• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. 1 PENGGILINGAN JAGUNG

Jagung di Indonesia dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan. Tahap awal pengolahan jagung melalui proses penggilingan, kemudian menghasilkan produk yang diinginkan. Terdapat dua jenis penggilingan jagung, penggilingan basah dan penggilingan kering. Proses penggilingan kering menghasilkan produk utama berupa tepung jagung, sedangkan hasil sampingnya antara lain berupa ampok dan grits jagung.

Tepung jagung berasal dari bagian endosperma biji jagung yang digiling hingga diperoleh hasil gilingan yang sangat halus. Minyak jagung diperoleh dari bagian lembaga biji jagung yang diekstrasi dengan pelarut. Selama proses pemisahan, endosperma untuk pembuatan tepung dan lembaga (germ) untuk pembuatan minyak, menghasilkan beberapa sisa hasil penggilingan berupa: kulit ari (bran), sedikit lembaga (germ) yang tidak terolah sempurna, tudung pangkal biji (tip cap), dan sebagian endosperma yang keras (horny endosperma). Keempat bagian tersebut merupakan penyusun dari ampok jagung. Diagram alir penggilingan kering jagung disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram alir proses penggilingan kering jagung (Rausch dan Ronald 2006)

Sebagai bahan rujukan, untuk mengetahui jumlah ampok yang diperoleh dari bahan baku jagung pada industri penggilingan jagung dapat dilihat pada neraca massa yang disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan neraca massa dari bahan baku awal jagung sebanyak 15000 kg, jumlah ampok yang dihasilkan sebanyak 2545 kg atau jumlahnya setara dengan 16,96%. Ampok jagung sebagian besar dimanfaatkan sebagai pakan ternak dengan harga jual rendah. Melihat jumlah ampok yang cukup banyak dari industri penggilingan jagung, terdapat peluang untuk mengoptimalkan ampok menjadi produk dengan nilai jual lebih tinggi.

14

Gambar 8. Neraca massa proses pembuatan tepung jagung (Suryawijaya 2009)

4. 2 KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

Terdapat dua jenis bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu tepung ampok dan grits. Keduanya memiliki karakteristik masing-masing dalam Komponen kimia maupun sifat fungsionalnya. Bahan baku ampok dan grits diperoleh dari sentra industri penggilingan jagung di daerah Bojonegoro, Jawa Timur. Bahan diidentifikasi penampakan fisiknya menggunakan saringan, hasilnya diperoleh ampok dan grits berturut-turut lolos saringan 35 mesh dan 65 mesh. Penampilan bahan yang telah diayak dapat dilihat pada Gambar 9.

Terlihat perbedaan warna antara kedua bahan yang digunakan, ampok berwarna coklat sedangkan grits berwarna kuning. Hal ini disebabkan kemungkinan ampok dan grits merupakan bagian dari biji jagung yang berbeda. Ampok diduga komponennya lebih banyak mengandung lembaga yang menimbulkan warna coklat, sementara grits mengandung lebih banyak endosperma keras sehingga dominan berwarna kuning.

(a) (b)

15

Komponen kimia dari suatu bahan merupakan kandungan zat yang terdapat pada bahan dan mempunyai fungsi tertentu dalam proses yang melibatkan bahan tersebut (Fellows 2000). Pada Tabel 3 disajikan Komponen kimia dari ampok dan grits alami, yaitu bahan sebelum mengalami berbagai perlakuan pengujian.

Tabel 3. Komponen kimia bahan baku Komponen Kimia Jenis Ampok Grits Air (%) 9,87 10,49 Abu (% bk) 3,63 0,72 Lemak (% bk) 10,19 4,17 Protein (% bk) 10,32 7,47 Serat Kasar (% bk) 6,10 0,01 Karbohidrat (by difference) (% bk) 69,75 87,63 Pati (% bk) 64,61 72,29

Acid Detergent Fiber

(ADF) (%) 9,61% 1,68%

Neutral Detergent

Fiber (NDF) (%) 72,67% 68,84%

Kadar air perlu ditetapkan sebab sangat berpengaruh terhadap daya simpan bahan. Proses pengeringan sangat berpengaruh terhadap kadar air yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air dalam suatu bahan maka semakin besar juga kemungkinan bahan tersebut rusak atau tidak tahan lama. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air suatu bahan sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan bahan dapat dihambat. Batas kadar air minimum mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% (Fardiaz 1989). Berdasarkan hasil analisis, nilai kadar air ampok dan grits masih cukup rendah, yaitu berkisar antara 9,87-10,49% sehingga masih layak untuk disimpan dalam jangka panjang.

Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak mudah terbakar selama proses pembakaran. Berdasarkan hasil analisis kadar abu ampok dan grits diperoleh nilai berturut-turut 3,63 dan 0,72%. Sehingga dapat dikatakan kandungan mineral ampok lebih banyak dibandingkan grits.

Hasil analisis kadar lemak menunjukkan nilai yakni 10,19% untuk ampok dan 4,17% untuk grits. Pada Tabel 3 terlihat bahwa ampok memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi, hal ini dapat menyebabkan ampok mengalami proses ketengikan, yaitu munculnya bau dan rasa tengik. Pada umumnya lemak pada jagung banyak terdapat di bagian lembaga, sehingga bisa dikatakan ampok lebih banyak

16

mengandung lembaga dibandingkan grits. Hasil analisis kadar lemak ini mendukung kemungkinan ampok mengandung lembaga.

Kandungan protein dalam jagung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Kandungan protein tinggi sangat diharapkan pada jagung dan produk turunannya. Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan protein jagung yang tidak memerlukan bahan tambahan lain dalam aplikasinya. Berdasarkan hasil analisis kadar protein berturut-turut ampok dan grits diperoleh hasil 10,32 dan 7,47%. Sekitar 70% protein jagung terdapat pada bagian endosperma.

Kadar serat kasar terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan sebagian kecil hemiselulosa. Pada Tabel 3 terlihat nilai kadar serat kasar ampok dan grits yakni 6,10% dan 0,01%. Kadar serat kasar pada jagung dapat dipengaruhi oleh umur panen jagung. Menurut Damarjati et al. (2000), kurangnya informasi yang tepat mengenai kemasakan jagung sehingga sukar untuk menentukan waktu panen yang tepat. Jika kandungan pati pada bahan telah optimum, maka pati secara perlahan akan turun dan mulai terjadi perubahan menjadi serat.

Komponen kimia utama pada biji jagung adalah pati, yaitu 70% dari bobot biji. Berdasarkan hasil analisis, kadar pati ampok bernilai 64,61% sedangkan grits bernilai 72,29%. Berdasarkan Lorenz dan Karel (1991), kandungan kimia terbesar dari bagian endosperma biji jagung adalah pati (86,4%), maka analisis kadar pati ini mendukung kemungkinan grits mengandung lebih banyak bagian endosperma biji jagung, sehingga penampakan fisiknya berwarna dominan kuning. Kadar pati yang cukup tinggi ini menggambarkan bahan baku cocok dimanfaatkan untuk produk pangan.

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), terdapat standar mutu hasil ikutan pengolahan jagung (ampok) yang harus dipenuhi sebagai berikut:

Tabel 4. Persyaratan mutu hasil ikutan pengolahan jagung (ampok)

Sumber: SNI 01-4484-1998, BSN (1998)

Mengacu pada Tabel 4 dapat terlihat bahan baku ampok yang digunakan dalam analisis ini seluruhnya memenuhi kriteria SNI.

4. 3 KARAKTERISTIK ENZIM

Karakterisasi enzim dilakukan untuk mengetahui suhu dan pH optimum, sehingga didapatkan nilai optimum aktivitas enzim yang digunakan. Karakterisasi enzim diperlukan untuk mengetahui jumlah enzim yang ditambahkan pada campuran dalam proses modifikasi ampok dan grits. Hasil karakterisasi enzim disajikan pada Tabel 5.

No. Komponen Syarat Mutu 1. Air (maksimum) % 12 2. Protein (minimum) % 9 3. Serat (maksimum) % 9 4. Abu (maksimum) % 10 5. Lemak (minimum) % 5

17

Tabel 5. Karakteristik selulase dan xilanase

Jenis Enzim pH Optimum Suhu Optimum (oC) Aktivitas (U/ml) Selulase (CMC-ase) 5 60 1,83 x 105

Xilanase 6 50 2,45 x 107

Berdasarkan karakteristik enzim yang diperoleh, selanjutnya dilakukan proses pengujian aktivitas relatif terhadap selulase dan xilanase. Hasil pengujian memperlihatkan pada suhu 50oC aktivitas xilanase bernilai maksimum, sedangkan selulase bernilai lebih rendah sedikit dibandingkan xilanase. Sementara pada suhu 60oC aktivitas selulase bernilai maksimum, sedangkan xilanase bernilai sangat rendah jauh di bawah selulase. Sehingga hasil uji aktivitas relatif enzim ini dapat digunakan untuk menetapkan kondisi aktivitas optimum selulase dan xilanase. Aktivitas relatif selulase dan xilanase disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Aktivitas selulase dan xilanase pada berbagai suhu

4. 4 TEPUNG AMPOK DAN GRITS TERMODIFIKASI

Produksi tepung termodifikasi dibagi menjadi tiga tahapan proses, yaitu (1) pencampuran bahan baku dengan enzim (2) pengeringan menggunakan alat drum dryer (3) penghalusan ukuran. Tahap pertama yaitu proses pencampuran bahan dengan selulase dan xilanase. Bahan baku yang digunakan dicampurkan dengan selulase dan xilanase agar mendapatkan konsentrasi campuran sebesar 30%. Kemudian dilakukan inkubasi pada suhu 50o

Tahap selanjutnya yaitu proses pengeringan menggunakan alat pengering drum dryer. Campuran dituangkan perlahan melalui bagian atas drum dryer untuk dialirkan pada drum yang berputar (Gambar 11). Dinding drum yang panas akan menguapkan air pada bahan sehingga bahan menjadi kering. Bahan yang telah kering dilepaskan dari drum dengan menggunakan pisau kikis yang diatur jaraknya terhadap

drum (Gambar 12). Kemudian bahan kering tersebut akan mengalir ke bawah dan ditampung dengan C dalam tiga waktu berbeda, yaitu 0, 3, dan 6 jam. Pada analisis ini terdapat kontrol yakni satu campuran tidak dicampur dengan enzim tetapi menggunakan aquades.

18

menggunakan wadah yang telah disediakan. Kecepatan putar drum dryer diatur sebesar 4 dan 8 rpm, sehingga dapat dibedakan pengaruh bagi bahan terhadap perbedaan kecepatan putar alat.

Menurut Ariwibowo (2006), semakin lambat putaran drum akan menghasilkan pati yang semakin tergelatinisasi. Semakin lambat putaran drum maka pati semakin lama bersentuhan dengan drum yang menyebabkan proses pragelatinisasi pati berjalan baik, sehingga dalam analisis ini pati yang mengalami pragelatinisasi menggunakan putaran 4 rpm memberikan hasil yang baik. Hal ini dapat dilihat dari penampakan fisik, tepung ampok termodifikasi dengan putaran 8 rpm berwarna kuning muda berbeda dengan putaran 4 rpm yang terlihat kering sempurna sehingga berwarna kecoklatan.

Campuran yang tidak menggunakan enzim (waktu 0 jam) memiliki viskositas yang tinggi karena memerlukan waktu yang cukup lama untuk melarut dalam aquades. Hal tersebut berdampak pada proses pragelatinisasi, campuran belum larut sempurna, sehingga ketika dituang ke dinding drum masih banyak bahan baku tepung menggumpal yang menyebabkan proses pragelatinisasi menjadi tidak sempurna. Sedangkan campuran menggunakan enzim tidak mengalami hal seperti itu, bahan baku tepung larut dengan sempurna yang menjadikan proses pragelatinisasi berjalan baik. Hal ini dipengaruh proses hidrolisis oleh enzim dalam mengurai komponen serat yang terkandung dalam bahan baku ampok dan grits.

Proses modifikasi secara enzimatis menyebabkan struktur serat yang menyelimuti pati menjadi lunak, pecah, kemudian terbuka. Kondisi ini menyebabkan pati pada ampok dan grits alami dari jenis resisten tipe 1, yaitu pati yang secara fisik terperangkap dalam sel jaringan tanaman, mengalami perubahan menjadi pati yang terlepas dan dapat keluar dari sel jaringan tanaman sehingga pati dapat dicerna sekaligus meningkatkan jumlahnya pada saat pengukuran.

Tahapan terakhir adalah penyeragaman ukuran untuk memperhalus tekstur tepung hasil modifikasi. Kemudian tepung disimpan sementara dalam kemasan plastik polietilen untuk dipergunakan dalam proses karakterisasi.

19

Gambar 12. Pisau kikis drum dryer

4. 5 KOMPONEN KIMIA TEPUNG AMPOK DAN GRITS TERMODIFIKASI

Pengujian terhadap komponen kimia tepung hasil modifikasi penting untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada bahan setelah diberikan perlakuan penambahan enzim serta pragelatinisasi menggunakan drum dryer. Perubahan dilihat melalui nilai yang terkandung pada beberapa uji yang dilakukan, kemudian dibandingkan dengan komponen kimia bahan baku awal. Uji yang dilakukan dalam analisis ini, meliputi: kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, kadar pati, dan nilai NDF (Tabel 6). Penampakan tepung hasil modifikasi sebelum dihaluskan dapat dilihat pada Gambar 13.

(a) (b)

(a) (b) Gambar 13. Tepung (a) Ampok (b) Grits termodifikasi

Analisis ragam (Lampiran 4 A) menunjukkan waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar drum dryer berbeda nyata terhadap kadar air tepung ampok dan grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, tepung ampok kombinasi perlakuan E3R1 memiliki kadar air terendah sebesar 7,69%. Pada tepung ampok kadar air bahan awal sebesar 9,87%, hasil analisis memperlihatkan nilai kadar air tepung ampok cenderung menurun setelah diberi perlakuan inkubasi enzim hingga 6 jam (E3) dan pada putaran rendah drum dryer 4 rpm (R1). Persentase menurunnya nilai kadar air tepung ampok mencapai 22%.

Tabel 6. Komponen kimia tepung ampok dan grits termodifikasi

Keterangan :

A1 : Bahan baku awal ampok A2 : Bahan baku awal grits

E1R1 : tanpa inkubasi enzim, putaran drum dryer 4 rpm E1R2 : tanpa inkubasi enzim, putaran drum dryer 8 rpm E2R1 : dengan inkubasi enzim 3 jam, putaran drum dryer 4 rpm E2R2 : dengan inkubasi enzim 3 jam, putaran drum dryer 8 rpm E3R1 : dengan inkubasi enzim 6 jam, putaran drum dryer 4 rpm E3R2 : dengan inkubasi enzim 6 jam, putaran drum dryer 8 rpm

*Nilai dengan notasi Duncan sama pada baris yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Komponen Kimia Ampok (A1) Grits (A2)

A1 E1R1 E1R2 E2R1 E2R2 E3R1 E3R2 A2 E1R1 E1R2 E2R1 E2R2 E3R1 E3R2 Air (%) 9,87 8,47d 9,37b 8,88c 11,35a 7,69e 8,45d 10,49 5,58c 9,48b 6,81c 11,20ab 11,78a 11,41ab Abu (% bk) 3,63 3,48 3,35 a 3,55 a 3,38 a 3,63 a 3,47 a 0,72 a 0,30c 0,72bc 0,55bc 0,87b 1,80a 0,57bc Protein (% bk) 10,32 10,75a 10,10a 11,32a 11,01a 10,91a 11,09a 7,47 8,10a 7,66b 7,69b 7,69b 7,67b 7,67b Lemak (% bk) 10,19 9,19 9,01 a 9,26 a 9,85 a 8,76 a 9,02 a 4,17 a 2,43a 2,61a 1,93b 1,20c 1,81b 1,76b Serat (% bk) 6,10 3,68a 4,52a 4,21a 4,87a 3,89a 3,79a 0,01 0,13a 0,05a 0,75a 0,61a 0,15a 0,32a Karbohidrat (by difference) (% bk) 69,76 72,90 73,02 a 71,66 a 70,89 a 72,81 a 72,63 a 87,63 a 89,03a 88,94a 89,06a 89,63a 88,55a 89,67a Pati (% bk) 64,61 72,10c 69,52d 73,44b 73,48b 74,48a 72,84bc 72,29 67,73a 66,57a 69,55a 70,41a 75,93a 72,96a ADF (%) 9,61 18,80 12,44 a 23,64 a 16,61 a 13,92 a 8,05 a 1,68 a 2,07a 12,35a 12,72a 26,67a 3,22a 3,84a

20

21

Inkubasi selama 6 jam berakibat pemanasan lebih lama dan putaran rendah drum dryer (4 rpm) menjadikan kontak tepung dengan drum dryer semakin lama sehingga air yang menguap dari ampok juga semakin banyak.

Berdasarkan uji lanjut Duncan, tepung grits kombinasi E1R1 memiliki nilai kadar air terendah sebesar 5,58%. Bahan baku awal grits memiliki nilai kadar air sebesar 10,49%, hasil analisis memperlihatkan kadar air mengalami penurunan sebesar 46%. Pada perlakuan E1R1 tidak dilakukan inkubasi enzim sehingga faktor yang berpengaruh terhadap kadar air hanya kecepatan putar drum dryer

yang dalam hal ini 4 rpm sehingga kadar air E1R1 terendah dibandingkan perlakuan lain.

Pada analisis kadar air diharapkan kombinasi perlakuan yang terbaik dapat mengurangi kadar air bahan tepung agar memperpanjang umur simpan tepung. Berdasarkan SNI 01-4484-1998, kadar air ampok maksimal adalah 12%, mengacu pada hal tersebut maka kadar air tepung ampok seluruh kombinasi telah memenuhi standar mutu ampok dengan kadar air kurang dari 12% sehingga memenuhi syarat untuk dilakukan proses penyimpanan.

Analisis ragam (Lampiran 4 B) menunjukkan antara faktor waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kadar abu grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E3R1 mengandung kadar abu terbanyak sebesar 1,8% sementara E1R1 hanya mengandung kadar abu sebesar 0,30%. Jika melihat kadar abu bahan baku awal grits sebesar 0,72%, maka nilai kadar abu dengan perlakuan E3R1 meningkat sebesar 1,5%. Hal ini menjelaskan penggunaan enzim mempengaruhi kadar abu grits, inkubasi enzim 6 jam memberikan penentuan nilai kadar abu lebih baik dibandingkan tanpa menggunakan perlakuan inkubasi. Nilai kadar abu menunjukkan kandungan mineral suatu bahan. Menurut Muljohardjo (1988), kadar abu ada hubungannya dengan mineral yang dikandung suatu bahan. Hasil analisis ini menunjukkan kadar abu memenuhi kriteria SNI yaitu kadar abu tidak melebihi nilai 10%.

Sedangkan menurut uji lanjut Duncan, faktor waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap kadar abu ampok, hal ini menunjukkan kandungan kadar abu ampok sangat rendah sehingga tidak berpengaruh lagi jumlahnya ketika diberikan perlakuan enzim dan pragelatinisasi.

Analisis ragam (Lampiran 4 C) menunjukkan antara waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar

drum dryer memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap kadar serat kasar ampok dan grits. Perlakuan inkubasi enzim dan pragelatinisasi dengan drum dryer tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan kandungan serat, dikarenakan perhitungan serat kasar terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan hemiselulosa sehingga enzim yang terdiri dari campuran selulase dan xilanase lebih banyak aktif menghidrolisis kandungan utama selulosa saja. Hal ini menjadikan aktivitas enzim tidak memberikan pengaruh terhadap kadar serat ampok dan grits.

Analisis ragam (Lampiran 4 D) menunjukkan antara waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar

drum dryer memberikan pengaruh nyata terhadap kadar lemak grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E1R2 memiliki kadar lemak tertinggi dengan nilai 2,61%, sementara perlakuan E2R2 terendah dengan nilai 1,2%. Hal ini memperlihatkan tren penurunan dari kandungan lemak bahan baku awal yang mengandung lemak sebesar 4,17%. Persentase penurunan kadar lemak mencapai kisaran angka 37-71%. Perlakuan E1 dan R2 merupakan kombinasi perlakuan yang dapat menghasilkan penurunan kadar lemak terendah, karena tidak diberikan perlakuan inkubasi enzim dan putaran drum

tergolong cepat yang membuat bahan baku tidak terlalu banyak mengalami perubahan, minimal secara fisik sehingga tidak banyak berpengaruh kepada kandungan kimia bahan.

22

Sementara menurut analisis ragam (Lampiran 4 D) menunjukkan antara waktu inkubasi enzim dan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap kadar lemak ampok. Hal ini disebabkan kandungan lemak memng telah stabil sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh perlakuan enzim maupun pragelatinisasi. Kadar lemak rendah akan berpengaruh baik terhadap tepung, karena keberadaan lemak yang tinggi akan menimbulkan bau tengik saat penyimpanan.

Analisis ragam (Lampiran 4 E) menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein grits. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E1R1 memiliki kadar protein tertinggi dengan nilai 8,1%, sementara perlakuan E1R2 terendah dengan nilai 7,66%. Kadar protein bahan baku awal sebesar 7,47%, sehingga dari hasil analisis memperlihatkan adanya tren peningkatan sebesar 2,8%. Tercatat terdapat perbedaan cukup ekstrim dengan diberikan perlakuan E1 (tanpa enzim), yaitu kombinasi E1 dan R1 memberikan nilai protein yg tertinggi, sedangkan kombinasi E1 dan R2 memberikan nilai yang terendah. Dapat dikatakan pada bahan grits kadar protein besar dipengaruhi oleh enzim, tanpa adanya selulase dan xilanase dapat membedakan hasil dari dua buah sampel ditambah perlakuan pragelatinisasi yang lebih lama, yaitu E1 memberikan dampak baik bagi kadar protein. Sementara itu, menurut analisis ragam (Lampiran 4 E) menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar protein ampok. Kadar protein dari sampel ampok setelah diberikan kedua perlakuan tersebut memberikan hasil yang tidak jauh berbeda satu sama lain, hal ini menandakan kadar protein tidak dapat dipengaruhi oleh kinerja enzim maupun proses pragelatinisasi.

Analisis ragam (Lampiran 4 F) menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar pati tepung ampok. Berdasarkan uji lanjut Duncan, kombinasi perlakuan E3R1 memiliki kadar pati tertinggi dengan nilai 74,48%, sementara perlakuan E1R2 terendah dengan nilai 69,52%. Nilai kadar pati tersebut cenderung meningkat dari kandungan bahan baku awal sebesar 64,61%, persentase peningkatannya sebesar 7-15%. Hasil analisis ini membuktikan semakin lama waktu inkubasi (6 jam) dan semakin lama bahan kontak dengan silinder pada putaran drum dryer rendah(4 rpm) akan memberikan kondisi optimum bagi kinerja enzim dalam memutus ikatan kimia pada komponen serat, sehingga kandungan pati di dalam struktur sel jaringan tanaman dapat keluar. Terdegradasinya serat mengakibatkan pengukuran pati dalam bahan menjadi lebih efektif, karena jumlah pati mendominasi saat proses pengukuran. Hal ini yang menyebabkan hasil pengukuran pati menunjukkan nilai yang cukup tinggi.

Waktu inkubasi yang lebih lama menyebabkan kinerja enzim semakin efektif dalam melepas rantai struktur dari kandungan serat dalam bahan, menyebabkan kandungan pati dapat keluar. Selain itu, nilai kadar pati yang cukup tinggi ini menandakan kandungan tepung ampok banyak mengandung endosperma. Menurut Lorenz dan Karel (1991), kandungan pati pada endosperma biji jagung mencapai 86,4%.

Sementara itu, menurut analisis ragam (Lampiran 4 E) menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar pati grits. Kadar pati pada grits sudah cukup tinggi sehingga kombinasi perlakuan yang diberikan tidak memberikan perubahan yang signifikan.

23

4.6 KARAKTERISTIK FUNGSIONAL AMPOK DAN GRITS TERMODIFIKASI

Sifat fungsional merupakan sifat fisikokimia yang mempengaruhi perilaku komponen tersebut dalam makanan selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi (Metirukmi, 1992). Analisis yang dilakukan untuk mengamati sifat fungsional ampok dan grits meliputi: kelarutan, daya serap air, daya serap minyak, viskositas, daya cerna pati, dan swelling power (Tabel 7).

1. Daya Serap Minyak

Analisis ragam (Lampiran 4 halaman 45) menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh sangat nyata terhadap daya serap minyak grits. Nilai daya serap minyak hasil analisis berkisar pada angka 0,02-3,65 g/g. Bahan baku awal memiliki nilai daya serap minyak sebesar 5,06 g/g, sehingga terjadi penurunan sebesar 27-99 %.

Besarnya nilai daya serap minyak dipengaruhi oleh kadar pati yang terkandung di dalam bahan. Granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi di dalam air atau minyak. Hal ini menunjukkan bahwa granula dapat memberikan gugus hidrofilik dan hidrofobik (Elliasson 2004). Hal tersebut menguatkan dugaan bahwa tepung dengan perlakuan inkubasi (3 dan 6 jam) akan memiliki daya serap minyak lebih tinggi dibandingkan yang tidak diberikan perlakuan inkubasi.

Grits dengan perlakuan putaran drum dryer rendah (4 rpm) memiliki nilai daya serap minyak tertinggi, karena dalam putaran rendah bahan tepung memiliki waktu lebih lama kontak dengan silinder mengakibatkan proses pengeringan lebih sempurna, keadaan tersebut menyebabkan kadar pati meningkat yang memberikan dampak daya serap minyak juga meningkat.

2. Viskositas

Analisis ragam (Lampiran 4 halaman 46) menunjukkan interaksi antara waktu inkubasi enzim dengan kecepatan putar drum dryer memberikan pengaruh nyata terhadap viskositas pada tepung ampok dan sangat nyata pada grits. Nilai viskositas tepung ampok berkisar antara 4,5-18 cP, terjadi peningkatan dibandingan nilai viskositas pada bahan baku awal, yaitu sebesar 3,75 cP. Peningkatan yang terjadi cukup tinggi berkisar 20-300 %. Sementara pada grits nilai viskositas berkisar antara 12-30 cP, terjadi juga peningkatan dari nilai bahan baku awal yaitu 9,25 cP. Persentase peningkatannya berkisar 29-200 %.

Peningkatan nilai viskositas pada tepung ampok dan grits disebabkan oleh air pada awalnya berada di luar granula pati sehingga bebas bergerak, setelah dipanaskan air bergerak masuk ke dalam granula pati sehingga terjadi pembengakakan pati (Winarno 2008).

Pengaruh putaran drum dryer berperan penting sebagai faktor tingginya nilai viskositas . Terlihat tepung dengan perlakuan putaran drum dryer rendah (4 rpm) memiliki nilai viskositas teringgi, putaran rendah drum dryer pada memberikan proses pengeringan yang sempurna bagi tepung sehingga teksturnya menjadi mudah hancur dan mudah larut dalam larutan, hal ini yang menjadikan tingginya nilai viskositas saat pengujian. Hal ini dikemukakan oleh Aurora (2003), bahwa salah satu karakteristik pati pragelatinisasi ialah memiliki viskositas tinggi pada kondisi pengukuran pasta dingin.

Tabel 7. Sifat fungsional tepung ampok dan grits termodifikasi

Keterangan :

A1 : Bahan baku awal ampok A2 : Bahan baku awal grits

E1R1 : tanpa inkubasi enzim, putaran drum dryer 4 rpm

Dokumen terkait