• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persiapan Sampel

Pupuk organik yang digunakan untuk pertumbuhan kolesom ada tiga jenis, yaitu pupuk kandang sapi (PK), rock phosphate (RP), dan abu sekam (AS). Pupuk kandang sapi ditujukan sebagai sumber nitrogen, rock phosphate ditujukan sebagai sumber fosfat, dan abu sekam ditujukan sebagai sumber kalium. Hasil sumbangan hara dari masing-masing empat kombinasi pupuk organik (Tabel 1), menunjukkan bahwa setiap kombinasi pupuk organik memberikan sumbangan

12

hara secara lengkap (terdapat unsur N, P, dan K), meskipun terdapat kombinasi pupuk organik yang terdiri hanya dua jenis pupuk.

Hasil analisis tanah sebelum aplikasi pemupukan, setelah penanaman, dan kadar hara pada jaringan tanaman dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Hasil ini diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan Saleh (2013).

Tabel 2 Kadar hara tanah dan tajuk kolesom pada musim tanam pertama

Perlakuan N P K

SB SD Jar SB SD Jar SB SD Jar

% ppm (%) ppm (%) Kontrol 0.21 0.16 1.34 3.80 517.1 0.32 119.52 63.96 5.15 PK+RP 0.22 0.17 1.90 19.05 280.6 0.36 139.52 93.48 3.26 PK+AS 0.22 0.14 1.45 13.40 492.3 0.35 169.52 71.34 4.25 RP+AS 0.21 0.17 1.83 15.60 495.9 0.32 149.52 76.26 3.43 PK+RP+AS 0.22 0.17 1.39 22.15 513.5 0.38 169.52 95.94 3.53 Keterangan: PK: pupuk kandang, RP: rock phosphate, AS: abu sekam, SB: sebelum aplikasi, SD: setelah penanaman pada tanah; Jar: kadar hara pada jaringan tanaman (Saleh 2013).

Tabel 3 pH tanah dan rasio C/N tanah sebelum dan sesudah penanaman

Perlakuan pH tanah C/N SB SD SB SD Kontrol 5.6 5.5 10.2 9.4 PK+RP 5.6 5.5 10.2 9.4 PK+AS 5.6 5.9 10.2 9.6 RP+AS 5.6 5.4 10.2 9.4 PK+RP+AS 5.6 5.7 10.2 9.4

Keterangan: PK: pupuk kandang, RP: rock phosphate, AS: abu sekam, SB: sebelum aplikasi, SD: setelah penanaman pada tanah; Jar: kadar hara pada jaringan tanaman (Saleh 2013).

Kadar N pada lahan menunjukkan terjadinya penurunan dari sebelum pemupukan hingga setelah penanaman (Tabel 2). Berdasarkan Balittanah (2005) status N di awal percobaan sebelum aplikasi pemupukan tergolong sedang, namun di akhir percobaan tergolong rendah. Kondisi ini menunjukkan bahwa unsur N yang berasal dari pupuk organik belum tersedia bagi tanaman, sehingga serapan hara bagi tanaman berasal dari N tanah. Tabel 3 menunjukkan bahwa pH tanah pada berbagai perlakuan tergolong asam karena pH sebelum maupun sesudah aplikasi pemupukan berada di bawah 6. Kondisi pH yang rendah ini akan mempengaruhi aktivitas penyerapan unsur nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3-). Ion nitrat (NO3-) akan lebih tinggi penyerapannya pada pH yang rendah (Gardner Pearce 1991; Munawar 2011).

Kadar P tanah tersedia di awal percobaan sebelum aplikasi pemupukan tergolong sangat rendah (Balittanah 2005). Ketersediaan unsur P yang rendah pada tanaman disebabkan oleh pH tanah yang rendah (Tabel 3). Kadar P pada jaringan tanaman terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemupukan dan rock phosphate + abu sekam (RP+AS). Serapan P pada tanaman kolesom diduga terbesar berasal dari pupuk kandang sapi, karena perlakuan tanpa pupuk kandang sapi memiliki kadar P terendah dibandingkan dengan perlakuan pupuk organik lainnya. Hasil penelitian Garg dan Bahl (2008) menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang sapi dapat meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman dengan

13 meningkatkan aktivitas enzim fosfatase. Rock phosphate yang digunakan sebagai salah satu pupuk organik ini merupakan sumber P yang bersifat slow release

(Pickering et al. 2002). Havlin et al. (2005) menyatakan bahwa kadar P pada jaringan tanaman berkisar 0.1-0.5%. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kadar P pada jaringan kolesom adalah 0.35%. Kondisi ini menunjukkan bahwa pupuk

rock phosphate tidak terlalu berpengaruh pada metabolit primer kolesom di musim tanam pertama.

Unsur K tanah yang tersedia di awal percobaan, baik sebelum aplikasi pemupukan maupun sesudah aplikasi pemupukan tergolong rendah (Balittanah 2005). Unsur K secara umum merupakan unsur yang banyak diserap tanaman dan mudah tercuci, namun perubahan bentuk dari mineral primer ke bentuk tersedia berjalan sangat lambat (Havlin et al. 2005). Selain itu, tanaman juga cenderung mengambil K dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan (Hardjowigeno 2007). Hal tersebut menyebabkan kadar kalium dalam tanah menjadi rendah setelah aplikasi pemupukan pada musim tanam pertama (Tabel 2). Rasio C/N juga mempengaruhi ketersediaan unsur hara N, P, dan K yang dibutuhkan oleh tanaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio C/N baik sebelum maupun sesudah aplikasi pemupukan pada musim tanam pertama berada dibawah 20. Munawar (2011) menyatakan bahwa rasio C/N <20, mengakibatkan terjadinya proses mineralisasi, yaitu proses perubahan bentuk organik menjadi bentuk anorganik yang tersedia bagi tanaman. Kondisi tanah yang asam dapat menghambat proses mineralisasi unsur nitrogen (Munawar 2011). Akibatnya, ketersediaan unsur nitrogen bagi tanaman menjadi rendah. Kondisi pH yang rendah mengakibatkan ketersediaan unsur P menjadi rendah, karena pada tanah asam (pH rendah), fosfat larut akan bereaksi dengan Fe atau Al larut yang membentuk senyawa Fe- atau Al-fosfat yang tidak larut. Akibatnya, unsur P tidak dapat diserap oleh tanaman. Unsur kalium secara umum masih dapat diserap oleh tanaman pada kondisi asam, yaitu pH >5.5 (Munawar 2011). Oleh karena itu, unsur hara yang diperlukan oleh tanaman sebagian besar berasal dari tanah.

Menurut BMKG (2005), curah hujan yang terjadi selama musim tanam pertama tersebut termasuk kategori sedang. Curah hujan yang demikian akan mempengaruhi suhu, pencucian unsur hara dalam tanah, dan juga fotosintesis. Kondisi curah hujan yang tinggi akan mengurangi intensitas cahaya selama fotosintesis yang akan mempengaruhi hasil fotosintesis, yaitu jumlah karbohidrat yang terbentuk. Semakin tinggi curah hujan, maka akan semakin berkurang intensitas cahaya matahari yang diperlukan oleh tumbuhan dan mengakibatkan jumlah karbohidrat hasil fotosintesis akan semakin berkurang. Selain itu, curah hujan yang tinggi juga akan mengikis unsur hara di dalam tanah, sehingga unsur hara yang ada di dalam tanah menjadi berkurang (Gardner Pearce 1991).

Ekstraksi Oligosakarida

Ekstraksi oligosakarida dilakukan dengan menggunakan modifikasi metode ekstraksi oligosakarida Wang et al. (2007) pada kedelai. Ekstraksi oligosakarida pada kedelai sangat berbeda dengan ekstraksi oligosakarida pada kolesom. Hal ini disebabkan oleh pigmen klorofil yang terkandung dalam pucuk kolesom yang akan berpengaruh terhadap analisis gula sederhana dan oligosakarida dengan menggunakan HPLC.

14

Ada tujuh metode yang diujicobakan untuk mendapatkan metode ekstraksi oligosakarida yang sesuai dengan sampel kolesom. Permasalahan dalam isolasi komponen oligosakarida pada pucuk kolesom adalah terdapat komponen klorofil dan juga pektin. Menurut Nielsen (2003), proses ekstraksi komponen karbohidrat dengan menggunakan larutan etanol 80% akan memaksimalkan ekstraksi komponen pigmen yang terdapat di dalam sampel. Bubuk CaCO3 yang digunakan dalam proses ekstraksi oligosakarida, berfungsi untuk menjaga kondisi pada sampel tidak asam saat proses pemanasan berlangsung (Shiomi 1992) dan meningkatkan terbentuknya pektin saat proses ekstraksi (Ridley at al. 2000), sehingga komponen pektin yang bereaksi dengan ion Ca2+ akan dapat dipisahkan dengan proses sentrifuse.

Metode ekstraksi oligosakarida pertama yang diujicobakan adalah metode ekstraksi (a). Jika Wang et al. (2007) menggunakan perbandingan sampel:larutan (1:10), maka dalam metode ekstraksi (a) digunakan perbandingan sampel:larutan (1:8). Larutan ekstrak pucuk kolesom yang dihasilkan dari metode ekstraksi (a) masih terdapat pengotor berupa serbuk potongan daun yang halus yang mengendap pada bagian bawah tabung reaksi setelah penyimpanan selama 24 jam di freezer dan komponen klorofil yang masih pekat. Jika dibandingkan antara larutan ekstraksi yang disaring dengan kertas saring dan larutan ekstraksi yang tidak disaring dengan kertas saring, maka hasilnya tidak menunjukkan adanya perbedaan.

Ekstraksi oligosakarida dengan metode ekstraksi (b), terdapat penambahan Pb-asetat dan Na-oksalat setelah pemindahan supernatant. Pb-asetat yang ditambahkan berfungsi untuk menghilangkan komponen pigmen klorofil dan Na-oksalat berfungsi untuk menghilangkan kelebihan Pb-asetat dalam larutan ekstraksi (Çağet al. 2007). Hasil ekstraksi dengan metode (b) akan menghasilkan larutan ekstrak berwarna hijau kekuning-kuningan, namun jumlah ekstrak sedikit dan terdapat kristal garam di dalam sampel pada tabung reaksi, serta terdapat endapan pada bagian bawah tabung reaksi setelah penyimpanan di dalam freezer

selama 24 jam.

Gambar 3 (Kiri-Kanan) Ekstrak kolesom yang telah disaring dan Ekstrak kolesom yang belum disaring

15 Metode ekstraksi oligosakarida (a) dan (b) merupakan metode ekstraksi oligosakarida dengan perbandingan sampel dan pelarut 1:8, yang masih menghasilkan larutan ekstrak yang berwarna hijau yang pekat. Oleh karena itu, metode ekstraksi oligosakarida (c) menggunakan perbandingan sampel dan pelarut 1:16 agar komponen klorofil dalam larutan ekstraksi tidak terlalu pekat dan dikombinasikan dengan Pb-asetat dan Na-oksalat.

Gambar 4 (Kiri-Kanan) Ekstrak kolesom yang telah ditambahkan Pb-asetat dan Na-oksalat dan Ekstrak kolesom tanpa Pb-asetat dan Na-oksalat

Hasil ekstraksi metode (c) dengan perbandingan 1:16, menghasilkan larutan ekstrak berwarna hijau yang tidak pekat, seperti metode ekstraksi dengan perbandingan 1:8. Penambahan Pb-asetat hingga penetralan dengan Na-oksalat pada proses ekstraksi, akan menghasilkan larutan ekstrak berwarna hijau kekuning-kuningan dengan jumlah yang sedikit dan terdapat kristal garam di dalam sampel pada tabung reaksi, serta masih terdapat endapan pada bagian bawah tabung reaksi setelah penyimpanan selama 24 jam di dalam freezer.

Proses ekstraksi oligosakarida dengan menggunakan tiga metode sebelumnya, masih terdapat bintik hijau (pengotor) berupa serbuk pucuk kolesom yang halus yang akan mengendap pada bagian bawah tabung reaksi, setelah penyimpanan selama 24 jam di dalam freezer. Oleh karena itu, proses ekstraksi selanjutnya akan menggunakan silica gel-60 untuk menjerap pigmen atau pengotor yang terdapat pada larutan hasil ekstraksi.

Metode ekstraksi (d) memiliki kesamaan proses dengan metode ekstraksi (c), namun pada metode (d) terdapat proses elusi dengan silica gel-60 setelah proses penyaringan dengan kertas saring. Serbuk pucuk kolesom yang diekstraksi dengan metode (d) masih terdapat pengotor yang mengendap pada bagian bawah tabung reaksi setelah penyimpanan selama 24 jam di dalam freezer. Namun, endapan yang ditemukan di bagian bawah tabung reaksi lebih sedikit dibandingkan dengan endapan pada metode ekstraksi sebelumnya.

Proses ekstraksi oligosakarida dengan metode ekstraksi (e) tidak menggunakan penambahan Pb-asetat dan Na-oksalat. Hal ini untuk membandingkan hasil elusi antara metode ekstraksi (d) dan metode ekstraksi (e). Setelah larutan ekstraksi (hasil metode ekstraksi (e)) disentrifuse, maka larutan ekstraksi tersebut dielusikan ke dalam cartridge yang berisikan bubuk silica

gel-16

60. Hasil ekstraksi dengan menggunakan metode ini, masih terdapat endapan pada bagian bawah tabung reaksi setelah penyimpanan selama 24 jam di dalam freezer.

Gambar 5 (Kiri-Kanan) Ekstrak kolesom terhadap etanol (1:8) dan Ekstrak kolesom terhadap etanol (1:16)

Penambahan Pb-asetat dan Na-oksalat, maupun silica gel-60, serta kombinasi Pb-asetat dan Na-oksalat dengan silica gel-60 pada proses ekstraksi, masih terdapat endapan pada larutan ekstraksi, sehingga setelah penyimpanan selama 24 jam di dalam freezer serbuk pucuk kolesom yang halus akan mengendap pada bagian bawah tabung reaksi. Proses ekstraksi selanjutnya tidak menggunakan Pb-asetat dan Na-oksalat, namun akan menggunakan prinsip pengenceran untuk mengurangi konsentrasi klorofil di dalam larutan ekstraksi dan proses elusi ke dalam cartridge dengan silica gel-60.

Metode ekstraksi (f) menggunakan perbandingan sampel dan pelarut 1:16, namun dengan skala yang lebih kecil dari sebelumnya. Proses ekstraksi ini menggunakan prinsip pengenceran sebelum dan sesudah proses sentrifuse, yang bertujuan untuk mengurangi konsentrasi komponen klorofil di dalam larutan ekstraksi. Hasil ekstraksi dengan metode ini, menghasilkan larutan ekstraksi berwarna kuning dan tampak jernih. Setelah dilakukan penyimpanan selama 24 jam, tidak ditemukan endapan atau pengotor pada bagian bawah tabung reaksi.

Gambar 6 (Kiri-Kanan) Ekstrak kolesom dengan Pb-asetat dan Na-oksalat, Ekstrak kolesom dengan silica gel-60, dan Ekstrak kolesom dengan kombinasi silica gel-60 dengan Pb-asetat dan Na-oksalat

17

Gambar 7 (Kiri-Kanan) Ekstrak kolesom sebelum dielusikan dengan silica gel-60

dan Ekstrak kolesom setelah dielusikan dengan silica gel-60

Hasil ekstraksi dengan metode ekstraksi (f) dianalisis kandungan gula sederhana dan oligosakaridanya dengan menggunakan HPLC. Namun, metode ekstraksi (f) tidak menghasilkan peak kromatogram pada analisis HPLC dan diduga bahwa hasil ekstraksi dengan metode tersebut terlalu encer dan komponen oligosakarida terikat dengan silica gel-60, sehingga tidak terdapat peak pada kromatogram HPLC. Komponen oligosakarida yang terikat dengan silica gel-60

dapat dikeluarkan dengan mengelusi kembali silica gel-60 menggunakan larutan etanol 80%.

18

Gambar 9 Struktur Silica gel-60

Struktur kimia pada bubuk silica gel-60 (Gambar 9) menunjukkan terdiri dari gugus silanol (-Si-OH) dan silandiol (-Si(OH)2) yang bersifat polar. Struktur senyawa yang demikian akan mengikat senyawa oligosakarida yang memiliki gugus hidroksil (-OH) yang juga bersifat polar, sehingga saat proses elusi dengan

silica gel-60, komponen analit (oligosakarida) yang akan dianalisis akan tertahan dan berikatan dengan silica gel-60 dan komponen klorofil yang bersifat non-polar akan tetap berada di dalam larutan ekstraksi.

Proses ekstraksi selanjutnya tidak menggunakan silica gel-60 untuk menjerap atau mengkelat komponen pigmen. Namun digunakan kolom Sep-Pak C-18 Varian dan larutan etanol 70%. Kolom SepPak C-18 Varian digunakan sebagai alat untuk proses clean-up hasil ekstraksi yang bersifat non-polar (Gambar 10), sehingga untuk mengekstrak komponen oligosakarida digunakan metode ekstraksi (g). Larutan ekstraksi hasil metode (g) yang dielusikan dengan menggunakan kolom Sep-Pak C-18 Varian akan menghasilkan larutan berwarna kuning dan setelah penyimpanan selama 24 jam tidak ditemukan serbuk halus pucuk kolesom yang mengendap di bagian bawah tabung reaksi. Hasil ekstraksi ini kemudian diinjeksikan ke HPLC dan terdapat peak yang terlihat pada kromatogram HPLC (Gambar 12) sesuai dengan waktu retensi standar (Lampiran 9) yang digunakan. Dengan demikian, proses ekstraksi komponen oligosakarida selanjutnya akan menggunakan metode ekstraksi (g).

19

Gambar 11 (Kiri-Kanan) Larutan ekstrak daun kolesom setelah dielusikan dengan

cartridge SepPak C-18 (Agilent) dan Larutan ekstrak daun kolesom sebelum dielusikan dengan cartridge SepPak C-18 (Agilent)

Analisis Gula Sederhana Pucuk Kolesom

Kandungan gula sederhana (fruktosa, glukosa, dan sukrosa) pucuk kolesom dihitung berdasarkan perbandingan luas area peak standar gula yang digunakan dan luas area peak sampel. Hasil analisis kandungan gula sederhana pucuk kolesom dapat dilihat pada Tabel 4:

Tabel 4 Kandungan Gula Sederhana Pucuk Kolesom Nama Sampel

Pukan sapi (0 ton/ha)+RP (0 ton/ha) + Abu Sekam (0 ton/ha)

Fruktosa Glukosa Sukrosa

Kolesom 4 322.45 ± 8.14 220.44 ± 5.85 12.21 ± 1.85 Kolesom 9 658.94 ± 15.26 1055.87 ± 81.03 32.61 ± 4.03 Kolesom 14 277.48 ± 5.54 407.95 ± 12.44 89.44 ± 35.92 Rata-rata 419.62 ± 208.47 561.42 ± 438.35 44.75 ± 40.02

Pukan sapi (0 ton/ha)+RP (1,5 ton/ha) + abu sekam (5,5 ton/ha) Kolesom 3 295.96 ± 4.27 176.18 ± 8.15 20.76 ± 0.30 Kolesom 8 195.57 ± 6.75 371.49 ± 62.74 24.71 ± 4.03 Kolesom 13 79.60 ± 1.08 402.98 ± 8.14 20.86 ± 2.87 Rata-rata 190.38 ± 108.27 316.88 ± 122.87 22.11 ± 2.25 Pukan sapi (12,3 ton/ha)+RP (0 ton/ha) + abu sekam (5,5 ton/ha) Kolesom 2 434.17 ± 3.84 254.71 ± 0.09 41.28 ± 0.92 Kolesom 7 382.47 ± 3.37 303.90 ± 23.84 10.84 ± 1.57 Kolesom 12 139.31 ± 29.24 632.61 ± 206.78 30.76 ± 9.87 Rata-rata 318.65 ± 157.45 397.07 ± 205.46 27.63 ± 15.46

Pukan sapi (12,3 ton/ha)+RP (1,5 ton/ha) + abu sekam (0 ton/ha) Kolesom 1 248.66 ± 13.24 145.07 ± 11.46 22.82 ± 6.22 Kolesom 6 256.70 ± 6.51 35.82 ± 2.81 36.31 ± 11.77 Kolesom 11 120.61 ± 13.86 292.03 ± 7.68 11.00 ± 1.08 Rata-rata 208.66 ± 76.36 157.64 ± 128.57 23.38 ± 12.66

20

Pukan sapi (12,3 ton/ha)+RP (1,5 ton/ha) + abu sekam (5,5 ton/ha) Kolesom 5 88.01 ± 10.94 76.39 ± 26.45 50.25 ± 3.31 Kolesom 10 331.56 ± 13.53 17.65 ± 0.45 16.24 ± 3.40 Kolesom 15 37.80 ± 9.93 430.41 ± 10.31 13.83 ± 0.92 Rata-rata 152.46 ± 157.13 174.82 ± 223.29 26.77 ± 20.37 Keterangan: Kandungan Gula dalam mg/100 g BK ± Standar Deviasi

Berdasarkan hasil analisis, kandungan fruktosa tertinggi terdapat pada pucuk kolesom tanpa pemupukan, yakni sebesar 419.62 mg/100 g BK dan terendah terdapat pada pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS, yakni sebesar 152.46 mg/100 g BK. Secara berurutan, pucuk kolesom dengan kadar fruktosa dari tertinggi ke rendah antara lain pucuk kolesom tanpa pemupukan (kontrol), pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP, pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS, dan pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS.

Kandungan glukosa tertinggi terdapat pada pucuk kolesom tanpa pemupukan (kontrol), yakni sebesar 561.42 mg/100 g B dan terendah terdapat pada pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP, yakni sebesar 157.64 mg/100 g BK. Secara berurutan, pucuk kolesom dengan kadar glukosa dari yang tertinggi ke rendah antara lain pucuk kolesom tanpa pemupukan, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS, pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS, dan pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP.

Analisis kadar sukrosa pada pucuk kolesom menunjukkan kadar sukrosa tertinggi terdapat pada pucuk kolesom tanpa pemupukan (kontrol), yakni sebesar 44.75 mg/100 g BK dan kadar sukrosa terendah terdapat pada pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS. Secara beurutan, pucuk kolesom dengan kadar sukrosa dari yang tertinggi ke terendah antara lain pucuk kolesom tanpa pemupukan, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP, dan pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS.

Total kadar gula sederhana (fruktosa, glukosa, dan sukrosa) yang terdapat pada pucuk kolesom, jika diurutkan dari yang tertinggi ke terendah antara lain 1025.79 mg/100 g BK (pucuk kolesom tanpa pemupukan), 743.35 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS), 529.37 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS), 389.68 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP), dan 354.05 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saleh (2013), laju asimilasi bersih pada tanaman kolesom hasil musim tanam pertama dari yang tertinggi hingga terendah secara berurutan adalah kolesom pemupukan PK+AS, PK+RP, kontrol, PK+RP+AS, dan RP+AS. Laju asimilasi bersih merupakan ukuran rata-rata efisiensi fotosintesis daun dalam suatu komunitas tanaman budidaya (Gardner Pearce 1991). Laju asimilasi bersih dipengaruhi oleh luas dan penyerapan radiasi matahari dan indeks luas daun yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan, proses fotosintesis, dan proses translokasi hasil fotosintesis (Gardner Pearce 1991).

21

Gambar 12 Kromatogram kolesom hasil metode ekstraksi (g)

Meskipun kadar N dalam jaringan yang terdapat pada kontrol adalah yang terendah, namun kadar K dalam jaringan yang terdapat pada kontrol adalah yang tertinggi. Hasil metabolit primer akan lebih dipengaruhi oleh penyerapan unsur kalium yang berperan dalam mempertahankan vigor tanaman, terlibat dalam

F G St R S U U U Keterangan: F : Fruktosa G : Glukosa S : Sukrosa R : Rafinosa St : Stakiosa U : Unknown U U

22

pembentukan karbohidrat, dan translokasi gula. Selain itu, unsur kalium juga berperan dalam memelihara potensial osmotis pada tanaman (Gardner Pearce 1991). Tanaman yang cukup unsur K hanya kehilangan sedikit air saat proses fotosintesis dan proses fotosintesis yang membutuhkan air akan lebih maksimal. Kondisi laju asimilasi dan penyerapan kalium yang tinggi pada kolesom tanpa perlakuan pemupukan ini, akan menghasilkan komponen gula sederhana yang tinggi jika dibandingkan dengan kolesom yang diberi perlakuan pemupukan.

Hasil analisis kadar fruktosa (Lampiran 1), glukosa (Lampiran 2), dan sukrosa (Lampiran 3) secara statistik pada pucuk kolesom menunjukkan bahwa kadar fruktosa, glukosa, dan sukrosa antar pucuk kolesom hasil pemupukan organik tidak berbeda nyata (p>0.05). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Saleh (2013) bahwa kolesom yang diberikan perlakuan pupuk organik (Tabel 1) dan ditanam pada musim tanam pertama, tidak menghasilkan perbedaan yang nyata (p>0.05), baik antar perlakuan pupuk organik, maupun antara pemupukan organik dengan perlakuan kontrol terhadap pertumbuhan, produksi, dan kadar metabolit pucuk kolesom. Menurut Gardner Pearce (1991) dan Hounsome et al. (2008), tumbuhan akan menghasilkan metabolit dalam jumlah yang berbeda, meskipun diberi perlakuan yang sama pada jenis tumbuhan yang sama juga. Hal ini mengakibatkan standar deviasi yang diperoleh akan tinggi dan berfluktuasi. Standar deviasi yang tinggi pada masing-masing perlakuan pupuk pada pucuk kolesom juga menunjukkan bahwa kadar fruktosa, glukosa, dan sukrosa yang terdapat pada pucuk kolesom tidak dipengaruhi oleh perlakuan pupuk (Masfufah et al. 2008).

Keterangan: huruf yang berbeda pada masing-masing perlakuan pemupukan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada taraf 0.05

23 Tabel 5 Kadar gula sederhana berbagai sayuran

Keterangan: a)Hounsome N et al. (2008); b) Hernández et al. (1998)

Tabel 5 merupakan tabel yang menampilkan kadar gula sederhana pada berbagai sayuran. Jika dibandingkan sayuran lainnya, seperti brokoli, bawang, bunga kol, tomat, pea, dan kidney bean, pucuk kolesom memiliki profil gula sederhana yang lengkap, yakni memiliki kandungan fruktosa, glukosa, dan sukrosa.

Analisis Oligosakarida Pucuk Kolesom

Kandungan oligosakarida (rafinosa dan stakiosa) pucuk kolesom dihitung berdasarkan perbandingan luas area peak standar gula yang digunakan dan luas area peak sampel. Hasil analisis kandungan oligosakarida pucuk kolesom dapat dilihat pada Tabel 6:

Tabel 6 Kandungan Oligosakarida Pucuk Kolesom Nama Sampel

Pukan sapi (0 ton/ha)+RP (0 ton/ha) + Abu Sekam (0 ton/ha)

Rafinosa Stakiosa

Kolesom 4 29.05 ± 2.57 29.58 ± 11.88

Kolesom 9 47.01 ± 7.20 37.18 ± 7.57

Kolesom 14 55.47 ± 3.96 37.68 ± 3.71

Rata-rata 43.84 ± 13.49 34.81 ± 4.54

Pukan sapi (0 ton/ha)+RP (1,5 ton/ha) + abu sekam (5,5 ton/ha)

Kolesom 3 9.02 ± 3.00 15.18 ± 6.91

Kolesom 8 20.82 ± 3.26 48.78 ± 5.11

Kolesom 13 26.94 ± 0.54 51.66 ± 2.17

Rata-rata 18.93 ± 9.11 38.54 ± 20.28

Pukan sapi (12,3 ton/ha)+RP (0 ton/ha) + abu sekam (5,5 ton/ha) Sayuran Kandungan Gula Sederhana (g/100 g)

Fruktosa Glukosa Sukrosa

Kubis 1.14-1.74a 1.4-2.06 a 0.02-0.5 a

Brokoli 0.52-0.87 a - 0.36-0.5 a

Bawang - 1.76-2.34 a -

Tomat - 0.88-1.25 a -

Bunga Kol - - -

Pepper (Capsicum annum L.) 1.073 b 1.269 b 0.198 b

Pea (Pisum sativum L.) - - 1.277 b

Kidney Bean (Vicia faba L.) - 0.181 b 3.652 b

Pucuk Kolesom (Kontrol) 0.395 0.526 0.042

Pucuk Kolesom (PK+AS) 0.304 0.379 0.026

Pucuk Kolesom (PK+RP) 0.197 0.150 0.022

Pucuk Kolesom (RP+AS) 0.177 0.294 0.021

24

Kolesom 2 16.54 ± 10.50 44.70 ± 3.94

Kolesom 7 50.58 ± 54.78 36.09 ± 2.57

Kolesom 12 42.35 ± 1.87 66.79 ± 9.63

Rata-rata 36.49 ± 17.76 49.19 ± 15.84

Pukan sapi (12,3 ton/ha)+RP (1,5 ton/ha) + abu sekam (0 ton/ha)

Kolesom 1 14.46 ± 2.97 22.63 ± 3.42

Kolesom 6 44.11 ± 1.47 24.58 ± 3.97

Kolesom 11 71.27 ± 0.13 47.72 ± 6.90

Rata-rata 43.28 ± 28.41 31.64 ± 13.96

Pukan sapi (12,3 ton/ha)+RP (1,5 ton/ha) + abu sekam (5,5 ton/ha)

Kolesom 5 17.93 ± 0.52 10.34 ± 0.98

Kolesom 10 19.56 ± 3.38 10.29 ± 2.41

Kolesom 15 104.33 ± 37.73 100.38 ± 68.02

Rata-rata 47.27 ± 49.42 40.34 ± 52.00

Keterangan: Kandungan Gula dalam mg/100 g BK ± Standar Deviasi

Berdasarkan hasil analisis, kandungan rafinosa tertinggi terdapat pada pucuk kolesom hasil pemupukan, yakni sebesar 47.27 mg/100 g BK dan kandungan rafinosa terendah terdapat pada pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS, yakni sebesar 18.93 mg/100 g BK. Secara berurutan, pucuk kolesom dengan kadar rafinosa dari tertinggi ke rendah antara lain pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS, pucuk kolesom tanpa pemupukan (kontrol), pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS, dan pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS.

Kandungan stakiosa tertinggi terdapat pada pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS, yakni sebesar 49.19 mg/100 g BK dan kandungan stakiosa terendah terdapat pada pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP, yakni sebesar 31.64 mg/100 g BK. Secara beurutan, pucuk kolesom dengan kadar stakiosa dari yang tertinggi ke terendah antara lain pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS, pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS, pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS, pucuk kolesom tanpa pemupukan (kontrol), dan pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP.

Total oligosakarida (rafinosa dan stakiosa) pada pucuk kolesom dari yang tertinggi ke terendah antara lain 87.61 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP+AS), 85.68 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan PK+AS), 78.65 mg/100 g BK (pucuk kolesom tanpa pemupukan), 74.92 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan PK+RP), dan 57.47 mg/100 g BK (pucuk kolesom hasil pemupukan RP+AS). Berbeda dengan perlakuan kontrol yang memiliki kandungan gula sederhana yang tinggi, perlakuan hasil pemupukan PK+RP+AS memiliki kandungan oligosakarida yang tinggi dibandingkan dengan pucuk kolesom tanpa pemupukan. Hal ini diduga disebabkan oleh laju asimilasi dan unsur kalium dalam jaringan pada kolesom. Kolesom dengan pemupukan PK+RP+AS memiliki laju asimilasi dan serapan hara unsur K yang rendah jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Jika laju asimilasi menurun, maka proses translokasi akan terhambat dan memicu penimbunan hasil fotosintesis dalam

25 bentuk pati, fruktan, atau bentuk cadangan makanan yang lain (Gardner Pearce 1991). Hal ini mengakibatkan kondisi perlakuan pemupukan PK+RP+AS memiliki kandungan oligosakarida yang tinggi dibandingkan perlakuan kontrol.

Dokumen terkait