• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebanyak 43 ekor ikan sidat yang diperiksa dengan ukuran panjang 30-50 cm dan berat 30.10-273.50 gram dengan rata-rata 98.98 gram. Ikan yang terinfeksi protozoa dan cacing parasitik sebanyak 34 ekor dengan persentase 79% dari total ikan.

D = ∑

15 Keragaman Protozoa dan Cacing Parasitik

Protozoa parasitik yang ditemukan pada ikan sidat yaitu Myxidium sp. menggolongkan ke dalam Filum Myxozoa Family Myxidiidae (Eiras et al. 2011). Caffara et al. (2009) mengklasifikasikan Myxobolus sp. ke dalam filum Myxozoa

Famili Myxobolidae. Menurut Qodri (1952) menggolongkan Henneguya sp. ke dalam Filum Myxozoa Famili Myxobolidae. Ceratomyxa sp. tergolong ke dalam Filum Myxozoa Famili Ceratomyxidae (Gunter et al. 2009). Chilodonella sp. digolongkan dalam Filum Ciliophora Famili Chilodonellidae (Padua et al. 2013), Balantidium sp. tergolong ke dalam Filum Ciliophora, Famili Trichostomatidae (Ming et al. 2013), dan menurut Azeem et al. (2015) mengklasifikasikan Glugea

sp.ke dalam Filum Microspora Famili Gluguidea (Gambar 5).

Gambar 5 Pewarnaan giemsa (a) Myxidium sp.,(b) Ceratomyxa sp., (c)

Myxobolus sp., (d) Henneguya sp.,(e) Balantidium sp.,(f) Glugea

sp.,(g) Chilodonella sp. pada pembesaran 100x.

a b

c d

e f

16

Protozoa Myxidium sp. merupakan protozoa yang terbanyak ditemukan di ikan sidat dengan ukuran panjang dan lebar 3.3x1.98 µm, Glugea sp. 2.64x1.32 µm dan Myxobolus sp. 2.64x1.98 µm. Cacing Anisakis simplex yang terbanyak diantara cacing lain dan memiliki ukuran 1.69 x 0.03 mm (Tabel 2).

Tabel 2 Ukuran panjang dan lebar parasit pada ikan sidat

Parasit Hasil Penelitian Referensi

Protozoa Ukuran (µm) Ukuran (µm)

Myxidium sp. 3.3 x 1.98 8 x 3.5 (Ali et al. 2006)

Myxobolus sp. 2.64 x 1.98 5.3 x 3.4 (Szekely et al. 2009)

Chilodonella sp. 40 x 30 34.1 x 25.4 (Padua et al. 2013) Ceratomyxa sp. 60 x 20 68 x 22 (Moser 1976)

Balantidium sp. 50 x 30 57 x 15.5 (Ming et al. 2013)

Henneguya sp. 3.96 x 1.98 7.7 x 2.9 ( Abdallah et al. 2007)

Glugea sp. 2.64 x 1.32 4.3 x 1.8 (Azeem et al. 2015)

Cacing Ukuran (mm) Ukuran (mm)

Anisakissimplex 1.69 x 0.03 3.47 x 0.05 (Larizza danVovlas 1995)

Anguillicola sp. 1.54 x 0.23 6.54x0.55(Nagasawa et al. 1994) Digenea 0.12 x 0.01

Siklus hidup Myxidium sp. seperti Myxobolus sp., Henneguya sp., Ceratomyxa sp., dan Kudoa sp. Parasit keluar dari ikan melalui saluran urinari. Spora protozoa tersebut bertahan hidup di air dan dapat mengendap selama bertahun-tahun. Ketika spora yang tertelan oleh cacing rambut (Tubifex tubifex), berkembang menjadi spora Triactinomyxon.

Protozoa Chilodonella sp. berbentuk oval, berukuran 40-60 µm dengan lekukan di bagian posterior tubuh. Siklus hidup secara langsung, parasit ini ditemukan di insang dan kulit pada beberapa jenis ikan. Protozoa berkembang biak dengan cara pembelahan biner pada kulit. Parasit ini tergolong ektoparasit dan tidak dapat melakukan penetrasi di kulit. Biasanya infeksi tanpa gejala tetapi beberapa ikan menjadi lemah ketika berada pada suhu 5-10°C.

Prevalensi Glugea sp. pada ikan sidat asal Danau Lindu sebesar 46% Dampak yang ditimbulkan parasit ini seperti terbentuknya nodul berwarna coklat kehitaman pada jaringan adiposa dan organ viseral terutama pada dinding usus dan caecae pyloric. Menurut Marzouk et al. (2010) prevalensi Glugea sp. pada ikan kerapu mencapai 88.8%.

Siklus hidup Balantidium sp. dimulai ketika manusia konsumsi makanan atau minuman yang telah terkontaminasi dengan kista infektif. Jika kista bertahan melalui perut, trofozoit terbentuk dalam usus kecil. Trofozoit hidup di sekum dan kolon dari usus besar. Protozoa tersebut tinggal dan makan di lumen tapi kadang-kadang menembus mukosa. Mereka berkembang biak dengan pembelahan biner dan melintang di dinding usus. Beberapa trophozoit kembali ke lumen dan encyst (berubah menjadi kista) setelah feses kering. Kista terbentuk baik dalam usus besar atau di luar tubuh. Jika feses mendapatkan kontak dengan sayuran atau air minum, manusia mungkin menelan kista. Balantidium coli bersifat zoonosis akan tetapi tidak semua Genus Balantidium zoonosis.

17

Cacing parasitik yang tergolong nematoda yaitu Anisakis simplex Famili Anisakidae (Gambar 5), Anguillicola sp. dengan Family Anguillicoloidae (Gambar 6). Menurut Larizza dan Vovlas (1995) mengatakan morfologi larva

Anisakis simplex stadium tiga dengan ciri-ciri pada bagian anterior memiliki

Booring tooth, excretory pore dan pada bagian posterior terdapat anus, mucron dan rectal glands. Taraschewski et al. (1987) mendeskripsikan cacing

Anguillicola sp. memiliki tingkat ketebalan dan transparan, sehingga memungkinkan terlihat organ bagian dalam.

Gambar 6 Morfologi Anisakis simplex (a) anterior, (b) posterior, (c) Anterior

Anguillicola sp., (d) Posterior Anguillicola sp. pewarnaan minyak cengkeh dan KOH, (e) Digenea, pewarnaan semichon acetocarmine,

pembesaran 40x.

a b

c d

18 Prevalensi Protozoa dan Cacing Parastik

Prevalensi protozoa parasit tertinggi yaitu Myxidium sp. sebesar 77%, menurut Williams & Bunkley-Williams (1996) prevalensi tersebut masuk dalam kategori usually (70%-89%). Prevalensi Henneguya sp. sebesar 58% menginfeksi lendir, insang dan usus, menurut Williams & Bunkley-Williams (1996) prevalensi tersebut tergolong ke dalam frequently (50-69%). Cacing parasit Anisakis simplex

sebesar 44%, Williams & Bunkley-Williams (1996) menggolongkan prevalensi tersebut ke dalam commonly sebesar 30-49%. (Tabel 3).

Tabel 3 Tingkat prevalensi protozoa dan cacing parasitik yang menginfeksi ikan sidat

Parasit Lokasi Jumlah Ikan Ikan Terinfeksi Prevalensi (%) Myxidium sp. A,B,C,D,E 43 33 77 Myxobolus sp. A,B,C,D,E 43 19 44 Chilodonella sp. E 43 2 4 Ceratomyxa sp. E 43 8 18 Balantidium sp. D 43 1 2 Henneguya sp. A,D,E 43 25 58 Glugea sp. A,B,C,D,E 43 20 46 Anisakissimplex D 43 15 44 Anguillicola sp. D 43 1 2 Digenea D 43 10 23 a

A: Lendir kulit, B: Kulit, C: Sirip, D: Usus, E: Insang.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi antara lain pola makan ikan, daya tahan ikan dan kondisi lingkungan ikan. Kondisi kualitas air Danau Lindu dengan pH 6.28. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992) menyatakan bahwa sebagian besar organisme dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairan dengan pH antara 5-9. Pengukuran nilai DO (dissolved oxygen) adalah 2.57 mg/l ini menunjukkan tidak dapat ditoleransi organisme akuatik. Menurut Lee et al.

(1978), menyatakan bahwa kandungan DO kualitas perairan tersebut tercemar sedang (2.0-4.4 mg/l). Pengukuran suhu air danau Lindu termasuk rendah yaitu 29ºC. Menurut Suitha dan Suhaeri (2008) ikan sidat dapat beradaptasi pada suhu 12-31ºC.

Faktor lain yang mempengaruhi prevalensi adalah zat pencemar seperti logam berat, limbah dan sampah rumah tangga. Kondisi tersebut didukung karena masyarakat yang bermukim di tepi danau Lindu membuang limbah rumah tangga di danau tersebut. Tingginya prevalensi infeksi pada ikan sidat dapat menjadi indikator terhadap kualitas perairan. Perubahan suhu dan zat pencemar mampu merubah salinitas perairan, sehingga menyebabkan kondisi perairan menjadi tidak mendukung kehidupan ikan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan ikan menjadi stress dan menyebabkan prevalensi parasit pada ikan sidat menjadi tinggi.

19 Prevalensi Protozoa Parasitik

Myxidium sp. adalah parasit Myxozoa yang tersebar luas pada ikan budidaya dan habitat alami yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Prevalensi protozoa parasit Myxidium sp. sebesar 77%. Sidat yang terinfeksi Myxidium sp. secara klinis menunjukkan bintik-bintik putih kecil yang tersebar di kulit (1-4 mm), ikan mengalami lesi pada bagian tubuh yang terinfestasi, terjadi perubahan warna menjadi gelap, daya renang ikan menjadi lambat, dan bergesekan dengan benda keras. Infestasi berat pada insang mengakibatkan gangguan pernapasan dan penurunan pertumbuhan. Secara mikroskopis kista hitam pada insang mengandung spora (El-ashram 2007). Menurut Silva et al. (1993) prevalensi

Myxidium sp. sebesar 54% pada insang dan kulit ikan sidat (A. Anguila).

Prevalensi Myxobolus sp adalah 46%, parasit ini menyebabkan terbentuknya bintil berwarna putih (1-3 mm) yang terletak di jaringan subcutaneous sirip sidat. Pecahnya kista mengakibatkan pendarahan dan ulkus. Melanomakropag banyak ditemukan pada bagian ikan yang terinfeksi (El-ashram 2007). Melanomakrofag adalah sel pada ikan yang berbentuk bulat padat yang memiliki jumlah pigmen bervariasi. Biasanya terdapat pada ikan yang sehat, akan tetapi jumlahnya meningkat pada ikan yang stres berat, oleh sebab itu melanomakrofag sebagai indikator stres pada ikan (Noga 2010). Menurut Aguilar et al. (2005) menyebutkan prevalensi Myxobolus berkisar 26.5-34,5% pada ikan sidat. Menurut El-ashram (2007) melaporkan prevalensi parasit pada ikan sidat yang berasal dari alam sebesar 7.5%.

Chilodonella sp. ditemukan pada permukaan kulit, insang, dan sirip (Padua

et al. 2013). Prevalensi Chilodonella sp. sebesar 4%, Parasit ini tidak memiliki inang yang spesifik, siklus hidup secara monoxenic, dan menyebabkan lesi yang parah pada inang. C.hexasticha parasit pada Ikan lele (Ictalurus punctatus) dan ikan mas (Carassius auratus) yang dapat menyebabkan pembelahan sel epitel secara berlebihan, fusi lamella pada insang, peradangan, pendarahan, edema, dan nekrosis (Hoffman et al. 1974). Menurut Mood et al. (2011) melaporkan infeksi parasit tersebut sebesar 1%.

Prevalensi Ceratomyxa sp. pada penelitian ini sebesar 18%, secara klinis infeksi mengindikasikan ikan menjadi lemah, penurunan berat, ikan menjadi kehitaman, asites, exopthalmia, pustula pada ginjal dan pada bagian internal parasit tersebut dapat menghambat kerja saluran pencernaan, hati, kandung empedu, limpa, gonad, ginjal, jantung, insang, dan otot. Parasit ini dapat mengakibatkan kematian yang disebabkan oleh lubang pada usus dan membuka peluang terjadinya infeksi bakteri. Potensi infeksi meningkat ketika suhu air yang tinggi, debit air yang rendah, dan infeksi C. shasta relatif tinggi. Menurut True

et al. (2012) prevalensinya sebesar 54% pada ikan sidat.

Tingkat prevalensi protozoa parasit Henneguya sp. adalah 58%, Sel darah merah tidak terdapat di sekitar bintik-bintik kista Henneguya pada insang. Kadang bintik-bintik itu berwarna putih atau sekalipun tak berwarna ditandai dengan tidak adanya filamen insang. Menurut Work et al. (2008) pada ikan Big Eyed Scad

(Selar crumenophthalmus) sebesar 22%. Menurut Abraham et al. (2011) sebesar 54% pada ikan Chrysichthys nigrodigitatus.

Balantidium sp. dengan tingkat prevalensi 2%. Molnar et al. (1978) melaporkan bahwa banyak balantidia ditemukan di lapisan eksudat hindgut ikan

20

yang menyebakan penyakit, dan satu parasit ditemukan pada kerokan mukosa yang diperoleh dari bagian posterior midgut. Balantidium sp. adalah organisme komensal yang melokalisasi di lumen usus dan memperoleh makanan di usus dengan bantuan bakteri usus, karena protozoa tersebut tidak mampu menembus mukosa usus. Namun, faktor yang menekan perlawanan inang memungkinkan parasit tersebut mampu menginvasi mukosa dan menyebabkan luka yang terbuka dan sukar sembuh (ulserasi).

Prevalensi Glugea sp. pada ikan sidat asal Danau Lindu sebesar 46%. Dampak yang ditimbulkan parasit ini seperti terbentuknya nodul berwarna coklat kehitaman pada jaringan adiposa dan organ visceral terutama pada dinding usus dan caecae pyloric. Menurut Marzouk et al. (2010) prevalensi pada ikan kerapu tertinggi mencapai 88.8%.

Prevalensi Cacing Parasitik

Prevalensi Anisakis simplex cukup tinggi sebesar 44%. Nematoda parasitik ini tidak menimbulkan lesi pada ikan. Anisakis simplex (Anisakiasis) dapat menginfeksi manusia melalui food born disease karena cacing tersebut masih bisa bertahan hidup pada suhu kurang dari 70ºC dan temperatur kurang dari -20 ºC (Acha dan Szyfres 2003). Resiko zoonosis dapat terjadi tidak hanya dengan megkonsumsi ikan yang kurang matang, tetapi juga pada saat kontak langsung dengan ikan pada proses preparasi sebelum diolah. Resiko zoonosis terhadap manusia diungkapkan bahwa parasit biasanya masuk ke tubuh manusia adalah larva stadium ketiga yang masuk bersama ikan yang dimakan (Miyazaki 1991). Menurut Aguilar et al. (2005) melaporkan prevalensi A. simplex sebesar 0.3% pada sidat.

Prevalensi Anguillicola sp. sebesar 2%, dampak buruk dari nematoda dracunculoid (A.crassus) yaitu mengisap darah inangnya. Tanda-tanda klinis anguilliculosis adalah hilangnya nafsu makan pada ikan, kurus, berkurangnya kemampuan berenang dan ikan menjadi ringan karena perut menjadi kembung. Anus terlihat bengkak berwarna kemerahan merupakan ciri patognomonik pada sidat yang terinfeksi A. Crassus (El-ashram 2007). Menurut El-dosoky (2001) melaporkan prevalensi cacing tersebut adalah 9.9% pada ikan sidat.

Prevalensi cacing parasit digenea pada ikan sidat asal Danau Lindu sebesar 23%. Cacing parasitik digenea memiliki dua inang dalam siklus hidupnya. Reproduksi seksual digenea menghasilkan telur-telur cacing yang keluar bersamaan dengan feses ikan dan hidup bebas di perairan hingga menemukan inang antara yang sesuai (Cribb et al. 2002). Semua digenea memiliki alat penghisap oral (anterior) di sekitar mulut dan terdapat alat penghisap ventral di tengah tubuhnya. Infeksi cacing parasitik digenea hanya sedikit menimbulkan kerusakan berat pada pencernaan ikan (Kabata 1985, Blair 1977). Cacing parasitik digenea berukuran kecil (dengan panjang sekitar 12 mm), bergerak dan tidak menimbulkan bekas luka, juga tidak menempel terlalu dalam pada organ tubuh inang (Chambers et al. 2001).

Berat ikan yang terinfeksi Cestoda mengakibatkan perut membesar dan kurus. Prevalensi cacing cestoda pada ikan sidat asal Danau Lindu sebesar 4%. Usus ikan yang terinfeksi menunjukkan adanya radang hemoragik yang sangat

21

parah pada usus menimbulkan sumbatan mekanik. Menurut Stefansson (2000)

kecenderungan sidat yang berukuran kecil memakan krustasea kecil (Paracyclops fimriatus) secara berlebihan sangat mendukung kelangsungan siklus hidup cacing tersebut. Cestoda yang menginfeksi sidat dilaporkan menyebabkan kerusakan jaringan usus, penyumbatan mekanik dan menyerap nutrisi inang defenitif (Woo 1995, Paperna 1996, El-dosoky 2001).

Indeks Dominansi

Indeks dominansi mendeskripsikan tentang jumlah keseluruhan protozoa dan cacing parasitik yang terdapat pada ikan sidat asal Danau Lindu. Nilai dominansi tertinggi yaitu Myxidium sp. sebesar 0.23 diantara protozoa yang menginfeksi ikan sidat dan cacing Anisakis simplex memiliki nilai dominansi tertinggi sebesar 0.00046 diantara cacing parasitik lain (Tabel 4). Nilai dominansi protozoa dan cacing parasitik pada ikan sidat berkisar antara 0.0000020–0.23, indeks tersebut mendekati 0 (nol). Indeks dominansi Simpson menunjukkan bahwa tingkat dominansi protozoa dan cacing parasitik tidak ada yang mendominasi di antara parasit lainnya pada ikan sidat. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) menyatakan bahwa kisaran nilai dominansi 0-0.50 menunjukkan dominansi yang rendah.

Tabel 4 Indeks dominansi protozoa dan cacing parasit pada ikan sidat

No Parasit Total Individu Spesies Parasit Indeks Dominasi 1 Myxidium sp. 1009 0.23 2 Myxobolus sp. 282 0.018 3 Chilodonella sp. 6 0.0000082 4 Ceratomyxa sp. 50 0.00057 5 Balantidium sp. 3 0.0000020 6 Henneguya sp. 176 0.0070 7 Glugea sp. 485 0.053 8 Anisakissimplex 45 0.00046 9 Anguillicola sp. 6 0.0000082 10 Digenea 28 0.00017 Tingkat Kesukaan

Pemeriksaan protozoa dan cacing parasitik terbagi atas lendir kulit, kulit, sirip, insang dan usus (Tabel 5). Uji chi-square (χ2= hit 2622.45 > χ2 tab 9.49) menunjukkan perbedaan habitat protozoa dan cacing parasitik pada organ-organ tubuh sidat. Insang dan usus merupakan organ yang disukai protozoa dan cacing

22

parasitik dengan melihat jumlah individu tiap protozoa dan cacing parasitik yang banyak dibandingkan dengan lendir kulit, kulit, dan sirip.

Tabel 5 Jumlah protozoa dan cacing parasit pada organ tubuh ikan sidat berdasarkan tingkat kesukaan

Parasit Lendir kulit Kulit Sirip Usus Insang

Myxidium sp. 56 227 30 113 583 Myxobolus sp. 43 7 2 214 16 Chilodonella sp. 6 Ceratomyxa sp. 50 Balantidium sp. 3 Henneguya sp. 2 72 102 Glugea sp. 87 73 125 200 Anisakissimplex 45 Anguillicola sp. 6 Digenea 28

Dokumen terkait