• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fermentasiin VitroLimbah Udang dalam Cairan Rumen Domba

Limbah udang terdiri atas kepala, ekor, dan kulit udang yang biasanya diperoleh dari pembuangan industri pengalengan dan pembekuan udang. Limbah udang mempunyai kandungan protein dan mineral yang cukup tinggi. Shahidi dan Synowiecki (1992), mengemukakan bahwa limbah udang mengandung protein kasar 41.9%, kalsium karbonat 15.30% dan kitin 17.0%. Namun bila digunakan sebagai bahan ransum mempunyai faktor pembatas, yaitu adanya kitin yang berikatan kovalen  (1-4) glikosidik dengan protein dan mineral, sehingga sulit dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen. Oleh karena itu dilakukan pengolahan. Metode pengolahan yang dilakukan adalah pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1 atm) menggunakan autoklaf dengan tujuan agar terjadi hidrolisis pada ikatan glikosidik limbah udang untuk meningkatkan kecernaannya. Selain itu, dapat melindungi protein dari fermentasi mikroorganisme rumen. Hasil pengukuran nilai kecernaan dan produk fermentasi limbah udang secara in vitrodisajikan pada Tabel 5.

Kecernaan fermentatif in vitro bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) hidrolisat limbah udang secara nyata menurun (P<0.05) dengan meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan hingga 9 jam, walaupun antara waktu pengukusan disertai tekanan 6 dan 9 jam tidak berbeda nyata. Hasil sebaliknya terjadi pada kecernaan BK dan BO enzimatik yang secara nyata (P<0.05) meningkat seiring meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan. Pengukusan disertai tekanan hingga 9 jam hanya mampu meningkatkan nilai kecernaan BK total dari 59.02% menjadi 64.18% atau meningkat sebesar 8.7%.

Lamanya waktu pengukusan disertai tekanan mengakibatkan sebagian protein dari limbah udang menurun kelarutannya, yang ditunjukkan oleh nilai N-NH3yang semakin kecil berturut-turut dari 0, 3, 6, dan 9 jam adalah 18.65 mM, 15.78 mM, 12.82 mM, dan 12.12 mM. Menurunnya N-NH3karena meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan mengindikasikan sejumlah protein limbah udang menurun kelarutannya akibat pemanasan, sehingga tidak mudah di degradasi oleh mikroba rumen melalui pencernaan fermentatif. Hal ini terlihat

dari kecernaan protein fermentatif yang secara nyata (P<0.05) menurun seiring dengan meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan yaitu berturut-turut dari 0, 3, 6, dan 9 jam adalah 37.27, 35.70, 32.13, dan 31.89%. Begitu pula halnya dengan kitin yang mengandung nitrogen, kecernaan fermentatifnya juga menurun seiring dengan meningkatnya waktu pengukusan disertai tekanan yaitu berturut- turut dari 0, 3, 6, dan 9 jam adalah 24.29, 23.86, 23.22, dan 22.98%. Namun demikian, berdasarkan nilai N-NH3 yang dihasilkan oleh limbah udang sudah cukup untuk mendukung biofermentasi bagi mikroba rumen, sebab untuk mendukung biofermentasi di dalam rumen diperlukan kadar N-NH3 minimal sebesar 3.57 mM (Satter dan Slyter 1974).

Tabel 5 Rataan kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, kitin, dan produksi VFA, serta konsentrasi N-NH3 limbah udang dalam cairan rumen domba

P e u b a h Lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1atm)

0 jam 3 jam 6 jam 9 jam

KcBK: - Fermentatif (%) 40.27a± 1.74 38.70ab ± 1.70 35.13bc± 1.65 34.89c± 1.58 - Enzimatik (%) 18.75c± 0.28 22.45b ± 0.34 28.82a ± 0.42 29.29a± 0.51 - Total (%) 59.02b± 1.44 61.15ab ± 1.53 63.96a ± 1.65 64.18a± 1.57 KcBO: - Fermentatif (%) 49.30a± 0.31 48.66b ± 0.33 46.48c ± 0.25 46.31c± 0.23 - Enzimatik (%) 12.92c ± 0.20 14.01b ± 0.37 16.58a ± 0.41 16.62a ± 0.35 - Total (%) 62.23 ± 0.59 62.67 ± 0.62 63.06 ± 0.68 62.93 ± 0.64 KcPr: - Fermentatif (%) 37.27a± 2.02 35.70ab± 1.87 32.13b ± 1.99 31.89b± 2.16 - Enzimatik (%) 17.62b± 1.48 20.45b ± 1.94 25.82a ± 1.31 27.19a± 1.49 - Total (%) 54.89c± 1.10 56.15bc± 1.10 57.96ab± 1.31 59.08a± 0.70 KcKt: - Fermentatif (%) 24.29 ± 0.40 23.86 ± 0.54 23.22 ± 0.34 22.98 ± 0.56 - Enzimatik (%) 4.70 ± 0.20 4.66 ± 0.22 4.53 ± 0.15 4.50 ± 0.10 - Total (%) 28.99a± 0.28 28.51ab± 0.62 27.76bc± 0.40 27.48c± 0.46 VFA (mM) 102.19a± 2.00 101.11a ± 1.98 92.21b ± 1.79 86.25c± 1.74 N-NH3(mM) 18.65a± 0.41 15.78b ± 0.38 12.82c ± 0.27 12.12c± 0.20

Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. KcBK=kecernaan bahan kering, KcBO=kecernaan bahan organik, KcPr=kecernaan protein, dan KcKt=kecernaan kitin.

Menurunnya kecernaan fermentatif BK dan BO menghasilkan produk fermentasi yang berupa volatile fatty acid (VFA) sebagai sumber energi juga menurun (P<0.05) dengan semakin lamanya waktu pengukusan disertai tekanan. Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa pengukusan disertai tekanan selama 0 jam

belum berbeda dengan 3 jam, namun berbeda dengan 6 dan 9 jam berturut-turut 102.19 mM, 101.11, 92.21 mM, dan 86.25 mM.

Sebagai dasar untuk menentukan lama pengukusan disertai tekanan yang terbaik, dilakukan dengan membuat suatu evaluasi menggunakan sistem skor seperti pada Tabel 6, dengan kriteria penilaian sebagai berikut:

1. Konsentrasi N-NH3 yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara optimal (3.74 - 14.00 mM) diberi angka 1 dan yang tidak diberi angka 0

2. Konsentrasi VFA total yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba secara optimal (80 - 120mM) diberi angka 1 dan yang tidak diberi angka 0

3. KcBK, KcBO, dan KcPr total serta KcBK, KcBO, dan KcPr enzimatik yang tertinggi dan yang tidak berbeda dengan yang tertinggi diberi angka 1 dan yang berbeda diberi angka 0

4. KcBK, KcBO, dan KcPr fermentatif yang terendah dan yang tidak berbeda dengan yang terendah diberi angka 1 dan yang berbeda diberi angka 0.

Tabel 6 Skor penilaian lama pengukusan disertai tekanan yang terbaik pada limbah udang

P E U B A H Lama pengukusan (121ºC) disertai tekanan (1atm)

0 jam 3 jam 6 jam 9 jam

N-NH3 0 0 1 1 VFA 1 1 1 1 KcBK: - Fermentatif 0 0 1 1 - Enzimatik 0 0 1 1 - Total 0 1 1 1 KcBO: - Fermentatif 0 0 1 1 - Enzimatik 0 0 1 1 - Total 1 1 1 1 KcPr: - Fermentatif 0 1 1 1 - Enzimatik 0 0 1 1 - Total 0 0 1 1 S K O R 3 4 11 11

Berdasarkan hasil penilaian, diperoleh skor tertinggi pada pengukusan disertai tekanan selama 6 dan 9 jam masing-masing dengan nilai total 11. Oleh karena beberapa variabel kecernaan in vitro secara statistik tidak berbeda, maka dipilih perlakuan 6 jam dengan pertimbangan efisiensi, sebab waktu pengukusan disertai tekanan yang lebih singkat.

Konsumsi dan Kecernaan Nutrien pada Domba

Taraf penggunaan hidrolisat limbah udang hingga 30% dalam ransum domba lokal jantan menghasilkan konsumsi nutrien yang tidak berbeda (P>0.05) dibandingkan dengan kontrolnya maupun untuk semua taraf hidrolisat limbah udang (Tabel 7). Perbedaan taraf hidrolisat limbah udang di dalam ransum tidak menyebabkan perbedaan terhadap konsumsi BK ransum. Pemberian ransum dalam bentuk pelet tidak memberi kesempatan pada domba untuk memilih karena sudah menjadi satu kesatuan ransum komplit, sehingga jumlah nutrien yang dikonsumsi juga relatif sama diantara semua ransum. Bentuk pelet dari ransum menghasilkan tingkat palatabilitas relatif sama dari semua ransum walaupun taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum berbeda-beda.

Tabel 7 Rataan konsumsi nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang

P e u b a h Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum

0% 10% 20% 30% BK (g/e/h) 901.79 ± 60.27 934.44 ± 61.96 1007.47 ± 66.84 977.79 ± 66.43 BO (g/e/h) 685.40 ± 14.57 684.93 ± 15.39 696.06 ± 15.48 687.62 ± 13.44 PK (g/e/h) 155.51 ± 7.53 155.67 ± 5.69 161.56 ± 8.76 165.48 ± 8.81 LK (g/e/h) 52.23 ± 2.71 54.30 ± 3.38 55.73 ± 4.05 54.27 ± 3.10 SK (g/e/h) 150.16 ± 4.06 150.90 ± 4.85 152.10 ± 6.42 153.17 ± 5.23 ADF (g/e/h) 389.61 ± 13.43 400.63 ± 15.85 406.57 ± 13.52 428.68 ± 12.97 NDF (g/e/h) 556.98 ± 16.71 553.96 ± 15.44 552.01 ± 13.79 549.59 ± 13.66 Energi (kal/g) 3296.85 ± 109.18 3410.06 ± 165.67 3515.43 ± 173.41 3455.83 ± 197.30 Keterangan: BK=bahan kering, BO=bahan organik, PK=protein kasar, LK=lemak kasar,

SK=serat kasar, ADF=acid detergent fiber, NDF=neutral detergent fiber

Pada penelitian ini diperoleh nilai konsumsi BK dan BO antara 901.79 - 1007.47 g/e/h dan 684.93 - 696.06 g/e/h. Nilai konsumsi ini lebih tinggi dari yang dilaporkan sebelumnya oleh Puastuti dan Mathius (2008) yaitu konsumsi domba jantan fase pertumbuhan yang diberi ransum mengandung hidrolisat bulu ayam sebesar 787 - 887 g/h dan 711 - 810 g/h. Ternak akan berhenti makan setelah ransum yang dikonsumsi memenuhi kebutuhannya. Domba yang digunakan pada penelitian ini memiliki rata-rata bobot hidup 19.64 kg, mampu mengkonsumsi BK ransum sebanyak 901.79 - 1007.47 g/e/h atau sebesar 4.59 - 5.13% dari bobot hidupnya. Konsumsi BK ransum ini lebih tinggi dari yang direkomendasikan Kearl (1982) bahwa jumlah BK ransum yang dibutuhkan oleh ternak sebesar 3 - 4% dari bobot hidupnya. Begitu pula halnya yang dilaporkan sebelumnya

yaitu sebesar 3.3 - 3.5% (Puastutiet al. 2006; Puastuti dan Mathius 2008). Hal ini diduga akibat bentuk ransum yang diberikan tidak sama, dimana pada penelitian ini ransum yang diberikan adalah ransum total lengkap (total mixed ration) dalam bentuk pelet.

Konsumsi BK ransum yang tidak dipengaruhi oleh taraf penggunaan hidrolisat limbah udang menghasilkan konsumsi nutrien protein kasar (PK), lemak kasar (LK), energi, acid detergent fiber(ADF) dan neutral detergent fiber(NDF) yang tidak berbeda. Hal ini karena ransum yang diberikan adalah ransum total lengkap (total mixed ration) dalam bentuk pelet, dimana semua ransum perlakuan disusun dengan kadar protein sebesar 14.7% dan gross energy (GE) sebesar 3700 kal/g. Jumlah konsumsi PK sebesar 155.51 - 165.48 g/e/h sudah memenuhi kebutuhan domba untuk pertumbuhan, karena sudah melebihi dari rekomendasi Kearl (1982) yaitu sebesar 122 - 141 g/e/h untuk domba yang tumbuh dengan bobot hidup 25 kg.

Konsumsi lemak yang tidak berbeda diantara taraf hidrolisat limbah udang juga menghasilkan konsumsi SK, ADF, dan NDF yang serupa. Demikian juga besarnya konsumsi energi yang dihitung sebagaigross energy(GE) tidak berbeda diantara semua ransum. Namun ada tendensi meningkat dengan meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang (3296 kal/gvs3460 kal/g).

Berbeda dengan konsumsi nutrien yang tidak dipengaruhi oleh taraf hidrolisat limbah udang. Nilai kecernaan nutrien BK, BO, PK, LK, energi, dan ADF sangat dipengaruhi (P<0.01) oleh taraf hidrolisat limbah udang (Tabel 8).

Nilai kecernaan BK dan BO menurun seiring meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang. Pada penggunaan hidrolisat limbah udang sebesar 10%, nilai kecernaan BK dan BO tidak berbeda dengan ransum kontrol (0%), dan nilai kecernaan paling rendah pada taraf penggunaan hidrolisat limbah udang sebesar 30% atau terjadi penurunan sebesar 23.26% dan 16.38% masing-masing untuk BK dan BO. Hidrolisat limbah udang yang digunakan dalam ransum memiliki kecernaan yang rendah sehingga dengan meningkatnya taraf penggunaan dalam ransum menghasilkan kecernaan yang semakin menurun pula. Nilai kecernaan BK in vitro hidrolisat limbah udang dengan pengukusan disertai tekanan selama

6 jam sebesar 63.96% sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pengukusan disertai tekanan yaitu 59.02% (Tabel 5).

Tabel 8 Rataan kecernaan nutrien pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang

P e u b a h Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum

0% 10% 20% 30% BK (%) 65.94a ± 2.15 63.72a ± 2.28 56.76b ± 1.98 50.60c ± 1.93 BO (%) 66.83a ± 1.90 65.21a ± 1.69 60.75b ± 1.86 55.88c ± 1.91 PK (%) 82.17a ± 2.29 70.25b ± 2.38 67.99b ± 1.73 64.79c ± 1.77 LK (%) 93.86a ± 2.59 91.66a ± 1.87 90.78a ± 1.78 87.08b ± 1.27 SK (%) 40.00 ± 0.84 40.13 ± 1.01 40.63 ± 1.13 39.89 ± 0.92 ADF (%) 60.60a ± 2.14 59.73a ± 2.21 58.38a ± 7.71 55.25b ± 1.87 NDF (%) 55.51 ± 1.85 55.35 ± 1.74 54.95 ± 1.72 54.64 ± 1.83 Energi (%) 70.00a ± 0.74 66.80a ± 3.71 58.85b ± 2.24 53.91c ± 3.60 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata

(P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. BK=bahan kering, BO=bahan organik, PK=protein kasar, LK=lemak kasar, SK=serat kasar, ADF=acid detergent

fiber, NDF=neutral detergent fiber

Penggunaan hidrolisat limbah udang 10% sudah menghasilkan penurunan kecernaan PK, dan kecernaannya terus menurun dengan semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang di dalam ransum (Tabel 8) berturut-turut dari kontrol adalah 82.17%, 70.25%, 67.99%, dan 64.79%. Berbeda dengan yang dilaporkan oleh Haddad et al. (2005) dan Sato-Navarro et al. (2006) bahwa meningkatnya penggunaan protein by pass dapat meningkatkan kecernaan BK dan PK total. Nilai kecernaan PK pada penelitian ini lebih rendah dari laporan sebelumnya pada penggunaan hidrolisat bulu ayam sebesar 8.5% dalam ransum yaitu 69.66% (Puastuti dan Mathius 2008) dan pada ransum berbasis kulit buah kakao sebesar 66.8% (Puastuti et al. 2010). Hal ini menggambarkan bahwa protein dalam hidrolisat limbah udang sulit dicerna akibat pengukusan disertai tekanan dengan menggunakan autoklaf yang diduga akibat tingginya panas selama proses tersebut telah mempengaruhi protein terutama lisin dalam reaksibrowning.

Pada kecernaan lemak terjadi sedikit penurunan pada taraf penggunaan hidrolisat limbah udang sebesar 30%, sama halnya dengan nilai kecernaan serat ADF, sedangkan pada kecernaan serat NDF tidak menunjukkan perbedaan untuk semua taraf hidrolisat limbah udang. Terjadinya sedikit penurunan pada kecernaan lemak diikuti pula oleh menurunnya kecernaan energi ransum. Terlihat dengan jelas adanya pengaruh hidrolisat limbah udang terhadap penggunaan

lemak ransum, dimana lemak yang ada dalam ransum diikat oleh senyawa kitin dari hidrolisat limbah udang menjadi sulit dicerna dan pada akhirnya kecernaan energinya menurun juga. Disamping disebabkan oleh adanya kitin, menurunnya kecernaan serat ADF maupun NDF turut mempengaruhi kecernaan lemak. Kitin merupakan biopolimer yang mempunyai kemampuan mengikat lemak 4 - 5 kali lipat dari beratnya sendiri (Vahoundyet al. 1983).

Produk Fermentasi Rumen dan Alantoin Urin pada Domba

Guna mendukung aktivitas mikroba dalam rumen diperlukan kondisi dalam rumen yang ideal. Hasil pengamatan terhadap fermentabilitas ransum yang mengandung hidrolisat limbah udang pada domba, disajikan pada Tabel 9. Nilai pH cairan rumen merupakan kondisi yang diperlukan agar proses fermentasi dapat berjalan normal. Penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak mempengaruhi nilai pH cairan rumen. Pada penelitian ini ransum disusun sama dengan kadar PK sebesar 14.7%, sehingga tidak menunjukkan perbedaan nilai pH. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa ada perbedaan nilai pH dari ransum yang berkadar protein rendah dengan tinggi (14% vs 18%) (Ipharaguerre et al. 2005). Nilai pH cairan rumen masih dalam kisaran normal untuk mendukung biofermentasi mikroba. Bila nilai pH lebih besar dari 6, aktivitas mikroba rumen menjadi terganggu (McAllisteret al. 1994).

Ketersediaan N-NH3 sebagai sumber N pada sintesis protein mikroba menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Kadar N-NH3 berkisar antara 4.85 mM - 12.89 m. Nilai ini senada dengan pendapat sebelumnya bahwa kadar N-NH3 dalam rumen bervariasi dari 4 - 14 mM (Satter dan Slyter 1974; Sutardi 1979; Leng 1991). Jika kadar N-NH3 dalam rumen kurang dari 4 mM akan mengganggu kehidupan mikroba rumen (Satter dan Slyter 1974; Sutardi 1979) dan kadar N-NH3 yang lebih besar dari 14 mM sudah tidak lagi mendukung sintesis mikroba rumen (Leng 1991). Penggunaan hidrolisat limbah udang dalam ransum menghasilkan kadar N-NH3 yang semakin menurun dengan meningkatnya taraf dalam ransum. Hal ini sejalan juga dengan nilai kecernaan PK (Tabel 8), dimana nilai kecernaan semakin menurun dengan meningkatnya taraf penggunaan hidrolisat limbah udang. Meningkatnya penggunaan hidrolisat limbah udang

menghasilkan ketersediaan protein lebih sedikit yang dapat didegradasi oleh mikroba rumen untuk menghasilkan NH3. Namun disisi lain, sebagian protein ransum yang sulit dicerna di dalam rumen (by pass) juga memiliki kecernaan pascarumen yang rendah sehingga pada akhirnya menurunkan kecernaan total protein ransum.

Tabel 9 Rataan produk fermentasi rumen dan alantoin urin pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang

P e u b a h Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum

0% 10% 20% 30%

pH rumen 6.52 ± 0.32 6.54 ± 0.29 6.59 ± 0.30 6.66 ± 0.34 VFA (mM) 126.59a± 6.11 116.98ab± 8.56 110.97b± 5.17 89.45c± 4.64 N-NH3(mM) 12.89a± 0.58 9.34b ± 0.38 7.05c± 0.35 4.85d± 0.24

Alantoin urin (g/e/h) 1.27 ± 0.09 1.24 ± 0.10 1.19 ± 0.07 1.12 ± 0.07 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata

(P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan.

Ketersediaan energi dalam bentuk VFA di dalam rumen semakin menurun (P<0,01) dengan meningkatnya taraf penggunaan hidrolisat limbah udang. Keadaan ini didukung oleh kecukupan N-NH3dalam mendukung biofermentasi di dalam rumen sehingga produk fermentasi VFA menurun. Produk metabolisme protein mikroba dalam bentuk alantoin urine sedikit menurun, sehingga efektivitas fermentasi di dalam rumen menurun sebagaimana terlihat dari VFA yang dihasilkan. Jumlah alantoin urine pada penelitian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Zainet al. (2008) yaitu sebesar 49 - 73 mg/h.

Retensi Nitrogen, Pertumbuhan dan Konversi Ransum pada Domba

Menurunnya kecernaan protein ransum pada penggunaan hidrolisat limbah udang pada Tabel 8 menghasilkan jumlah retensi N yang tidak berbeda di antara semua ransum. Taraf penggunaan hidrolisat limbah udang yang semakin besar tidak mempengaruhi jumlah N yang teretensi. Hal ini menggambarkan bahwa sejumlah protein yang tidak tercerna di dalam rumen juga kurang dapat dicerna di dalam pencernaan pascarumen, sehingga jumlah N yang tertinggal di dalam tubuh sama untuk semua taraf penambahan hidrolisat limbah udang. Hidrolisat limbah udang pada penelitian ini memiliki kecernaan yang rendah yaitu kecernaan fermentatif sebesar 31.89% dan enzimatis sebesar 27.19% (Tabel 5). Data neraca

nitogen (Tabel 10) menunjukkan bahwa konsumsi N yang ditingkatkan dengan semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang diikuti dengan meningkatnya jumlah N yang dibuang lewat feses. Keadaan ini menggambarkan bahwa protein yang by pass dari rumen memiliki kecernaan pascarumen yang rendah. Sementara itu sejumlah protein dengan kelarutan tinggi dalam rumen tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk biosintesis mikroba rumen, sebagian besar dibuang lewat urine dalam bentuk urea. Sebagai konsekuensinya jumlah N yang teretensi menjadi tidak berbeda untuk semua taraf hidrolisat limbah udang. Nilai retensi N berkisar antara 8.19 - 8.41 g/e/h mampu mendukung pertumbuhan sebesar 88.24 - 113.24 g/h pada domba lokal jantan muda. Nilai retensi N yang dihasilkan pada penelitian ini sebanding dengan yang dilaporkan oleh Zain et al. (2008) sebesar 8.56 g/e/h pada domba lokal muda yang diberi ransum kontrol berupa rumput dan konsentrat. Sebaliknya kecernaan N yang tinggi belum menjamin besarnya manfaat N tersebut bagi tubuh, karena dipengaruhi oleh metabolisme protein di dalam sel. Semakin tinggi produk metabolit yang dibuang lewat urin menunjukkan bahwa nilai manfaat protein rendah. Seperti yang dilaporkan oleh Ipharraguerre dan Clark (2005) bahwa meningkatnya taraf protein ransum dari rendah menjadi tinggi menghasilkan konsumsi N dan jumlah N yang diekskresikan melalui feses dan urin yang tinggi pula.

Tabel 10 Neraca nitrogen pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang

P e u b a h Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum

0% 10% 20% 30%

N Konsumsi 24.13bc± 2.57 21.41c± 1.10 26.35ab± 1.98 27.48a ± 1.57 N Feses 4.31b ± 0.49 5.52b± 0.38 8.52a ± 1.10 9.60a ± 1.68 N Urin 11.56a ± 2.29 7.71b± 1.08 9.42ab± 0.69 9.55ab± 0.40 Retensi N (g/e/h) 8.27 ± 1.17 8.19 ± 0.99 8.41 ± 1.54 8.33 ± 1.01 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata

(P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. N=nitrogen

Bobot potong dan pertambahan bobot hidup (PBH) terkait dengan pertumbuhan domba lokal jantan. Rataan bobot potong dan PBH (Tabel 11) memperlihatkan bahwa sampai taraf 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak memberikan perbedaan, tetapi berbeda (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan dengan taraf 30%. Walau demikian, PBH terlihat ada kecenderungan menurun

seiring dengan meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum. Penggunaan hidrolisat limbah udang hingga taraf 20% mampu menggantikan penggunaan bungkil kedelai dalam ransum domba dengan ditunjukkan oleh PBH yang tidak berbeda dengan ransum kontrolnya (108.47, 110.35 vs 113.24 g/e/h). Ransum dengan sumber protein hidrolisat limbah udang belum mampu meningkatkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan ransum kontrol dengan sumber protein bungkil kedelai. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya kadar kitin dalam ransum sehingga kecernaan energi dan LK ransum semakin menurun. Oleh karena kitin mampu mengikat lemak dalam proses penghambatan absorbsi lemak sehingga lemak akan terikat oleh kitin menjadi senyawa yang tidak dapat diabsorbsi. Menurunnya PBH bisa jadi karena menurunnya deposit lemak, sementara deposit protein ke dalam jaringan otot meningkat sehingga akan meningkatkan jaringan otot/urat daging yang dihasilkan. Ali et al. (2009) mengemukakan bahwa meningkatnya protein by pass dalam ransum akan meningkatkan pasokan asam amino ke dalam usus halus. Ketersediaan asam amino ini selanjutnya digunakan oleh ternak untuk pertumbuhan.

Tabel 11 Rataan bobot awal, bobot potong, pertambahan bobot hidup, dan konversi ransum pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang

P E U B A H Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum

0% 10% 20% 30%

Bobot awal (kg) 14.88 ± 0.47 15.25 ± 0.53 15.23 ± 0.52 15.38 ± 0.48 Bobot potong (kg) 24.50a± 0.76 24.45a± 0.72 24.58a± 0.79 22.83b± 0.61 PBH (g/e/h) 113.24a± 5.58 108.47a± 7.24 110.35a± 7.39 88.24b± 4.96 Konversi ransum 7.96b± 0.75 8.82b± 0.69 9.17b± 0.71 11.08a± 0.84 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata

(P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. PBH=pertambahan bobot hidup

Bobot potong pada penelitian ini masing-masing untuk perlakuan taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum yaitu 24.50, 24.45, 24.58, dan 22.83 kg, sesuai yang dilaporkan oleh Sabrani dan Levine (1993) bahwa bobot hidup tertinggi untuk domba lokal jantan adalah 25 kg. Pertambahan bobot hidup domba lokal jantan pada penelitian ini yaitu 113.24, 108.47, 110.35, dan 88.24 g/e/h masing-masing untuk perlakuan taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum. Hal ini masih dalam kisaran pertambahan bobot

hidup domba lokal yang dilaporkan oleh Yaminet al. (2009) yaitu 54 - 174 g/e/h. Namun, sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Joseph (2007) pada domba lokal jantan yang mendapat suplementasi sabun kalsium 5 dan 10% yaitu 104.0 dan 106.29 g/e/h. Hasil penelitian ini, juga lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rachmadi (2003), Kaunang (2004), dan Uhi (2005) masing-masing mendapatkan PBH tertinggi domba lokal jantan muda yaitu 54.97, 61.00, dan 75.59 g/e/h.

Nilai konversi ransum mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan ransum. Semakin kecil nilainya berarti efisiensi penggunaan ransum semakin baik. Hidrolisat limbah udang sebagai sumber proteinby passdan sumber kitin sampai penggunaan 20% dalam ransum juga menghasilkan efisiensi yang tidak berbeda dengan ransum kontrol. Nilai konversi yang semakin meningkat menunjukkan penggunaan hidrolisat limbah udang sebagai sumber protein by pass belum dimanfaatkan secara optimal oleh ternak untuk pertumbuhannya. Berbeda dengan laporan Can et al. (2004) bahwa penggunaan ransum dengan kadar PK 16% ditambah 5% protein by pass mampu meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum pada domba. Nilai rataan konversi ransum (F/G) pada domba lokal jantan berkisar antara 7.96 - 11.08 (Tabel 11). Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai konversi ransum ideal untuk domba yang diberi biji- bijian yaitu 7-8 (Speedy 1980). Hal ini mungkin disebabkan oleh jenis domba, perbedaan bentuk ransum, dan sumber biji-bijian yang digunakan. Bentuk ransum yang digunakan dalam penelitian ini berupa pelet. Selain itu, juga disebabkan oleh kecernaan ransum yang menurun akibat semakin meningkatnya taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum.

Sifat dan Komposisi Karkas pada Domba

Bobot karkas adalah bobot hidup setelah dikurangi bobot saluran pencernaan, darah, kepala, kulit dan keempat kaki mulai dari persendian carpus atau tarsus ke bawah (Berg dan Butterfield 1976). Rataan bobot tubuh kosong, bobot karkas segar, persentase karkas segar, dan luas urat daging mata rusuk (udamaru) pada domba lokal jantan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Rataan bobot tubuh kosong, bobot karkas segar, persentase karkas segar, dan luas urat daging mata rusuk pada domba lokal jantan yang diberi ransum mengandung limbah udang

P e u b a h Taraf hidrolisat limbah udang dalam ransum

0% 10% 20% 30%

Bobot tubuh kosong (kg) 20.63a± 0.58 21.21a± 0.61 20.86a± 0.54 18.37b± 0.50 Bobot karkas segar (kg) 11.72a± 0.34 11.72a± 0.36 11.75a± 0.37 10.17b± 0.30 Persentase karkas segar (%)* 56.81 ± 0.43 55.25 ± 0.25 56.31 ± 0.64 55.36 ± 1.66 Luas udamaru (cm2) 10.90 ± 1.39 11.20 ± 1.77 11.92 ± 2.10 9.13 ± 1.78 Keterangan: Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01) berdasarkan uji jarak berganda Duncan. *Berdasarkan bobot tubuh kosong. Luas udamaru=luas urat daging mata rusuk

Bobot tubuh kosong (empty body weight) dan bobot karkas segar antara taraf 0, 10, dan 20% hidrolisat limbah udang dalam ransum tidak memberikan perbedaan, tetapi berbeda lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan taraf 30%. Hal ini sejalan dengan bobot potong dan PBH karena pada taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum sudah tidak mampu mencukupi nutrien yang dibutuhkan oleh ternak untuk bertumbuh sebagaimana yang terlihat pada kecernaan nutrien ransum (Tabel 8) yang semakin menurun. Namun secara persentase berdasarkan bobot tubuh kosong, karkas tidak berbeda (P>0.05) diantara taraf limbah udang dalam ransum. Hal ini disebabkan oleh rendahnya bobot tubuh kosong pada taraf 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum dan perbedaan bobot komponen non-karkas. Berg dan Butterfield (1976) mengemukakan bahwa persentase karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot ternak, bangsa ternak, proporsi bagian-bagian non karkas, ransum yang diberikan dan cara pemotongan.

Gambar 10 Karkas segar bagian luar dan dalam domba lokal jantan.

Rataan persentase karkas segar berdasarkan bobot tubuh kosong pada penelitian ini masing-masing pada taraf 0, 10, 20, dan 30% hidrolisat limbah udang dalam ransum yaitu 56.81, 55.25, 56.31, dan 55.36%. Hasil ini masih dalam kisaran persentase karkas domba lokal yang dilaporkan oleh Amsar et al. (1984) yaitu 47.5 - 60%. Hal ini berarti bahwa penggunaan hidrolisat limbah

Dokumen terkait