• Tidak ada hasil yang ditemukan

Curah Hujan Permukaan

Nilai curah hujan GSMaP merupakan hasil pendekatan nilai curah hujan secara tidak langsung dengan sensor, sehingga perlu dilakukan evaluasi, yakni dengan membandingkan nilai curah hujan GSMaP dengan curah hujan permukaan. Pada penelitian ini, evaluasi dilakukan di daerah Sorong, Wamena, dan Merauke.

Gambar 11 Perbandingan GSMaP dengan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke. Gambar 11 menunjukkan bahwa GSMaP mempunyai nilai curah hujan yang lebih besar daripada curah hujan permukaan di Sorong,Wamena, dan Merauke, namun pada waktu tertentu nilai curah hujan GSMaP berada di bawah nilai curah hujan permukaan diketiga daerah tersebut. Adanya perbedaan nilai antara GSMaP dan curah hujan permukaan disebabkan oleh cara kerja sensor gelombang mikro. Pendekatan nilai curah hujan dengan sensor gleombang mikro sangat

bergantung pada variabilitas emisi permukaan. Sensor gelombang mikro mempunyai akurasi yang setingkat dengan akurasi radar untuk wilayah lautan, namun akurasi berkurang untuk wilayah daratan karena adanya variabilitas emisi permukaan dari daratan (Spencer et al 1989).

Pada wilayah Sorong, nilai GSMaP yang overestimate dan underestimate disebabkan oleh adanya kondisi topografi yang beragam, yakni berupa kombinasi daratan-lautan (pesisir pantai). Daratan memiliki emisivitas permukaan yang tinggi (hampir 90% dari kondisi suhu aslinya) (Wibowo YA 2010). Nilai emisivitas yang tinggi menyebabkan sensor gelombang mikro sulit membedakan antara suhu kecerahan butir hujan dan suhu kecerahan permukaan daratan. Sedangkan pada wilayah lautan, gelombang mikro dapat melakukan pendekatan nilai curah hujan dengan akurat karena perbedaan yang sangat kontras antara suhu kecerahan butir hujan (hydrometeor) dengan permukaan (lautan). Wilayah pesisir pantai mempunyai algoritma tersendiri dalam mendekati nilai curah hujan karena dengan komposisi lautan dan daratan yang berimbang membuat pendekatan nilai curah hujan satelit menjadi lebih buruk dari pada wilayah lautan saja atau daratan saja, karena kemampuan akurasi tinggi pada wilayah lautan akan berubah menjadi tidak akurat pada wilayah daratan apabila menggunakan metode pengukuran yang sama. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Kubota (2010) yang menyatakan bahwa GSMaP mempunyai hasil validasi terbaik di lautan, dan lebih buruk di pantai, daratan, dan wilayah yang dingin. Oleh karena itulah wilayah pesisir pantai mempunyai selisih nilai curah hujan yang cukup tinggi antara GSMaP dengan curah hujan permukaan.

Pada wilayah Wamena dengan kondisi topografi pegunungan, nilai GSMaP yang overestimate dan underestimate disebabkan oleh variabilitas emisi permukaan yang tinggi dan pengaruh hujan orografik. Variabilitas emisi permukaan yang tinggi membuat sensor gelombang mikro bias dalam membedakan suhu kecerahan butir hujan dengan suhu kecerahan permukaan. Sedangkan hujan orografik tanpa disertai partikel es diatasnya akan membuat GSMaP bersifat overestimate dan underestimate dalam mendekati nilai curah hujan. Hal ini disebabkan gelombang mikro menggunakan metode scattering based pada pengukuran curah hujan di wilayah daratan, dengan asumsi adanya lapisan-lapisan

es di atas curah hujan yang akan melakukan hamburan terhadap emisi butir hujan, sehingga nilai suhu kecerahan akan terlihat lebih rendah pada sensor dan mampu dibedakan dengan suhu kecerahan daratan. Oleh karena itulah hujan orografik yang tidak disertai lapisan-lapisan es akan membuat sensor gelombang mikro bias dalam melakukan pendekatan nilai curah hujan. Sedangkan nilai GSMaP yang overestimate dan underestimate pada wilayah Merauke disebabkan oleh adanya variabilitas emisi permukaan yang tinggi.

Gambar 12 Perbandingan pola hujan bulanan antara GSMaP dengan CH permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke.

Berdasarkan Gambar 12 terlihat bahwa GSMaP mempunyai pola yang mirip dengan pola curah hujan permukaan. Berdasarkan gambar tersebut juga diketahui bahwa Sorong mempunyai pola hujan lokal, sedangkan Wamena dan Merauke mempunyai pola hujan

monsun. Musim hujan di Sorong terjadi pada bulan Maret-September dengan puncak musim hujan pada bulan Juni. Sedangkan musim hujan di Wamena dan Merauke terjadi pada bulan November-April.

Tabel 4 Curah hujan rata-rata dan standar deviasi curah hujan antara GSMaP dan curah hujan permukaan pada daerah Sorong, Wamena, dan Merauke periode 1998-2003 Daerah CH rata-rata (mm/bulan) Standar deviasi (mm/bulan) GSMaP CH permukaan Sorong 213 176 100 Wamena 197 137 80 Merauke 82 110 78

Gambar 13 Perbandingan curah hujan permukaan dan standar deviasi curah hujan di Sorong, Wamena, dan Merauke. Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa GSMaP mempunyai penyimpangan curah hujan tertinggi terhadap curah hujan permukaan di daerah Sorong sekitar bulan Maret-September. Bulan-bulan tersebut merupakan musim hujan di Sorong.

Penyimpangan tertinggi curah hujan GSMaP terhadap curah hujan permukaan di wilayah Merauke dan Wamena terjadi sekitar bulan November-April, yang merupakan musim hujan di daerah Merauke dan Wamena. Penyimpangan pendugaan curah hujan tertinggi pada musim hujan diduga disebabkan ketidakakuratan satelit ketika menduga obyek dalam jumlah yang besar. Intensitas hujan yang tinggi pada musim hujan menyebabkan suhu kecerahan butir hujan yang tertangkap oleh satelit menjadi bias. Hal ini sesuai dengan penelitian Kubota (2010) yang menyatakan bahwa GSMaP mempunyai eror yang tinggi dalam menduga curah hujan yang lebat.

Tabel 5 Nilai korelasi, keragaman, dan RSME GSMaP terhadap curah hujan permukaan

Uji Sorong Wamena Merauke

r 0.639 0.571 0.553

R2 33% 6.5% 23%

RSME 129 103 100

Gambar 14 Tingkat keragaman curah hujan bulanan GSMaP berdasarkan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke.

Hasil analisis korelasi memperlihatkan bahwa GSMaP mempunyai korelasi yang cukup tinggi dengan curah hujan permukaan, meskipun galat yang dihasilkan cukup tinggi pula. Nilai korelasi yang cukup tinggi menunjukkan bahwa GSMaP mempunyai pola yang sama dengan curah hujan permukaan. Hal ini didukung oleh Gambar 12 yang memperlihatkan adanya pola yang sama antara GSMaP dengan curah hujan permukaan di wilayah Sorong, Wamena, dan Merauke.

Hasil analisis keragaman (R2) menunjukkan bahwa curah hujan permukaan hanya mampu mewakili 33% keragaman curah hujan GSMaP di Sorong, 6.5% di Wamena, dan 23% di Merauke. Tingkat keragaman yang rendah dan adanya galat yang tinggi diduga dipengaruhi oleh cara kerja satelit dalam mendekati nilai curah hujan, adanya fenomena-fenomena khusus atmosfer, serta adanya pengaruh dari faktor-faktor meteorologi lainnya. Penelitian ini tidak membahas hal tersebut, namun penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Wibowo YA (2010) menyatakan bahwa fenomena hujan hangat, variasi emisi permukaan yang tinggi serta adanya pengaruh dari hujan orografik menyebabkan GSMaP dan TRMM mempunyai galat yang tinggi serta tidak mampu mengikuti pola curah hujan permukaan di wilayah pegunungan. Selain itu, parameter lokal berupa suhu permukaan dan kelembaban spesifik mempengaruhi besarnya galat dan tingkat keragaman curah hujan di daerah pantai, sementara daerah daratan dan pegunungan tidak mendapat pengaruh dari parameter lokal (Wibowo YA 2010). Hasil evaluasi secara keseluruhan menunjukkan bahwa GSMaP dapat digunakan untuk merepresentasikan karakteristik curah hujan di suatu wilayah karena mampu mendekati nilai dan pola curah hujan permukaan.

4.2 Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Papua

Analisis pola spasial bertujuan untuk mengetahui kondisi dan sebaran curah hujan di Papua setiap bulan, sedangkan analisis pola temporal bertujuan untuk mengetahui pola curah hujan di daerah tersebut.

Gambar 15 Distribusi spasial curah hujan bulanan di Papua dengan menggunakan data GSMaP. Gambar 15 memperlihatkan kondisi hujan

dan sirkulasi angin di wilayah Papua pada tahun 1998-2006. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa Papua mendapat pengaruh kuat dari monsun. Pada musim hujan (Desember-April), angin yang dominan bertiup di Papua adalah angin barat laut yang mengindikasikan terjadinya monsun Asia (monsun barat), sedangkan angin yang dominan bertiup pada musim kemarau (Juli-Oktober) adalah angin tenggara yang menandakan terjadinya monsun Australia (monsun timur). Gambar 15 juga menunjukkan bahwa pesisir pantai dan daerah pegunungan mempunyai curah hujan tinggi sepanjang tahun. Wilayah pesisir pantai mempunyai cadangan air yang sangat besar (lautan) untuk penguapan yang selanjutnya berkondensasi hingga turun menjadi hujan. Sedangkan di daerah pegunungan sering terjadi hujan orografik. Hal inilah yang menyebabkan wilayah pesisir pantai dan pegunungan mempunyai curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Dengan demikian aspek topografi turut mempengaruhi kondisi curah hujan di Papua. Selanjutnya dilakukan analisis Continous wavelet transform untuk mengetahui variabilitas curah hujan dominan yang terjadi di Papua.

Gambar 16 merupakan hasil analisis CWT curah hujan bulanan di Papua. Sumbu y menunjukkan periode (siklus) terjadinya osilasi, sedangkan sumbu x menunjukkan waktu terjadinya osilasi. Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa Papua memiliki variasi annual curah hujan. Hal ini ditunjukkan oleh domain yang berwarna merah pada periode 12 bulan. Hasil CWT semakin menguatkan analisis sebelumnya yang menyatakan bahwa Papua mendapat pengaruh monsun. Gambar 16 juga menunjukkan bahwa terdapat osilasi curah hujan selama 1-3 bulan, yang terjadi sekitar bulan April-Juni tahun 2006. Osilasi ini mirip dengan fenomena MJO (Madden Julian Oscillation). Adanya fenomena MJO di wilayah Papua telah dikaji sebelumnya oleh Madden RA dan Julian PR pada tahun 1993 yang meneliti osilasi yang terjadi sebagai akibat dari sel sirkulasi skala besar dalam periode 40-50 hari di daerah ekuator yang bergerak ke arah timur dari Samudera Hindia hingga ke Samudera Pasifik bagian tengah. Ushiyama T et al (2003) juga mengkaji tingkat pemanasan bervariasi secara signifikan dengan kondisi lingkungan pulau Manus (Papua Nugini) yang dihubungkan dengan fase MJO.

Gambar 16 Continous wavelet transform curah hujan bulanan di Papua dengan menggunakan data GSMaP periode 1998-2006.

Gambar 17 Pola spasial curah hujan bulanan Papua berdasarkan data GSMaP. Berdasarkan Gambar 17, keragaman hujan

di Papua terjadi di wilayah pesisir pantai dan pegunungan. Hal ini dibuktikan oleh adanya intensitas hujan yang dominan berada di wilayah tersebut, misalnya di wilayah Sorong, Teluk Wondama, Nabire, Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, dan laut Arafura.

Standar deviasi merupakan indikator seberapa besar simpangan curah hujan bulanan di suatu wilayah terhadap rata-ratanya. Hasil pengolahan data GSMaP menunjukkan bahwa standar deviasi tertinggi curah hujan di wilayah Papua pada tahun 1998-2006 adalah sebesar 231 mm/bulan yang terjadi pada bulan Oktober 2002, sedangkan standar deviasi terendah sebesar 59 mm/bulan terjadi pada bulan Juni tahun 2000. Berdasarkan Gambar 17, standar deviasi yang tinggi terjadi di Sorong, Puncak Jaya, dan laut Arafura. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang mendapat pengaruh lautan dan orografik pegunungan. Standar deviasi yang tinggi menunjukkan bahwa selisih nilai curah hujan maksimum dan minimum di suatu wilayah sangat tinggi. Hal ini berarti pada

suatu waktu curah hujan dapat menjadi sangat tinggi namun di waktu yang lain curah hujan dapat bernilai rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa curah hujan di wilayah tersebut berfluktuatif. Standar deviasi yang rendah menunjukkan bahwa nilai curah hujan di suatu wilayah cenderung seragam (mendekati nilai rata-ratanya). Dengan demikian dapat diketahui bahwa selain dipengaruhi monsun, curah hujan di Papua juga mendapat pengaruh dari kondisi topografi.

Analisis pola spasial dan temporal curah hujan juga dilakukan dengan metode Empirical Orthogonal Function (EOF). Hasil analisis EOF secara temporal yang ditunjukkan oleh Gambar 18 memperlihatkan dua pola curah hujan yang paling dominan di Papua. Gambar 18 a merupakan pola yang paling dominan (mode/PC 1) dengan persentase sebesar 32% menunjukkan curah hujan di Papua didominasi oleh variasi seasonal dan intraseasonal. Variasi tersebut dipengaruhi oleh pergerakan matahari, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas

permukaan bumi, serta variasi sebaran daratan dan lautan (Hamada et al 1997 dalam Setiawan 1998). Gambar 18 b menunjukkan adanya pola hujan lokal yang mempengaruhi curah hujan di Papua dengan persentase sebesar 11%. Selanjutnya dilakukan analisis curah hujan secara spasial dengan menggunakan metode EOF untuk mengetahui persebaran wilayah kedua variasi curah hujan tersebut

Gambar 18 Pola temporal curah hujan bulanan di Papua berdasarkan metode EOF. (a) mode/PC 1, (b) mode/PC 2.

(a)

(b)

Gambar 19 Pola spasial curah hujan bulanan di Papua berdasarkan metode EOF. (a) distribusi spasial mode/PC 1, (b) distribusi spasial mode/PC 2.

Gambar 19 merupakan distribusi spasial dari dua pola curah hujan yang paling dominan di Papua. Gambar 19 a menunjukkan daerah-daerah di Papua yang dipengaruhi oleh mode 1 antara lain daerah Raja Ampat, Sorong, Manokwari, teluk Wondama, Nabire, Waropen, Yapen Waropen, Mamberamo Jaya, Sarmi, Jayapura, dan Keerom. Dengan demikian, curah hujan di daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh variasi musiman.

Gambar 19 b menunjukkan daerah-daerah yang dipengaruhi oleh mode 2, antara lain daerah Teluk Bintuni, Fak-Fak, Kaimana, Asmat, Puncak Jaya, Jayawijaya, Yuhukimo, Pegunungan Bintang, dan Merauke. Dengan demikian, curah hujan di daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh variasi lokal. Variasi lokal ini berkaitan erat dengan kondisi topografi suatu wilayah.

4.3 ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan pengaruhnya terhadap curah hujan di Papua

Curah hujan di Papua didominasi oleh pola hujan monsun yang masih mendapat pengaruh aspek topografi. Karena letaknya yang berdekatan dengan Samudera Pasifik, maka diduga bahwa fenomena ENSO juga berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah tersebut.

Gambar 20 Kondisi curah hujan 3 bulanan pada tahun normal, El Nino, dan La Nina dengan menggunakan data GSMaP periode 1998-2006.

Berdasarkan gambar 20, terlihat bahwa fenomena ENSO mempunyai pengaruh yang kuat terhadap intensitas hujan di Papua. Penurunan intensitas hujan yang tinggi (dibawah normal) terjadi pada saat El Nino berlangsung. Penurunan tersebut berkisar antara 8–22%. Penurunan intensitas hujan tertinggi yakni sebesar 22% terjadi pada periode kering, sedangkan penurunan curah hujan terendah yakni sebesar 8% terjadi pada periode peralihan kering ke basah. Pada saat terjadi La Nina, terjadi peningkatan intensitas

hujan sebesar 4-44%. Peningkatan intensitas hujan tertinggi yakni sebesar 44% terjadi pada periode kering, sedangkan peningkatan intensitas hujan terendah yakni sebesar 4% terjadi pada periode basah. Selanjutnya dilakukan analisis koherensi antara curah hujan dengan SOI dan Nino 3.4 untuk melihat seberapa besar pengaruh kedua indikator ENSO tersebut terhadap curah hujan di Papua. Analisis koherensi dilakukan dengan menggunakan transformasi wavelet XWT dan WTC.

Gambar 21 menunjukkan hasil analisis XWT dan WTC antara SOI dengan curah hujan di Papua. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa SOI mempengaruhi curah hujan di Papua pada selang kepercayaan 95%. Koherensi terjadi pada periode 12 bulanan, yang terjadi pada bulan Juni tahun 2000-Juni tahun 2002. Nilai koherensi berkisar antara 0.7-0.8 pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan klasifikasi tahun ENSO yang dilakukan sebelumnya, tahun 2001 dan 2002 merupakan tahun ENSO. Dengan demikian

ENSO turut memberikan pengaruh nyata pada kondisi curah hujan di Papua.

Pada Gambar 21 a terlihat adanya osilasi curah hujan dan SOI pada periode 3 bulanan. Namun osilasi tersebut mempunyai power wavelet yang lemah, yakni sekitar 1-1.5, sehingga ketika dilakukan analisis WTC, osilasi antara curah hujan dengan SOI pada periode tersebut tidak menunjukkan adanya koherensi.

Gambar 22 menunjukkan hasil analisis XWT dan WTC antara Nino 3.4 dengan curah hujan di Papua. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa Nino 3.4 mempengaruhi curah hujan di Papua pada selang kepercayaan 95%. Koherensi terjadi pada periode 12 bulanan, yang terjadi pada bulan Desember tahun 2004-Desember tahun 2005. Nilai koherensi berkisar antara 0.7-0.75 pada selang kepercayaan 95%. Berdasarkan klasifikasi tahun ENSO yang dilakukan sebelumnya, tahun 2004 dan 2005 merupakan tahun El Nino. Hasil analisis ini menunjukkan adanya pengaruh ENSO yang nyata di Papua.

(a)

(b)

Gambar 21 Koherensi antara SOI dengan curah hujan di Papua berdasarkan cross wavelet transform (a) dan wavelet transform coherence (b)

(a)

(b)

Gambar 22 Koherensi antara Nino 3.4 dengan curah hujan di Papua berdasarkan cross wavelet transform (a) dan wavelet transform coherence (b)

Analisis koherensi antara SOI dan Nino 3.4 juga dilakukan di daerah Sorong, Wamena, dan Merauke. Berdasarkan hasil XWT dan WTC, dapat diketahui bahwa SOI dan Nino 3.4 tidak memiliki koherensi dengan curah hujan di Wamena. Hal ini disebabkan adanya pengaruh topografi yang kuat di daerah tersebut. Wamena merupakan daerah pegunungan yang sering mendapat limpahan hujan orografik, sehingga ENSO tidak memberikan pengaruh nyata di daerah tersebut.

Hasil XWT dan WTC juga menyatakan bahwa SOI dan Nino 3.4 mempunyai koherensi dengan curah hujan di Sorong dan Merauke. Pada daerah Sorong, SOI berpengaruh nyata pada periode 12 bulanan dengan nilai koherensi sebesar 0.7-0.9 pada selang kepercayaan 95%. Koherensi tersebut terjadi pada bulan Juni tahun 1999-Agustus tahun 2000. Sedangkan Nino 3.4 mempunyai

koherensi sebesar 0.7-0.9 pada periode 12 bulanan. Koherensi terjadi pada bulan Mei tahun 1999-Januari tahun 2001. Sorong merupakan daerah daratan-pantai, sehingga meskipun faktor topografi juga berpengaruh kuat di daerah ini, namun karena letaknya yang juga berdekatan dengan lautan maka fenomena ENSO tetap memberikan pengaruh yang nyata.

Koherensi antara SOI dengan curah hujan di merauke terjadi pada 12 bulanan terjadi pada bulan Juli tahun 1999-Februari tahun 2002. Selain iti juga terlihat adanya osilasi pada periode 4-6 bulanan. Namun osilasi tersebut mempunyai power wavelet yang lemah, yakni sekitar 1-1.5, sehingga ketika dilakukan analisis WTC, osilasi antara curah hujan dengan SOI pada periode tersebut tidak menunjukkan adanya koherensi. Sedangkan Nino 3.4 tidak mempunyai koherensi dengan curah hujan di daerah tersebut.

(a))

(b)

(c)

Gambar 23 Cross wavelet transform (kiri) dan wavelet transform coherence (kanan) antara SOI dan curah hujan GSMaP. (a) wilayah Sorong, (b) wilayah Wamena, dan (c) wilayah Merauke.

Gambar 24 Cross wavelet transform (kiri) dan wavelet transform coherence (kanan) antara Nino 3.4 dan curah hujan GSMaP. (a) wilayah Sorong, (b) wilayah Wamena, dan (c) wilayah Merauke.

(a)

(b) (c)

Gambar 25 Kondisi hujan di Papua menggunakan data GSMaP. (a) tahun normal, (b) El Nino tahun 2002 dan (c) La Nina tahun 1998.

(b)

Gambar 25 menunjukkan kondisi hujan di wilayah Papua pada tahun normal dan tahun ENSO. Pada tahun El Nino, intensitas hujan akan berada di bawah normal sehingga menimbulkan kekeringan di daerah-daerah yang terkena El Nino. Namun, karena adanya pengaruh topografi yang kuat berupa pesisir pantai yang mempunyai persediaan air yang banyak untuk penguapan serta pegunungan yang dapat menimbulkan hujan orografik yang frekuensinya berfluktuatif, maka daerah- daerah dengan pengaruh faktor topografi yang kuat akan tetap mendapat hujan. Pada tahun La Nina, intensitas hujan akan berada di atas normal sehingga menimbulkan hujan lebat di daerah-daerah yang terkena La Nina. Selain mendapat pengaruh dari topografi, daerah –

daerah dengan faktor lokal yang kuat juga mendapat pengaruh La Nina sehingga intensitas hujannya seragam dengan daerah –

daerah lain di sekitarnya. Dengan kata lain ENSO berpengaruh nyata terhadap curah hujan di Papua (Gambar 20, 21 dan 22). Hal ini dikarenakan letak Papua yang berdekatan dengan Samudera Pasifik, sehingga wilayah tersebut mendapat pengaruh aktivitas Sirkulasi Walker. Penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hamada (2002). Adanya pengaruh faktor lokal yang kuat menyebabkan beberapa daerah di Papua mendapat hujan yang stabil, sehingga tidak terlihat perubahan yang signifikan pada kondisi curah hujan. Hal ini menyebabkan pada saat El Nino intensitas hujan tetap tinggi dan pada saat La Nina intensitas hujan semakin tinggi. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa data GSMaP mampu memberikan hasil yang baik dalam menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di Papua.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait