Pengujian Umpan
Hasil yang diperoleh dari pengujian masing-masing umpan (mie siap saji, kacang hijau, kentang, dan beras ketan hitam) berdasarkan variasi pengolahan (kering, basah, dan basah berbumbu) pada 40 ulangan (Tabel 1) menunjukkan
bahwa jenis umpan dengan variasi basah berbumbu lebih banyak disukai daripada variasi kering.
Tabel 1 Konsumsi (g) tikus riul terhadap umpan dengan beberapa variasi pengolahan
Perlakuan Mie siap saji Kacang Hijau Kentang Beras ketan hitam Rerata Kering 0.0034 cC 0.0007 cC 1.584 bB 0.004 cC 0.7960 Basah 9.1265 aA 4.3530 bB 11.525 aA 4.202 bB 7.2333 Basah berbumbu 3.5297 bB 8.2285 aA 11.141 aA 8.750 aA 7.9123 Rerata 4.2198 4.1940 8.0833 4.3186 5.3138
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsumsi pada umpan dengan variasi basah berbumbu memiliki nilai tertinggi (7.9123 gram per 100 gram bobot tubuh) dan tidak berbeda nyata dengan umpan variasi basah. Selain itu, umpan variasi basah berbumbu berbeda nyata dengan umpan variasi kering. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu:
1. Umpan dengan variasi basah berbumbu merupakan umpan yang telah diberi bumbu sebagai penyedap di dalam pengolahannya, seperti mie siap saji (saos, kecap, minyak goreng, dan bumbu penyedap), kacang hijau (santan, gula merah, dan daun pandan), kentang (penyedap rasa), dan beras ketan hitam (santan, vanili, dan gula merah) sehingga mempengaruhi rasa bagi tikus riul. Dua bahan yang umumnya biasa digunakan sebagai bahan tambahan makanan (additives), yaitu minyak sayur dan gula, yang keduanya diketahui dapat meningkatkan konsumsi (palatability) terhadap umpan (Meehan 1984).
2. Lokasi tikus riul ditangkap merupakan lokasi di sekitar permukiman manusia, sehingga terdapat kemungkinan tikus riul sudah terbiasa dengan makanan sisa manusia yang menjadi sampah terutama yang basah dan berbumbu.
3. Habitat yang disukai tikus riul juga merupakan habitat yang dengan kondisi basah dan lembab, seperti saluran air pembuangan (got).
Dari empat umpan yang diuji, hanya umpan kentang (total dari variasi kering, basah, dan basah berbumbu) yang memiliki tingkat rerata konsumsi tikus riul tertinggi (8.0833 gram per 100 gram bobot tubuh). Umpan lainnya seperti mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam relatif tidak disukai oleh tikus riul
dibandingkan dengan umpan kentang. Beberapa faktor yang mempengaruhi preferensi makan tikus riul, diantaranya perbedaan jenis kelamin, waktu, kandungan nutrisi, dan tempat dilakukannya pengujian (Meehan 1984). Menurut Adler 1996, hal yang dicari oleh tikus riul adalah makanan yang umumnya kecil dan sederhana, karena tikus riul dapat makan berbagai macam jenis makanan, bagaimanapun tikus riul lebih suka serealia, daging dan ikan, kacang-kacangan, dan beberapa jenis buah-buahan. Dengan demikian, umpan yang berbentuk sederhana dan bertekstur kasar menjadi hal yang disukai oleh tikus riul. Umpan kentang mempunyai bentuk menyerupai blok dengan ukuran kurang lebih 20 x 20 x 20 mm dan umumnya pada umpan kentang terdapat tekstur yang kasar walaupun sudah direbus, sehingga tikus riul lebih mudah dalam memakan umpan kentang dibandingkan dengan umpan lainnya. Berbeda halnya dengan umpan mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam bentuknya tergolong lebih kecil dibandingkan dengan umpan kentang.
Ketertarikan tikus riul lebih tinggi terhadap variasi basah berbumbu dibandingkan dengan variasi basah pada kacang hijau dan beras ketan hitam. Pada variasi basah berbumbu kacang hijau dan beras ketan hitam ditambahkan gula merah sebagai tambahan pada bumbu penyedapnya. Seperti diketahui bahwa gula merah merupakan salah satu bahan penarik (arrestant) bagi tikus. Gula dengan konsentrasi 5% dapat meningkatkan konsumi (palatability) tikus terhadap umpan 2-3 kali lipat, atau lebih untuk umpan cair. Kelemahan dari penggunaan gula sebagai bahan penarik adalah dapat menarik organisme lain seperti cendawan dan serangga (terutama semut), sehingga menjadi tidak menarik lagi bagi tikus (Priyambodo 2003).
Pengamatan terhadap umpan dengan variasi basah berbumbu ternyata tidak mendominasi terhadap umpan mie siap saji dan kentang. Pada kedua umpan tersebut, variasi basah paling disukai dibandingkan dengan variasi basah berbumbu dan variasi kering. Namun hanya pada umpan kentang saja yang variasi basah tidak berbeda nyata dengan variasi basah berbumbu, sedangkan pada umpan mie siap saji variasi basah berbeda nyata dengan variasi basah berbumbu. Hal yang membuat tikus riul tidak menyukai umpan dengan variasi berbumbu, terutama pada umpan mie siap saji, yaitu banyaknya campuran bumbu seperti saos
cabai, kecap manis, minyak goreng, penyedap gurih, dan penyedap pedas membuat aroma dan rasa yang tidak disukai oleh tikus riul. Selain itu, dengan adanya campuran bumbu-bumbu tersebut akan membuat umpan lebih cepat basi (terkontaminasi oleh bakteri), sehingga tikus riul lebih memilih pada umpan yang cenderung masih segar dan kandungan karbohidratnya sesuai dengan kebutuhan nutrisinya (umpan variasi basah pada mie siap saji).
Pada umpan dengan variasi kering yang dikonsumsi tikus riul paling tinggi pada umpan kentang (1.584 gram per 100 gram bobot tubuh) yang relatif lebih disukai dibandingkan dengan tiga umpan variasi kering lainnya (mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam). Hal ini disebabkan pada umpan kentang walaupun dalam kondisi kering tetap mengandung kadar air di dalamnya dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan kadar air pada umpan mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam.
Hal yang menarik ketika secara tidak sengaja teramati perilaku tikus riul yang sedang bunting dan melahirkan anaknya dan keesokan harinya saat diamati kembali tikus riul tersebut sudah membunuh dan memakan anak-anaknya yang baru lahir. Hal ini dapat disebabkan kurangnya nutrisi protein pada umpan yang diberikan atau tingkat tekanan (stress) yang dialami tikus di dalam kandang percobaan. Tikus riul tersebut tidak langsung dijadikan sebagai hewan uji dan dilakukan proses adaptasi kembali terutama kondisi setelah bunting dan melahirkan.
Pengujian Rodentisida
Umpan kentang (variasi basah dan basah berbumbu) versus racun akut (umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida)
Untuk konsumsi tikus riul terhadap kentang dengan campuran kentang dan seng fosfida dapat dilihat pada Tabel 2. Hal yang membuat umpan kentang plus seng fosfida lebih rendah tingkat konsumsinya dibandingkan dengan umpan kentang basah dan basah berbumbu tanpa seng fosfida, yaitu karena seng fosfida mempunyai bau yang menyengat dan merupakan racun yang menyerang syaraf pada hewan mamalia pada umumnya, sehingga dalam waktu singkat saja serbuk yang terhirup lewat saluran oral akan membuat gejala sakit kepala (pusing).
Tabel 2 Konsumsi (g) tikus riul terhadap kentang dan seng fosfida
Perlakuan Konsumsi
Kentang basah 6.053 aA
Kentang basah berbumbu 4.401 aA
Kentang basah berbumbu + seng fosfida 1.718 bB
Rerata 3.8773
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Berdasarkan data konsumsi umpan kentang biasa dan umpan kentang yang dicampurkan seng fosfida dapat dilihat bahwa umpan kentang dengan variasi basah tanpa dicampur seng fosfida (6.053 gram per 100 gram bobot tubuh) dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan umpan kentang yang dicampurkan dengan seng fosfida. Umpan kentang dengan variasi basah biasa berbeda nyata dengan umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida. Sedangkan untuk umpan kentang dengan variasi basah berbumbu tidak berbeda nyata dengan umpan kentang variasi basah.
Racun kronis (antikoagulan) generasi pertama versus kedua
Konsumsi tikus riul terhadap racun kronis dapat dilihat pada Tabel 3. Secara umum perbedaan tingkat konsumsi antara racun kronis ini tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, yaitu uji umpan beracun, baik yang berbahan aktif brodifakum ataupun flokumafen, tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini dimungkinkan tikus riul kurang tertarik terhadap warna, bentuk, ataupun rasa yang dimiliki umpan beracun tersebut (Nugraha 2004).
Tabel 3 Konsumsi (g) tikus riul terhadap berbagai macam rodentisida kronis
Perlakuan Konsumsi
Antikoagulan generasi ke-1
Warfarin 0.004667 aA
Kumatetralil 0.010222 aA
Antikoagulan generasi ke-2
Brodifakum 0.010222 aA
Bromadiolon 0.021889 aA
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Hal lain yang membuat tikus riul tidak terlalu menyukai rodentisida kronis, dikarenakan perlakuan rodentisida kronis dilakukan setelah perlakuan rodentisida akut (umpan kentang plus seng fosfida). Terdapat sepertiga populasi yang mati pada uji rodentisida akut akibat perlakuan racun akut dan sisa populasi yang masih hidup dipakai untuk perlakuan rodentisida kronis, sehingga mempengaruhi metabolisme tikus yang berbanding lurus dengan tingkat konsumsi racun. Hasil yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara rodentisida kronis (antikoagulan) generasi pertama dengan kedua.
Racun kronis versus racun akut
Pada Tabel 4 terdapat perbedaan yang nyata antara konsumsi rodentisida akut dengan kronis. Populasi tikus riul yang diuji pada perlakuan ini, merupakan tikus riul yang masih bertahan (escape) setelah diujikan sebelumnya dengan perlakuan umpan kentang versus umpan kentang plus seng fosfida dan perlakuan racun kronis. Dengan demikian, tingkat konsumsi tikus akan menurun bahkan cenderung menderita akibat kelaparan.
Berdasarkan data konsumsi racun akut dan kronis didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida dibandingkan dengan racun kronis (brodifakum, bromadiolon, warfarin, dan kumatetralil). Hal ini menunjukkan bahwa tikus riul tetap memilih umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida (0.036714 gram per 100 gram bobot tubuh) dibandingkan dengan racun kronis, meskipun pakan tersebut dirasakan asing, memiliki bau, dan warna yang berbeda, dibandingkan umpan lain yang kurang atau tidak disukai, walaupun umpan beracun lainnya memiliki warna mencolok, dan tidak berbau. Hal lain yang menjadi dasar pemikiran selanjutnya mengenai kandungan air dan bumbu tambahan di dalam umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida yang menjadikannya disukai oleh tikus riul dibandingkan dengan rodentisida kronis.
Perlakuan Konsumsi
Warfarin 0.000286 bB
Kumatetralil 0.000571 bB
Brodifakum 0.000286 bB
Bromadiolon 0.001286 bB
Kentang basah berbumbu + seng fosfida 0.036714 aA
Rerata 0.039143
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Hasil Identifikasi Tikus Riul dari Daerah Pemukiman di Kota dan Kabupaten Bogor
Pada Tabel 5 data morfologi tikus riul sebagai tikus got yang didapatkan di
daerah permukiman. Tikus riul yang diuji, berasal dari pemukiman penduduk di Kota dan Kabupaten Bogor. Pada awal pengujian identitas tikus yang didapatkan dari lokasi permukiman tersebut masih belum jelas, dimana masih terbagi dua pendapat besar, yaitu antara B. indica dan R. norvegicus sebagai tikus got. Ciri morfologi kedua spesies tersebut secara umum hampir sama dan seringkali tidak ada perbedaannya saat ditemukan di lapang.
Setelah dilakukan identifikasi melalui ciri anatomi, maka dapat dipastikan tikus yang berperan sebagai tikus got adalah tikus riul (R. norvegicus). Hal yang dapat dijadikan dasar sebagai pembeda antara tikus riul dan tikus wirok adalah: 1. Crista parietalis pada tenggorak sejajar. Hal ini merupakan ciri
terpenting pada tikus riul, karena hanya satu-satunya tikus pada genus Rattus yang memiliki crista parietalis sejajar.
2. Warna rambut pada umumnya walaupun berwarna gelap tetapi masih terdapat rambut yang berwarna terang (putih atau coklat muda).
3. Tikus riul menyukai habitat basah atau berair sedangkan tikus wirok umumnya menyukai habitat yang kering.
Tabel 5 Identifikasi tikus riul berdasarkan ciri morfologi
NO KODE BA BK E GSA T KB Kl TK
1 B 385.08 240 230 7 25 43 Jantan 16/4/2009
2 C 286.46 210 200 5 18 41 Betina 5/1/2009
3 D 359.59 230 235 5 24 42 Jantan 27/4/2009
5 F 353.49 220 215 5 25 43 Jantan 16/4/2009 6 H 276.58 210 175 4 21 40 Jantan 16/4/2009 7 I 314.02 213 204 3 17 40 Jantan 30/4/2009 8 J 284.44 200 155 4 18 40 Betina 30/4/2009 9 K 290.12 222 187 3 20 41 Betina 30/4/2009 10 L 354.01 225 205 4 24 40 Betina 16/4/2009 11 M 354 220 210 3 12 42 Jantan 30/4/2009 12 N 361.02 240 185 4 25 45 Jantan 10/4/2009 13 O 345.46 220 230 6 20 42 Betina 4/1/2009 14 P 354.3 245 191 4 24 40 Betina 30/4/2009 15 Q 469.29 230 235 4 23 40 Betina 5/6/2009 Keterangan
BA : Berat Akhir tubuh (gram)
BK : Panjang Badan dan Kepala (mm) E : Panjang Ekor (mm)
GSA : Gigi Seri Atas (mm) T : Panjang Telinga (mm)
KB : Panjang Telapak Kaki Belakang (mm) Kl : Kelamin
TK : Tanggal Kematian
Pada Gambar 10 ciri khusus pada R. norvegicus yang ditunjukkan dengan perbedaan posisi crista parietalis dengan R. rattus. Dimana posisi crista parietalis R. norvegicus sejajar. Sedangkan pada Gambar 11 menerangkan posisi foramina incisivum dan palatum belakang pada tengkorak R. norvegicus dan perbandingan ukuran tengkorak R. norvegicus dengan R. tiomanicus dan R. rattus. Ukuran tengkorak tikus riul lebih besar dibandingkan dengan tikus pohon dan tikus rumah. Perbedaan antara ukuran tengkorak dan spesimen pada R. norvegicus dan B. indica (Gambar 12 dan 13). Pada tenggkorak terlihat jelas perbedaan posisi crista parietalis R. norvegicus dalam keadaan sejajar sedangkan pada B. indica tidak sejajar. Sedangkan jika dilihat dari spesimen dapat menjadi tidak jelas karena warna rambut dan bentuk tubuh R. norvegicus dan B. indica relatif sama.
Crista parietalis tidak sejajar Crista parietalis sejajar Gambar 10 Posisi crista parietalis pada tengkorak (a) R. rattus dan (b) R.
norvegicus.
(a) (b)
Foramina incisivum Palatum belakang R. rattus R. tiomanicus R. norvegicus Gambar 11 (a) Posisi foramina incisivum dan palatum belakang pada tengkorak
R. norvegicus dan (b) perbandingan tengkorak R. rattus, R. tiomanicus, dan R. norvegicus
Gambar 12 Spesimen dan ukuran tengkorak B. indica