• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Pemanfaatan data GSMaP dan penelitian di wilayah Papua masih jarang dilakukan. Penelitian ini merupakan langkah awal untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Masih diperlukan analisis curah hujan lebih lanjut dengan periode pengamatan yang lebih panjang serta mempertimbangkan unsur-unsur cuaca lainnya. Adanya pengaruh topografi yang kuat di Papua menandakan adanya pengaruh faktor lokal yang kuat. Namun masih diperlukan data-data lain untuk menganalisis faktor lokal tersebut. Analisis lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui pengaruh perubahan iklim terhadap curah hujan di Papua.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E, Susanto D.R. 2003. Identification of three dominant rainfall region within Indonesia and their relationship to surface temperature. International Journal of Climatology 23:1435-1452.

Adikusumah N, Junaeni I, Suryantoro A, Hamdan R, Firdaus K, Runtana N,

Setiawan U. 2008. Analisa monsun dan TBO Berdasarkan GCM/LAM dan observasi. Bidang Pemodelan Iklim Pusat Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, siap terbit. Bjornsson H dan Venegas SA. 1997. A

manual for EOF and SVD analyses of climatic data. Department of atmospheric and oceanis sciences and Centre for climate and global change research. McGill University press

Brookfield HC, D Hart. 1966. Rainfall in the tropical southwest pasific. Canberra: Department of Geography Publ. G/3, Research School of Pasific Studies, Australian National University. Australian National University Press.

Faqih A. 2003. Analisis pola spasial dan temporal anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, Hindia, dan Atlantik serta kaitannya dengan anomali curah hujan bulanan [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Grinsted A, Jevrejeva J. 2004. Apllication of cross wavelet transform and wavelet coherence to geophysical time series. Nonlinear Processes in Geophysics 11:561-566.

Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan 80:285-310. Iwasaki H. 2008. NDVI prediction over

Mongolian grassland using GSMaP precipitation data and JRA-25/JCDAS temperature data. J Arid Enviro 73: 557–562.

[JAXA] Japan Aerospace and Exploration Agency. 2008. Global rainfall map in near real time data format description. Japan: Earth Observation Center.

[JAXA] Japan Aerospace and Exploration

Agency. 2008. User‟s guide for global rainfall map by JAXA/EORC GSMaP near realtime system (GSMaP NRT). Japan: Earth Observation Center.

Kikuchi K dan Wang B. 2007. Diurnal precipitation regimes in the global tropics. Journal of Climate 21:2680-2696.

Kubota T, Shige S, Hashizume H, Aonashi K, Takahashi N, Seto S, Takayabu YN, Ushio T, Nakagawa K, Iwanami K, Kachi M, Okamoto K. 2007. Global precipitation map using satellite-borne microwave radiometers by the GSMaP project: production and validation. IEEE 45:2259-2275.

Kubota T, Ushio T, Shige S, Kida S, Kachi M, Okamoto K. 2009. Verification of high-resolution satellite-based rainfall estimates around Japan using a gauge-calibrated ground-radar dataset. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:203-222.

Kubota T, Shirooka R, Hamada J, Syamsudin F. 2010. Interannual rainfall variability over the Eastern Maritime Continent. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:111-122.

Komaruddin MR, Parwati, Dalimunthe W. 2001. Analisis pola hujan bulanan dengan data Outgoing Longwave Radiation (OLR) untuk menentukan kandungan air lahan pertanian. Warta LAPAN 3:1-8. Madden JA dan Julian PR. 1993. Observaton

of the 40-50-day tropical oscillation. American Meteorological Society122: 814-837

Okamoto K, Iguchi T, Takahashi N, Ushio T, Awaka J, Kozu T, Shige S, Kubota T. 2007. High precision and high resolution global precipitation map from satellite data. Japan: International Symposium on

Antennas and Propagation, 22 Ags 2007.

Prentice M, Hope GS. 2007. Climate of Papua and it‟s recent change: the ecology of Papua. Singapore. Periplus Edition: 177-195.

Ruminta. 1989. Model arima untuk pendugaan pola curah hujan Jakarta [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Setiawan EB. 1998. Studi pengaruh monsun dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap curah hujan di Aceh [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Seto S, Kubota T, Iguchi T, Takahashi N, Oki T. 2009. An evaluation of over-land rain rate estimates by the GSMaP and GPROF algorithms:the role of lower-rrequency channels. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:183-202.

Situmorang B. 1990. Analisis curah hujan dengan fungsi ortogonal empirik [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Spencer R.W, H.G. Michael, dan E.H. Tobbie. 1989. Precipitation Retrieval over Land and Ocean with the SSM/I: Identification and Characteristics of the Scattering Signal. J Atmos and Ocean Tech 6:254-273.

Sulistyowati R. 2004. Variabilitas spasial dan temporal curah hujan bulanan dengan menggunakan metode EOFs:studi kasus Propinsi Sumatera Barat [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor Sukri NC, Laras K, Wandra T, Didi S,

Larasati RP, Rachdyatmaka JR, Osok S, Tjia P, Saragih JM, Hartati S, Listyaningsih E, Porter KR, Beckett CG, Prawira IS, Punjabi N, Suparwanto SA, Beecham HJ, Bangs MJ, Corwin AL. 2003. Transmission of epidemic dengue hemorhagic fever in easternmost Indonesia. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene 68(5): 529-535.

Surbakti PB. 2010. Pengembangan model monsun Indonesia berbasis hasil analisis data indeks monsun regional [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.

Tjasyono B, Zadrach L. D. 1996. The impact of El Nino on season in Indonesia monsoon region. Proceedings of the Internasional Workshop on the Climate System of Monsoon Asia. Japan, 3-6 Desember 1996, Kyoto: Journal of the Meteorological Society of Japan.

Torrence C, Compo GP. 1998. A practical guide to wavelet analysis. Bull. Am. Meteorol. Soc 79:61-78.

Ushio T. 2008. Global precipitation mapping. the eighteenth IHP training course (International Hydrological Program) Satellite Remote Sensing of Atmospheric Constituents. Japan, 3-15 Nov 2008.

Ushio T., Sasashige K, Kubota T, Shige S, Okamoto K, Aonashi K, Inoue T, Takahashi N, Iguchi T, Kachi M, Oki R, Miritomo T, Kawasaki Z. 2009. A Kalman filter approach to the global satellite mapping of precipitation (GSMaP) from combined passive microwave and infrared radiometric data. Journal of the Meteorological Society of Japan 87A:137-151.

Ushiyama T et al. 2003. Heating distribution by cloud systems derived from Doppler Radar Observation in TOGA-COARE. Journal of the Meteorological Society of Japan 81:1407-1434.

Wibowo YA. 2010. Evaluasi curah hujan GSMaP dan TRMM TMPA dengan curah hujan pemrukaan wilayah Jakarta-Bogor [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Yamanaka MD. 2011. Physical and

Dynamical Climatology - A summary of its theoretical framework for application in Indonesia Maritime Continent

Lampiran 1 Teknik pendekatan nilai curah hujan oleh sensor MWR pada satelit-satelit GSMaP Microwave radiometer (MWR) adalah sensor pasif yang mengukur daya total yang diterima dalam sejumlah kanal. Kanal-kanal ini memiliki frekuensi dan lebar pita (bandwidth) yang berbeda. Radiasi yang diterima berasal dari atmosfer bumi yang menurut hukum radiasi Planck, merupakan emisi termal , seperti halnya radiasi infra merah (IR). Perbedaan utama antara dua jenis radiasi ini ada pada panjang gelombang. Radiasi IR memiliki panjang gelobang dalam satuan µm, sedangkan gelombang mikro (microwave) memiliki panjang gelombang dalam satuan cm (14mm sampai 5mm), dengan rentang frekuensi antara 22 GHz sampai 60 GHz.

Gambar 1 Cara Kerja Sensor gelombang mikro pada Satelit Pengukur Hujan (Ushio 2008). Atmosfer memancarkan spektrum gelombang mikro seperti yang terlihat pada Gambar 1.Unsur-unsur gas (uap air, oksigen, nitrogen) hanya mampu memancarkan radiasi dalam garis spektral diskrit pada beberapa frekuensi tertentu, sedangkan unsur cairan (tetes awan, hujan) memiliki emisi pada seluruh spektrum frekuensi. Kondisi atmosfer yang berbeda (profil temperatur, kelembaban, awan) akan memiliki sifat yang berbeda dan akan diterima dalam waktu yang bersamaan.

TMI (TRMM Microwave Imager) yang menjadi sensor utama GSMaP mengukur radiasi gelombang mikro yang dipancarkan oleh permukaan bumi serta awan dan tetes hujan. Menghitung intensitas curah hujan dari TMI membutuhkan perhitungan yang cukup kompleks. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dasar dari perhitungan ini adalah hukum radiasi Planck, yang mendeskripsikan seberapa besar energi dari suatu benda dalam bentuk temperatur. Permukaan air seperti lautan dan danau, memiliki sifat tambahan yang sangat penting. Permukaan ini hanya memancarkan sekitar satu setengah dari energi gelombang mikro yang ditentukan oleh hukum Planck, sehingga hanya memiliki sekitar setengah dari temperatur permukaan yang sebenarnya. Hal ini menyebabkan permukaan air terlihat sangat „dingin‟ oleh sensor MWR pasif. Di sisi lain,

curah hujan tampak memiliki temperatur yang sama dengan temperatur sebenarnya. Hal ini

menyebabkan curah hujan terlihat „hangat‟ oleh sensor MWR, sehingga tampak kontras terhadap

temperatur „dingin‟ dari permukaan air seperti laut atau danau. Makin banyak tetes hujan, makin

hangat pula temperatur yang terdeteksi MWR, dan penelitian selama tiga dekade terakhir memungkinkan untuk memperoleh intensitas curah hujan yang cukup akurat berdasarkan teknik pengukuran temperatur dari radiasi gelombang mikro ini.

Daratan memiliki sifat emisi gelombang mikro yang sangat berbeda dengan lautan. Daratan memiliki sekitar 90 persen temperatur yang sebenarnya , sehingga kekontrasannya relatif kecil terhadap tetes hujan yang juga tampak „hangat‟ oleh MWR. Dalam kondisi ini, pendugaan

masih bisa difokuskan pada beberapa sifat curah hujan yang lain. Gelombang mikro dengan frekuensi tinggi (85.5 GHz) yang diukur TMI dihamburkan dengan sangat kuat oleh es yang ada pada banyak awan hujan. Hal ini mengurangi sinyal gelombang mikro yang diterima sensor, sehingga memberikan suatu kekontrasan terhadap permukaan hangat dari daratan. Karena

pertikel-partikel es yang besar (umumnya terdapat pada bagian atas awan) cenderung menghamburkan radiasi ini, TMI menggunakan berbagai kanal yang berbeda bersama dengan model-model awan untuk membedakan antara proses-proses ini dan melakukan proses kuantisasi pada hujan dan es sesuai dengan sifat gelombang mikro yang diamatinya.

Lampiran 2 Korelasi antara GSMaP dengan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke

Correlations: gsmap, CH st sorong

Pearson correlation of gsmap and CH st sorong = 0.639 P-Value = 0.000

Correlations: gsmap, CH st wamena

Pearson correlation of gsmap and CH st wamena = 0.571 P-Value = 0.000

Correlations: gsmap, CH st merauke

Pearson correlation of gsmap and CH st merauke = 0.553 P-Value = 0.000

Lampiran 3 Perbandingan curah hujan permukaan dan standar deviasi curah hujan di beberapa daerah di Papua

Lampiran 4 Data GSMaP dan curah hujan permukaan di Sorong, Wamena, dan Merauke tahun 1998-2003

Tahun Bulan Sorong Wamena Merauke

GSMaP CH permukaan GSMaP CH permukaan GSMaP CH permukaan

1998 2 142.56 240.8 342 180 173.52 326.4 1998 3 126 236 146.88 165.8 159.12 295 1998 4 142.56 359.9 496.08 278 149.04 305.2 1998 5 295.92 399.2 97.2 175 71.28 34 1998 6 573.84 528.4 333.36 146 0 127 1998 7 596.16 421.4 74.88 52 10.08 8.6 1998 8 239.76 356 53.28 70 0 13.6 1998 9 375.12 449.5 73.44 90.3 29.52 40.2 1998 10 118.08 259.8 162.72 154.4 35.28 115 1998 11 135.36 211.2 183.6 120.5 82.8 268 1998 12 318.24 128.6 242.64 237.8 126 259.1 1999 1 136.08 66.1 236.16 49 238.32 261 1999 2 33.84 180.5 265.68 215 70.56 262.7 1999 3 507.6 293.5 323.28 175 110.16 170 1999 4 188.64 261.7 236.88 282.2 118.08 461.9 1999 5 514.08 426.5 264.24 63 29.52 110.2 1999 6 216 283 187.2 187 55.44 65.6 1999 7 450.72 165.3 99.36 83.2 0 20.6 1999 8 224.64 212.3 164.88 243.5 1.44 18.2 1999 9 526.32 175 157.68 110.8 0 0 1999 10 545.76 283.8 180.72 95.2 4.32 5.1 1999 11 105.84 132.2 162.72 235.6 190.08 10.3 1999 12 255.6 238.7 166.32 170 84.96 131.4 2000 1 215.28 244.7 113.04 177 91.44 291 2000 2 256.32 172 158.4 88 106.56 62.5 2000 3 97.92 300.8 155.52 173 86.4 128 2000 4 203.04 186.4 254.88 147 335.52 109.3 2000 5 113.04 60.5 140.4 113 211.68 131.3 2000 6 398.16 146.1 113.04 80 18 46.6 2000 7 285.12 155 173.52 115 0 7.5 2000 8 326.16 341 223.92 56 0 15.6 2000 9 391.68 304.2 144 66.8 0 0 2000 10 75.6 13 290.16 186 71.28 164.1 2000 11 234 87.1 237.6 196 7.2 73.7 2000 12 69.84 59 164.88 91.7 38.16 217.1 2001 1 276.48 74.7 207.36 123 265.68 153.3 2001 2 95.04 87 190.08 175.5 68.4 143 2001 3 141.84 79.7 373.68 307.6 160.56 262.3 2001 4 144 54.4 249.84 219 316.08 196.4

2001 5 127.44 85.1 241.92 203.6 16.56 85.5 2001 6 396 237 198 123.3 7.2 20.3 2001 7 128.88 69.8 84.96 49 0 0.3 2001 8 36 4.8 153.36 120 0 4.3 2001 9 663.12 371 205.2 171.3 29.52 1 2001 10 72.72 101.2 149.76 86 27.36 41 2001 11 169.92 63.5 262.8 169.5 210.96 320.7 2001 12 61.2 38 190.8 103.3 170.64 29.5 2002 1 118.8 185.1 275.04 162.2 58.32 79 2002 2 18.72 58.3 228.24 233 123.84 176.5 2002 3 84.96 95 429.84 280 151.2 188.8 2002 4 152.64 107 316.8 187.1 131.76 151.3 2002 5 174.96 92 102.24 15.3 0 14.1 2002 6 244.8 0 117.36 13 27.36 0 2002 7 0 0.9 69.84 2 0 0 2002 8 69.12 0.6 92.88 17 0 0 2002 9 46.08 20.5 78.48 47.3 87.84 55 2002 10 23.76 39 43.2 34 0 1.3 2002 11 84.24 87 198 114 6.48 8 2002 12 248.4 101 145.44 77.6 84.24 39.2 2003 1 146.16 0 471.6 0 177.12 0 2003 2 92.16 74 286.56 207 308.88 221.6 2003 3 252 199 316.8 300.3 118.08 312.2 2003 4 110.88 232.7 199.44 215 49.68 50.1 2003 5 133.92 229 127.44 63 33.12 55.5 2003 6 145.44 330 39.6 20 0 13.6

Lampiran 5 Pengelompokan tahun normal dan ENSO berdasarkan teknik running mean

Tahun Bulan Nino 3.4 Running mean

Anomali iklim 1997 11 2.52 1997 12 2.48 1998 1 2.43 2.166 La Nina 1998 2 1.97 1.858 1998 3 1.43 1.502 1998 4 0.98 0.992 1998 5 0.7 0.48 1998 6 -0.12 0.026 1998 7 -0.59 -0.38 1998 8 -0.84 -0.758 1998 9 -1.05 -0.958 1998 10 -1.19 -1.13 1998 11 -1.12 -1.28 1998 12 -1.45 -1.302 1999 1 -1.59 -1.224 La Nina 1999 2 -1.16 -1.15 1999 3 -0.8 -1.016 1999 4 -0.75 -0.872 1999 5 -0.78 -0.806 1999 6 -0.87 -0.832 1999 7 -0.83 -0.87 1999 8 -0.93 -0.92 1999 9 -0.94 -1.026 1999 10 -1.03 -1.18 1999 11 -1.4 -1.33 1999 12 -1.6 -1.442 2000 1 -1.68 -1.428 La Nina 2000 2 -1.5 -1.284 2000 3 -0.96 -1.098 2000 4 -0.68 -0.874 2000 5 -0.67 -0.656 2000 6 -0.56 -0.522 2000 7 -0.41 -0.464 2000 8 -0.29 -0.436 2000 9 -0.39 -0.442 2000 10 -0.53 -0.508 2000 11 -0.59 -0.576 2000 12 -0.74 -0.596 2001 1 -0.63 -0.56 Normal 2001 2 -0.49 -0.498

2001 3 -0.35 -0.366 2001 4 -0.28 -0.226 2001 5 -0.08 -0.076 2001 6 0.07 0.034 2001 7 0.26 0.098 2001 8 0.2 0.118 2001 9 0.04 0.078 2001 10 0.02 -0.024 2001 11 -0.13 -0.078 2001 12 -0.25 -0.068 2002 1 -0.07 -0.022 El Nino 2002 2 0.09 0.072 2002 3 0.25 0.254 2002 4 0.34 0.458 2002 5 0.66 0.626 2002 6 0.95 0.76 2002 7 0.93 0.902 2002 8 0.92 1.032 2002 9 1.05 1.15 2002 10 1.31 1.268 2002 11 1.54 1.308 2002 12 1.52 1.276 2003 1 1.12 1.136 Normal 2003 2 0.89 0.844 2003 3 0.61 0.468 2003 4 0.08 0.25 2003 5 -0.36 0.182 2003 6 0.03 0.174 2003 7 0.55 0.238 2003 8 0.57 0.448 2003 9 0.4 0.548 2003 10 0.69 0.532 2003 11 0.53 0.488 2003 12 0.47 0.47 2004 1 0.35 0.362 El Nino 2004 2 0.31 0.304 2004 3 0.15 0.258 2004 4 0.24 0.268 2004 5 0.24 0.356 2004 6 0.4 0.51 2004 7 0.75 0.638 2004 8 0.92 0.768 2004 9 0.88 0.842

2004 10 0.89 0.854 2004 11 0.77 0.822 2004 12 0.81 0.732 2005 1 0.76 0.634 El Nino 2005 2 0.43 0.552 2005 3 0.4 0.494 2005 4 0.36 0.434 2005 5 0.52 0.416 2005 6 0.46 0.408 2005 7 0.34 0.354 2005 8 0.36 0.262 2005 9 0.09 0.074 2005 10 0.06 -0.148 2005 11 -0.48 -0.394 2005 12 -0.77 -0.53 2006 1 -0.87 -0.628 Normal 2006 2 -0.59 -0.558 2006 3 -0.43 -0.378 2006 4 -0.13 -0.146 2006 5 0.13 0.022 2006 6 0.29 0.208 2006 7 0.25 0.356 2006 8 0.5 0.496 2006 9 0.61 0.68 2006 10 0.83 0.888 2006 11 1.21 0.95 2006 12 1.29 0.876 2007 1 0.81 2007 2 0.24

Lampiran 6 Data curah hujan rata-rata GSMaP di wilayah Papua periode 1998-2006 Tahun Bulan CH GSMaP rata-rata SOI Nino 3.4

1998 1 106.227072 -23.5 2.43 1998 2 244.8049608 -19.2 1.97 1998 3 175.7501568 -28.5 1.43 1998 4 253.8559152 -24.4 0.98 1998 5 197.9781408 0.5 0.7 1998 6 231.2515224 9.9 -0.12 1998 7 138.1231656 14.6 -0.59 1998 8 130.7038392 9.8 -0.84 1998 9 135.9953496 11.1 -1.05 1998 10 166.7221416 10.9 -1.19 1998 11 188.150436 12.5 -1.12 1998 12 252.408744 13.3 -1.45 1999 1 178.596936 15.6 -1.59 1999 2 213.6266424 8.6 -1.16 1999 3 247.8147624 8.9 -0.8 1999 4 238.691736 18.5 -0.75 1999 5 197.040564 1.3 -0.78 1999 6 300.1541472 1 -0.87 1999 7 158.76792 4.8 -0.83 1999 8 136.3749192 2.1 -0.93 1999 9 118.2212496 -0.4 -0.94 1999 10 162.1565424 9.1 -1.03 1999 11 171.5936112 13.1 -1.4 1999 12 216.6826176 12.8 -1.6 2000 1 250.9488072 5.1 -1.68 2000 2 190.0217808 12.9 -1.5 2000 3 211.6582416 9.4 -0.96 2000 4 241.2710928 16.8 -0.68 2000 5 252.3058344 3.6 -0.67 2000 6 233.8007544 -5.5 -0.56 2000 7 110.6802936 -3.7 -0.41 2000 8 137.3561136 5.3 -0.29 2000 9 97.0656552 9.9 -0.39 2000 10 183.7377792 9.7 -0.53 2000 11 166.3944336 22.4 -0.59 2000 12 164.9641392 7.7 -0.74 2001 1 243.6785784 8.9 -0.63 2001 2 225.0362448 11.9 -0.49 2001 3 242.8929072 6.7 -0.35 2001 4 270.3460248 0.3 -0.28

2001 5 217.4476104 -9 -0.08 2001 6 171.2364048 1.8 0.07 2001 7 81.1558296 -3 0.26 2001 8 66.058992 -8.9 0.2 2001 9 153.8165304 1.4 0.04 2001 10 105.8404176 -1.9 0.02 2001 11 186.0375672 7.2 -0.13 2001 12 220.4610192 -9.1 -0.25 2002 1 188.1761472 2.7 -0.07 2002 2 156.382236 7.7 0.09 2002 3 193.0441824 -5.2 0.25 2002 4 201.094416 -3.8 0.34 2002 5 126.0831456 -14.5 0.66 2002 6 173.5109856 -6.3 0.95 2002 7 44.0478576 -7.6 0.93 2002 8 41.4962064 -14.6 0.92 2002 9 59.8503384 -7.6 1.05 2002 10 41.9340168 -7.4 1.31 2002 11 121.1187024 -6 1.54 2002 12 146.2497768 -10.6 1.52 2003 1 175.461876 -2 1.12 2003 2 220.6481472 -7.4 0.89 2003 3 235.1578896 -6.8 0.61 2003 4 186.6131712 -5.5 0.08 2003 5 123.3856944 -7.4 -0.36 2003 6 72.70254 -12 0.03 2003 7 172.838016 2.9 0.55 2003 8 108.0226512 -1.8 0.57 2003 9 114.3934272 -2.2 0.4 2003 10 145.0330272 -1.9 0.69 2003 11 106.3242144 -3.4 0.53 2003 12 221.9832648 9.8 0.47 2004 1 204.4717272 -11.6 0.35 2004 2 248.490936 8.6 0.31 2004 3 179.6835312 0.2 0.15 2004 4 142.1269704 -15.4 0.24 2004 5 206.2853064 13.1 0.24 2004 6 99.2815488 -14.4 0.4 2004 7 91.1703888 -6.9 0.75 2004 8 45.6327576 -7.6 0.92 2004 9 129.469572 -2.8 0.88 2004 10 67.0948416 -3.7 0.89 2004 11 131.9115096 -9.3 0.77

2004 12 160.2156816 -8 0.81 2005 1 190.8930744 1.8 0.76 2005 2 183.8042928 -29.1 0.43 2005 3 215.636256 0.2 0.4 2005 4 256.8077784 -11.2 0.36 2005 5 132.7191264 -14.5 0.52 2005 6 112.1054544 2.6 0.46 2005 7 153.2533896 0.9 0.34 2005 8 91.5037128 -6.9 0.36 2005 9 121.0774176 3.9 0.09 2005 10 167.9768712 10.9 0.06 2005 11 164.4854472 -2.7 -0.48 2005 12 232.492464 0.6 -0.77 2006 1 233.8740792 12.7 -0.87 2006 2 209.4973056 0.1 -0.59 2006 3 224.0138304 13.8 -0.43 2006 4 231.0603336 15.2 -0.13 2006 5 158.244444 -9.8 0.13 2006 6 264.4154496 -5.5 0.29 2006 7 101.6306496 -8.9 0.25 2006 8 55.3689072 -15.9 0.5 2006 9 121.6520208 -5.1 0.61 2006 10 57.74274 -15.3 0.83 2006 11 99.3898224 -1.4 1.21 2006 12 139.3460928 -3 1.29

ABSTRACT

FIRDANA AYU RAHMAWATI. Rainfall Spatial and Temporal Variation Analysis over Papua based on GSMAP during 1998-2006 and It‟s Relation to the Regional Climate. Advised by IDUNG RISDIYANTOandFADLI SYAMSUDIN.

This study is focused on rainfall spatial and temporal variation analysis over Papua, Indonesia using GSMaP MWR (Global Satellite Mapping of Precipitation Microwave Radiometer) during 1998-2006. GSMaP MWR data was extracted and represented in time series and spatial format, and compared with other observation data such meridional (UWND) and zonal (VWND) surface wind from National Centers for Environmental Prediction (NCEP), Southern Oscillation Index (SOI) and NINO 3.4 Index. Continuous Wavelet Transform (CWT) and Empirical Orthogonal Function (EOF) analysis show that rainfall variation over Papua is effected by monsoon and topography factor, especially in the central and southern Papua. In the other hand, equatorial rainfall variation is very dominant in the northern Papua. The Cross Wavelet Transform (XWT) and Wavelet Transform Coherence (WTC) analysis indicate that El Nino-Souther Oscillation (ENSO) also give significant impact to the onset of rainy season during El Nino and La Nina years, even though it does not give much impact to the rainfall amount as the monsoon effect over Papua.

ABSTRAK

FIRDANA AYU RAHMAWATI. Analisis Pola Spasial dan Temporal Curah Hujan di Wilayah Papua Berdasarkan Data GSMaP Periode 1998-2006 dan Hubungannya dengan Iklim Regional. Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO dan FADLI SYAMSUDIN.

Penelitian ini membahas tentang analisis pola spasial dan temporal curah hujan di wilayah Papua, Indonesia menggunakan produk data GSMaP MWR (Global Satellite Mapping of Precipitation Microwave Radiometer) pada periode 1998-2006. Data GSMaP MWR diekstrak dan direpresentasikan kedalam deret waktu dan format spasial, serta dibandingkan dengan data observasi lainnya seperti data angin permukaan meridional (UWND) dan zonal (VWND) yang diperoleh dari National Centers for Environmental Prediction (NCEP), data Southern Oscillation Index (SOI) dan NINO 3.4 Index. Hasil analisis menggunakan Continuous Wavelet Transform (CWT) dan Empirical Orthogonal Function (EOF) menunjukkan bahwa variasi curah hujan di Papua sangat dipengaruhi monsun dan faktor topografi, khususnya di wilayah Papua bagian tengah dan selatan. Di sisi lain, variasi curah hujan ekuatorial sangat dominan di wilayah Papua bagian utara. Hasil analisis dengan Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Transform Coherence (WTC) mengindikasikan bahwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) juga memberikan pengaruh signifikan terhadap permulaan musim hujan pada tahun-tahun El Nino dan La Nina, walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap besarnya curah hujan seperti halnya efek monsun di Papua. Kata kunci : Papua, Pola spasial dan temporal, GSMaP, EOF, Wavelet

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Papua merupakan salah satu wilayah terbasah di dunia dengan curah hujan berkisar antara 2500–4500 mm per tahun. Wilayah ini memiliki iklim basah yang tidak biasa, baik di Indonesia maupun untuk skala global, dengan kondisi geografis yang beragam mulai dari padang rumput, rawa, hutan hujan, hingga pegunungan (Prentice dan Hope 2007). Papua mempunyai pegunungan Jayawijaya dengan puncak tertinggi yang terletak diantara pegunungan Himalaya dan Andes, serta merupakan lokasi satu-satunya glacier di wilayah warm pool ekuatorial Samudera Pasifik (BMKG dan BPRC 2010). Penelitian yang komprehensif tentang pola curah hujan di Papua masih relatif sedikit karena terbatasnya stasiun pengamatan hujan. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya lebih banyak menitikberatkan pada data dari stasiun-stasiun pengamatan hujan tertentu saja, sehingga belum bisa merepresentasikan karakteristik curah hujan di Papua secara keseluruhan.

Penakar hujan pada stasiun pengamatan hujan merupakan suatu alat pengukur yang akurat dalam menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Ketersediaan data curah hujan selama ini sangat tergantung pada stasiun pengamatan hujan, namun tidak semua daerah memilikinya. Sebaran pos penakar hujan ini tidak merata, khususnya di daerah tidak berpenghuni serta di sekitar lautan, yang mengakibatkan adanya kesulitan dalam memperoleh informasi mengenai sebaran pola spasial curah hujan di suatu wilayah. Pendugaan curah hujan menggunakan satelit menjadi solusi bagi ketersedian data ini, karena dapat memberikan data yang kontinyu baik secara spasial maupun temporal.

Teknologi observasi cuaca dengan satelit memungkinkan analisis pola curah hujan dalam skala ruang yang lebih besar dibandingkan data observasi stasiun cuaca. Karakteristik curah hujan di suatu wilayah yang luas dapat dikaji secara mendalam, misalnya kapan dan di mana saja curah hujan terjadi pada suatu waktu tertentu, serta bagaimana pola curah hujan dapat bervariasi antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain.

Salah satu produk data penginderaan jauh dengan satelit adalah GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation). GSMaP merupakan produk data grid hasil asimilasi data pengamatan beberapa satelit cuaca, antara

lain TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission), AQUA, DMSP (Defense Meteorological Satellite Program) F13-F17, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) N15-N18 serta beberapa satelit geostasioner seperti GMS (Geostationary Meteorological Satellite). Data ini mempunyai resolusi spasial 0.1°x0.1° hingga 0.25°x0.25° dan resolusi temporal 60 menit hingga 30 hari sehingga sangat baik digunakan untuk mengkaji pola curah hujan di suatu wilayah yang luas seperti Papua, baik secara spasial maupun temporal.

Pemahaman tentang variabililitas curah hujan secara spasial dan temporal sangat penting dalam menyusun informasi iklim yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Penelitian ini menggunakan metode EOF dan transformasi wavelet untuk menganalisis variabilitas curah hujan di Papua berdasarkan data GSMaP periode 1998-2006.

1.2 Tujuan

Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah: 1. Validasi data GSMaP di wilayah

Papua,

2. Menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di wilayah Papua menggunakan data GSMaP periode 1998-2006,

3. Menganalisis variabilitas curah hujan di Papua dan hubungannya dengan iklim regional menggunakan indikator SOI dan Nino 3.4.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Global Satellite Mapping of Precipitation

(GSMaP)

GSMaP merupakan project milik badan antariksa Jepang untuk melakukan pendekatan nilai curah hujan menggunakan media satelit luar angkasa. Tujuan dari project ini adalah pemetaan hujan secara global dengan resolusi dan keakuratan yang tinggi menggunakan satelit dengan sensor MWR (microwave radiometer) (Okamoto 2007). GSMaP dikelola oleh EORC (Earth Observation Research Center) dari JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) (JAXA 2008). Data GSMaP dapat diakses di: http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/.

GSMaP melibatkan 3 satelit pengukur curah hujan dengan menggunakan sensor MWR yaitu TRMM, AQUA, dan DMSP yang masing-masing memiliki karakteristik sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Papua merupakan salah satu wilayah terbasah di dunia dengan curah hujan berkisar antara 2500–4500 mm per tahun. Wilayah ini memiliki iklim basah yang tidak biasa, baik di Indonesia maupun untuk skala global, dengan kondisi geografis yang beragam mulai dari padang rumput, rawa, hutan hujan, hingga pegunungan (Prentice dan Hope 2007). Papua mempunyai pegunungan Jayawijaya dengan puncak tertinggi yang terletak diantara pegunungan Himalaya dan Andes, serta merupakan lokasi satu-satunya glacier di wilayah warm pool ekuatorial Samudera Pasifik (BMKG dan BPRC 2010). Penelitian yang komprehensif tentang pola curah hujan di Papua masih relatif sedikit karena terbatasnya stasiun pengamatan hujan. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya lebih banyak menitikberatkan pada data dari stasiun-stasiun pengamatan hujan tertentu saja, sehingga belum bisa merepresentasikan karakteristik curah hujan di Papua secara keseluruhan.

Penakar hujan pada stasiun pengamatan hujan merupakan suatu alat pengukur yang akurat dalam menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Ketersediaan data curah hujan selama ini sangat tergantung pada stasiun pengamatan hujan, namun tidak semua daerah memilikinya. Sebaran pos penakar hujan ini tidak merata, khususnya di daerah tidak berpenghuni serta di sekitar lautan, yang mengakibatkan adanya kesulitan dalam memperoleh informasi mengenai sebaran pola spasial curah hujan di suatu wilayah. Pendugaan curah hujan menggunakan satelit menjadi solusi bagi ketersedian data ini, karena dapat memberikan data yang kontinyu baik secara spasial maupun temporal.

Teknologi observasi cuaca dengan satelit memungkinkan analisis pola curah hujan dalam skala ruang yang lebih besar dibandingkan data observasi stasiun cuaca. Karakteristik curah hujan di suatu wilayah yang luas dapat dikaji secara mendalam, misalnya kapan dan di mana saja curah hujan terjadi pada suatu waktu tertentu, serta bagaimana pola curah hujan dapat bervariasi antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain.

Salah satu produk data penginderaan jauh dengan satelit adalah GSMaP (Global Satellite Mapping of Precipitation). GSMaP merupakan produk data grid hasil asimilasi data pengamatan beberapa satelit cuaca, antara

lain TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission), AQUA, DMSP (Defense Meteorological Satellite Program) F13-F17, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) N15-N18 serta beberapa satelit geostasioner seperti GMS (Geostationary Meteorological Satellite). Data ini mempunyai resolusi spasial 0.1°x0.1° hingga 0.25°x0.25° dan resolusi temporal 60 menit hingga 30 hari sehingga sangat baik digunakan untuk mengkaji pola curah hujan di suatu wilayah yang luas seperti Papua, baik secara spasial maupun temporal.

Pemahaman tentang variabililitas curah hujan secara spasial dan temporal sangat penting dalam menyusun informasi iklim yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Penelitian ini menggunakan metode EOF dan transformasi wavelet untuk menganalisis variabilitas curah hujan di Papua berdasarkan data GSMaP periode 1998-2006.

1.2 Tujuan

Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah: 1. Validasi data GSMaP di wilayah

Papua,

2. Menganalisis pola spasial dan temporal curah hujan di wilayah Papua menggunakan data GSMaP periode 1998-2006,

3. Menganalisis variabilitas curah hujan di Papua dan hubungannya dengan iklim regional menggunakan indikator SOI dan Nino 3.4.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Global Satellite Mapping of Precipitation

(GSMaP)

GSMaP merupakan project milik badan antariksa Jepang untuk melakukan pendekatan nilai curah hujan menggunakan media satelit luar angkasa. Tujuan dari project ini adalah pemetaan hujan secara global dengan resolusi dan keakuratan yang tinggi menggunakan satelit dengan sensor MWR (microwave radiometer) (Okamoto 2007). GSMaP dikelola oleh EORC (Earth Observation Research Center) dari JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) (JAXA 2008). Data GSMaP dapat diakses di: http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/.

GSMaP melibatkan 3 satelit pengukur curah hujan dengan menggunakan sensor MWR yaitu TRMM, AQUA, dan DMSP yang masing-masing memiliki karakteristik sebagai berikut:

Tabel 1 Satelit dan sensor dalam GSMaP (JAXA 2008) Satelit Ketinggian (km) Sensor MWR Frekuensi (GHz)

TRMM 402 TMI 10,19,21,37,85

AQUA 705 AMSR-E 7,10,19,24,37,89

DMSP-F13 803 SSM/I 19,37,85

DMSP-F14 803 SSM/I 19,37,85

DMSP-F15 803 SSM/I 19,37,85

Selain menggunakan 3 satelit MWR tersebut, GSMaP juga menggunakan data satelit dengan sensor IR (infrared), antara lain: MTSAT, METSOSAT-7/-8, dan GOES-11/-12. Kombinasi dari sensor gelombang mikro dan inframerah digunakan untuk mendapatkan vektor pergerakan awan (Cloud Motion Vector), yang selanjutnya digunakan dalam algoritma GSMaP (Kubota et al 2007). Penggunaan kombinasi sensor dilakukan untuk menutupi kelemahan sensor lainnya.

(a)

(b)

Gambar 1 Lintasan/Orbit gabungan satelit TRMM/TMI, AQUA/AMSR-E, ADEOOS-II/AMSR,dan DMSP SSM/I (a) dan diagram alir algoritma GSMaP MWR (b) (Okamoto 2007).

Pengambilan data curah hujan GSMaP terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1. Pengumpulan data dari satelit-satelit GEO IR yang dilakukan oleh JMA (Japan Meteorology Agency). Data GEO IR ini

Dokumen terkait