• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Cerna Pati (Muchtadi et al. 1992)

Sebanyak 1 g sampel tepung atau pati murni dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, lalu ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90 ºC sambil diaduk. Setelah suhu 90 ºC tercapai, sampel segera diangkat dan didinginkan. Dari larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi bertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml bufer fosfat pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasikan dengan suhu 37 ºC selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 ml z α-amilase (1 mg/ml dalam bufer fosfat pH 7) untuk sampel dan 5 ml bufer fosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit. Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml larutan DNS (asam dinitrosalisilat). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, lalu segera didinginkan dengan air mengalir. Ke dalam larutan ditambahkan 10 ml air destilata dan dibuat homogen dengan vortex, lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar diperoleh dari perlakuan DNS terhadap 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 ml larutan maltosa murni 0.5 mg/ml yang ditepatkan menjadi 1 ml dengan air destilata.

Dimana: A = kadar maltosa sampel

a = kadar maltosa blanko sampel B = kadar maltosa pati murni b = kadar maltosa blanko pati murni

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi Pati ganyong

Tanaman ganyong secara internasional disebut edible canna atau

Queensland arrowroot, yaitu tumbuhan canna yang dapat dimakan atau tumbuhan yang mempunyai akar rimpang (umbi) berbentuk seperti busur panah dari Quennsland (Rukmana 2000). Umbi ganyong yang didapatkan dari daerah semplak, Bogor berumur 5 – 10 bulan. Sementara itu umur pembentukan pati optimum pada umbi ganyong adalah 7 – 10 bulan. Umur umbi tersebut akan mempengaruhi nilai rendemen yang dihasilkan. Varietas ganyong yang digunakan dalam penelitian ini adalah ganyong merah dan putih. Ciri-ciri ganyong merah

9 adalah batang lebih besar, agak tahan terhadap sinar dan tahan kekeringan, sulit menghasilkan biji, hasil umbi basah lebih besar tetapi kadar patinya rendah, umbi lazim dimakan segar (direbus). Sementara ganyong putih, memiliki ciri-ciri batang lebih kecil dan pendek, kurang tahan terhadap sinar tetapi tahan kekeringan, selalu menghasilkan biji dan bisa diperbanyak menjadi anakan tanaman (Direktorat Budidaya Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2002).

(a) (b)

Pati ganyong dapat diolah menjadi berbagai produk berbasis pati sebagai pengganti pati jagung, tapioka dan sagu. Manfaat lain dari pati ganyong adalah untuk campuran nasi jagung dan untuk bahan campuran pembuatan bihun yang bahan utamanya biasanya dari tepung beras (Koswara 2006). Piyachomkwan et al.

(2002) membandingkan sifat-sifat pati ganyong dengan pati singkong. Rendemen pati ganyong sebesar 4.1-4.9 ton/hektar ternyata lebih rendah daripada rendemen pati singkong yang mencapai 6.5 ton/hektar. Pati ganyong mempunyai ukuran granula yang lebih besar (10–8 μ , v s s s c pada pati ganyong lebih tinggi (930–1060 BU (Brabender Unit)) dan 815 BU pada pati singkong, namun pasta pati ganyong lebih stabil dan bila didinginkan mengalami peningkatan viskositas sampai 1800 BU. Gelatinisasi pati ganyong juga cepat membentuk gel yang lebih baik bila didinginkan. Tanaman ganyong tumbuh baik di dataran rendah maupun tinggi. Tumbuhan ini tahan beragam penyakit dan bisa ditanam di daerah perkebunan atau kehutanan. Oleh sebab itu, tanaman ini mudah dibudidayakan di Indonesia (Drajat 2008). Pati ganyong dibuat melalui tahapan pengupasan, pencucian, perendaman, ekstraksi, pengendapan, pengeringan, penggilingan, dan penyaringan. Pada saat pencucian juga dilakukan pengupasan kulit ari yang menyelubungi bagian ujung umbi, selanjutnya umbi baru dikupas secara keseluruhan. Pencucian dan pengupasan bertujuan untuk membersihkan akar, kotoran, dan memudahkan proses ekstraksi. Selanjutnya umbi direndam selama satu jam untuk melunakkan jaringan dan lebih mudah diparut karena umbi ganyong memiliki serat tinggi yang menyulitkan proses pemarutan. Pemarutan bertujuan untuk merusak jaringan dan sel-sel umbi sehingga pati dapat keluar. Pada saat pemarutan air juga ditambahkan untuk melancarkan proses pemarutan, keluarnya pati dan menyempurnakan kerusakan pada jaringan.

Proses ekstraksi dilakukan dengan memisahkan air dan pati dari ampas, pada proses ini ditambahkan air dengan rasio bahan banding air sebesar 1:3.5. Gambar 1 Jenis bahan baku (a) Umbi ganyong merah (b) Umbi ganyong putih

10

Ampas yang diperoleh selanjutnya diekstrak lagi sebanyak dua kali dengan rasio penambahan air yang sama. Hasil ekstraksi ini membentuk suspensi yang selanjutnya diendapkan selama 12 jam. Setelah 12 jam akan terbentuk endapan pati dan air pada bagian atas yang selanjutnya dialirkan keluar bak hingga tersisa endapan pati basah. Pengeringan dilakukan dengan oven suhu 50 °C selama enam jam. Bongkahan pati yang terbentuk digiling dengan blender dan disaring dengan saringan 60 mesh sehingga siap untuk digunakan dalam proses modifikasi.

Rendemen pati dihitung dari perbandingan berat kering pati dan berat umbi yang telah dikupas. Rendemen yang didapatkan dalam penelitian ini lebih kecil dari optimasi pati ganyong yang dapat diekstrak yaitu sekitar 17-18% (Damayanti 2002). Hal ini disebabkan karena umur dari umbi ganyong yang digunakan tidak seluruhnya termasuk ke dalam rentang umur yang menghasilkan pati maksimum. Berikutnya apabila dibandingkan antara dua kultivar, rendemen ganyong putih lebih tinggi dari pada ganyong merah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan Departemen Pertanian (2010) bahwa pada ganyong putih lebih umum diekstrak patinya karena memiliki kandungan pati yang lebih tinggi, sedangkan ganyong merah lebih umum diolah langsung. Akan tetapi petani di Bogor lebih suka menanam jenis merah. Rendemen yang diperoleh dari hasil ekstraksi pati ganyong merah dan putih dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Rendemen dan kadar air pati ganyong

Kultivar Berat pati (kg) Rendemen (%) Kadar air (%)

Ganyong Merah 1.245 9.76 8.81

Ganyong Putih 1.247 10.39 6.49

Semakin besar rendemen yang dihasilkan akan semakin baik karena hal itu akan mempengaruhi jumlah bahan baku yang dibutuhkan yang juga berdampak pada biaya produksinya. Setelah pati ganyong dihasilkan, selanjutnya dilakukan pengukuran kadar air. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui kandungan air yang terdapat dalam pati karena kadar air yang rendah menyebabkan mikroba perusak sulit untuk hidup, sehingga berpengaruh terhadap masa penyimpanan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Winarno (2004) bahwa kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran kadar air dapat dilihat bahwa kadar air berkisar antara 5.94 – 9.05%. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar air ini lebih rendah dari pada kadar air tepung terigu yaitu 13 – 15% dan masa simpan tepung terigu dengan kadar air di bawah 14% adalah satu tahun (Rahayu 2003). Dengan kadar air yang lebih rendah ini diharapkan pati ganyong dapat disimpan lebih lama pada suhu ruang dari pada tepung terigu.

Pati Modifikasi Resisten Tipe IV

Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa de g α-glikosida. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks (British Nutrition Foundation 2005). Aplikasi pati dalam proses pengolahan pangan sangat luas, namun sifat alami dari pati baik dari segi sifat fisik ataupun kimia menjadi hambatan bagi pengolahan produk pangan tertentu. Oleh karena itu, menurut Elliason (2004) untuk mendapatkan pati sesuai dengan

11 karakteristik produk pangan dan meningkatkan sifat fungsionalnya maka pati tersebut perlu dimodifikasi. Pati modifikasi adalah pati yang diberi perlakuan tertentu agar dihasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya, terutama sifat fisikokimia dan fungsionalnya atau untuk mengubah beberapa sifat lainnya (Saguilan et al. 2005). Pemodifikasian pati dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu modifikasi secara fisik, kimia dan enzimatis. Menurut Sangseethong et al. (2009) modifikasi pati dapat dibuat sesuai dengan sifat-sifat yang dikehendaki. Aplikasi dari pati modifikasi ini biasanya banyak digunakan dalam pembuatan salad cream, mayonnaise, saus kental, jeli marmable, produk-produk konfeksioneri (permen, cokelat, dan lain-lain), breaded food,

lemon curd, pengganti gum arab, dan lain-lain.

Perkembangan dari pati modifikasi kimia telah diperkenalkan kepada industri makanan, farmasi dan tekstil (Abbas et al. 2010). Perlakuan modifikasi ini menghasilkan pati resisten yang memiliki efek fisologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi resiko pembentukan batu empedu, memiliki efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak dan meningkatkan absorbsi mineral (Sajilata et al. 2006). Efek fisologis tersebut bekerja seperti fungsi serat pangan dalam tubuh, sesuai dengan yang dikatakan Nugent (2005) bahwa pati resisten memiliki karakteristik yang hampir sama dengan serat pangan, yaitu sifatnya yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan dan tidak dapat tercerna dalam usus halus tapi terfermentasi dalam kolon. Oleh karena itu, pati resisten diklasifikasikan ke dalam serat pangan. Berikut adalah proses reaksi saat modifikasi, dimana reaksi dimulai dengan substitusi gugus asetil, selanjutnya dapat terjadi reaksi sampingan berupa pembentukan natrium asetat.

Gambar 2 Reaksi yang terjadi saat modifikasi asetilasi pati dengan katalis basa Reaksi substitusi gugus asetil:

Reaksi pembentukan natrium asetat:

12

Pati resisten tipe IV dari umbi ganyong dibuat dengan mereaksikan pati dengan asetat anhidrida. Metode asetilasi biasa dilakukan secara komersial untuk memproduksi pati terasetilasi dengan derajat substitusi rendah dengan menggunakan asetat anhidrida pada pH basa (Xie et al. 2005). Reaksi antara pati dan asetat anhidrida akan memutus ikatan hidrogen dan digantikan oleh gugus asetil. Reagen ini dapat digunakan sendiri atau ditambah dengan katalis, selain itu dapat juga digunakan bersama dengan asam asetat, piridin, dan dimetil sulfoksida dalam larutan alkali (Rutenberg dan Solarek 1984).

Asetat anhidrat paling banyak digunakan dalam industri selulosa asetat untuk menghasilkan serat asetat, plastik serat kain dan lapisan film (Celanese 2010). Pada penelitian ini konsentrasi reagen yang diberikan dibedakan menjadi tiga, 3, 4 dan 5% dari berat kering pati. Penampakan pati resisten tipe IV tidak berbeda jauh dengan pati asal. Pemilihan asetat anhidrida sebagai reagen karena bersifat lebih reaktif. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hart et al. (2003) bahwa anhidrida jauh lebih nukleofili dibandingkan ester, tetapi kurang reaktif dibandingkan asil halida. Proses modifikasi menggunakan NaOH sebagai katalis. NaOH biasa digunakan sebagai katalis dalam proses asetilasi karena dapat menaikkan kecepatan reaksi awal (Villalobos dan Feria 2011).

Analisis Proksimat Pati Ganyong dan Pati Ganyong Terasetilasi

Analisis proksimat adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengetahui kadar suatu komponen tertentu dalam sampel secara estimasi. Komposisi kimia pada pati mempengaruhi kadar pati resisten yang akan dihasilkan, selain itu juga mempengaruhi suhu gelatinisasi. Menurut Bastian (2006) terjadi peningkatan kadar pati resisten secara signifikan setelah dilakukan hidrolisis protein dan lemak pada pati beras, yang semula 0.02 g/100 g berat menjadi 0.14 g/100 g berat. Berikut tabel hasil pengujian proksimat pati ganyong dan pati ganyong modifikasi.

Tabel 2 Komposisi Kimia Pati Ganyong dan Pati Ganyong Modifikasi

Komposisi Kimia (%) Sampel Merah Putih Pati Ganyong Merah PM 3% AA PM 4% AA PM 5% AA Pati Ganyong Putih PM 3% AA PM 4% AA PM 5% AA Kadar Air (%bb) 8.81 16.83 16.81 16.95 6.49 16.51 17.07 14.69 Kadar Abu (%bk) 0.41 0.30 0.23 0.27 0.37 0.36 0.36 0.31 Kadar Protein (%bk) 0.89 0.86 0.98 1.16 0.45 0.50 0.69 0.58 Kadar Lemak (%bk) 0.79 0.74 0.62 0.75 0.67 0.63 0.71 0.86 Kadar Karbohidrat (%bk) 97.88 98.10 98.17 97.82 98.53 98.51 98.25 98.25

13 Kadar Air

Air dalam bahan pangan berdasarkan derajat keterikatannya dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe I, II, III dan IV. Ketika sebagian air tipe II dihilangkan maka pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan seperti browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak akan dikurangi (Winarno 2004), sehingga kestabilan optimal bahan makanan dapat diperoleh. Kandungan air dalam bahan pangan yang berpengaruh terhadap daya tahan bahan makanan akan serangan mikroba dinyatakan dengan aw (water activity), yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Semakin besar kadar air maka semakin besar pula nilai aw. Hal tersebut berarti semakin lemah daya tahan bahan makanan tersebut terhadap serangan mikroorganisme sehingga daya simpannya pun semakin singkat.

Lemahnya daya simpan akibat kadar air yang tinggi tersebut berkaitan dengan laju reaksi relatif kapang, khamir, dan bakteri yang makin meningkat seiring dengan kenaikan aktivitas air. Oleh karena itu kadar air yang rendah lebih diharapkan. Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar air pati ganyong merah dan putih cukup rendah dibawah kadar air 14%, untuk masa penyimpanan satu tahun. Sementara itu untuk kadar air pati hasil modifikasi jauh lebih tinggi dari pada kadar air sebelumnya, yaitu sebesar 14 – 17% yang berarti hanya dapat disimpan dibawah satu tahun. Nilai kadar air yang meningkat setelah modifikasi dapat disebabkan oleh pengeringan pati modifikasi dilakukan dengan pengeringan udara sehingga sulit untuk mencapai kadar air yang rendah dibawah 14%.

Kadar Abu

Abu merupakan komponen anorganik yang tertinggal setelah semua karbon organik dibakar habis. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengurangan nilai kadar abu setelah modifikasi. Nilai ini memenuhi SNI 01-6057-1999 yaitu maksimal 0.5%. Namun kadar abu ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian lain yang menunjukkan kadar abu pati ganyong berkisar antara 0.19-0.23 % (Damayanti 2002), dan sebesar 0.2% (Richana dan Sunarti 2004).Adapun perbedaan kandungan dapat disebabkan oleh perbedaan varietas ganyong, pemberian pupuk dan tanah tempat tumbuh. Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan menjadi pati. Pati ganyong didapat dengan cara ekstraksi dan pencucian berulang dengan air. Pencucian tersebut dapat menyebabkan terlarutnya mineral dan hilang terbawa ampas sehingga kandungan mineralnya berkurang. Adapun sedikit perbedaan antara pati ganyong dengan pati yang telah dimodifikasi juga disebabkan oleh pencucian dan penyaringan kembali saat proses modifikasi. Kadar Protein dan Lemak

Kadar protein dan lemak merupakan komponen minor dalam pati. Syarat kadar protein dan lemak dalam pati tidak ditetapkan dalam SNI, namun kandungan protein ini menentukan sifat karakteristik pati tersebut. Dalam penelitian ini kadar protein dalam pati berkisar antara 0.45 – 1.16% (% bk). Rentang ini cukup besar bila dibandingkan dengan Damayanti (2002), kandungan protein pati ganyong berkisar antara 0.44 – 0.54% (% bk), dan cukup tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Chansri et al. (2005) yaitu 0.21 – 0.33% (% bk). Sementara itu kandungan lemak berkisar antara 0.6 – 0.8% (% bk). Kadar lemak pati ganyong yang dihasilkan cukup tinggi dibandingkan penelitian yang

14

telah dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian Richana dan Sunarti (2004) menghasilkan pati dengan kadar lemak 0.75% (% bk), sedangkan Damayanti (2002) sebesar 0.37 – 0.72% (% bk). Akan tetapi bila dibandingkan antara kedua jenis kultivar, ganyong merah mengandung protein dan lemak yang lebih tinggi. Walaupun kadar lemak dan protein yang tinggi dapat melengkapi kandungan gizi dalam pati tetapi keberadaannya tidak diharapkan karena dapat menurunkan kadar pati resisten. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sajilata et al. (2006) bahwa terdapat beberapa komponen pada pangan yang berinteraksi dengan pati dan pada akhirnya mempengaruhi pembentukan pati resisten antara lain: protein, serat pangan, enzim inhibitor, ion, dan lipid. Namun tidak terlihat perbedaan kandungan kimia antara pati ganyong dan pati ganyong yang telah dimodifikasi. Hal tersebut berbeda dengan modifikasi tipe III yang menunjukan perbedaan komposisi kimia. Dalam Pratiwi (2008) dijelaskan bahwa pati garut yang telah dimodifikasi menunjukan perbedaan komposisi kimia dengan pati garut tanpa perlakuan. Hal ini berarti perlakuan modifikasi tipe III dengan autoclaving-cooling secara berulang mengakibatkan perubahan komposisi kimia.

Kadar Karbohidrat

Penentuan kadar karbohidrat secara by difference menghasilkan perkiraan jumlah karbohidrat secara keseluruhan, baik karbohidrat sederhana maupun yang kompleks.Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan karbohidrat ganyong putih lebih tinggi. Oleh karena itu ganyong putih lebih cocok sebagai bahan baku pati resisten karena memiliki kadar rendemen yang lebih tinggi, kadar protein dan lemak yang lebih rendah, serta kadar karbohidrat yang lebih tinggi. Hal ini juga telah disebutkan sebelumnya bahwa ganyong putih memang lebih umum diambil patinya dari pada dimakan langsung (Departemen Pertanian 2010). Akan tetapi perbedaan kandungan karbohidrat tidak dilihat antara pati ganyong dan pati hasil modifikasi. Hal tersebut karena seluruh karbohidrat dihitung, baik kompleks maupun sederhana. Perbedaan akan terlihat pada kadar serat pangan.

Analisis Derajat Substitusi (DS)

Uji kadar gugus asetil yang tersubstitusi dilakukan untuk mengevaluasi pati ganyong hasil modifikasi dengan asetilasi. Pada penelitian ini digunakan variasi penambahan asetat anhidrida sebanyak 3, 4 dan 5%. Hasil pengujian derajat substitusi pada pati hasil modifikasi dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengujian derajat substitusi

Kultivar Perlakuan %Asetil DS

Ganyong Merah 3% Asetat Anhidrida 2.144 0.082

4% Asetat Anhidrida 4.284 0.168

5% Asetat Anhidrida 6.397 0.257

Ganyong Putih 3% Asetat Anhidrida 2.140 0.082

4% Asetat Anhidrida 4.282 0.168

5% Asetat Anhidrida 6.398 0.257

15 Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi asetat y g s y g g s OHˉ y g s s s oleh gugus asetil. Hal tersebut berarti semakin tinggi perbandingan asetat anhidrid dengan berat pati memberikan kesempatan lebih besar terhadap gugus asetil untuk tersubstitusi pada gugus hidroksil. Derajat substitusi meningkat karena konsentrasi asetat anhidrida yang lebih tinggi tidak hanya menimbulkan suatu tingkat benturan molekul yang tinggi tetapi juga ketersediaan molekul-molekul asetat anhidrida yang besar disekitar pati (Xu et al. 2012). Derajat susbstitusi terendah yaitu sebesar 0.082 pada perlakuan 3% asetat anhidrida dan terbesar yaitu 2.57 pada perlakuan 5% asetat anhidrida untuk kedua pati ganyong baik varietas merah atau pun putih. Sementara itu perlakuan 4% asetat anhidria menunjukkan derajat substitusi sebesar 0.168.

Berdasarkan US Food Drug Administration (FDA) nilai derajat substitusi dari pati asetat yang diizinkan dalam penggunaan makanan untuk meningkatkan

binding, thickening, stability, dan texturizing sebesar 0.01 – 0.2. Asetilasi pada derajat rendah dapat meningkatkan kekuatan pati seperti kekentalan, stabilitas, dan tekstur pati (Saputro et al. 2012). Pada penelitian ini derajat substitusi yang masuk dalam nilai yang diizinkan adalah yang didapat pada perlakuan 3 dan 4% asetat anhidrida. Sementara itu perlakuan 5% asetat anhidrida tidak diperkenankan diaplikasikan sebagai material bahan pangan karena nilai derajat substitusi yang melebihi ambang batas yang diizinkan FDA.

Berdasarkan atas nilai derajat substitusi yang diperoleh, dipilih sejumlah sampel yang selanjutnya akan diuji kadar pati resisten, kadar serat pangan dan daya cerna. Sampel yang terpilih adalah sampel dengan perlakuan 4% asetat anhidrida, karena nilai derajat substitusi dari sampel ini masuk dalam rentang yang diizinkan FDA dan nilainya lebih tinggi dari pada sampel dengan perlakuan 3% asetat anhidrida. Nilai derajat substitusi berbanding lurus dengan peningkatan kadar pati resisten dan kadar serat pangan yang akan menurunkan daya cerna pati tersebut. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Zieba et al. (2011) bahwa sifat resisten tersebut bergantung pada nilai total derajat substitusi dan derajat atom karbon substitusi dalam molekul anhydroglucose yang berdekatan dengan ikatan α-1,4-glikosida yang terhidrolisis.

Kadar Amilosa dan Amilopektin

Pati merupakan sumber utama karbohidrat dalam pangan. Pati adalah bentuk penting polisakarida yang tersimpan dalam jaringan tanaman, berupa granula dalam kloroplas daun dan dalam amiloplas pada biji dan umbi (Sajilata et al. 2006). Pati tersusun atas dua makromolekul, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa dan amilopektin memiliki perbedaan sruktur yang menyebabkan perbedaan ketahanan terhadap enzim pencernaan. Rantai bercabang dari amilopektin mempunyai sifat yang mudah sekali didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan, sedangkan amilosa tidak mudah didegradasi oleh enzim (Ananta 2006). Dalam menentukan kandungan amilosa dan amilopektin, terlebih dahulu ditentukan kadar pati total. Kadar pati total merupakan jumlah amilosa dan amilopektin. Namun komposisi perbandingan keduanya berbeda pada tiap jenis pati. Hal tersebut yang membuat setiap pati memiliki karakteristik yang berbeda. Kandungan pati total keempat jenis sampel tidak berbeda jauh, tetapi dapat dilihat

16

terjadi sedikit penurunan kadar pati total pada PM. Hal ini mungkin disebabkan karena ada pencucian dan penyaringan kembali saat proses modifikasi. Kadar pati total yang tinggi disebabkan proses ekstraksi yang dilakukan dua kali. Berbeda dengan penelitian Anggraini (2007) yang melakukan ekstraksi sekali saja sehingga mendapatkan rendemen yang lebih rendah. Selain itu juga ditentukan oleh jenis umbi dan umur tanamnya.

Tabel 4 Komposisi Amilosa dan Amilopektin Sampel Kadar Pati Total

(%bk)

Amilosa (%bk) Amilopektin (%bk)

Pati Ganyong Merah 87.33 24.06 63.27

Pati Ganyong Putih 86.59 25.54 61.05

PM Ganyong Merah 86.60 24.76 61.84

PM Ganyong Putih 86.07 26.24 59.83

Keterangan: PM adalah pati modifikasi

Menurut Aliawati (2003) kandungan amilosa dalam bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah dengan kadar < 10 %, kadar amilosa rendah 10 - 20 %, dan kadar amilosa sedang 20 – 24 %, dan kadar amilosa tinggi > 25 %. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kandungan amilosa pati ganyong merah tergolong sedang dan pati ganyong putih tergolong tinggi. Begitu juga dengan kandungan amilosa pada PM putih memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada PM merah. Pada penelitian ini, terjadi kenaikan kandungan amilosa pada pati setelah proses modifikasi tetapi hanya sedikit sekali. Amilosa memiliki rantai lurus yang panjang sehingga lebih sulit didegradasi oleh enzim dibandingkan amilopektin yang memiliki lebih banyak cabang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Parker (2003) bahwa amilosa yang memiliki ikatan α-1,4 glikosida yang tidak bercabang menyebabkan ikatan amilosa lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna. Oleh karena itu kandungan amilosa yang tinggi lebih berpotensi untuk dijadikan bahan baku pati resisten. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Shu et al. (2007) bahwa kandungan pati resisten yang tinggi berkolerasi dengan tingginya kandungan amilosa.

Gambar 3 Perbandingan amilosa pati ganyong dan pati ganyong modifikasi Amilopektin adalah polimer berantai cabang g α-1.4-glikosida

Dokumen terkait