• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Kerja

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Total Biaya Produksi

Total Biaya Produksi adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk, diperoleh dengan cara menghitung: Biaya pembelian puyuh umur 6 minggu, biaya sewa kandang, biaya peralatan, biaya ransum, biaya obat – obatan, biaya tenaga kerja dan biaya transportasi.

Dari keseluruhan biaya produksi di atas maka rataan total biaya produksi diperoleh seperti pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan total biaya produksi selama penelitian perperlakuan (Rp)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 R0 13719.17 13321.74 13481.17 13785.79 54307.88 13576.97 R1 13951.10 13238.61 13596.35 13739.44 54525.50 13631.37 R2 13905.24 14282.13 13606.22 14113.93 55907.51 13976.88 R3 14103.95 14048.38 13832.27 13517.37 55501.97 13875.49 R4 13202.73 13405.72 14257.61 13349.14 54215.20 13553.80 Total 68883.19 68296.58 68773.61 68505.67 274458.05 Rataan 13776.44 13659.32 13754.72 13701.13 13722.90

Dari Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa rataan biaya produksi yang tertinggi terdapat pada R2 sebesar Rp.13.976,88,- kemudian diikuti pada R3 sebesar Rp.13.875,49,- dan rataan terendah terdapat pada R4 sebesar Rp.13.553,80 -,.

Total Hasil Produksi

Total Hasil Produksi adalah semua hasil yang diperoleh dari hasil penjualan yaitu hasil penjualan telur puyuh, feses dan puyuh afkir.

Dari hasil penelitian diperoleh rataan total hasil produksi seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan total hasil produksi selama penelitian perperlakuan (Rp)

Perlakuan Ulangan Total Rataan 1 2 3 4 R0 29366.67 25500.00 28833.33 23100.00 106800.00 26700.00 R1 27233.33 28233.33 25433.33 28700.00 109600.00 27400.00 R2 22700.00 27700.00 26900.00 24766.67 102066.67 25516.67 R3 23833.33 24566.67 26633.33 24633.33 99666.67 24916.67 R4 22100.00 22033.33 23766.67 23766.67 91666.67 22916.67 Total 125233.33 128033.33 131566.67 124966.67 509800.00 Rataan 25046.67 25606.67 26313.33 24993.33 25490.00

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa rataan hasil produksi yang tertinggi terdapat pada R1 sebesar Rp.27.400,-, kemudian diikuti pada R0 sebesar Rp.26.700,- dan rataan terkecil terdapat pada R4 sebesar Rp.22.490,-.

Analisis Laba/ Rugi

Analisis Laba-Rugi yaitu untuk mengetahui apakah usaha tersebut rugi atau untung dengan cara menghitung selisih antara total penerimaan atau total hasil produksi dan total pengeluaran atau total biaya produksi. Dari hasil penelitian diperoleh rataan laba seperti pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan laba selama penelitian perperlakuan (Rp)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 R0 15647.49 12178.26 15352.16 9314.21 52492.12 13123.03 R1 13282.24 14994.72 11836.99 14960.56 55074.50 13768.63 R2 8794.76 13417.87 13293.78 10652.74 46159.16 11539.79 R3 9729.38 10518.28 12801.06 11115.97 44164.69 11041.17 R4 8897.27 8627.62 9509.06 10417.52 37451.47 9362.87 Total 56351.15 59736.75 62793.05 56460.99 235341.95 Rataan 11270.23 11947.35 12558.61 11292.20 11767.10

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa rataan laba tertinggi terdapat pada R1 sebesar Rp.13.768,63 diikuti R0 sebesar Rp.13.123,03,- dan terendah terdapat pada R4 sebesar Rp.9.362,87,-

BEP (Break Even Point)

Dalam penelitian ini BEP ada 2 macam yaitu BEP Harga dan BEP Volume Produksi.

a. BEP Harga Produksi

BEP harga produksi diperoleh dari hasil pembagian total biaya produksi dengan jumlah telur puyuh dimana BEP harga dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. BEP harga produksi Selama Penelitian Perperlakuan (Rp)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 R0 39.88 46.58 40.12 55.14 181.73 45.43 R1 44.72 40.49 47.71 41.14 174.04 43.51 R2 56.99 44.77 44.32 51.32 197.40 49.35 R3 54.04 51.65 45.65 49.51 200.85 50.21 R4 56.18 57.29 54.84 51.34 219.65 54.91 Total 251.80 240.77 232.64 248.46 973.68 Rataan 50.36 48.15 46.53 49.69 48.68

Tabel 10 menunjukkan bahwa rataan BEP harga produksi pemeliharaan secara keseluruhan adalah Rp.48,68,- dengan kisaran Rp.54,91,- sampai dengan Rp.43,51,-. BEP harga produksi tertinggi terdapat pada R4sebesar Rp. 54,91,- dan BEP harga produksi terkecil terdapat pada R1 sebesar Rp. 43,51,-.

b. BEP Volume Produksi

BEP volume produksi diperoleh dari hasil pembagian total biaya produksi dengan harga telur puyuh dimana BEP volume dapat dilihat dari tabel 11.

Tabel 11. BEP volume produksi selama penelitian perperlakuan (Butir)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 R0 68.60 66.61 67.41 68.93 271.54 67.88 R1 69.76 66.19 67.98 68.70 272.63 68.16 R2 69.53 71.41 68.03 70.57 279.54 69.88 R3 70.52 70.24 69.16 67.59 277.51 69.38 R4 66.01 67.03 71.29 66.75 271.08 67.77 Total 344.41 341.48 343.87 342.53 1372.29 Rataan 68.88 68.30 68.77 68.51 68.61

Pada Tabel 11 terlihat bahwa rataan BEP volume produksi pemeliharaan secara keseluruhan adalah 68,61 butir dengan BEP volume produksi tertinggi terdapat pada R2 sebesar 69,88 butir dan BEP volume produksi terkecil terdapat pada R4 sebesar 67,77 butir.

Income Over Feed Cost (IOFC)

Income over feed cost (IOFC) diperoleh dengan cara menghitung selisih pendapatan dengan biaya pakan sehingga diperoleh rataan IOFC seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Rataan IOFC selama penelitian perperlakuan (Rp)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rataan

1 2 3 4 R0 36734.96 27924.96 36808.96 17476.61 118945.49 29736.37 R1 28719.47 36706.86 25802.73 34601.08 125830.13 31457.53 R2 15440.50 27802.26 30133.64 20179.65 93556.05 23389.01 R3 17449.48 20038.48 27751.25 23955.57 89194.78 22298.70 R4 18558.07 16937.14 16173.88 22533.14 74202.23 18550.56 Total 116902.48 129409.69 136670.46 118746.05 501728.68 Rataan 23380.50 25881.94 27334.09 23749.21 25086.43

Dari Tabel. 12. terlihat bahwa rataan IOFC pemeliharaan tertinggi terdapat pada R1 sebesar Rp.31.457,53,- terkecil terdapat pada R4 sebesar Rp.18.550,56,-.

Pembahasan

Total Biaya Produksi

Untuk mengetahui pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) terhadap total biaya produksi pemeliharaan puyuh selama penelitian maka dilakukan analisa keragaman yang dapat dilihat pada Tabel. 13.

Tabel 13 Analisa ragam total biaya produksi selama penelitian perperlakuan

Sk Db Jk Kt Fhit Ftabel

0.05 0.01 Perlakuan. 4 584227.75 146056.94 1.41tn 3.01 4.77

Galat 15 1556639.51 103775.97

Total 19 2140867.26

Keterangan : tn = tidak nyata

Hasil analisis keragaman pada Tabel 13 menunjukkan bahwa F hitung < Ftabel 0,05. Hal ini berarti suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) dalam ransum puyuh (Coturnix-coturnix japonica) memberikan pengaruh tidak nyata terhadap total biaya produksi (P > 0,05).

Dari Tabel 7 dapat kita lihat adanya perbedaan biaya produksi pemeliharaan selama penelitian namun perbedaan itu sangat kecil, dimana rataan biaya produksi yang tertinggi terdapat pada perlakuan R2 sebesar Rp.13.976,88,- kemudian diikuti pada perlakuan R3 sebesar Rp.13.875,49,- dan rataan terkecil terdapat pada R4 sebesar Rp.13.553,80,-. Hal ini disebabkan karena perbedaan harga ransum yang termasuk biaya produksi berbeda perkilogramnya untuk setiap perlakuan dimana ransum yang menggunakan suplementasi mineral lebih tinggi harganya di bandingkan dengan ransum tanpa suplementasi dan semakin tinggi harganya dengan penggunaan mineral yang semakin banyak. Hal ini didukung

Nuraini (2003) yang menyatakan bahwa biaya produksi tidak dapat dipisahkan dari proses produksi sebab biaya produksi merupakan masukan atau input dikalikan dengan harganya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan semakin tingginya perbedaan harga ransum setiap perlakuan maka semakin tinggi pula biaya produksi yang harus dikeluarkan. Mufliha (1999) yang melakukan penelitian tentang analisis ekonomi pemberian beberapa tingkat konsentrat komersil dalam ransum puyuh (Coturnix-coturnix japonica) terhadap produksi telur berpendapat bahwa total biaya produksi tertinggi terdapat pada penggunaan konsentrat sebanyak 39 % dan terendah pada penggunaan konsentrat sebanyak 33 % yang dikarenakan penggunaan kandungan konsentrat yang semakin banyak di dalam ransum sehingga semakin besar biaya yang dikeluarkan.

Total Hasil Produksi

Untuk mengetahui pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) terhadap total hasil produksi pemeliharaan puyuh selama penelitian maka dilakukan analisa keragaman yang dapat dilihat pada Tabel. 14.

Tabel 14. Analisa ragam total hasil produksi selama penelitian perperlakuan

Sk Db Jk Kt Fhit Ftabel

0.05 0.01 Perlakuan 4 48254666.67 12063667 3.31* 3.01 4.77

Galat 15 54734444.44 3648963

Total 19

Keterangan : * = berbeda nyata KK = 7,49%

Hasil yang diperoleh dari Tabel. 14 menunjukkan bahwa F0,05 < Fhit < F0,01. Hal ini berarti suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) memberikan pengaruh nyata terhadap total hasil produksi pemeliharaan puyuh (Coturnix- Coturnix Japonica). Untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan

pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut berupa uji Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) yang dapat dilihat pada tabel 15.

Tabel 15. Uji BNT total hasil produksi

Perlakuan Rata-rata Notasi

R0 26700.00 b

R1 27400.00 b

R2 25516.67 ab

R3 24916.67 ab

R4 22916.67 a

Dari hasil yang diperoleh dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 memberikan hasil yang paling baik terhadap total hasil produksi, dimana R1 berbeda nyata dengan R4 tetapi tidak berbeda nyata dengan R0, R2 dan R3. Sedangkan perlakuan R4 berbeda nyata dengan perlakuan R0 dan R1 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2 dan R3. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan total hasil produksi dengan suplementasi mineral (Na, Ca dan P, Cl) sehingga terjadi perbedaaan yang nyata antar perlakuan.

Perlakuan R1 yang memberikan hasil paling baik dikarenakan rataan produksinya yang paling tinggi diantara perlakuan yang lain sebesar 74,88% diikuti perlakuan R2 sebesar 72,38%, dan R3 sebesar 68,15%. Pada perlakuan R1 menggunakan suplementasi 37,5g Ca dan 0,00035g Na. Suplementasi dari kedua mineral ini juga memberikan pengaruh yang positif dimana Ca berperan dalam pemanfaatan bahan pakan dan pembentukan kulit telur yang optimal. Hal ini sesuai pernyataan Rasyaf (1984) dimana Ca dan P itu sangat berperan bagi pembentukan tulang–tulang pada puyuh yang sedang bertumbuh dan berperan pada pembentukan kulit telur puyuh yang sedang berproduksi. Sedangkan Na berperan dalam proses menjaga kuantitas produksi dan kualitas produksi dimana

menurut Anggorodi (1995) pada unggas, suatu defisiensi natrium mengakibatkan produksi telur menurun, pertumbuhan terhambat dan kanibalisme.

Perlakuan R4 memberikan hasil yang paling rendah untuk Total Hasil Produksi dikarenakan rataan produksinya yang paling rendah diantara perlakuan yang lain yaitu sebesar 53,39% dengan suplementasi mineral 20g P dan 0,00030g Cl, sedangkan rendahnya produksi dipengaruhi rataan konsumsi ransum harian tiap ekornya yang rendah sebesar 15,79 g dimana seharusnya rataan konsumsi untuk puyuh produksi sebesar 17-19 g/ekor/hari mulai. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1995) bahwa dalam mengkonsumsi ransum, burung puyuh dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: umur, palatabilitas ransum, kesehatan ternak, jenis ternak, aktivitas ternak, energi ransum dan tingkat produksi.

Analisis Laba / Rugi

Untuk mengetahui pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) terhadap laba pemeliharaan puyuh selama penelitian maka dilakukan analisa keragaman yang dapat dilihat pada Tabel. 16.

Tabel 16.Analisa ragam laba selama penelitian perperlakuan

Sk Db Jk Kt Fhit Ftab

0.05 0.01 Perlakuan 4 48814505.78 12203626.44 3.29* 3.01 4.77 Galat 15 55547255.39 3703150.35

Total 19 104361761.18

Keterangan : * = berbeda nyata KK = 16%

Hasil yang diperoleh dari Tabel. 16 menunjukkan bahwa F0,05 < Fhit < F0,01. Hal ini berarti suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) memberikan

pengaruh nyata terhadap labai pemeliharaan puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica). Untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut berupa uji Duncan yang dapat dilihat pada tabel 17.

Tabel 17. Uji Duncan laba

Perlakuan Rata-rata Notasi

R0 13123.03 b

R1 13768.63 c

R2 11539.79 b

R3 11041.17 b

R4 9362.87 a

Dari hasil yang diperoleh pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 berbeda nyata dengan R0, R2, R3 dan R4. Perlakuan R0 berbeda nyata dengan perlakuan R1 dan R4 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2 dan R3 sedangkan perlakuan R4 berbeda nyata dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R3.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa rataan laba/rugi tertinggi terdapat pada perlakuan R1 sebesar Rp.13.768,63 dan terendah terdapat pada perlakuan R4 sebesar Rp.9.362,87,- hal ini terjadi karena pada perlakuan R1 selisih antara total hasil produksi dan total biaya produksi adalah yang lebih tinggi sebesar Rp.13.768,63,- sedangkan pada perlakuan R4 sebesar Rp.9.362,87,-. Total hasil produksi yang tinggi pada R1 dikarenakan tingkat produksi perlakuan R1 selama penelitian adalah yang tertinggi sebesar 74,88% sedangkan pada perlakuan R4 adalah yang terendah sebesar 53,39%. Hal ini sesuai dengan pendapat Agus (1990) yang menyatakan bahwa akan lebih mudah untuk memperhitungkan keuntungan yang dicapai oleh perusahaan dengan target keuntungan perunit dari produk yang dijual. Besarnya keuntungan perunit dipengaruhi oleh volume atau tingkat produksi dalam perusahaan, maka perubahan volume penjualan dari jumlah yang direncanakan akan ikut mempengaruhi besar keuntungan perunit

yang telah ditentukan tersebut (Agus, 1990). Mufliha (1999) berpendapat bahwa keuntungan bersih diperoleh dengan cara mengurangkan total penghasilan dengan total biaya produksi. Keuntungan tertinggi yang diperoleh dari penelitiannya terdapat pada penggunaan konsentrat sebanyak 35 % dengan total hasil tertinggi dan keuntungan terendah pada penggunaan konsentrat sebanyak 33 % dengan total hasil produksi terendah dan biaya produksi terendah.

BEP (Break Even Point)

Terdapat dua macam break event point (BEP) yang biasa dipakai yaitu break even point harga dan break event point volume produksi.

a. Break Even Point Harga Produksi

BEP harga produksi diperoleh dari hasil pembagian total biaya produksi dengan jumlah telur puyuh dimana analisa keragaman BEP harga dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Analisa keragaman BEP Harga Produksi selama penelitian perperlakuan

Sk Db Jk Kt Fhit Ftab

0.05 0.01

Perlakuan 4 315.68 78.92 3.34* 3.01 4.77

Galat 15 354.98 23.67

Total 19 670.67

Keterangan : * = berbeda nyata Kk = 7,20 %

Hasil yang diperoleh dari Tabel. 18 menunjukkan bahwa F0,05 < Fhit < F0,01.. Hal ini berarti suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) memberikan pengaruh nyata terhadap BEP harga produksi. Untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut berupa uji BNT yang dapat dilihat dari Tabel 19.

Tabel 19. Uji BNT BEP harga produksi

Perlakuan Rata-rata Notasi

R0 45.43 ab

R1 43.51 a

R2 49.35 a

R3 50.21 ab

R4 54.91 b

Hasil yang diperoleh dari Tabel. 19 menunjukkan bahwa R1 tidak berbeda dengan R0, R2 dan R3 nyata tetapi berbeda nyata dengan R4, perlakuan R4 berbeda nyata dengan perlakuan R1 dan R2 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0 dan R3. Hasil yang paling baik diperoleh pada R1 sebesar Rp.43,51,-. Jika dilihat dari rataan, nilai R1 lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya, tetapi R1 adalah yang paling baik nilai BEP harga produksinya. Sedangkan pada perlakuan lain nilai rataan BEP yang diperoleh kurang baik karena terlalu tinggi (harga jual telur puyuh).

Break event point harga produksi ini sebenarnya memberikan gambaran tentang harga produsen yang harus dicapai dengan volume produksi yang telah ditentukan agar modal / biaya yang dikeluarkan dapat kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahardi, (1993) yang menyatakan bahwa BEP (break even point) dimaksudkan untuk mengetahui titik impas (tidak untung dan juga tidak rugi) dari usaha bisnis yang diusahakan tersebut. Jadi dalam keadaan tersebut pendapatan yang diperoleh sama dengan modal usaha yang dikeluarkan.

b. BEP Volume Produksi

BEP volume produksi diperoleh dari hasil pembagian total biaya produksi dengan harga telur puyuh dimana BEP volume dapat dilihat dari tabel 20.

Tabel 20. Analisa ragam BEP volume produksi selama penelitian perperlakuan Sk Db Jk Kt Fhit Ftab 0.05 0.01 Perlakuan 4 14.61 3.65 1.41tn 3.01tn 4.77 Galat 15 38.92 2.59 Total 19 53.52

Keterangan : tn = tidak nyata

Hasil analisis keragaman pada Tabel 20 menunjukkan bahwa F hitung lebih kecildari Ftabel (0,05). Hal ini berarti suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) dalam ransum puyuh (Coturnix-coturnix japonica) memberikan pengaruh tidak nyata terhadap BEP volume produksi.

Break even point volume produksi memberikan gambaran tentang total produksi yang harus dicapai dalam usaha dengan harga telur puyuh yang telah ditentukan agar modal/biaya yang dikeluarkan dapat kembali. Dari Tabel 11 dapat kita lihat bahwa titik modal akan tercapai jika produksi rataan telur puyuh yang dihasilkan untuk R0 sebanyak 67,88 butir, R1 sebanyak 68,16 butir, R2 sebanyak 69,88 butir, R3 sebanyak 69,38 butir dan R4 sebanyak 67,77 butir selama penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Sigit (1991) bahwa Break event point (BEP) adalah kondisi dimana suatu usaha dinyatakan tidak untung dan tidak rugi dan disebut titik impas. Jadi analisa BEP (break event point) atau titik keseimbangan adalah suatu teknik yang digunakan seorang manajer perusahaan untuk mengetahui pada jumlah produksi berapa usaha yang dijalankan tidak memperoleh keuntungan atau tidak menderita kerugian.

Income Over Feed Cost (IOFC)

Untuk mengetahui pengaruh suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) terhadap Income over feed cost (IOFC) pemeliharaan puyuh selama penelitian maka dilakukan analisa keragaman yang dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Analisa keragaman IOFC selama penelitian perperlakuan Sk Db Jk Kt Fhit Ftab 0.05 0.01 Perlakuan 4 462332894.06 115583223.51 3.13* 3.01 4.77 Galat 15 553153373.84 36876891.59 Total 19 1015486267.89

Keterangan: * = berbeda nyata Kk = 24%

Hasil analisis keragaman yang diperoleh dari Tabel 21 menunjukkan bahwa F0,05 < Fhit < F0,01. Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi mineral (Na, Ca, P dan Cl) berpengaruh nyata terhadap IOFC. Untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut berupa uji Duncan yang dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Uji Duncan IOFC

Perlakuan Rata-rata Notasi

R0 29736.37 c

R1 31457.53 c

R2 23389.01 b

R3 22298.70 b

R4 18550.56 a

Hasil yang diperoleh dari Tabel 22 menunjukkan bahwa perlakuan R4 berbeda nyata dengan perlakuan R0, R1, R2 dan R3 dimana perlakuan R0 berbeda nyata dengan perlakuan R2 dan R3 tetapi tidak berbeda nyata dengan R1 sedangkan perlakuan R2 tidak berbeda nyata dengan R3. Dari rataan dapat dilihat bahwa perlakuan R1 memberikan hasil yang paling tinggi dimana hasil yang paling tinggi dikarenakan hasil rataan produksi R1 merupakan yang paling tinggi sebesar 74,88 % dan rataan pendapatan dari produksi sebesar Rp.62.900,- sedangkan perlakuan R4 merupakan yang paling rendah dikarenakan rataan produksinya adalah yang terendah sebesar 53,39 % dan rataan pendapatannya sebesar Rp.49.450,-. Hal ini sesuai dengan pernyatan Prawirokusumo (1990)

bahwa IOFC diperoleh dengan menghitung selisih pendapatan usaha dikurangi biaya ransum yang digunakan selama penelitian. Mufliha (1999) berpendapat bahwa nilai IOFC tertinggi terdapat penggunaan konsentrat sebanyak 35 % dengan total biaya ransum tertinggi dan total hasil penjualan telur tertinggi kedua dan nilai IOFC terendah terdapat pada penggunaan konsentrat sebanyak 37 % dengan total biaya ransum tertinggi ketiga dan total hasil penjualan telur terendah.

Rekapitulasi hasil penelitian

Tabel. 23. Rekapitulasi hasil penelitian perperlakuan

Parameter Perlakuan

RO R1 R2 R3 R4

Total Biaya Produksi 13576.97tn 13631.37tn 13976.88tn 13875.49tn 13553.80tn Total Hasil Produksi 26700.00b 27400.00b 25516.67ab 24916.67ab 22916.67a Laba / Rugi 13123.03b 13768.63c 11539.79b 11041.17b 9362.87a BEP Harga Produksi 45.43ab 43.51a 49.35a 50.21ab 54.91b BEP Volume

Produksi 67.88

tn

68.16tn 69.88tn 69.38tn 67.77n IOFC 29736.37c 31457.53c 23389.01b 22298.70b 18550.56a

Keterangan : -tn = tidak nyata

-notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata

Dari Tabel 23. dapat dilihat bahwa hasil penelitian dari total biaya produksi tidak nyata, total hasil produksi berbeda nyata, laba / rugi berbeda nyata, BEP harga produksi berbeda nyata, BEP volume produksi tidak nyata dan IOFC berbeda nyata.

Dokumen terkait