• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Koleksi Contoh Lamun

Koleksi contoh lamun yang diambil adalah jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii (Gambar 14). Kedua jenis lamun tersebut dapat diklasifikasikan (Waycott et al. 2004) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta (Angiospermae) Class : Liliopsida

Sub-class : Alismatidae Order : Alismatales Family : Hydrocharitaceae Genus : Thalassia

Spesies : Thalassia hemprichii Genus : Enhalus

Spesies : Enhalus acoroides

Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mudah dikenali, karena memiliki morfologi daun yang besar, lebar, dan keras. Pertumbuhan daun Enhalus acoroides sangat unik karena langsung dari rhizoma yang tebal dan keras dengan garis garis hitam. Thalassia hemprichii memiliki ciri khusus berupa ujung daun yang membundar dengan bercak merah, dan memiliki pertumbuhan daun tidak langsung dari akarnya, namun dari stem vertikal (Waycott et al. 2004).

Gambar 14 Foto lamun (A) Enhalus acoroides dan (B) Thalassia hemprichii.

Kedua jenis lamun ini dipilih karena telah terbukti pada penelitian sebelumnya mengandung senyawa bioaktif (El-Hady et al. 2007; Elfahmi et al. 1997; Jensen et al. 1998; Lakshmi et al. 2006; Raja-Kanan et al. 2010; Qi et al. 2008; Mayavu et al. 2009), sehingga diduga memiliki potensi lebih besar sebagai bioantifouling. Alasan lain penyebab digunakannya Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dalam penelitian, karena distribusi kedua jenis lamun tersebut di Indonesia sangat luas. Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dapat ditemui di perairan Indonesia, seperti Pulau Belitung (Fahmi et al. 2010), Kepulauan Seribu (Mardesyawati dan Anggraeni 2009), Teluk Gilimanuk, Bali (Dewi et al. 2008), dan Pantai Molas, Manado (Maabuat et al. 2012).

Pertumbuhan dan perkembangbiakan lamun dipengaruhi oleh kondisi kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, dan nutrien. Madigan et al. (2000) memaparkan produksi senyawa metabolit sekunder organisme merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yang meningkat produksinya seiring dengan tekanan lingkungan yang terjadi disekitarnya.

Data kualitas air yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Lumban-Toruan (2011), meliputi suhu, salinitas, pH, DO, fosfat, nitrat dan ammonia, hasil analisis parameter tersebut menunjukkan nilai yang masih berada dalam kisaran nilai baku mutu kualitas perairan untuk biota laut menurut Kepmen – LH 51 Tahun 2004 (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil analisis kualitas perairan Pulau Pramuka, DKI Jakarta (Maret 2011)

No Parameter Satuan Pramuka Barat Pramuka Timur Baku Mutu

1 Suhu oC 29,5 29,5 28 - 30 2 Salinitas ppm 34,2 34,3 33 - 34 3 pH 8 8,1 7 – 8,5 4 DO mg/L 10 8,8 > 5 6 Fosfat (PO4) mg/L 0 0,17 0,015 7 Nitrat (NO3) mg/L 0,02 0,02 0,008 8 Amonia (NH3) mg/L 0,07 0,22 0,3 Sumber : Lumban-Toruan (2011)

61

Suhu perairan Pulau Pramuka pada saat pengambilan contoh air, adalah 29.5 oC (Tabel 3), kondisi ini masih tergolong baik untuk lingkungan hidup lamun. Philips dan Menez (1988) memaparkan bahwa lamun akan tumbuh optimal pada air laut dengan suhu 28 – 30 oC. Salinitas perairan di sisi barat dan timur Pulau Pramuka, adalah 34.2 ppm dan 34.3 ppm, nilai ini masih berada dalam selang toleransi pertumbuhan dan perkembangan lamun. Lamun akan tumbuh dan berkembang dengan optimal pada perairan dengan salinitas 24 – 35 ppm (Hilman et al. 1989).

Derajat keasaman (pH) di sisi barat dan timur perairan Pulau Pramuka pada Maret 2011, adalah 8 dan 8.1, nilai ini tergolong baik untuk pertumbuhan lamun. Hal ini karena lamun akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada peraian dengan pH 7.3 – 9.0 (Burrell dan Schubell 1977).

Hasil analisis diatas diambil pada Maret 2011, bulan ini termasuk pada musim peralihan. Walaupun data kualitas perairan yang diperoleh hanya mewakili satu musim saja, data tersebut masih dapat digunakan, karena kondisi kualitas fisika dan kimia perairan di Pulau Pramuka pada ketiga musim yang berbeda (timur, barat, dan peralihan) menurut Triyulianti (2009) tidak berbeda nyata. Analisis kualitas air diatas menunjukkan bahwa kualitas perairan di Pulau Pramuka pada saat pengambilan contoh lamun dalam kondisi yang baik dan tidak memberikan tekanan lingkungan terhadap lamun.

4.2. Senyawa Bioaktif Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Berat basah contoh Enhalus acoroides yang dikeringkan dan digunakan dalam penelitian akan menyusut hingga 31,6±0,04%, sementara Thalassia hemprichii menyusut hingga 95,5±0,016%. Rendemen yang dihasilkan oleh lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii hasil penelitian akan meningkat seiring dengan kepolaran pelarut.

Jumlah rendemen ekstrak kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan pelarut metanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut n-heksana (Tabel 4). Hal ini menunjukkan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta mengandung senyawa bioaktif bersifat polar lebih banyak daripada yang

bersifat non polar. Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol, menyebabkan zat bioaktif yang terkandung dalam Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii lebih mudah larut didalamnya, sehingga lebih banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi.

Tabel 4 Berat ekstrak kasar Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii

Spesies Berat Contoh (g) Berat ekstrak (g) Ekstrak Metanol Ekstrak n – heksana Enhalus acoroides (n=3) 50 1,36±0,058 0,16±0,04 Thalassia hemprichii (n=3) 50 1,50±0,086 0,16±0,016

Nilai berat yang disajikan pada Tabel 4 digunakan untuk menghitung rendemen, yaitu perbandingan nilai berat ekstrak yang dihasilkan dengan berat awal contoh daun lamun kering dalam persen (%). Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Enhalus acoroides, dengan pelarut n-heksana adalah 0,32%, sedangkan dengan pelarut metanol adalah 2,71%. Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana adalah 0,32%, sementara dengan pelarut metanol adalah 2,99% (Gambar 15).

Nilai rendemen kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan pelarut polar (methanol) lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non polar (n-heksana). Nilai rendeman hasil penelitian kemudian dianalisis dengan melakukan uji anova (Lampiran 1), dan dilanjutkan dengan uji F untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap rendemen ekstrak. Hasil uji F yang dilakukan, menunjukkan faktor pelarut memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai rendemen, sedangkan jenis lamun tidak berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen.

63 Sumber: Diolah dari Tabel 4

Gambar 15 Rendemen ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii

Faktor kepolaran pelarut merupakan peran penting dalam menentukan nilai besaran rendemen dari ekstrak suatu organisme, karena jenis pelarut dengan kepolaran yang berbeda akan melarutkan zat aktif dari dalam organisme yang berbeda pula. Khopkar (2003) menyebutkan bahwa kelarutan suatu zat pada pelarut tertentu sangat bergantung pada kemampuan zat tersebut untuk membentuk ikatan hidrogen. Pelarut n–hekasana merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai lurus sehingga tidak dapat larut dalam air, sementara metanol merupakan senyawa yang memiliki bobot molekul rendah sehingga mudah membentuk ikatan hidrokarbon dan mudah larut dalam air. Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol, menyebabkan zat bioaktif yang terkandung dalam Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii lebih mudah larut didalamnya, sehingga lebih banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi.

Pengaruh faktor kepolaran pelarut terhadap rendemen hasil ekstraksi juga terjadi pada penelitian eksplorasi bahan bioaktif dari karang lunak jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp. yang dilakukan oleh (Soedharma et al. 2009). Pada penelitian yang dilakukan Soedharma et al. 2009 disebutkan bahwa

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

Enhalus acoroides Thalassia hemprichii

R e n d e m e n ( % ) metanol n - heksana

rendemen ekstrak metanol karang lunak jenis Sarcophyton sp dan Sinularia sp. adalah 2,55% dan 1,56%, dan rendemen ekstrak n-heksana adalah 0,42% dan 1,38%. Hal ini menunjukkan bahwa hasil ekstraksi yang dilakukan terhadap organisme laut, baik tumbuhan ataupun hewan, dipengaruhi oleh faktor kepolaran dari pelarut yang digunakan. Semakin polar sifat pelarut yang digunakan, maka hasil rendemen ekstraksi akan semakin banyak.

4.3. Golongan Senyawa Fitokimia

Golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ditampilkan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil uji fitokimia, diketahui bahwa ekstrak metanol dari Enhalus acoroides mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, banedict, dan ninhidrin. Ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii diketahui mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, flavonoid, benedict dan ninhidrin. Uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak n-heksana dari Enhalus acoroides menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa pada golongan flavonoid dan benedict, sementara uji yang dilakukan terhadap ekstrak Thalassia hemprichii menunjukkan ketersediaan senyawa bioaktif pada golongan alkaloid, steroid, flavonoid, dan benedict.

Seluruh ekstrak lamun dengan pelarut n-heksana dan metanol memperlihatkan respon positif terhadap uji flavonoid dan uji benedict (Tabel 5). Hal ini menunjukkan seluruh ekstrak lamun mengandung senyawa bioaktif golongan flavonoid dan gula pereduksi. Flavonoid diketahui sebagai salah satu golongan senyawa fenol alam terbesar dan banyak ditemui umumnya pada jenis tumbuhan (Markham 1988). Flavonoid diduga berperan aktifsebagai antifouling, karena isolat senyawa flavonoid dari Thalassia testudinum terhadap penempelan organisme. Winarno (1997) menyebutkan gula pereduksi menunjukkan keberadaan gugus hidroksil (OH) pada sebuah senyawa, sementara Anonimus (1995) in Arlyza (2007) mengemukakan keberadaan cincin hidroksil (OH) dalam senyawa flavonoid yang berperan sebagai antifouling. Mekanisme senyawa flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm disebabkan oleh keberadaan gugus OH yang dapat berikatan dengan protein

65

dalam membran sel bakteri, sehingga membran sel pecah dan seluruh organel sel keluar dan berdampak pada kematian sel (Scheuer 1994).

Tabel 5 Hasil identifikasi kandungan golongan senyawa lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii

Uji Fitokimia

n-heksana (non polar) Metanol (polar)

Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Alkaloid - + + + Steroid - + - + Flavonoid + + + + Saponin - - - - Molisch - - - - Benedict + + + + Biuret - - - - Ninhidrin - - + +

(+) : Mengandung golongan senyawa yang diuji ( - ) : Tidak mengandung golongan senyawa yang diuji

Robinson (1995) menjelaskan bahwa senyawa pada golongan alkaloid pada umumnya potensial dimanfaatkan sebagai antibakteri dan bahan obat obatan analgesik. Senyawa pada golongan ini diduga mampu mengganggu komponen penyusun peptidoglikan, sehingga dinding sel bakteri tidak tersusun dengan utuh, kemudian menyebabkan kematian.

Golongan senyawa lain yang juga ditemukan adalah steroid. Golongan senyawa steroid merupakan salah satu jenis senyawa sterol yang mudah ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, meskipun pada periode penelitian awal senyawa sterol diduga hanya ditemukan pada ekstrak hewan saja (Harbone 1987). Ekstrak yang mengandung senyawa golongan steroid ini memiliki potensi sebagai antibakteri dan antifungi, dengan mekanisme merusak membran sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri (Cowan 1999). Vickery dan vickery (1981) pada bukunya juga memaparkan bahwa senyawa golongan steroid sangat potensial menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme peningkatan permeabilitas membran sel kemudian terjadi kebocoran sel dan bagian intrasel akan terhambur keluar.

Uji ninhidrin menunjukkan hasil positif pada lamun yang diekstrak dengan pelarut metanol, artinya lamun mengandung senyawa asam amino dan dapat larut pada pelarut metanol. Hasil uji ninhidrin sesuai dengan hasil penelitian Setyati et al. (2005) yang memaparkan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mengandung asam amino sebesar 7,65% dan 8,35%.

Uji fitokimia yang dilakukan menunjukan bahwa Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta mengandung senyawa bioaktif golongan flavonoid. Senyawa bioaktif golongan flavonoid selama ini diduga memiliki potensi sebagai bahan bioantifouling (Anonimus 1995 in Arlyza 2007). Uji ini menunjukan bahwa Enhalus acoroides Thalassia hemprichii memiliki potensi sebagai bioantifouling.

4.4. Toksisitas Senyawa Bioaktif Lamun

Hasil uji toksisitas yang dilakukan terhadap hewan uji Artemia salina menunjukkan hasil yang beragam tingkat toksisitasnya, dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai hasil uji toksisitas tersebut diperoleh dengan menggunakan nilai konsentrasi ekstrak lamun dan mortalitas hewan uji (Lampiran 2). Kedua besaran nilai tersebut kemudian dikonversi menjadi bilangan logaritma dengan bantuan tabel probit (Lampiran 3), lalu dihitung dan diregresikan untuk memperoleh nilai LC50 (Lampiran 4), sehingga diperoleh bentuk grafik yang sigmoid.

Konsentrasi ekstrak lamun yang diaplikasikan terhadap organisme uji Artemia salina adalah 10, 100, 500, dan 1000 ppm. Data log konsentrasi ekstrak lamun dan mortalitas probit A. salina yang diperoleh kemudian dihubungkan dan dilihat korelasinya dengan grafik regresi (Gambar 16). Melalui persamaan dari grafik regresi yang terbentuk, diperoleh nilai toksisitas LC50 (Tabel 6). Nilai toksisitas LC50 tertinggi diperoleh dari ekstrak n-heksana Enhalus acoroides, yaitu 1309,42 ppm, sementara nilai terendah diperoleh dari ekstrak metanol Enhalus acoroides, yaitu 5,74 ppm. Hal ini menujukkan bahwa ekstrak n-heksana Enhalus acoroides bersifat tidak toksik, sementara ekstrak metanol Enhalus acoroides bersifat sangat toksik (Meyer et al. 1982).

67

Tabel 6 Nilai toksisitas ekstrak lamun terhadap hewan uji Artemia salina

Ekstrak n – heksana Konsentrasi (ppm) Log Konsentrasi Persen Mortalitas Prob it LC50 (ppm) T. hemprichii 10 1 13,33 3,87 707,22 100 2 23,33 4,26 500 2,7 36,67 4,64 1000 3 66,67 5,41 E. acoroides 10 1 6,67 3,45 1309,42 100 2 23,33 4,26 500 2,7 33,33 4,56 1000 3 50,00 5,00 Ekstrak metanol Konsentrasi (ppm) Log Konsentrasi Persen Mortalitas Prob it LC50 (ppm) T. hemprichii 10 1 33,33 4,56 165,45 100 2 43,33 4,82 500 2,7 56,67 5,15 1000 3 66,67 5,41 E. acoroides 10 1 56,67 5,15 5,74 100 2 60,00 5,25 500 2,7 66,67 5,41 1000 3 80,00 5,84

Sumber : Diolah dari Lampiran 1, dengan menggunakan Tabel Probit pada Lampiran 2

Persamaan yang terbentuk dari hubungan log konsentrasi ekstrak lamun dengan mortalitas probit adalah sebagai berikut 1) y = 0,678x+3,068 (R²=0,842) untuk ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii; 2) y=0,726x+2,737 (R²=0,975) untuk ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; 3) y=0,407x+4,097 (R²=0,947) untuk ekstrak metanol Thalassia hemprichii; 4) y=0,290x+4,78 (R²=0,719) untuk ekstrak metanol Enhalus acoroides (Gambar 16). Berdasarkan empat persamaan diatas diperoleh dua nilai koefisien korelasi (R2) yang hampir mendekati 1, yaitu 0,947 untuk ekstrak n-heksana Enhalus acoroides dan 0,975 untuk ekstrak metanol Thalassia hemprichii, artinya konsentrasi kedua ekstrak tersebut dengan nilai mortalitas A. salina mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan semakin besar pula jumlah A. salina yang mengalami kematian.

(A) (B)

(C) (D)

Gambar 16 Grafik regresi hubungan log konsentrasi dan mortalitas A. salina dalam nilai probit dari A) Ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii; B) Ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; C) Ekstrak methanol Thalassia hemprichii; D) Ekstrak methanol Enhalus acoroides Thalassia hemprichii yang diekstrak dengan pelarut methanol dan n-heksana, serta Enhalus acoroides yang diekstrak dengan pelarut methanol diketahui masuk dalam kategori toksik dan sangat toksik. Data tersebut menunjukkan adanya korelasi positif dengan hasil uji fitokimia, yang menunjukkan bahwa didalam ketiga ekstrak kasar tersebut terkandung senyawa bioaktif yang dapat bersifat toksik bagi sel organisme, yaitu senyawa golongan flavonoid, steroid, dan alkaloid.

Hal ini didukung oleh Jensen et al. (1998) yang melaporkan bahwa senyawa bioaktif golongan flavonoid (flavones glycoside liteolin 7-O-β-Dglucopyransyl-2-sulfate), yang diisolasi dari Thalassia testudinum bersifat toksik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme penempel, jamur jenis Schizichytrium aggregatum. Zimmerman (1997) in Arlyza (2007) mengemukakan pendapat yang sama, bahwa senyawa golongan fenolik flavonoid

y = 0.678x + 3.068 R² = 0.842 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 0.00 2.00 4.00 P rob it Log Konsentrasi y = 0.726x + 2.737 R² = 0.975 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 0.00 2.00 4.00 P rob it Log Konsentrasi y = 0.407x + 4.097 R² = 0.947 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 0.00 2.00 4.00 P rob it Log Konsentrasi y = 0.290x + 4.78 R² = 0.719 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 0.00 2.00 4.00 P rob it Log Konsentrasi

69

(p-sulfoxy cinnamic), yang terkandung dalam Zoostera marina, dapat menghambat pertumbuhan biota penempel di laut.

Golongan senyawa steroid bersifat toksik bagi organisme, karena dapat meningkatkan permeabilitas sel organisme uji, sehingga membran sel menipis, kemudian terjadi kebocoran sel, dan bagian intra sel organisme akan terhambur keluar (Vickery dan vickery 1981). Teori ini didukung oleh Cowan (1999) yang mengemukakan hasil penelitiannya bahwa senyawa golongan steroid ini memiliki potensi sebagai antibakteri dan antifungi, dengan mekanisme merusak membran sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri.

Senyawa alkaloid merupakan salah satu golongan senyawa yang diketahui bersifat toksik terhadap hewan uji, yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan, sehingga dinding sel bakteri tersusun tidak beraturan (Robinson 1995). Ekstrak dengan kandungan senyawa golongan alkaloid memiliki potensi dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi (Robinson 1995)

Ekstrak methanol Enhalus acoroides hasil penelitian (5,74 ppm) termasuk dalam golongan sangat toksik (Meyer et al. 1982), dan memiliki tingkat toksisitas lebih tinggi daripada ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii (165,45 ppm), bahkan lebih tinggi dari ekstrak metanol karang lunak jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp., yaitu 45,15 ppm dan 201,93 ppm (Soedharma et al. 2009).

Ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tersebut relatif lebih toksik jika dibandingkan dengan ekstrak n-heksana dari Ulfa reticulata. Ini terjadi karena nilai LC50

ekstrak n-heksana Ulfa reticulata, adalah 6367,95 ppm (Tamat et al. 2007), nilai ini berada jauh diatas nilai LC50 dari Ekstrak n-heksana Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.

Komponen toksik yang terkandung dalam contoh-contoh ekstrak lamun, jika diberikan pada Artemia salina sebagai hewan uji dapat menyebabkan kematian. Kematian tersebut terjadi karena Artemia salina merupakan hewan yang mengkonsumsi bahan-bahan organik, sehingga seluruh komponen dari ekstrak lamun akan dikonsumsi dan terakumulasi didalam tubuhnya. Loomis (1978) menyebutkan bahwa akumulasi komponen toksik di dalam tubuh Artemia salina akan terus meningkat seiring pertambahan waktu, sehingga menyebabkan kematian.

4.5. Uji bioantifouling

Uji bioantifouling dilakukan dengan teknik invitro, menggunakan metode aktivitas hambat bakteri. Bakteri yang digunakan adalah bakteri Vibrio spp. yang diseleksi dari isolat bakteri pembentuk biofilm koleksi P2O LIPI. Seleksi bakteri Vibrio spp. dilakukan dengan menggunakan media TCBS, bakteri pembentuk biofilm jenis Vibrio spp. akan membentuk koloni berwarna kuning terang pada media tersebut (Gambar 17a). Identifikasi awal jenis bakteri dilakukan dengan metode gram positif – gram negatif, dan hasil uji tersebut menunjukkan bahwa dua bakteri Vibrio spp. merupakan bakteri gram negatif, ditunjukan dengan warna merah muda pada Gambar 17b.

(a) (b)

Gambar 17 (a) Koloni bakteri Vibrio spp. hasil seleksi dengan menggunakan media TCBS; (b) Hasil identifikasi dengan metode pewarnaan gram bakteri Vibrio spp. hasil seleksi.

Aktivitas hambat biofilm ekstrak lamun pada konsentrasi 20 mg/ml terhadap bakteri uji Vibrio 4-3 dan 15-3 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, karena zona bening yang terbentuk hampir tidak tampak (Gambar 18). Diameter rata-rata zona bening kurang dari 1 mm (Tabel 7), nilai tersebut menunjukkan bahwa aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm tergolong lemah (Bell 1984). Feliatra (1999) menjelaskan Vibrio memiliki kecenderungan sebagai bakteri gram negatif, sementara Branen dan Davidson (1993) memaparkan bakteri gram negatif umumnya sensitif terhadap senyawa yang bersifat polar.

71

Tabel 7 Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml

Lamun Diameter Zona Hambat (mm)

Ekstrak n – heksana Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 – 3

Thalassia hemprichii 0,7 0,2

Enhalus acoroides 0,8 0,3

Ekstrak metanol Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 – 3

Thalassia hemprichii 1,2 0,2

Enhalus acoroides 0,7 0,2

(Kontrol) Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 – 3

n – heksana 0 0

Metanol 0 0

Sumber : Diolah dari Lampiran 5.

Zona hambat yang terbentuk dari hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml ditampilkan pada Gambar 18.

Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3 Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3

Gambar 18 Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mg/ml; Kertas cakram ditetesi Hex) pelarut n-heksana; Met) pelarut methanol; 1) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut methanol; 3) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut heksana; 4) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana

Aktivitas hambat biofilm ekstrak lamun pada konsentrasi 200 mg/ml menunjukkan hasil yang lebih baik dari konsentrasi sebelumnya (20 mg/ml), zona bening yang terbentuk terlihat variatif (Gambar 19), dengan diameter beragam, namun rata-rata masih kurang dari 5 cm (Tabel 8). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa aktivitas hambat ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mg/ml tergolong lemah hingga sedang (Bell 1984).

Tabel 8 Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mg/ml.

Lamun Diameter Zona Hambat (mm)

Ekstrak n – heksana Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 - 3

Thalassia hemprichii 3.67 3.67

Enhalus acoroides 5.00 2.33

Ekstrak metanol Bakteri Vibrio 4 - 3 Bakteri Vibrio 15 - 3

Thalassia hemprichii 5.33 1.33

Enhalus acoroides 3.67 1.00

Sumber : Diolah dari Lampiran 6.

Hasil uji aktivitas hambat biofilm dari ekstrak lamun dengan konsentrasi 200mg/ml dapat dilihat pada Gambar 19.

Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3 Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3

Gambar 19. Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mg/ml; Kertas cakram ditetesi 1) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut methanol; 3) Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut n-heksana; 4) Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana.

73

Jika data hasil uji aktivitas hambat biofilm diperhatikan lebih lanjut, diketahui nilai diameter zona hambat biofilm yang terbentuk dari seluruh ekstrak terhadap bakteri uji Vibrio 4-3 MA lebih besar jika dibandingkan dengan zona hambat yang terbentuk pada bakteri uji Vibrio 15-3 MA. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bertahan bakteri uji Vibrio 15-3 MA lebih baik, karena mampu melawan ekstrak lamun yang terkandung dalam kertas cakram, sehingga nilai zona hambat yang terbentuk disekitar kertas cakram rendah.

Berdasarkan data yang diperoleh dan ditampilkan pada tabel diatas, secara umum diketahui ektrak lamun yang menggunakan pelarut metanol cenderung menghasilkan nilai zona hambat yang lebih besar jika dibandingkan dengan ekstrak lamun yang menggunakan pelarut n-heksana. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut metanol lebih potensial dan efektif digunakan untuk ekstraksi senyawa bioaktif lamun, karena dapat menghambat aktivitas bakteri biofilm.

Sensitivitas bakteri gram negatif terhadap senyawa polar disebabkan oleh adanya membran luar, yaitu sebuah lapisan tambahan pada dinding sel. Membran luar tersusun atas lipopolisakarida, porin, dan lipoprotein, keberadaaan molekul protein tersebut memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah, seperti senyawa golongan alkaloid dan flavonoid (Jawet 1998).

Ekstrak Enhalus acoroides baik yang dilarutkan dengan metanol ataupun dengan heksana, menurut data hasil penelitian yang diperoleh cenderung mambentuk zona hambat yang lebih luas jika dibandingkan dengan ekstrak Thalassia hemprichii. Hal ini diduga disebabkan oleh bentuk morfologi daun Enhalus acoroides yang lebih besar, luas, dan tebal, sehingga mampu menyimpan bahan bioaktif lebih banyak. Bentuk morfologi daun lamun Enhalus acoroides yang lebar, banyak dimanfaatkan oleh organisme di alam untuk menempel dan juga untuk makanan, dalam kondisi tekanan alam berupa predasi dan persaingan tempat hidup tersebut Enhalus acoroides akan menghasilkan senyawa bioaktif (metabolit sekunder) sebagai bentuk pertahanan diri dari predator dan organisme lain.

Uji bioantifouling dengan menggunakan ekstrak metanol lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm genus Vibrio sp. sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Mayavu et al. (2009), hasilnya menunjukkan bahwa ektrak metanol

Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium membentuk zona hambat dengan diameter 3 mm, dan 6 mm. Hal ini menunjukkan bahwa lamun jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki potensi yang lebih baik dari jenis Cymodocea serrulata untuk menghambat aktivitas bakteri pembentuk biofilm Vibrio spp. .

75

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1) Hasil uji fitokimia ekstrak

Dokumen terkait