• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Hidroponik untuk Budidaya Tanaman Kentang

Sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang dibangun sesuai dengan konsep rancangan yang telah dibuat. Sistem hidroponik terdiri atas bedeng tanaman, tangki nutrisi, pompa air celup, pipa penyalur nutrisi, selang emiter irigasi tetes, timer, dan ember penampung (Gambar 13). Dalam satu sistem hidroponik terdapat empat bedeng tanaman. Bedeng tanaman dibuat menggunakan bahan multiplek (plywood) dengan ketebalan 1.2 cm yang kemudian dilapisi dengan plastik PE hitam. Tutup bedeng tanaman dibuat menggunakan bahan styrofoam

dengan ketebalan 2 cm. Tangki air 120 liter digunakan untuk menampung larutan hara yang akan dialirkan pada sistem hidroponik tersebut. Pompa air celup dengan daya 45 W digunakan untuk mengalirkan larutan hara ke setiap bedeng tanaman. Larutan hara dialirkan ke setiap tanaman melalui selang emiter dengan debit 6 ml/s. Penyiraman tanaman dilakukan selama 2 menit setiap 2 jam sekali yang diatur menggunakan timer sehingga penyiraman dapat dilakukan secara otomatis. Selanjutnya larutan hara akan tertampung pada bagian dasar bedeng tanaman sampai setinggi 5 cm dan apabila berlebih akan dikeluarkan ke ember penampung yang kemudian disirkulasikan ke tangki nutrisi agar dapat digunakan kembali.

Gambar 13 Sistem hidroponik yang dibangun: tangki nutrisi (a), pompa air celup (b), selang emiter (c), timer (d), dan ember penampung (e)

Sistem hidroponik yang dibangun merupakan kombinasi dari tiga sistem dasar hidroponik, yaitu sistem irigasi tetes, sistem sumbu, dan sistem NFT.

Rockwool digunakan sebagai media tanam dalam sistem hidroponik ini, namun hanya untuk menahan agar tanaman dapat tumbuh tegak. Sementara akar tanaman akan menggantung di dalam bedeng tanaman seperti terlihat pada Gambar 14.

25 Larutan hara dialirkan ke setiap tanaman dengan sistem irigasi tetes. Dengan sistem ini tanaman bisa mendapatkan suplai hara secara merata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kasiran (2006) bahwa irigasi tetes merupakan salah satu jenis irigasi mikro yang menggunakan air secara efisien dan bekerja secara pasti dalam memenuhi kebutuhan tanaman. Larutan hara yang diberikan dengan irigasi tetes akan membasahi rockwool dan akar tanaman sehingga dapat langsung diserap oleh tanaman. Namun, hanya sedikit larutan hara yang dapat diserap secara langsung oleh tanaman karena sebagian besar larutan hara akan langsung mengalir ke dasar bedeng tanaman. Oleh karena itu, penyerapan hara selanjutnya dilakukan dengan mekanisme sistem sumbu (wick) yang ada pada sistem hidroponik ini. Sistem sumbu berperan efektif dalam membantu penyerapan hara oleh akar tanaman, terutama pada saat awal pertumbuhan tanaman dimana akar tanaman belum mencapai dasar bedeng. Akar tanaman akan menempel pada bagian sumbu untuk dapat menyerap hara seperti terlihat pada Gambar 14 (2). Sumbu yang dibuat dari bahan kain flanel dapat menyerap larutan hara dengan baik sehingga akan selalu dalam kondisi basah. Akar tanaman yang telah mencapai dasar bedeng dapat menyerap hara secara langsung dengan mekanisme NFT. Kombinasi dari ketiga sistem hidroponik ini mengoptimalkan penyerapan hara oleh akar tanaman.

Gambar 14 Tiga sistem dasar hidroponik: irigasi tetes (a), sumbu (b), dan NFT (c) Iklim Mikro di dalam Screenhouse

Kondisi iklim mikro di dalam screenhouse direpresentasikan dengan data hasil pengukuran pada saat fase vegetatif dan fase tuberisasi tanaman kentang. Pengukuran suhu dan radiasi matahari dilakukan pada tanggal 24 Juni 2015 (tanaman kentang berumur 14 HST) untuk fase vegetatif dan pada tanggal 5 Agustus 2015 (tanaman kentang berumur 56 HST) untuk fase tuberisasi. Suhu udara maksimum di dalam screenhouse pada saat fase vegetatif mencapai 28.6 °C dan suhu minimum 16.3 °C. Sedangkan pada saat fase tuberisasi suhu maksimum mencapai 30.1 °C dan suhu minimum 14.8 °C (Gambar 15). Berdasarkan klasifikasi iklim Junghuhn, suhu udara pada daerah dengan ketinggian 600–1500 m dpl berkisar antara 17.1–22 °C. Sehingga kondisi suhu di dalam screenhouse ini tergolong tinggi meskipun lokasinya yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1200 m dpl.

Fenomena perubahan suhu ini menunjukkan telah terjadi pemanasan global, termasuk pada daerah dataran tinggi sehingga berakibat pada kondisi yang kurang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran budidaya tanaman kentang secara konvensional ke daerah yang lebih tinggi. Menurut Kusmantoro (2010) dan Henny

26

et al. (2011), budidaya kentang pada wilayah usaha tani yang semakin tinggi dan berlereng akan meningkatkan resiko terjadinya erosi tanah dan air. Selain itu, pergeseran budidaya kentang ke daerah yang lebih tinggi juga berdampak pada penebangan hutan untuk perluasan wilayah usaha tani. Menurut Latief (2010), penebangan hutan akan menyebabkan lepasnya sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang sebelumnya disimpan di dalam pohon. Jika laju kerusakan hutan semakin tinggi, maka emisi gas rumah kaca yang lepas ke atmosfer juga akan semakin besar jumlahnya. Hal tersebut berdampak pada terjadinya peningkatan suhu udara secara global, termasuk sampai ke wilayah dataran tinggi.

Gambar 15 Suhu udara dan radiasi matahari di dalam screenhouse pada fase

vegetatif (a) dan fase tuberisasi (b)

Radiasi matahari maksimum yang masuk ke dalam screenhouse mencapai 351.77 W/m2 pada saat fase vegetatif dan 498.88 W/m2 pada saat fase tuberisasi. Radiasi matahari maksimum terjadi pada pukul 11:00, setelah itu terjadi penurunan radiasi matahari karena terhalang oleh awan (Gambar 15). Cahaya memegang peranan penting dan seringkali menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Cahaya diperlukan dalam proses asimilasi sejumlah senyawa penting dalam tubuh tanaman (Lestari et al. 2012). Menurut Sumarni (2013), faktor cahaya yang penting untuk pertumbuhan tanaman adalah intensitas cahaya (radiasi matahari) dan lama pencahayaan. Radiasi matahari berpengaruh terhadap perumbuhan vegetatif tanaman, seperti batang, cabang, dan daun, serta pertumbuhan generatif tanaman

(a)

27 seperti bunga dan umbi. Banyaknya awan yang terbentuk pada siang hari secara signifikan menurunkan radiasi matahari langsung yang mencapai permukaan tanah. Peningkatan intensitas radiasi matahari pada pagi sampai siang hari juga meningkatkan suhu udara di dalam screenhouse secara signifikan. Namun, suhu udara masih tetap tinggi walaupun intensitas radiasi matahari menurun.

Suhu Daerah Perakaran Tanaman Kentang

Kondisi iklim mikro di dalam screenhouse mempengaruhi suhu di daerah perakaran bedeng tanaman sistem hidroponik. Suhu udara di dalam bedeng tanaman mengikuti pola suhu udara di dalam screenhouse. Peningkatan suhu udara di dalam bedeng tanaman terjadi mulai pada pukul 07:00 dan mencapai suhu maksimum pada suhu 29.8 °C pada saat fase vegetatif dan 30.4 °C pada saat fase tuberisasi. Sedangkan suhu air (larutan hara) memiliki pola yang berbeda dengan suhu udara di dalam screenhouse. Suhu air terlihat relatif stabil pada pagi, siang dan malam hari, yaitu antara 19.3–23.3 °C pada saat fase vegetatif dan 18.9–23.0 °C pada saat fase tuberisasi (Gambar 16).

Gambar 16 Suhu daerah perakaran tanaman kentang pada fase vegetatif (a) dan fase tuberisasi (b)

Suhu udara di dalam bedeng tanaman terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di dalam screenhouse. Terdapat selisih suhu yang mencapai 2.9 °C pada fase vegetatif dan 4.3 °C pada fase tuberisasi. Hal tersebut dapat terjadi

(a)

28

karena udara yang terjebak di dalam bedeng tanaman akan terpanaskan melalui konveksi udara yang bersumber dari bahan bedeng serta radiasi termal yang dipantulkan oleh permukaan bedeng ke udara di sekelilingnya (Niam 2011). Kondisi ini menunjukkan bahwa suhu di daerah perakaran tanaman masih relatif tinggi bagi tanaman kentang. Tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu rendah, yaitu 15–20 °C. Sementara, cekaman suhu tinggi dapat menghambat perkembangan umbi dan umbi yang dihasilkan akan berbentuk abnormal (Sumartono & Sumarni 2013).

Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD

Jumlah fluid cells yang terbentuk pada proses simulasi CFD bedeng tanaman berjumlah 1,160,758 dengan partial cells berjumlah 1,318,794. Kondisi konvergen dicapai pada iterasi 1,110 (Gambar 17). Perbedaan nilai suhu pada bedeng tanaman hasil simulasi CFD digambarkan dengan gradasi warna yang berbeda. Nilai suhu terendah digambarkan dengan warna biru dan nilai suhu tertinggi dengan warna merah.

Gambar 17 Jumlah cells dan iterasi pada proses simulasi CFD

Keseragaman ditribusi suhu bedeng tanaman pada fase vegetatif dapat dilihat dari pola kontur suhu yang disajikan secara tampak samping (Gambar 18) dan tampak atas (Gambar 19). Hasil simulasi CFD menunjukkan suhu pada bedeng tanaman terdistribusi secara merata, baik suhu udara maupun suhu air (larutan hara). Hasil simulasi pada fase vegetatif menunjukkan perbedaan yang signifikan pada suhu daerah perakaran tanaman pada pagi dan siang hari. Rata-rata suhu udara hasil simulasi di dalam bedeng tanaman sebesar 19.17 °C dan rata-rata suhu air (larutan hara) hasil simulasi sebesar 19.89 °C pada pagi hari. Sedangkan rata-rata suhu udara mencapai 28.79 °C dan rata-rata suhu air (larutan hara) sebesar 21.73 °C pada siang hari. Suhu udara di daerah perakaran tanaman tidak jauh berbeda dengan suhu larutan hara pada pagi hari. Namun, suhu udara menjadi lebih tinggi pada siang hari. Hal tersebut terjadi karena kapasitas panas spesifik (Cp) udara (1.012 kJ/kg.K) lebih

29 rendah dibandingkan Cp air (4.182 kJ/kg.K) sehingga suhu udara akan lebih cepat meningkat pada siang hari.

Gambar 18 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase vegetatif : pagi (a) dan siang (b)

Gambar 19 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase vegetatif : pagi (a) dan siang (b)

Sementara itu, keseragaman distribusi suhu bedeng tanaman pada fase tuberisasi dapat dilihat dari pola kontur pada bedeng tampak samping (Gambar 20) dan tampak atas (Gambar 21). Apabila dilihat dari pola konturnya, hasil simulasi pada fase tuberisasi tidak begitu berbeda dengan hasil simulasi pada fase vegetatif. Rata-rata suhu udara hasil simulasi di dalam bedeng tanaman sebesar 18.84 °C dan rata-rata suhu air (larutan hara) hasil simulasi sebesar 19.49 °C pada pagi hari. Sedangkan rata-rata suhu udara mencapai 27.88 °C dan rata-rata suhu air (larutan hara) sebesar 20.63 °C pada siang hari. Pada fase tuberisasi, sudah banyak terbentuk umbi kentang yang menggantung di atas keranjang yang ada di dalam bedeng tanaman. Seperti terlihat pada Gambar 20, udara di dasar keranjang memiliki suhu yang lebih rendah daripada bagian atasnya pada siang hari. Hal tersebut mungkin terjadi karena umbi kentang memiliki Cp yang lebih besar dibandingkan dengan udara disekitarnya, yaitu sebesar 3.67 kJ/kg.K (ASHRAE 2006) sehingga umbi kentang tersebut mampu menyerap panas dari udara dan menurunkan suhu udara disekitarnya. Meskipun begitu, suhu udara di dalam bedeng tanaman masih terlalu tinggi bagi perakaran tanaman kentang sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan umbi.

(a)

(b)

(a)

30

Gambar 20 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)

Gambar 21 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)

Akurasi hasil simulasi CFD yang dilakukan dapat diketahui dengan melakukan validasi dan menghitung nilai error terhadap nilai suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran di dalam bedeng tanaman (Tabel 6). Nilai error dihitung dnegan menggunakan persamaan (7). Titik-titik koordinat 3 dimensi diperoleh berdasarkan titik-titik pengukuran pada bedeng tanaman.

Tabel 6 Perbandingan hasil pengukuran suhu udara dan larutan hara di dalam bedeng tanaman dengan simulasi CFD

Fase

Pertumbuhan

Pukul (WIB)

Ordinat Suhu (°C) Error

(%) x (m) y (m) z (m) Pengukuran Simulasi Vegetatif 6:00 1.05 0.03 -0.07 18.9 19.17 1.44 0.057 0.03 0.077 18.6 19.17 3.04 -0.95 0.03 0.225 18.6 19.17 3.06 1.05 -0.145 -0.07 20.1 19.89 1.06 -0.95 -0.145 0.225 19.6 19.89 1.47 12:00 1.05 0.03 -0.07 27.7 28.81 4.00 0.057 0.03 0.077 28.1 28.79 2.44 -0.95 0.03 0.225 27.8 28.79 3.55 1.05 -0.145 -0.07 21.2 21.73 2.50 -0.95 -0.145 0.225 22.2 21.73 2.11 (a) (b) (a) (b)

31 Tuberisasi 6:00 1.05 0.03 -0.07 18.8 18.84 0.22 0.057 0.03 0.077 19.3 18.83 2.42 -0.95 0.03 0.225 18.8 18.83 0.17 1.05 -0.145 -0.07 19.7 19.49 1.07 -0.95 -0.145 0.225 19.2 19.49 1.51 12:00 1.05 0.03 -0.07 28.3 27.88 1.50 0.057 0.03 0.077 28.4 27.88 1.83 -0.95 0.03 0.225 28.7 27.90 2.80 1.05 -0.145 -0.07 20.5 20.63 0.64 -0.95 -0.145 0.225 20.7 20.63 0.32 Maksimum 4.00 Minimum 0.17 Rata-Rata 1.86

Dari Tabel 6 diketahui bahwa nilai error maksimum hasil simulasi CFD terhadap distribusi suhu di dalam bedeng tanaman sebesar 4%. Sementara nilai rata-rata error yang diperoleh adalah sebesar 1.86%. Hal tersebut berarti pendefinisian material untuk input dalam simulasi CFD sudah baik dan dapat menggambarkan kondisi di dalam bedeng tanaman pada saat pengukuran. Nilai error dapat diminimalkan dengan pendefinisian yang lebih akurat, yaitu dengan memasukkan sifat fisik dan kimia larutan hara yang digunakan di dalam penelitian (Sumarni 2013). Analisis regresi dari perbandingan antara suhu hasil simulasi dan pengukuran menghasilkan persamaan linear dengan gradien 0.9978 dan intersep 0.165 dengan nilai R2 sebesar 0.9837 (Gambar 22). Gradien yang mendekati 1 dan itersep yang mendekati 0 menunjukkan bahwa suhu hasil simulasi CFD sudah hampir sama dengan suhu hasil pengukuran di lapangan. Selain itu, koefisien keseragaman (CU) yang dihitung menggunakan persamaan (8) menghasilkan nilai

CU untuk simulasi pada fase vegetatif sebesar 84.18%, sedangkan CU untuk simulasi pada fase tuberisasi sebesar 88.41%. Oleh karena itu, hasil simulasi CFD dapat dikatakan baik karena nilai CU >75% (Niam 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa simulasi CFD mampu mengambarkan distribusi suhu di dalam bedeng hidroponik secara akurat.

Hasil simulasi CFD ini menunjukkan perlunya dilakukan modifikasi atau perlakuan pendinginan terbatas (zone cooling) pada bedeng tanaman sistem hidroponik agar dapat memberikan kondisi suhu perakaran yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman kentang. Menurut Choerunnisa & Suhardiyanto (2015), pendinginan terbatas lebih efisien dilakukan daripada melakukan pengendalian suhu di dalam rumah tanaman yang membutuhkan energi yang sangat besar. Pendinginan terbatas hanya dilakukan pada daerah sekitar tanaman yang membutuhkan, seperti daerah perakaran tanaman.

32

Gambar 22 Hubungan antara suhu di dalam bedeng tanaman hasil pengukuran dan simulasi CFD

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kentang

Tanaman kentang yang ditanam pada sistem hidroponik yang dibangun dapat tumbuh dengan baik dan mampu menghasilkan umbi. Namun, kondisi suhu daerah perakaran yang tinggi menyebabkan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang menjadi tidak maksimal. Menurut Sumartono & Sumarni (2013), suhu tinggi, keadaan berawan, dan kelembaban udara yang rendah akan menghambat pertumbuhan, pembentukan umbi, dan perkembangan bunga. Tinggi tanaman dan jumlah daun merupakan parameter yang menjadi indikator pertumbuhan vegetatif tanaman. Pertumbuhan vegetatif tanaman tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara tanaman yang ditanam dengan EC larutan hara 1.8 mS maupun 2.5 mS (Gambar 23). y = 0.9978x + 0.165 R² = 0.9837 15 20 25 30 35 15 20 25 30 35 S uhu ha sil s im ulasi C F D ( ° C)

Suhu hasil pengukuran (°C)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 10 20 30 40 50 60 T ing g i tana man (c m) HST EC larutan nutrisi 1.8 mS EC larutan nutrisi 2.5 mS (a)

33

Gambar 23 Rata-rata pertumbuhan vegetatif tanaman kentang: tinggi tanaman (a) dan jumlah daun (b)

Gambar 24 Pertumbuhan vegetatif tanaman kentang

Gejala penyakit mulai muncul pada 29 HST pada tanaman yang ditanam secara hidroponik. Intensitas penyakit tertinggi terjadi pada tanaman yang ditanam dengan EC larutan hara 2.5 mS, yaitu mencapai 25% pada 57 HST. Sementara, intensitas penyakit pada tanaman yang ditanam dengan EC larutan hara 1.8 mS mencapai 20% pada 57 HST. Penyakit yang menyerang tanaman kentang dalam penelitian ini adalah penyakit hawar daun yang memiliki gejala bercak-bercak nekrotis pada tepi dan ujungnya (Gambar 25). Penyakit ini disebabkan oleh jamur

Phytophthora infestans yang dapat dipencarkan oleh angin dan berkembang cepat pada musim hujan (Semangun 2007).

Gambar 25 Gejala penyakit hawar daun pada tanaman kentang 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 10 20 30 40 50 60 Juml ah da un HST EC larutan nutrisi 1.8 mS EC larutan nutrisi 2.5 mS (b)

34

Tanaman kentang dipanen pada 76 HST, yaitu setelah sebagian besar tanaman mati. Hasil umbi kentang yang ditanam secara hidroponik tidak berbeda nyata antara yang ditanam dengan nilai EC larutan hara 1.8 mS dan 2.5 mS. Penanaman kentang secara hidroponik dengan EC larutan hara 1.8 mS menghasilkan rata-rata 4.3 umbi per tanaman dengan rata-rata berat umbi 77.2 g per tanaman. Sedangkan tanaman yang ditanam dengan EC larutan hara 2.5 mS menghasilkan rata-rata 4.6 umbi per tanaman dengan rata-rata berat umbi 60.0 g per tanaman (Tabel 7).

Tabel 7 Rata-rata jumlah dan berat umbi per tanaman pada masing-masing perlakuan

Nilai EC Larutan Hara Jumlah Umbi Berat Umbi (g)

1.8 mS 4.3 ±1.1a 77.2 ±22.8a

2.5 mS 4.6 ±0.8a 60.0 ±15.6a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada taraf α = 5%.

Tanaman kentang mampu menghasilkan umbi meskipun suhu maksimum daerah perakaran pada bedeng tanaman mencapai 30.4 °C pada fase tuberisasi. Sumartono & Sumarni (2013) menyatakan bahwa suhu yang tinggi, terutama pada malam hari menyebabkan pertumbuhan lebih banyak terjadi pada bagian tanaman di atas tanah daripada dibagian bawah tanah sehingga tanaman kentang menghasilkan umbi dalam jumlah yang sedikit. Jika suhu meningkat dan di atas 28 °C akan meningkatkan pertumbuhan tunas lateral dan stolon yang menyebabkan penghambatan pada pembentukan umbi. Sementara, suhu yang optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan umbi tanaman kentang adalah 18–20 °C dengan suhu yang konstan akan lebih efektif daripada suhu siang–malam yang berubah (Okazawa 1967, Ewing 1985, Wang & Hu 1985). Menurut Moreno (1985), Suhu rendah dan radiasi matahari yang tinggi akan menginduksi tanaman untuk melakukan fotosintesis aktif dan mentranslokasikan hasil fotosintesis tersebut menjadi umbi pada tanaman kentang. Dalam penelitian Sumarni et al. (2013b), tanaman kentang kultivar Granola yang ditanam secara aeroponik di dataran rendah dengan perlakuan zone cooling suhu daerah perakaran tanaman yang dijaga konstan pada suhu 20 °C hanya mampu menghasilkan rata-rata 1.33 umbi per tanaman dengan rata-rata berat umbi 66.5 mg per tanaman. Sementara, Molders et al. (2012) menanam kentang kultivar Anabelle secara hidroponik dengan sistem NFT pada kondisi suhu lingkungan dan suhu larutan hara dijaga konstan 20 °C dan mampu menghasilkan rata-rata jumlah umbi 10.8 umbi per tanaman dan rata-rata berat umbi 75 g per tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hidroponik yang dibangun sudah dapat digunakan untuk budidaya tanaman kentang. Tanaman kentang yang ditanam pada sistem hidroponik ini mampu menghasilkan umbi meskipun suhu lingkungan dan suhu daerah perakaran tanaman lebih tinggi dari suhu optimum bagi tanaman kentang.

35

Gambar 26 Umbi kentang yang terbentuk pada penanaman secara hidroponik dengan perlakuan nilai EC larutan hara 1.8 mS (kiri) dan 2.5 mS (kanan)

Identifikasi Jumlah dan Berat Umbi Kentang dengan Model JST

Data yang diperoleh dibagi menjadi dua set data, yaitu data untuk proses pembelajaran (training) dan data validasi pada model JST. Data yang digunakan untuk proses pembelajaran adalah 65% dari total data, sedangkan data validasi untuk uji kinerja model JST digunakan 35% dari total data. Proses identifikasi jumlah daun dan berat umbi kentang merupakan proses awal untuk mengetahui hubungan antara EC larutan hara, intensitas cahaya, suhu daerah perakaran, intensitas penyakit, dan tinggi tanaman sebagai parameter input dengan jumlah dan berat umbi kentang sebagai parameter output. Pada proses ini terdapat 80 set data yang digunakan untuk identifikasi. Data tersebut kemudian dibagi menjadi dua, yaitu 52 set data untuk proses pembelajaran model dan 28 set data untuk proses validasi model.

Proses Pembelajaran Model JST

Pada proses ini, model JST yang digunakan terdiri atas 5 noda input layer, 7 noda hidden layer, dan 2 noda output layer. Jumlah noda hidden layer dibuat lebih banyak dari noda input layer supaya nilai error yang diperoleh lebih cepat konvergen. Arif (2008) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah noda hidden layer akan menghasilkan nilai error yang cepat konvergen, namun juga akan menyebabkan proses pembelajaran model JST menjadi semakin lama. Jumlah iterasi yang digunakan adalah 1000 dengan konstanta laju pembelajaran (η) 0.6 dan konstanta momentum (α) 0.6.

Hasil pembelajaran 52 set data menunjukkan kinerja model JST dalam menjelaskan hubungan antara parameter input dan output. Nilai koefisien determinasi (R2) dan Root Mean Square Error (RMSE) digunakan untuk mengevaluasi kinerja model JST. Nilai R2 yang semakin tinggi atau mendekati 1 dan nilai RMSE yang semakin rendah menunjukkan kinerja model yang lebih baik. Nilai R2 dan RMSE yang dihasilkan pada setiap iterasi seperti pada Gambar 27. Terlihat bahwa nilai R2semakin tinggi dan nilai RMSE semakin rendah sampai iterasi ke 1000. Nilai R2 dan RMSE pada identifikasi jumlah umbi berturut-turut adalah 0.80 dan 1.17 pada iterasi ke 1000. Hal tersebut menunjukkan bahwa 80% nilai target dapat diterangkan secara linear dengan nilai pendugaan dan rata-rata selisih nilai pendugaan dengan nilai target mencapai 1.17 pada identifikasi jumlah umbi. Sementara itu, pada identifikasi berat umbi diperoleh nilai R2 sebesar 0.72

36

dan nilai RMSE sebesar 22.21 pada iterasi ke 1000. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kinerja proses pembelajaran model JST sudah cukup baik.

Gambar 27 Nilai R2 dan RMSE proses pembelajaran model JST pada identifikasi jumlah umbi (a) dan berat umbi (b)

Proses Validasi Model JST

Proses validasi model dilakukan terhadap 28 set data yang berbeda dengan set data pada proses pembelajaran. Seperti terlihat pada Gambar 28, hasil validasi model untuk memprediksi jumlah umbi lebih baik daripada berat umbi. Prediksi jumlah umbi dengan model JST diperoleh nilai R2 sebesar 0.73, Standard Error of Prediction (SEP) 1.65, bias (d) -0.27, dan Coefficient of Variation (CV) 0.36. Nilai R2 hasil validasi lebih rendah daripada hasil pembelajaran pada model JST, namun sudah cukup baik dalam memprediksi jumlah umbi. Selain itu, nilai SEP dan CV

juga sudah rendah dengan bias yang mendekati nol. Sementara itu, validasi model untuk prediksi berat umbi menghasilkan nilai R2 sebesar 0.46, SEP 1003.32, bias 0.91, dan CV 14.34. Sehingga dapat dikatakan kinerja model JST untuk prediksi jumlah umbi sudah cukup baik, namun kurang baik untuk prediksi berat umbi.

(a)

37 Seperti dikatakan Suhardiyanto (2009), kinerja model JST sudah cukup baik apabila hasil validasi yang berupa SEP dan CV yang rendah dan bias yang mendekati nol.

Gambar 28 Perbandingan data hasil pengukuran dan data prediksi model JST: jumlah umbi (a) dan berat umbi (b)

Hasil dari pengembangan model JST ini adalah nilai pembobot (weight) yang menghubungkan antara input layer dengan hidden layer dan hidden layer dengan

output layer. Model JST dengan 5 noda pada input layer, 7 noda pada hidden layer, dan 2 noda pada output layer akan menghasilkan total pembobot sebanyak 49 nilai (Tabel 8). Nilai ini merupakan konstanta yang digunakan untuk menduga jumlah dan berat umbi kentang dengan 5 parameter yang diketahui. Nilai pembobot ini juga akan digunakan sebagai input pada model algoritma genetika (AG) untuk mengoptimasi nilai EC larutan hara untuk tanaman kentang yang ditanam secara hidroponik.

(a)

38

Tabel 8 Nilai pembobot pada model JST No. Vij Nilai

Dokumen terkait