• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perancangan dan Prinsip Kerja Alat

Alat penggiling tulang sapi kering dirancang untuk menggiling tulang menjadi tepung. Perancangan dan pembuatan alat ini bertujuan untuk mempermudah pengolahan limbah tulang menjadi tepung sebagai campuran pakan hewan ternak sehingga limbah tulang yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis dapat menjadi produk yang berguna dan bernilai.

Pada tahap awal, dilakukan perancangan bentuk alat penggiling tulang sapi kering. Prinsip kerja alat ini ialah melontarkan bahan dengan pisau penggiling ke bagian piringan statis, kemudian diharapkan bahan dapat hancur sehingga berbentuk butiran yang melewati mesh dan keluar melalui saluran pengeluaran.

Oleh karena itu, perlu dilakukan perhitungan untuk menentukan dimensi alat yang sesuai agar alat ini dapat bekerja.

Alat ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu kerangka alat, motor bakar, dan tabung penggiling. Pada bagian kerangka alat digunakan besi siku. Pemilihan bahan ini dikarenakan beban yang diterima adalah tabung penggiling yang terbuat dari plat besi tebal sehingga alat dapat menahan beban dengan kokoh. Kerangka alat berdimensi 80 cm × 48,5 cm × 43 cm. Motor bakar yang digunakan memiliki tenaga sebesar 5,5 HP dengan kecepatan tanpa beban sebesar 3800 RPM dan puli berdiameter 3,5 inci. Daya pada motor ditransmisikan ke poros yang terhubung dengan piringan berputar melalui sabuk V dan puli berdiameter 4 inci.

Tabung penggiling terdiri dari penggiling berputar dan penggiling statis.

Penggiling berputar memiliki diameter 21 cm dan tebal 0,5 cm, dilengkapi dengan empat buah mata pisau berbentuk L, dua buah penyeimbang, dan tiga buah kipas.

Mata pisau berfungsi untuk melontarkan tulang ke bagian piringan statis dan tabung penggiling. Penyeimbang berfungsi untuk menjaga kestabilan putaran piringan berputar. Kipas berfungsi untuk memberikan tekanan udara terhadap tepung agar bisa keluar melewati mesh menuju saluran pengeluaran. Sedangkan penggiling statis memiliki diameter 35 cm dan tebal 0,5 cm, dilengkapi dengan 14 sisir penggiling. Sisir penggiling ini berfungsi untuk memecah tulang yang dilontarkan oleh mata pisau.

Pada bagian dasar tabung penggiling terdapat ayakan berukuran 200 mesh dengan lebar 15,1 cm. Ayakan ini digunakan karena sesuai dengan SNI tepung tulang (1992). Pada bagian luar tabung terdapat hopper dengan diameter 10 cm.

Ukuran hopper dibuat tidak terlalu besar agar tidak banyak tepung yang tercecer akibat tekanan udara yang dihasilkan oleh kipas penggiling. Spesifikasi lengkap alat penggiling tulang sapi kering dapat dilihat pada lampiran 2.

Pemilihan dan Pengukuran Bahan

Pemilihan bahan dilakukan untuk memenuhi tujuan rancangan yang ingin dicapai. Bahan teknik yang umum digunakan pada pembuatan alat adalah besi, baja, aluminium, dan stainless steel. Untuk bagian rangka alat dipilih bahan besi siku sehingga mampu menahan bobot alat. Untuk bagian tabung penggiling dipilih bahan besi plat yang mudah dibentuk dan kuat. Sementara untuk bagian dalam tabung penggiling, dipilih bahan baja untuk mata pisau, kipas,

penyeimbang, dan sisir karena bahan yang akan diolah bersifat keras sehingga mata pisau, kipas, dan penyeimbang tidak mudah rusak. Untuk piringan berputar dipilih bahan stainless steel agar tidak mudah berkarat karena bagian ini paling sering terkena hantaman bahan. Untuk poros dipilih bahan besi bulat padu.

Kemudian dilakukan pengukuran bahan sesuai dengan perencanaan.

Pemotongan dan Perakitan Bahan

Bahan yang telah diukur kemudian dipotong menggunakan gerinda potong dan gergaji besi. Pemotongan harus dilakukan denga benar agar hasilnya sesuai dengan ukuran. Bahan yang telah dipotong kemudian disatukan dengan cara pengelasan, pematrian, ataupun penyatuan menggunakan baut dan mur. Setelah itu dilakukan perakitan bahan yang telah disatukan sehingga menjadi bentuk alat yang utuh.

Finishing

Setelah alat dirakit, tahap akhir yang dapat dilakukan yaitu melakukan finishing. Pada tahap ini, dilakukan pengecatan untuk menghindari terjadinya korosi pada alat sehingga alat bisa bertahan lebih lama. Selain itu, dengan melakukan pengecatan pada alat maka nilai estetika alat akan bertambah sehingga daya jual dari alat akan meningkat.

Pengeringan Tulang Sapi

Sebelum tulang sapi digiling menjadi tepung, tulang sapi melewati beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu membersihkan tulang sapi dari daging dan lemak yang masih menempel. Tahap berikutnya yaitu pemotongan tulang sapi

dengan ukuran 2-5 cm. Kemudian tulang sapi yang telah dipotong dijemur selama 1 jam. Setelah itu tulang sapi dikeringkan dalam oven dengan suhu 100°C selama 6 jam. Tulang sapi yang telah kering dapat digiling menjadi tepung. Hal ini sesuai dengan literatur Capah (2006) yang menyatakan bahwa setelah pengeringan, tulang digiling dengan menggunakan mesin penggiling untuk memperoleh hasil tepung tulang. Pada penelitian ini, diperoleh kadar air tulang pada ulangan I sebesar 6,66%, pada ulangan II sebesar 4%, dan pada ulangan III sebesar 4,66%.

Rataan kadar air tulang sapi adalah sebesar 5,10%. Kadar tulang sapi kering dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Kadar air tulang sapi

Alat penggiling tulang sapi kering ini bertujuan untuk menghasilkan produk tepung tulang. Proses pengeringan dibutuhkan agar kadar air pada tulang berkurang hingga mencapai SNI tepung tulang (1992) yaitu maksimal sebesar 8%.

Kadar air yang terkandung pada tulang sapi sendiri mencapai 9%

(Yildirim, 2004). Jika proses pengeringan ini tidak dilakukan, maka hasil dari penggilingan akan berupa pasta. Selain itu, jika tulang tetap digiling tanpa dikeringkan terlebih dahulu, maka hasil penggilingan akan tersangkut di ayakan.

Proses pengeringan ini bertujuan agar tulang yang digiling dapat melewati ayakan dan keluar melalui saluran pengeluaran dalam bentuk tepung.

Kapasitas Efektif Alat

Menurut Daywin, dkk (2008), kapasitas kerja suatu alat atau mesin didefenisikan sebagai kemampuan alat dan mesin dalam menghasilkan suatu produk per satuan waktu (jam). Pada alat penggiling tulang sapi kering ini, kapasitas efektif alat dihitung dari perbandingan antara banyaknya tepung tulang yang dihasilkan (kg) dengan waktu yang dibutuhkan untuk penggilingan (jam).

Kapasitas efektif alat penggiling tulang sapi kering dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kapasitas efektif alat Ulangan Berat awal

Berdasarkan data hasil penelitian di atas, pada ulangan I diperoleh kapasitas efektif alat sebesar 10,86 kg/jam dengan berat awal bahan 1 kg dan berat akhir bahan 0,91 kg serta waktu penggilingan 0,09 jam. Pada ulangan II diperoleh kapasitas efektif alat sebesar 11,36 kg/jam dengan berat awal bahan 1 kg dan berat akhir bahan 0,93 kg serta waktu penggilingan 0,08 jam. Pada ulangan III diperoleh kapasitas efektif alat sebesar 11,62 kg/jam dengan berat awal bahan 1 kg dan berat akhir bahan 0,92 kg serta waktu penggilingan 0,08 jam. Dari data ini diperoleh rataan kapasitas efektif alat sebesar 11,28 kg/jam. Artinya, alat ini dapat menggiling tulang hingga menjadi tepung sebanyak 11,28 kg dalam waktu 1 jam.

Kerusakan Hasil

Pada alat penggiling tulang sapi kering ini, kerusakan hasil mencakup bahan yang tertinggal di alat dan bahan yang tercecer selama proses penggilingan.

Adapun kriteria kerusakan hasil dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Kriteria kerusakan hasil

No. Tertinggal di Alat Tercecer

1. Tepung yang melekat pada bagian dalam hopper, mata pisau, sisir, dan saluran pengeluaran.

Tepung yang keluar dari sela wadah penampung, hopper, dan bagian sambungan poros dengan piringan mata pisau.

2. Tulang yang tidak berhasil melewati ayakan.

Persentase kerusakan hasil diperoleh dengan membandingkan antara berat tulang tidak terolah (kg) dengan berat awal bahan yang diolah (kg). Hal ini sesuai dengan literatur AOAC (2005) yang menyatakan bahwa berat bahan tidak terolah dapat dihitung dengan mengurangi berat awal bahan dengan dengan berat bahan terolah. Persentase kerusakan hasil pada alat penggiling tulang sapi kering dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Persentase kerusakan hasil pada alat Ulangan

Berdasarkan data hasil penelitian di atas, pada ulangan I diperoleh persentase kerusakan hasil sebesar 9%, pada ulangan II diperoleh persentase kerusakan hasil sebesar 7%, dan pada ulangan III diperoleh persentase kerusakan hasil sebesar 8%. Rataan persentase kerusakan hasil pada alat ini sebesar 8%.

Kerusakan hasil ini diduga disebabkan oleh adanya tepung yang tidak masuk ke dalam wadah penampung dan tepung yang keluar melalui hopper.

Kadar Air Tepung Tulang

Kadar air tepung tulang yang dihasilkan perlu diketahui agar dapat disesuaikan dengan standar. Jika kadar air tepung tulang telah memenuhi standar, maka tepung tulang layak untuk diusahakan. Jika tidak, maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut agar kadar air tepung tulang dapat disesuikan dengan standar.

Menurut SNI tepung tulang (1992), kadar air maksimal tepung tulang yang diizinkan yaitu sebesar 8% untuk mutu I dan mutu II. Kadar air tepung tulang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Kadar air tepung tulang Ulangan Berat awal

Berdasarkan data hasil penelitian di atas, pada ulangan I diperoleh kadar air tepung tulang sebesar 0,40%, pada ulangan II diperoleh kadar air tepung tulang sebesar 0,39%, dan pada ulangan III diperoleh kadar air tepung tulang sebesar 0,28%. Rataan kadar air tepung tulang adalah sebesar 0,35%. Hal ini

menunjukkan bahwa tepung tulang yang dihasilkan telah memenuhi SNI tepung tulang (1992) yaitu kadar air tepung maksimal sebesar 8%.

Kehalusan Saringan Tepung Tulang

Kehalusan saringan tepung tulang dapat diketahui dengan menggunakan metode sieve shaker. Tepung yang lolos pada saringan paling bawah kemudian ditimbang dan dihitung persentase kehalusannya. Menurut Khodijah, dkk (2014), Saringan bertingkat dengan nilai mesh sama akan memperbaiki kualitas dan keseragaman hasil, sedangkan saringan bertingkat dengan nilai mesh berbeda akan menghasilkan beberapa produk dengan keseragaman berbeda. Kehalusan saringan tepung tulang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7. Kehalusan saringan tepung tulang Ulangan Berat awal

Berdasarkan data hasil penelitian di atas, pada ulangan I diperoleh kehalusan saringan tepung tulang sebesar 52,78%, pada ulangan II diperoleh kehalusan saringan tepung tulang sebesar 53,41%, dan pada ulangan III diperoleh kehalusan saringan tepung tulang sebesar 51,50%. Rataan kehalusan saringan tepung tulang adalah sebesar 52,56%. Hal ini menunjukkan bahwa tepung tulang yang dihasilkan sebagian besar telah lolos saringan. Penyebab hasil uji kehalusan saringan menggunakan sieve shaker ini sebesar 52,56% yaitu pada saat proses

penggilingan tekanan yang ditimbulkan oleh kipas memaksa tulang yang belum cukup halus keluar dari sela-sela ayakan.

Analisis Ekonomi

Umumnya setiap investasi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.

Namun ada juga investasi yang bukan bertujuan untuk keuntungan, misalnya investasi dalam bidang sosial kemasyarakatan atau investasi untuk kebutuhan lingkungan, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Menurut Soeharno (2007), analisis ekonomi digunakan untuk menentukan besarnya biaya yang harus dikeluarkan saat produksi menggunakan alat ini. Dengan analisis ekonomi dapat diketahui seberapa besar biaya produksi sehingga keuntungan alat dapat diperhitungkan.

Dari analisis biaya yang dilakukan (lampiran 10), diperoleh biaya untuk menggiling tulang berbeda tiap tahun. Biaya untuk menggiling tulang pada tahun pertama sebesar Rp 770,60/kg, pada tahun kedua sebesar Rp 772,30/kg, pada tahun ketiga sebesar Rp 774,11/kg, pada tahun keempat sebesar Rp 776,05/kg, dan pada tahun kelima sebesar Rp 778,11/kg. Hal ini disebabkan perbedaan nilai biaya penyusutan tiap tahun sehingga mengakibatkan biaya tetap alat tiap tahun berbeda juga.

Break Even Point

Manfaat perhitungan titik impas (break even point) adalah untuk mengetahui batas produksi minimal yang harus dicapai dan dipasarkan agar usaha yang dikelola masih layak untuk dijalankan. Menurut Waldiyono (2008), break even point (analisis titik impas) umumnya berhubungan dengan proses penentuan

tingkat produksi untuk menjamin agar kegiatan usaha yang dilakukan dapat membiayai sendiri (self financing) dan selanjutnya dapat berkembang sendiri (self growing). Dalam analisis ini, keuntungan awal dianggap sama dengan nol.

Berdasarkan analisis biaya yang dilakukan (lampiran 11), titik impas terjadi setelah menggiling tulang sebanyak 311 kg pada tahun pertama, 327 kg pada tahun kedua, 344 kg pada tahun ketiga, 362 kg pada tahun keempat, dan 381 kg pada tahun kelima. Peningkatan break even point setiap tahunnya dipengaruhi oleh biaya penyusutan yang meningkat setiap tahun.

Net Present Value

Net present value (NPV) adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur suatu alat layak atau tidak untuk diusahakan. Berdasarkan analisis biaya yang dilakukan (lampiran 12), diketahui besarnya NPV dengan suku bunga 6,75%

adalah Rp 350.551.655,50/tahun dan dengan suku bunga bank coba-coba sebesar 8% adalah Rp 335.847.320,60/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ini layak untuk dijalankan karena NVP lebih besar dari nol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Giatman (2006) yang menyatakan bahwa jika NPV > 0, berarti usaha yang telah dilaksanakan menguntungkan.

Internal Rate of Return

Menurut Soekartawi (1995), internal rate of return atau tingkat pengembalian internal merupakan parameter yang dipakai apakah suatu usaha tani mempunyai kelayakan usaha atau tidak. Kriteria layak atau tidak layak bagi usaha tani bila IRR lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku saat usaha tani itu

diusahakan dengan meminjam uang (biaya) dari bank pada saat nilai netto sekarang (NPV = 0).

Dari analisis biaya yang dilakukan (lampiran 13), diperoleh nilai IRR sebesar 37,80%. Usaha ini layak dijalankan apabila bunga pinjaman bank tidak melebihi 37,80%. Jika bunga pinjaman di bank melebihi angka tersebut, maka usaha ini tidak layak lagi diusahakan. Semakin tinggi bunga pinjaman di bank maka keuntungan yang diperoleh dari usaha ini semakin kecil.

45

Dokumen terkait