antioksidan jika mengandung senyawa yang mampu menangkap radikal bebas seperti fenol, flavonoid, vitamin C dan E, katekin dan karoten. Hal ini sejalan dengan hasil pengujian fitokimia bahwa pasta daun singkong positif kuat mengandung flavonoid.

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rataan bobot badan yang mendapatkan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan K0 dan P. Produksi telur pada kelompok yang mendapatkan paparan panas dan pasta daun singkong cenderung meningkat dibandingkan K0, kecuali P+KL3. Secara keseluruhan gambaran darah tidak berbeda pada semua kelompok puyuh baik yang tidak diberikan cekaman panas atau diberikan cekaman panas dan ditambah pasta daun singkong. Pasta daun singkong memiliki potensi sebagai bahan antioksidan.

Saran

(40)

26

DAFTAR PUSTAKA

Afanas’ev IB, Dorozhko AI, Brodskii A, Kostyuk VA, Potapovitch AI. 1989. Chelathing and free radical scavenging mechanism of inhitory of rutin and quercein in lipid peroxidation. Biochem Pharmacol. 38:1763-1769. Ahmad N, Fazal H, Abbasi BH, Farooq S, Ali M, Khan MA. 2012. Biological

role of Piper nigrum L. (Black pepper): A review. Asian Pac J Trop Biomed. 2(3, Supplement):S1945-S1953.

Alsuhendra. 2004. Daya anti-aterosklerosis Zn-turunan klorofil dari daun singkong (Manihot esculenta Crantz) pada kelinci percobaan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Asea A, Kraeft SK, Kurt-Jones EA, Stevenson MA, Chen LB, Finberg RW, Koo GC, Calderwood SK. 2000. HSP70 stimulate cytokine production trough a CD14-dependant pathway, demonstrating its dual role as a chaperone and cytokine. Nature Medicine. 6(4):435-442.

Asni E, Harahap IP, Prijanti AR, Wanandi SI, Jusman SWA, Sadikin M. 2009. Pengaruh Hipoksia Berkelanjutan terhadap Kadar Malondialdehid, Glutation Tereduksi dan Aktivitas Katalase Ginjal Tikus. Majalah Kedokteran Indonesia. 59(12):595-600.

Bartosz G. 2013. Food Oxidants and Antioxidant: Chemical, Biological, and Funtional Properties. USA: CRC Pres.

Batinic-Haberle I, Artak T, Emily RHR, Zeljko V, Kam WL, Ivan S. 2014. SOD Therapeutics: Latest Insights into Their Structure-Activity Relationships and Impact on the Cellular Redox-Based Signaling Pathways. Antioxid Redox Signal. 20(15):2372–2415.doi:10.1089/ars.2012.5147.

Bird NA, Hunton P, Morrison WD, Weber LJ. 2003. Heat stress in cage layer. Ontario (Canada): Ministry of Agriculture and Food.

Botham KM, Mayes PA. The repiratory chain dan Oxidative Phosphorilation. In: Murray RK, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Rodwel VW, Weil PA. 2009. Harper’s Illustrated Biochemisty, Edisi 28 th. Mc Graw Hill Lange. “p”103-112.

Bruni R, Sacchetti G. 2009. Factors affecting polyphenol biosynthesis in wild

and field grown St. John”s wort (Hypericum perforatum L. Hypericaceae/Guttiferae). Molecules. 14: 682-725.

Campbell TW, Ellis C. 2012. 19. Hematology of birds. USA: Blackwell Publishing.

Gambar

Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran
Gambar 4 Kamar Hitung Hemositometer (A) kotak R untuk menghitung jumlah
Tabel 5. Rataan produksi telur puyuh dan kualitas datanya setelah pemaparan suhu dan pemberian pasta daun singkong dengan dosis bertingkat

Referensi

Dokumen terkait

Membaca merupakan suatu kegiatan yang bersifat kompleks, karena kegiatan ini melibatkan kemampuan dalam mengingat simbol-simbol grafis yang berbentuk huruf,

Tingkat defoliasi memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi ubi jalar meliputi parameter jumlah daun, panjang daun, intersepsi cahaya, berat umbi dan

Dimana dengan ketawakalan, ketawadlu’an, kesabaran, laku spiritual (baik puasa, dzikir dan istiqomah dalam dakwah dan mengaji), dan akhlaq luhurnya terhadap sang guru

Khusus untuk Peserta Kliring Lokal yang Penyelenggaranya adalah pihak lain yang mendapat persetujuan Bank Indonesia, pengenaan biaya sebagaimana dimaksud dalam angka 1

Pada gambar 5.1 bagian Bjuga menunjukkan adanya bangkai rayap yang tidak utuh, dimana bangkai tersebut hanya menyisakan badan atau kepala dari rayap yang sudah

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1) terdapat variasi fenotip pada kerbau endemik lokal Kudus pada

[r]

[r]