• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dititikberatkan pada pemanfaatan data radar SRTM dalam membangkitkan jaringan drainase DAS untuk analisa debit puncak akibat perubahan tata guna lahan. Pengolahan data yang tersedia dilakukan dengan bantuan software WMS untuk melihat perubahan debit puncak yang terjadi. Pengolahan data radar sendiri tidak dilakukan karena ketersediaan data radar altimetri dan validasi data memerlukan kegiatan lapangan yang intensif. Selain itu juga jaringan geoid lokal pada lokasi studi tidak tersedia. Data radar yang digunakan adalah data radar yang sudah tersedia tanpa melakukan proses interferometri dalam penurunan DEM nya.

Masukan Model Analisis Tutupan Lahan

Klasifikasi citra satelit Landsat 7 ETM+ April 2003 pada areal studi, dibedakan menjadi 3 kelompok tutupan/penggunaan lahan, yaitu: hutan sekunder/primer, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan semak belukar. Klasifikasi terbimbing ini menggunakan metode Maximum Likelihood Clasification dengan kombinasi band 542. Setelah itu dilakukan 2 kali post classification

menggunakan besaran filter 9x9.

Area contoh dipilih berpedoman pada kesan warna tipe penutup lahan pada citra warna gabungan scene path/raw 127/60. Contoh kelas yang berhasil dipilih untuk scene citra tersebut adalah berjumlah 6 kelas yaitu:

31

hutan primer/sekunder, ladang/semak belukar, kebun sawit, Hutan Tanaman Industri, badan air, dan permukiman. Tipe penggunaan lahan ini relatif telah mencakup semua tipe penutup lahan sehingga kesalahan pengkelasan obyek menjadi kelas yang kurang sesuai dapat dihindari.

Tabel 2. Hasil Interpretasi Citra Landsat ETM+ path/raw 127/60 Tahun 2003

No Objek Warna Keterangan

1 Hutan primer/sekunder Hijau gelap Vegetasi rapat

2 Ladang/semak belukar Kuning Menyebar berasosiasi kebun campuran

3 Kebun sawit Hijau muda Vegetasi berpola dengan blok kebun yang jelas

4 Hutan Tanaman Industri Hijau muda Vegetasi berpola dengan blok HTI

5 Pemukiman Merah Menyebar di pinggir jalan

6 Badan air Biru gelab/hitam Mengelompok

Kegiatan klasifikasi di atas dilakukan juga pada citra Landsat TM tahun 1992 dengan training areas yang sama dengan klasifikasi citra untuk tahun 2003. Hasil akhir dari kegiatan ini adalah diperoleh klasifikasi tutupan lahan untuk masing-masing tahun yang digunakan untuk melihat perubahan tutupan/penggunaan lahan dan perhitungan nilai Curve Number DAS yang diamati.

Perubahan penggunaan lahan di DAS Lipat Kain yang berada di bagian hulu DAS Kampar Kiri belum berdampak on site. Perubahan penggunaan lahan yang tinggi dari hutan menjadi non hutan di luar areal studi merupakan pemicu sering terjadinya banjir yang ada di bagian hilir DAS Kampar. Hal ini selain berkurangnya areal hutan di bagian hulu akibat konversi, diduga juga disebabkan oleh kegiatan illegal logging yang tinggi di daerah ini.

32

Hasil analisis perubahan tutupan lahan pada dua titik tahun 1992 dan 2003 terjadi perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non hutan, terutama hutan tanaman industri (monokultur) sebesar ± 3,5 % (± 6.051 Ha). Selain itu juga kondisi semak belukar dan hutan sekunder yang ada saat dilakukan pengamatan lapang sebagian sudah menjadi areal perkebunan sawit rakyat dan usaha perladangan intensif. Sebagai konsekuensi logis dari tingginya aktifitas usaha perkebunan dan perusahaan kehutanan di daerah ini berakibat pada konversi penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan.

Perubahan tutupan lahan/penggunaan lahan di DAS Lipat Kain disajikan pada Tabel 3. Pada Gambar 3 disajikan hasil klasifikasi tutupan lahan pada DAS Lipat Kain Tahun 1992 dan 2003.

Tabel 3. Perubahan Tutupan Lahan/Penggunaan Lahan DAS Lipat Kain

Luas (Ha) Hutan

HTI

Ladang/Semak belukar Total

Jenis Tutupan Lahan

2003 1992 % % 168254 174306 84.2 81.3 6051 - - 2.9 32651 32651 15.8 15.8 206956 206957 100.0 100.0

Berdasarkan analisis tumpang tindih antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2001-2015 dengan penggunaan lahan tahun 2003, di daerah studi terdapat ± 7.750 Ha kawasan Hutan Lindung yang berubah fungsi menjadi penggunaan lain berupa ladang/kebun. Berdasarkan pengecekan lapangan yang telah dilakukan pada Januari dan Agustus 2005, areal ladang/kebun di daerah studi, saat ini sebagian besar berupa perkebunan kelapa sawit dan areal perladangan intensif milik swasta ataupun perorangan. Selain itu juga aktifitas pembangunan perkebunan besar dan HTI yang intensif di wilayah ini juga terlihat di dalam areal studi (Gambar 4).

33 Tahun 2003 Tahun 1992 Ladang/Semak Belukar HTI Hutan

Gambar 3. Perubahan Tutupan Lahan DAS Lipat Kain 1992 – 2003

Gambar 4. Konversi Hutan Lindung menjadi Ladang/Kebun

Konversi dan pelanggaran terhadap RTRW Provinsi ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi pemerintah setempat khususnya Kabupaten Kampar untuk mengkaji ulang peruntukan lahan dan melakukan tindakan yang kooperatif untuk menyikapi hal tersebut.

34

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi akibat konversi dan pengelolaan lahan yang tidak memperhatikan kemampuan tanah/lahan juga mengakibatkan pada bertambah buruknya kondisi hidrologis DAS Kampar.

Analisis Hujan

Analisa hujan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu analisis frekwesi hujan maksimum harian dan distribusi hujan dari kejadian hujan tunggal. Analisis frekwesi hujan maksimum harian ditujukan untuk meramalkan kejadian hujan sesungguhnya berdasarkan suatu seri data yang tersedia. Data hujan harian maksimum ini digunakan sebagai salah satu input dalam permodelan untuk pendugaan kejadian hujan pada periode ulang tertentu. Distribusi hujan digambarkan dalam bentuk hyteograph yang menunjukan intensitas hujan yang jatuh di areal DAS.

Data hujan maksimum 24 jam setiap tahun selama 20 tahun pengamatan bersumber dari Stasiun Hujan Lipat Kain adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Hujan Harian Maksimum Stasiun Lipat Kain Tahun 1984 - 2003

Tahun Hujan (mm) Tahun Hujan (mm) 1984 107,0 1994 75,0 1985 111,0 1995 104,0 1986 103,0 1996 90,5 1987 79,0 1997 100,0 1988 88,0 1998 100,0 1989 113,0 1999 105,0 1990 100,0 2000 91,0 1991 104,0 2001 86,0 1992 126,0 2002 99,0 1993 89,0 2003 89,5

Analisa frekwensi dilakukan dengan memilih fungsi peluang yang paling cocok dengan sebaran data yang diberikan. Kecocokan suatu fungsi peluang dengan sebaran data diuji menggunakan pengujian Smirnov – Kolmogorof.

35

Karena pengujian membutuhkan teknik penggambaran (plotting) dari setiap nilai data pada sebuah kertas grafik peluang tertentu, maka ada tiga macam fungsi peluang yang akan diuji kecocokannya. Ketiga macam fungsi itu adalah sebaran normal, logaritma normal dan nilai ekstrim I (Gumbel).

Hasil penggambaran data dilakukan uji kecocokan dengan cara menghitung selisih terbesar antara data curah hujan hasil pengamatan yang tergambar dengan curah hujan teoritis pada titik yang sama.

Bila data lebih kecil dari atau sama dengan teori, maka berarti fungsi peluang yang digunakan telah cocok dengan sebaran data. Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan bantuan software RAINBOW for Windows version 1.1, hasil analisis dan penggambaran sebaran data adalah sebagai berikut

Plotting Koefisien Keseragaman di kertas Log Normal, berbentuk

garis lurus Rata – rata (means)

persentase peluang kejadian hujan periode pengamatan = 1,988021

Gambar 5. Plotting position dengan menggunakan metode Log Normal untuk data hujan harian maksimum di DAS Lipat Kain

36

Hasil pengujian memberikan hasil fungsi peluang yang paling sesuai adalah fungsi peluang sebaran Log Normal (nilai R2 = 0.96) dengan perhitungan peluang terlewati (probability exceedance) menggunakan metode Weibull. Gambar sebaran 20 data pengamatan hujan harian maksium periode tahun 1984 – 2003 yang tergambar di atas (gambar 5) menunjukan nilai Log rata-rata hujan harian maksimum (means) sebesar 1,988021 dengan standar deviasi sebesar 0,054316. Hujan maksimum harian DAS Lipat Kain untuk periode ulang 25, 50 dan 100 tahun adalah sebesar 123,8 mm, 129,1 mm, dan 134,1 mm. Hasil analisis peluang periode tinggi hujan harian maksimun pada berbagai kala ulang disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 2.

Tabel 5. Peluang Tinggi Hujan Maksimum DAS Lipat Kain

Kala Ulang T (tahun) Tinggi Hujan (mm)

2 97,3 5 109,2 10 116,1 25 123,8 50 129,1 100 134,1

Penentuan distribusi hujan pada penelitian ini menggunakan data pengamatan hujan 30 menitan pada tanggal 8-9 Januari 2005, dengan pertimbangan bahwa periode tanggal tersebut hujan turun relatif merata dalam jangka waktu pengamatan 24 jam. Distribusi hujan 24 jam ini menunjukan sebaran hujan dalam satuan waktu. Distribusi hujan ini adalah untuk menentukan intensitas hujan yang jatuh di dalam lokasi penelitian. Sebaran hujan 30 menitan pada tanggal 8-9 Januari 2005 disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 6.

37

Tabel 6. Curah Hujan 30 menitan DAS Lipat Kain Periode 8 – 9 Januari 2005 * W aktu C u rah H ujan (m m )

5 :0 0 :0 0 P M 0 5 :3 0 :0 0 P M 0 .0 0 5 6 :0 0 :0 0 P M 0 .0 1 1 6 :3 0 :0 0 P M 0 .0 1 8 7 :0 0 :0 0 P M 0 .0 2 5 7 :3 0 :0 0 P M 0 .0 3 1 8 :0 0 :0 0 P M 0 .0 4 1 8 :3 0 :0 0 P M 0 .0 5 9 :0 0 :0 0 P M 0 .0 6 1 9 :3 0 :0 0 P M 0 .0 7 4 1 0 :0 0 :0 0 P M 0 .0 9 3 1 0 :3 0 :0 0 P M 0 .1 1 8 1 1 :0 0 :0 0 P M 0 .3 3 1 1 :3 0 :0 0 P M 0 .3 8 7 1 2 :0 0 :0 0 A M 0 .4 1 1 1 2 :3 0 :0 0 A M 0 .4 2 7 1 :0 0 :0 0 A M 0 .4 4 1 1 :3 0 :0 0 A M 0 .4 5 1 2 :0 0 :0 0 A M 0 .4 6 1 2 :3 0 :0 0 A M 0 .4 6 8 3 :0 0 :0 0 A M 0 .4 7 4 3 :3 0 :0 0 A M 0 .4 8 1 4 :0 0 :0 0 A M 0 .4 8 7 4 :3 0 :0 0 A M 0 .4 9 4 5 :0 0 :0 0 A M 0 .5 * pengamatan dengan gelas ukur

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 5:00:00 PM 7:00:00 PM 9:00:00 PM 11:00:00 PM 1:00:00 AM 3:00:00 AM 5:00:00 AM CH (mm) Waktu

Gambar 6. Distribusi hujan 24 jam DAS Lipat Kain Periode 8 – 9 Januari 2005

Digital Elevation Model (DEM)

DEM menjadi data yang penting dalam permodelan hidrologi karena data ini dapat dikembangkan menjadi beberapa parameter yag berhubungan dengan proses hidrologi, seperti pola drainase dan batas DAS.

38

DEM umumnya diturunkan dari data foto udara, data citra satelit ataupun digitasi peta kontur. Teknik tersebut saat ini kurang efisien, khususnya digitasi peta kontour, karena membutuhkan waktu dan biaya yang besar, sehingga diperlukan alternatif sumber data lainnya yang lebih efisien.

Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) merupakan project kerjasama antara JPL, NIMA dan The German and Italia Space Agency pada tahun 2000 yang hampir dapat memetakan sebagian besar topografi permukaan bumi. Data

ini memiliki resolusi DEM antara 30 m dan 90 m dengan akurasi vertikal ± 16 meter (Ling Feng, et.al, 2005). Akurasi tersebut diharapkan dapat lebih

dieksplorasi untuk tujuan penelitian hidrologi lanjutan lainnya.

Data SRTM ini merupakan data yang hanya menunjukan bentukan permukaan bumi (surface) saja tetapi bentukan permukaan tanah tidak dapat dilihat dengan data SRTM. Hal tersebut dikarenakan panjang gelombang yang digunakan tidak dapat menembus sampai dengan permukaan tanah (SRTM menggunakan Band C dengan panjang gelombang ± 5,6 cm). Keterbatasan dalam perekaman tersebut menjadi salah satu kelemahan data SRTM dalam penurunan jaringan drainase suatu DAS khususnya pada daerah yang relatif datar.

Beberapa penelitian untuk memperbaiki kualitas data SRTM dalam penurunan jaringan sungai yang sesuai dengan kondisi di lapang telah dilakukan antara lain oleh De Ruyver tahun 2004 di Pantanal Region - Brasil. Penelitian tersebut menunjukan bahwa pemanfaatan data SRTM secara langsung menghasilkan jaringan sungai yang tidak sesuai dengan kondisi di lapang terutama pada daerah yang relatif datar dan daerah cekungan.

39

Salah satu teknik yang dilakukan De Ruyver untuk menghasilkan jaringan sungai yang lebih baik adalah dengan cara menghilangkan efek vegetasi dan mengkombinasikan data jaringan sungai dari citra ASTER dan Landsat.

Pada penelitian ini tidak dilakukan analisa penurunan DEM dari data radar karena keterbatasan data dan software penunjang, tetapi hanya menggunakan data radar SRTM dengan resolusi 90 m yang bersumber dari University of Maryland- AS. Data radar tersebut digunakan untuk menurunkan jaringan sungai dan batas DAS. Pada tahapan kerja penelitian selanjutnya, data SRTM yang digunakan harus dikonversi menjadi data USGS DEM agar dapat menjadi input dalam program analisa penurunan jaringan sungai dengan bantuan program WMS. Selain itu juga penelitian ini memanfaatkan peta kontur skala 1 : 250.000, peta ini digunakan sebagai pembanding dalam penurunan jaringan sungai dan batas DAS.

Perbandingan DEM Radar dan DEM Peta Kontur Skala 1 : 250.000

Penurunan jaringan drainase secara langsung dengan menggunakan data SRTM terdapat beberapa kekurangan, kekurangan tersebut antara lain jaringan sungai yang dihasilkan terputus khususnya pada daerah yang datar. Kekurangan tersebut dapat diantisipasi dengan dilakukan kalibrasi menggunakan data pendukung berupa citra satelit atau foto udara serta menurunkan luasan tampilan akumulasi aliran. Data jaringan sungai pada penelitian ini diperoleh dengan melakukan kalibrasi ulang menggunakan data citra Landsat dan jaringan sungai dari dinas PU Provinsi Riau serta luasan akumulasi aliran yang digunakan dalam simulasi di dalam program WMS adalah seluas 1 Ha.

40

Penentuan luasan akumulasi aliran ini dilakukan dengan cara trial error sampai diperoleh jaringan sungai yang relatif sama dengan jaringan sungai yang ada. Selain penurunan jaringan sungai, pembatasan DAS Lipat Kain dapat dilakukan dengan mudah di dalam program WMS. Tools di dalam WMS yaitu TOPAZ akan secara otomatis membatasi suatu wilayah DAS dengan mengetahui dan memposisikan lokasi outlet pengukuran yang ada di wilayah DAS tersebut; dalam hal ini posisi AWLR Stasiun Lipat Kain yang sudah diukur di lapangan digunakan sebagai simulasi titik outlet.

Pada kasus DAS Lipat Kain dengan topografi sebagian besar berombak sampai dengan berbukit, penurunan jaringan sungai relatif sama dengan jaringan sungai yang ada. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinggi yang jelas pada daerah berombak – berbukit, akan tetapi pada areal yang datar diperoleh jaringan sungai yang terputus (jalan lintas tengah Pekanbaru – Kuantan Singingi). Terputusnya jaringan ini karena pada areal datar, data SRTM sebagian terdapat

sinks (local depressions) yang akan menyebabkan arah aliran tidak terdeteksi. Daerah dengan topografi dataraan di DAS Lipat Kain tidak dijumpai akan tetapi daerah di bagian hilir DAS Lipat Kain dijumpai banyak sinks sehingga perlu diisi kembali pixel yang kosong tersebut sebelum dilakukan proses lanjutan dari pemanfaatan radar SRTM. Proses pengisian kembali sinks tersebut antara lain dilakukan dengan melihat 8 nilai pixel tetangganya. Hal ini efektif dapat dilakukan untuk dapat menghilangkan pengaruh sinks tersebut (Gambar 7). Selain

sinks, pengaruh resolusi dan tutupan vegetasi menyebabkan SRTM tidak optimal dalam menurunkan jaringan sungai.

41

Sinks yg telah diisi dengan nilai pixel yang telah disesuaikan dgn 8 nilai tetangganya

Sinks

Gambar 7. Proses Penghilangan Sinks dari Data Radar SRTM (Sumber Gambar dari De Ruyver, 2004)

Terdapat beberapa cara yang tersedia di dalam program WMS untuk mengoptimalkan arah aliran, sehingga sesuai dengan kondisi aktual di lapang. Alternatif usaha untuk memperbaiki kualitas DEM di dalam program WMS antara lain :

ƒ Pengisian nilai fixel yang kosong melalui tools DEM Fill Command.

ƒ Edit arah aliran secara manual melalui tolls DEM Point Attributes.

ƒ Editing titik ketinggian dan

ƒ Memperkecil luasan areal akumulasi aliran.

Usaha untuk mengoptimalkan data SRTM dalam penelitian ini adalah dengan memperkecil luasan akumulasi aliran dari 75 Ha menjadi 1 Ha. Hasil penurunan jaringan sungai di dalam WMS dengan luasan akumulasi aliran 75 Ha dan 1 Ha disajikan pada Gambar 8a dan b.

42

Jaringan Sungai Kampar Kiri yang terputus. Jaringan sungai ini berasal dari data SRTM dgn luasan akumulasi aliran ± 75 Ha

Gambar 8a. Penurunan Luasan Akumusalsi Aliran 75 Ha di Sungai Kampar Kiri

Jaringan Sungai Kampar Kiri dengan akumulasi aliran ± 1 Ha

Gambar 8b. Penurunan Luasan Akumusalsi Aliran 1 Ha di Sungai Kampar Kiri Jaringan sungai yang diperoleh dari penurunan DEM dengan program WMS relatif mendekati kondisi pola sungai aktual di lapangan (Gambar 9), walaupun pada beberapa titik tertentu masih terdapat penyimpangan bentuk sungai yang ada, begitu juga arah aliran dan jaringan sungai ordo 1.

43

Banyaknya jaringan sungai orde 1 akan mempengaruhi besaran waktu tempuh aliran (time to peak) dan kecepatan aliran mencapai titik pengukuran yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap besarnya debit yang terukur. Perbedaan panjang aliran dan jumlah sungai orde 1 yang diturunkan dari data SRTM akan sangat berpengaruh terhadap debit yang terukur di SPAS. Semakin banyak sungai orde 1 yang dihasilkan dari penurunan data radar SRTM, maka hasil simulasi pengujian data model dengan data yang terukur di lapangan akan lebih tinggi daripada hasil pengukuran di lapang.

Jaringan Sungai DAS Kampar (PU Prov. Riau) Jaringan Sungai SRTM resolusi 90 m

Jaringan sungai dari PU dan SRTM, memiliki pola relatif sama

Gambar 9. Perbandingan Jaringan Sungai SRTM dengan Jaringan Sungai di DAS Kampar

Selain penurunan jaringan sungai dengan menggunakan data SRTM, penelitian ini juga menggunakan peta kontour skala 1 : 250.000 yang diturunkan menjadi format USGS DEM sebagai pembanding dalam melihat akurasi data SRTM yang digunakan dalam penurunan jaringan sungai di dalam suatu DAS.

44

Pada penelitian ini perbandingan akurasi data jaringan sungai hanya dilakukan secara visual dengan menumpangtindihkan jaringan sungai yang berasal dari data PU, data SRTM dan data kontour skala 1 : 250.000 dalam satu layer. Pada Gambar 10 terlihat bahwa jaringan sungai yang berasal dari peta kontour skala 1 : 250.000 sebagian besar tidak sesuai dengan pola jaringan sungai aktual di lapangan (data dari jaringan sungai dari PU). Hal tersebut merupakan salah satu pembuktian sederhana bahwa penurunan DEM dalam skala peta yang sama dari data peta kontour lebih banyak dijumpai bias dibandingkan dengan data DEM dari radar. Sungai SRTM Sungai dari Peta Kountur Skala 1 : 250.000 Sungai PU

Gambar 10. Tumpang Tindih Jaringan Sungai yang berasal dari Data Jaringan Sungai PU, SRTM dan Peta Kontour Skala 1 : 250.000

Perbandingan di atas merupakan hipotesis awal yang menujukkan bahwa DEM yang berasal dari pemanfaatan data radar khususnya SRTM, relatif lebih baik dibandingkan dengan DEM yang berasal dari digitasi data kontour. Secara umum bahwa DEM yang berasal dari peta kontour memiliki setidaknya dua error

45

yaitu error pada saat ektrapolasi titik/garis pembuatan peta kontour dan/atau error

yang muncul pada saat digitasi peta yang dilakukan oleh user. Konsistensi data DEM dari peta kontour relatif rendah karena masing-masing user akan secara subyektif dalam proses digitasi yang pada akhirnya menghasilkan data kontour digital yang berbeda satu sama lain walaupun pada suatu lokasi yang sama. Unsur ketelitian dalam digitalisasi data sangat berpengaruh dalam kualitas data kontour yang dihasilkan.

Data SRTM yang digunakan dalam permodelan hidrologi memerlukan pembuktian akurasi dan pengujian pada areal yang berbeda. Hasil penelitian Ling Feng, et.al (2005) menunjukan bahwa SRTM tanpa kalibrasi menghasilkan hasil estimasi debit puncak yang lebih tinggi (overestimate) sehingga diperlukan pembanding lain terutama dalam menurunkan jaringan drainase DAS. Walaupun demikian data SRTM ini lebih konsiten dalam hal menjelaskan bentukan permukaan lahan (surface), sehingga berpeluang untuk dapat lebih dikembangkan dalam penelitian hidrologi lainnya.

Bilangan Kurva (Curve Number)

Bilang kurva merupakan penggambaran keadaan hidrologi dan kandungan air di dalam tanah sebelumnya yang didasarkan pada data hidrologi soil group

(HSG) dan penggunaan lahan. HSG ini ditentukan berdasarkan jenis dan sifat fisik tanah yang bersumber pada peta tanah PPT – Bogor dan pengecekan di lapangan. Jenis tanah dan pengelompokan HSG yang terdapat di dalam areal studi adalah :

46

ƒ Typic Dystrudepts, lempung berpasir, solum sedang; berdasarkan kelompok hidrologi tanah SCS masuk ke dalam kelompok A.

ƒ Kompleks Typic Kandiudults Typic Eutrudepts, lempung berpasir, solum sedang terdapat kerakal pada kedalaman ± 60cm; berdasarkan kelompok hidrologi tanah SCS masuk ke dalam kelompok B.

ƒ Typic Hapludults, liat, solum dalam; berdasarkan kelompok hidrologi tanah SCS masuk ke dalam kelompok C.

Dalam penelitian ini bilangan kurva dihitung secara otomatis dengan bantuan Tools Calculators dalam Module Hydrologic Modeling. Langkah awal perhitungan bilangan kurva adalah melakukan tumpang tindih data digital HSG dan Penggunaan Lahan. Input data program WMS dalam penentuan bilangan kurva DAS Lipat Kain disajikan pada Tabel 7. Penggunaan lahan yang terdapat di dalam DAS Lipat Kain

Tabel 7. Data Penggunaan Lahan dan Tabel Bilangan Kurva pada Kondisi Hidrologi Tanah A, B, C dan D

Nilai Tabel CN ID LU Penggunaan Lahan

A B C D

1 Ladang/semak belukar 85 78 75 70

2 Hutan kerapatan sedang 79 73 60 36

3 Kebun sawit, ditanam dalam baris,

kondisi terawat baik 86 82 75 65

4 Hutan Tanaman industri (Acasia

mangium) ditanam dalam baris 88 84 79 70

Hasil perhitungan bilangan kurva DAS Lipat Kain Tahun 1992 dan 2003 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata Bilangan Kurva DAS Lipat Kain Tahun 1992 dan 2003

Tahun Sub DAS 1992 2003 Luas (mil2) Kanan 71,5 71,6 175,34 Tengah 71 72 137,15 Kiri 54,6 54,6 200,34

47

Perubahan penggunaan lahan khususnya pada Sub DAS Kanan dan Tengah yang tidak sesuai dengan fungsi tata ruang kawasan berupa kawasan lindung dengan topografi > 30 % menjadi areal perladangan dan perkebunan masyarakat, berdampak pada peningkatan bilangan kurva di daerah ini (Tabel 8), walaupun peningkatan nilai CN tidak besar. Masih tingginya luasan hutan sekunder pada tahun 2003 di Sub DAS Tengah yaitu seluas ± 90,1 % dan seluas ± 76,3 % di Sub DAS Kanan terhadap total luas masing-masing sub DAS berpengaruh pada rendahnya peningkatan nilai CN periode tahun 1992 – 2003. Pembukaan areal perkebunan kebun sawit dan ladang secara intensif di daerah ini juga mengurangi kapasitas resapan air dan fungsi konservasi di Sub DAS Kanan dan Tengah sehingga volume dan laju aliran permukaan (run off) di daerah ini menyumbangkan aliran yang lebih besar daripada Sub DAS Kiri ke DAS Lipat Kain. Sub DAS Kiri yang 100 % berupa hutan sekunder pada periode 1992 – 2003 relatif tidak menyebabkan perubahan nilai CN di areal ini.

Aliran Permukaan dan Debit Puncak DAS Lipat Kain

Analisi HEC 1 dengan menggunakan program WMS dilakukan dengan membagi DAS Lipat Kain menjadi 4 Sub DAS. Pembagian Sub DAS ini dilakukan untuk mengetahui proporsi sumbangan aliran yang terjadi di DAS Lipat Kain. Debit puncak (Qp) dan waktu mencapai debit puncak (Tp) tahun 1992 dan 2003 yang dihasilkan untuk 3 sub DAS di DAS Lipat Kain disajikan pada Gambar 11 dalam bentuk unit hidrograf dan Tabel 9 .

48

TENGAH

KIRI

LIPAT KAIN

Dokumen terkait