• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, Dan Nutrient Film Technique Untuk Budidaya Tanaman Kentang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, Dan Nutrient Film Technique Untuk Budidaya Tanaman Kentang."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANG BANGUN SISTEM HIDROPONIK KOMBINASI

IRIGASI TETES, SUMBU, DAN

NUTRIENT FILM TECHNIQUE

UNTUK BUDIDAYA TANAMAN KENTANG

YOHANES BAYU SUHARTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk Budidaya Tanaman Kentang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Yohanes Bayu Suharto

(4)

RINGKASAN

YOHANES BAYU SUHARTO. Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk Budidaya Tanaman Kentang. Dibimbing oleh HERRY SUHARDIYANTO dan ANAS DINURROHMAN SUSILA.

Peningkatan produktivitas kentang dengan budidaya konvensional semakin sulit dilakukan karena luas lahan di dataran tinggi yang semakin terbatas, kondisi kesuburan tanah yang menurun, dan rentan terhadap erosi tanah. Di Indonesia umumnya budidaya kentang dilakukan pada lahan dengan kemiringan curam di dataran tinggi sehingga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap erosi tanah. Sistem hidroponik dapat menjadi salah satu metode yang efektif sebagai alternatif budidaya kentang yang dapat menekan terjadinya erosi tanah dan meningkatkan kualitas hasil produksi kentang. Tujuan umum penelitian ini adalah merancang sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang. Sistem hidroponik yang dirancang merupakan kombinasi dari tiga sistem hidroponik dasar, yaitu sistem irigasi tetes, sistem sumbu, dan sistem Nutrient Film Technique (NFT). Sistem hidroponik telah berhasil dibangun sesuai dengan konsep rancangan dan kemudian digunakan untuk budidaya tanaman kentang. Bedeng tanaman dibuat dari plywood

dengan ketebalan 1.2 cm yang dilapisi dengan plastik polyethylene hitam, sedangkan tutupnya adalah styrofoam dengan ketebalan 2 cm. Simulasi

Computational Fluid Dynamic (CFD) digunakan untuk menggambarkan distribusi suhu daerah perakaran pada bedeng tanaman. Model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dan Algoritma Genetika (AG) digunakan untuk optimasi nilai Electrical Conductivity (EC) larutan hara. Tanaman kentang kultivar Granola ditanam pada sistem hidroponik dengan dua perlakuan nilai EC larutan hara AB Mix yang berbeda, yaitu 1.8 mS dan 2.5 mS.

Simulasi CFD mampu menggambarkan distribusi suhu daerah perakaran pada bedeng tanaman secara akurat dengan nilai R2 0.9837 dan rata-rata error

sebesar 1.86%. Tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik pada sistem hidroponik dan mampu menghasilkan umbi meskipun suhu daerah perakaran tanaman mencapai 30.4 °C atau sekitar 10 °C di atas suhu optimal 20 °C. Tanaman kentang yang ditanam pada perlakuan nilai EC larutan hara 1.8 mS menghasilkan jumlah umbi rata-rata 4.3 umbi dan berat umbi rata-rata 77.2 g per tanaman. Sementara tanaman kentang yang ditanam pada perlakuan nilai EC larutan hara 2.5 mS menghasilkan jumlah umbi rata-rata 4.6 umbi dan berat umbi rata-rata 60.0 g per tanaman. Kinerja model JST dalam identifikasi sistem sudah cukup baik, sedangkan model GA telah berhasil digunakan dalam optimasi nilai EC larutan nutrisi sehingga diperoleh nilai EC yang optimal sebesar 1.8 mS dengan prediksi jumlah umbi rata-rata 9.67 umbi dan berat umbi rata-rata 158.3 g per tanaman. Hasil ini menunjukkan bahwa sistem hidroponik kombinasi yang dikembangkan dapat digunakan dalam budidaya tanaman kentang.

(5)

SUMMARY

YOHANES BAYU SUHARTO. Design of a Hydroponic System with Combination of Drip Irrigation, Wick, and Nutrient Film Technique for Potato Cultivation. Supervised by HERRY SUHARDIYANTO and ANAS DINURROHMAN SUSILA.

It is difficult to increase the productivity of potatoes with conventional cultivation because of limited upper land, declined of soil fertility, and vulnerable to soil erosion. Potato cultivation in Indonesia is mostly carried out in upper land with steep slope that also contribute a significant portion in annual volume of eroded soil. Hydroponic system could be an effective method as the alternative for potato cultivation while avoiding soil erosion and increasing the quality of potato yield. The general objective of this research was to develop a hydroponic system for potato cultivation. Developed hydroponic system was a combination of three basic hydroponic systems, i.e. drip irrigation system, wick system, and Nutrient Film Technique (NFT) system. The combined hydroponic systems had been constructed successfully and used for potato cultivation. The plant beds were made from plywood with 1.2 cm thickness coated with black polyethylene plastic, while its covers was styrofoam with 2 cm thickness. Computational Fluid Dynamic (CFD) simulation was used to describe the root zone temperature distribution in a hydroponic bed. Artificial Neural Network (ANN) and Genetic Algorithm (AG) models were used in optimization of the Electrical Conductivity (EC) value of nutrient solution. Potatoes of Granola cultivars was grown in the developed hydroponic systems with different treatment of EC values of AB Mix nutrient solution, i.e. 1.8 mS and 2.5 mS.

CFD simulation was capable to describe the temperature distribution of nutrient solution inside the hydroponic bed accurately with R2 value of 0.9837 and average error of 1.86%. Potato plants grown in hydroponic system performed well. It produced tubers although the root zone temperatures reached 30.4 °C or about 10 °C above the optimum temperature of 20 °C. Plants grown at EC value of nutrient solution 1.8 mS treatment produced tubers at the average number of 4.3 tubers and average weight of tuber 77.2 g per plant. While, that grown at nutrient solution with EC value of 2.5 mS produced tubers at the average number of 4.6 tubers and average weight of tuber 60.0 g per plant. The performance of ANN model in system identification was good enough, while the GA model was successfully used in optimizing the EC value of nutrient solution. Results showed that optimum value of EC was 1.8 mS with the predicted average number of tuber 9.67 tubers and average weight of tuber 158.3 g per plant. It was demonstrated that the combined hydroponic system could be used in potato cultivation.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

RANCANG BANGUN SISTEM HIDROPONIK KOMBINASI

IRIGASI TETES, SUMBU, DAN

NUTRIENT FILM TECHNIQUE

UNTUK BUDIDAYA TANAMAN KENTANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)

Judul Tesis : Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk Budidaya Tanaman Kentang

Nama : Yohanes Bayu Suharto

NIM : F151130051

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc Ketua

Prof Dr Ir Anas D Susila, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Teknik Mesin Pertanian dan Pangan

Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah sistem hidroponik dengan judul Rancang Bangun Sistem Hidroponik Kombinasi Irigasi Tetes, Sumbu, dan Nutrient Film Technique untuk Budidaya Tanaman Kentang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc dan Bapak Prof Dr Ir Anas Dinurrohman Susila, MSi selaku komisi pembimbing yang telah banyak membimbing penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Y Aris Purwanto, MSc selaku ketua Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Terima kasih juga kepada DIRJEN DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPDN Calon Dosen kepada penulis selama 2 tahun. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua, keluarga serta teman-teman atas segala doa dan perhatiannya.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan menerima saran, masukan dan kritikan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan karya ilmiah ini. Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Bogor, Juni 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Morfologi Tanaman Kentang 4

Sistem Perakaran Kentang 5

Fase Pertumbuhan Tanaman Kentang 6

Sistem Hidroponik 6

Pengelolaan Hara dalam Sistem Hidroponik 7

Computational Fluid Dynamics 8

Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetika 10

3 METODE 11

Waktu dan Tempat Penelitian 11

Bahan 11

Alat 11

Konsep Rancangan Sistem Hidroponik 11

Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD 14

Budidaya Tanaman dan Pengukuran 18

Identifikasi Menggunakan Model Jaringan Syaraf Tiruan 20 Optimasi Menggunakan Model Algoritma Genetika 22

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Sistem Hidroponik untuk Budidaya Tanaman Kentang 24

Iklim Mikro di dalam Screenhouse 25

Suhu Daerah Perakaran Tanaman Kentang 27

Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD 28

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kentang 32

Identifikasi Jumlah dan Berat Umbi Kentang dengan Model JST 35 Optimasi nilai EC Larutan Hara dengan Algoritma Genetika 38

5 SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41

(12)

DAFTAR PUSTAKA 42

LAMPIRAN 45

RIWAYAT HIDUP 61

DAFTAR TABEL

1 Komposisi larutan hara untuk tanaman kentang (Molders et al. 2012) 2 Kebutuhan EC dan pH larutan hara bagi beberapa tanaman sayuran 3 Sifat fisik material bedeng hidroponik

4 Input kondisi awal dan kondisi batas simulasi CFD 5 Sistem penilaian numerik serangan penyakit

6 Perbandingan hasil pengukuran suhu udara dan larutan hara di dalam bedeng tanaman dengan simulasi CFD

7 Rata-rata jumlah dan berat umbi per tanaman pada masing-masing perlakuan

8 Nilai pembobot pada model JST

7

1 Morfologi tanaman kentang (Struik 2007)

2 Fase pertumbuhan tanaman kentang (Dianawati 2013) 3 Struktur JST backpropagation (Arif 2008)

4 Rancangan sistem hidroponik

5 Bedeng tanaman : pipa nutrisi (a), rockwool (b), keranjang (c), sumbu (d), pipa pembuangan (e), dan ember penampung (f)

6 Tahapan simulasi dengan CFD

7 Model geometri bedeng tanaman untuk simulasi CFD 8 Tanaman kentang umur 8 HST

9 Skema titik-titik pengukuran distribusi suhu (•) 10 Struktur model JST

11 Prosedur optimasi menggunakan Algoritma Genetika (Arif 2008) 12 Tahapan optimasi nilai EC larutan hara dengan JST dan AG

13 Sistem hidroponik yang dibangun: tangki nutrisi (a), pompa air celup (b), selang emiter (c), timer (d), dan ember penampung (e)

14 Tiga sistem dasar hidroponik: irigasi tetes (a), sumbu (b), dan NFT (c) 15 Suhu udara dan radiasi matahari di dalam screenhouse pada fase vegetatif

(a) dan fase tuberisasi (b)

16 Suhu daerah perakaran tanaman kentang pada fase vegetatif (a) dan fase tuberisasi (b)

17 Jumlah cells dan iterasi pada proses simulasi CFD

18 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase vegetatif : pagi (a) dan siang (b)

19 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase vegetatif : pagi (a) dan siang (b)

20 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)

(13)

21 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)

22 Hubungan antara suhu di dalam bedeng tanaman hasil pengukuran dan simulasi CFD

23 Rata-rata pertumbuhan vegetatif tanaman kentang: tinggi tanaman (a) dan jumlah daun (b)

24 Pertumbuhan vegetatif tanaman kentang

25 Gejala penyakit hawar daun pada tanaman kentang

26 Umbi kentang yang terbentuk pada penanaman secara hidroponik dengan perlakuan nilai EC larutan hara 1.8 mS (kiri) dan 2.5 mS (kanan)

27 Nilai R2 dan RMSE proses pembelajaran model JST pada identifikasi

jumlah umbi (a) dan berat umbi (b)

28 Perbandingan data hasil pengukuran dan data prediksi model JST: jumlah umbi (a) dan berat umbi (b)

29 Kurva evolusi pencarian nilai fitness yang optimal

30 Kurva evolusi pencarian nilai EC larutan hara yang optimal dengan model AG

31 Rata-rata jumlah umbi (a) dan berat umbi (b) kentang per tanaman hasil prediksi dengan nilai EC larutan hara hasil optimasi

30

1 Bagian-bagian bedeng hidroponik 2 Gambar teknik bedeng tanaman 3 Gambar teknik keranjang

4 Gambar teknik rockwool dan sumbu 5 Gambar teknik tangki nutrisi

6 Gambar teknik pipa nutrisi

7 Gambar teknik ember penampung 8 Proses pembuatan sistem hidroponik

9 Pertumbuhan tanaman kentang pada sistem hidroponik

10 Hasil budidaya kentang dengan sistem hidroponik pada EC larutan hara 1.8 mS dan 2.5 mS

11 Tampilan program identifikasi model JST dan optimasi AG pada

Microsoft Excel

12 Data input dan output proses pembelajaran model JST 13 Data input dan output proses validasi model JST

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kentang (Solanum tuberosum L.) menjadi komoditas penting ke empat dunia setelah padi, jagung dan gandum (Sumartono dan Sumarni 2013). Pada tahun 2014 produksi kentang nasional sebesar 1.348 juta ton. Sementara penggunaan kentang sebagai bahan makanan dan bibit bisa mencapai 1.428 juta ton pada tahun 2014. Konsumsi kentang oleh rumah tangga terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 12.57% per tahun pada periode tahun 2011–2015. Perkembangan konsumsi kentang yang terus meningkat dari tahun ke tahun menyebabkan pemerintah harus mengimpor kentang untuk memenuhi kebutuhan kentang di Indonesia. Jumlah impor kentang yang masuk ke Indonesia mencapai 86 ribu ton pada tahun 2014 (Pusdatin 2015).

Meskipun telah lama dibudidayakan, namun produktivitas kentang di Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2014 produktivitas kentang hanya sebesar 17.29 ton ha-1 dari luas areal tanam 76,090 ha (BPS 2015). Sementara potensi hasil kentang dapat mencapai 25 ton ha-1 (Dianawati 2013). Menurut

Sumarni et al. (2013a), penyebab rendahnya produktivitas kentang di Indonesia antara lain : (1) masih dibudidayakan secara konvensional, (2) lahan dataran tinggi yang sesuai untuk budidaya kentang semakin terbatas, dan (3) sebagai daerah tropika basah, Indonesia adalah daerah yang optimal bagi perkembangan hama dan penyakit tanaman kentang.

Peningkatan produktivitas kentang dengan budidaya konvensional semakin sulit dilakukan karena luas lahan di dataran tinggi yang semakin terbatas, kondisi kesuburan tanah yang menurun, dan rentan terhadap erosi tanah. Menurut Henny et al. (2011), penanaman kentang pada lahan miring di dataran tinggi dengan sistem guludan yang searah lereng berkontribusi paling besar terhadap erosi tanah yaitu sebesar 22.94 ton ha-1. Selain itu, Kusmantoro (2010) berpendapat bahwa tanaman kentang yang dibudidayakan secara monokultur sering menyebabkan terjadinya erosi. Semakin tinggi wilayah usaha tani, maka semakin besar risiko terjadinya erosi tanah. Oleh karena itu, perlu alternatif teknik budidaya untuk meningkatkan produktivitas kentang dan menekan terjadinya erosi tanah sebagai upaya konservasi lahan di dataran tinggi.

Pengembangan teknologi dalam budidaya kentang dengan sistem hidroponik menjadi salah satu alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas kentang dan sebagai upaya konservasi lahan di Indonesia. Teknik budidaya secara hidroponik merupakan salah satu upaya untuk memperoleh produk pertanian yang berkualitas, sehat, bebas pestisida, seragam dan dapat dilakukan secara kontinyu. Menurut Sumartono dan Sumarni (2013), keuntungan budidaya secara hidroponik untuk produksi benih kentang antara lain : (1) hasil produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional, (2) serangan hama dan penyakit tanaman lebih rendah, dan (3) kontrol nutrisi bagi tanaman lebih mudah dilakukan. Selain itu, kentang dapat dipanen secara kontinyu dalam upaya menyediakan suplai makanan yang berkelanjutan (Molders et al. 2012).

(16)

2

dengan sistem aeroponik dianggap memiliki kualitas yang lebih baik daripada yang diproduksi secara konvensional. Upaya peningkatan produksi benih kentang secara hidroponik telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain oleh Correa et al.

(2009), Sumartono dan Sumarni (2013), dan juga secara aeroponik oleh Otazu (2010), Sumarni et al. (2013a,b) dan Dianawati (2013). Bahkan di Eropa penelitian hidroponik kentang telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan misi luar angkasa yang dilakukan oleh Molders et al. (2012). Namun, produksi kentang untuk konsumsi di Indonesia pada umumnya masih dibudidayakan secara konvensional. Oleh karena itu, perlu dirancang sebuah sistem hidroponik dengan harapan mampu memberikan kondisi optimal bagi pertumbuhan kentang untuk dapat menghasilkan umbi dengan ukuran konsumsi dan memiliki kualitas serta kuantitas umbi yang lebih baik.

Salah satu parameter yang menjadi masalah dan perlu diperhatikan dalam perancangan sistem hidroponik untuk budidaya kentang adalah distribusi suhu pada daerah perakaran. Suhu perakaran mempengaruhi proses fisiologi pada akar seperti penyerapan air, hara, dan mineral. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan stress pada tanaman dan terjadinya penghambatan inisiasi umbi. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menggambarkan distribusi suhu pada daerah perakaran sistem hidroponik adalah dengan analisis Computational Fluid Dynamics (CFD). Menurut Sumarni (2013), analisis menggunakan CFD memungkinkan dapat diperolehnya informasi secara detail mengenai pola dinamika fluida. Sumarni et al.

(2013a) telah melakukan simulasi distribusi suhu di dalam sistem aeroponik dengan pendinginan daerah perakaran menggunakan CFD, dan diperoleh potongan kontur dan vektor yang dapat memvisualisasikan distribusi suhu dan distribusi semprotan larutan hara di dalam bedengaeroponik secara jelas.

Pada budidaya kentang dengan sistem hidroponik juga belum diketahui nilai konsentrasi larutan hara yang optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi konsentrasi larutan hara untuk mendapatkan hasil umbi yang maksimal dalam budidaya kentang secara hidroponik. Dalam hal ini, konsentrasi larutan hara dipresentasikan dengan nilai konduktivitas listrik atau Electrical Conductivity

(EC). Menurut Suhardiyanto (2009), hubungan antara parameter input dan output

(17)

3 Perumusan Masalah

Peningkatan produksi kentang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di Indonesia perlu dilakukan, mengingat konsumsi kentang yang terus meningkat setiap tahunnya. Selain itu, upaya konservasi di lahan kering berlereng perlu dilakukan. Lahan berlereng pada umumnya rentan terhadap erosi tanah apabila dalam pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah konservasi tanah. Pengembangan teknologi budidaya dengan sistem hidroponik merupakan salah satu alternatif dalam proses intensifikasi. Namun belum ada sistem hidroponik yang digunakan untuk memproduksi kentang ukuran konsumsi. Selama ini budidaya kentang dengan sistem hidroponik masih sebatas untuk produksi benih kentang. Oleh karena itu, pengembangan sistem hidroponik untuk budidaya kentang memiliki potensi dalam meningkatkan produksi kentang dan menekan terjadinya erosi tanah di lahan dataran tinggi.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merancang sistem hidroponik dengan kombinasi sistem irigasi tetes, sumbu, dan nutrient film technique untuk budidaya tanaman kentang. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Menganalisis distribusi suhu di daerah perakaran pada sistem hidroponik. 2. Melakukan identifikasi hubungan parameter lingkungan pertumbuhan tanaman

kentang yang dibudidayakan secara hidroponik dengan jumlah dan berat umbi kentang yang dihasilkan.

3. Melakukan optimasi untuk menentukan nilai EC larutan hara yang optimal pada sistem hidroponik tanaman kentang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif rancang bangun sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang yang mampu menghasilkan kentang yang berkualitas, sehat, bersih, bebas pestisida, seragam dan dapat diproduksi secara kontinyu. Budidaya kentang dengan sistem hidroponik ini juga diharapkan dapat menekan terjadinya erosi tanah pada lahan di dataran tinggi. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam pengembangan sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang selanjutnya sehingga diharapkan budidaya tanaman kentang dapat dilakukan di dataran yang lebih rendah.

Ruang Lingkup Penelitian

Percobaan penanaman kentang secara hidroponik dilakukan di dalam

(18)

4

hidroponik digunakan sebagai input dan validasi simulasi CFD. Simulasi CFD dibatasi pada bedeng tanaman dengan asumsi tidak ada pengaruh radiasi permukaan dan pola aliran udara akibat adanya bangunan dan peralatan lainnya di sekitar bedeng tanaman di dalam screenhouse. Geometri bedeng tanaman untuk simulasi diasumsikan sebagai geometri tunggal tanpa adanya geometri lain yang dapat mempengaruhi variabel fisik bedeng tanaman. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan menentukan hubungan antara parameter input dan output dengan pendekatan

black box menggunakan model JST serta melakukan optimasi EC larutan hara untuk budidaya tanaman kentang secara hidroponik menggunakan model AG.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Tanaman Kentang

Tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman tahunan (perennial herb) yang umumnya diperbanyak dengan umbi bibit (Struik 2007). Umbi bibit menghasilkan mata tunas yang akan berkembang menjadi pucuk dan menghasilkan akar dari primordia tunasnya. Dari pucuk inilah dapat terbentuk batang, daun, stolon, akar, bunga, dan umbi. Morfologi tanaman sangat tergantung pada ukuran dan umur fisiologis umbi bibit yang ditanam. Gambar 1 menunjukkan morfologi umum tanaman kentang, yang terdiri atas:

(A) tanaman utuh: 1) umbi bibit; 2) stolon; 3) stolon yang menjadi batang lateral di bawah tanah; 4) umbi; 5) akar; 6) batang utama; 7) batang lateral di atas tanah; 8) daun majemuk; 9) lembaran daun; 10) pucuk; 11) bunga; dan 12) buah, (B) bunga: 1) kelopak; 2) benang sari, terdiri atas tangkai sari dan kepala sari; 3)

putik: 3.1) ovarium, 3.2) tangkai putik, dan kepala putik; dan 4) mahkota bunga, (C) buah: 1) bentuk utuh; 2) potongan longitudinal; dan 3) potongan tranversal, (D) pembentukan bibit: 1) pembentukan bibit setelah tumbuh; dan 2) pembentukan

umbi bibit setelah tuberisasi: 2.1) stolon, 2.2) umbi kecil,

(E) bagian perakaran: 1) umbi bibit; 2) stolon; 3) umbi yang baru muncul; 4) umbi kecil, dengan mata tunas; dan 5) akar,

(F) umbi: 1) dasar (ujung stolon); 2) apikal; 3) mata tunas apikal; 4) mata tunas lateral; 5) kulit; 6) korteks; 7) sistem vaskular; 8) jaringan parenkim; dan 9) inti umbi, dan

(19)

5

Gambar 1 Morfologi tanaman kentang (Struik 2007) Sistem Perakaran Kentang

Tanaman kentang memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Tanaman kentang memiliki sistem perakaran tunggang apabila ditanam dari benih botaninya (true seeds). Namun, umumnya kentang dikembangbiakkan secara vegetatif dengan umbi bibit sehingga sistem perakarannya menjadi serabut. Akar pertama dapat muncul selama masa pra-kecambah. Sistem perakaran kentang agak rapuh, sehingga efisiensi penggunaan air dan hara menjadi rendah dan tanaman menjadi sangat sensitif terhadap kekeringan dan struktur tanah yang miskin. Akar tanaman tidak hanya terbentuk dari batang tetapi juga kadang-kadang pada stolon dan bahkan pada umbi. Perakaran yang berasal dari stolon dan umbi penting dalam menyuplai hara untuk pertumbuhan umbi, terutama karena intensitas pertumbuhan akar menurun setelah awal pembesaran umbi (Struik 2007).

(20)

6

dibandingkan pada kondisi suhu 15 dan 20 C (Sumarni et al. 2013b). Suhardiyanto (2009) menyatakan apabila suhu di daerah perakaran dapat dipertahankan cukup rendah, maka pertumbuhan tanaman akan cukup baik meskipun suhu udara di bagian atas tanaman cukup tinggi.

Fase Pertumbuhan Tanaman Kentang

Menurut Struik (2007), pertumbuhan tanaman kentang terdiri atas tiga fase yaitu fase pertumbuhan awal (emergence), fase pertumbuhan brangkasan (haulm growth), dan fase pertumbuhan umbi (tuber growth) yang terdiri atas insiasi umbi (tuberization) dan pembesaran umbi (tuber bulking). Sementara itu, menurut Dianawati (2013), periode pertumbuhan awal terjadi sekitar 15 hari dari awal penanaman, pertumbuhan vegetatif selama 45–50 hari, dan pertumbuhan umbi selama 55–60 hari. Pembentukan dan pembesaran umbi mulai terjadi pada 35 hari setelah tanam (HST) dan daun mulai menguning pada 90 HST (Gambar 2). Setelah daun menguning, tanaman dibiarkan selama 10–15 hari hingga kulit umbi tidak mudah terkelupas dan umbi siap untuk dipanen.

Gambar 2 Fase pertumbuhan tanaman kentang (Dianawati 2013) Sistem Hidroponik

(21)

7 Terdapat enam tipe sistem hidroponik dasar, yaitu sistem sumbu (wick system), kultur air dengan aerasi (standing aerated nutrient solution), sistem pasang-surut (ebb and flow nutrient solution system), sistem irigasi tetes (drip irrigation system), sistem NFT (nutrient film technique), dan aeroponik (aeroponic). Ada banyak variasi dari sistem hidroponik dasar tersebut, tetapi semua metode hidroponik yang digunakan adalah kombinasi dari keenam sistem dasar tersebut. Dalam sistem hidroponik, pergerakan larutan hara dapat terjadi secara aktif maupun pasif. Larutan hara bergerak secara aktif ketika distribusi hara membutuhkan tenaga listrik untuk mengalirkannya dari bak nutrisi ke media penanaman, sedangkan pergerakan pasif terjadi ketika distribusi hara hanya mengandalkan gaya gravitasi dan kapilaritas dari sumbu (Jones 2005).

Correa et al. (2009) membandingkan tiga sistem hidroponik untuk produksi umbi mini untuk benih kentang. Sistem hidroponik yang digunakan adalah sistem NFT, Deep Flow Technique (DFT), dan aeroponik. Dari ketiga sistem tersebut, sistem aeroponik menghasilkan umbi mini terbanyak, yaitu 875 umbi/m2.

Sementara sistem NFT dan DFT menghasilkan umbi mini sebanyak 246 dan 458 umbi/m2. Selain itu, Sumarni et al. (2013a) juga mengembangkan sistem aeroponik dengan pendinginan daerah perakaran (root zone cooling) untuk memproduksi benih kentang. Sistem ini mampu menghasilkan umbi sebanyak 579 umbi/1.5m2 dengan suhu pendinginan 10 C.

Pengelolaan Hara dalam Sistem Hidroponik

Menurut Rosliani & Sumarni (2005), tanaman membutuhkan 16 unsur hara untuk pertumbuhan yang berasal dari udara, air dan pupuk. Unsur-unsur tersebut adalah karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), sulfur (S), kalsium (Ca), besi (Fe), magnesium (Mg), boron (B), mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), molibdenum (Mo) dan klorin (Cl). Unsur-unsur C, H dan O biasanya disuplai dari udara dan air dalam jumlah yang cukup. Unsur hara lainnya didapatkan melalui pemupukan atau larutan hara. Suplai kebutuhan hara untuk tanaman dalam sistem hidroponik sangat penting untuk diperhatikan. Dua faktor penting dalam formula larutan hara, terutama jika larutan yang digunakan akan disirkulasi (closed system) adalah komposisi dan konsentrasi larutan hara. Menurut Molders et al. (2012), komposisi dan konsentrasi larutan hara untuk tanaman kentang yang ditanam secara hidroponik adalah seperti yang disajikan pada Tabel 1. Hara diberikan selama pertumbuhan tanaman, baik pada fase vegetatif maupun fase tuberisasi.

Tabel 1 Komposisi larutan hara untuk tanaman kentang (Molders et al. 2012) Komposisi Larutan Hara Konsentrasi (mg/L)

Fase Vegetatif Fase Tuberisasi Larutan A

Ca(NO3)24H2O 530.62 530.62

Fer-chelaat 18.75 18.75

Larutan B

K2SO4 437.50 137.50

KH2PO4 150.00 675.00

(22)

8

Selain itu, kunci utama dalam pemberian larutan hara pada sistem hidroponik adalah pengontrolan konduktivitas listrik atau Electrical Conductivity (EC) larutan hara. Kondisi aliran listrik di dalam air dapat diukur dengan menggunakan alat EC meter. EC larutan hara ini untuk mengetahui cocok atau tidaknya larutan hara untuk tanaman, karena kualitas larutan hara sangat menentukan keberhasilan produksi, sementara kualitas larutan hara tergantung pada konsentrasinya. Semakin tinggi garam yang terdapat dalam air, semakin tinggi EC-nya. Selain EC, pH juga merupakan faktor yang penting untuk dikontrol. Formula nutrisi yang berbeda mempunyai pH yang berbeda, karena garam-garam hara mempunyai tingkat kemasaman yang berbeda jika dilarutkan dalam air. Tabel 2 menyajikan kebutuhan EC dan pH bagi beberapa tanaman sayuran (Rosliani & Sumarni 2005).

Tabel 2 Kebutuhan EC dan pH larutan hara bagi beberapa tanaman sayuran

Jenis Sayuran EC (mS) pH

Pada budidaya kentang dengan sistem hidroponik, belum diketahui nilai EC larutan hara yang optimal. Molders et al. (2012) menggunakan nilai EC larutan hara sebesar 1.8 mS selama penanaman kentang dengan sistem NFT. Otazu (2010) juga menyatakan nilai EC larutan hara untuk produksi benih kentang dengan sistem aeroponik sebaiknya tidak lebih dari 2.0 mS. Namun, Sumarni et al. (2013b) menggunakan nilai EC larutan hara 1.8 mS pada fase vegetatif dan 2.5 mS pada fase generatif untuk produksi benih kentang dengan sistem aeroponik. Bahkan Correa et al. (2009) menyatakan sebaiknya EC dipertahankan antara 2-3 mS untuk penanaman kentang dengan sistem NFT.

Computational Fluid Dynamics

Menurut Versteeg dan Malalasekera (2007), Computational Fluid Dynamics

(23)

9 menggunakan algoritma numerik yang dapat mengatasi permasalahan aliran fluida. Secara umum, proses simulasi CFD terdiri atas tiga tahapan, yaitu prapemrosesan (pre-processing), pencarian solusi (solving), dan pascapemrosesan ( post-processing).

Prapemrosesan (Pre-processing)

Prapemrosesan terdiri atas input dari masalah aliran ke dalam program CFD dengan menggunakan interface yang memudahkan operator dan transformasi input

berikutnya ke dalam bentuk yang sesuai untuk digunakan oleh solver. Yang temasuk dalam tahap prapemrosesan ini antara lain:

a. Pendifinisian geometri dan daerah perhitungan (computational domain) b. Membentuk geometri menjadi bagian yang lebih kecil (grid generation). c. Pemilihan fenomena-fenomena fisik dan kimia yang dibutuhkan dalam

pemodelan.

d. Pendefinisian karakteristik fluida.

e. Menentukan kondisi batas (boundary condition) yang sesuai pada model geometri.

Penyelesaian masalah aliran (kecepatan, tekanan, suhu, dan sebagainya) didefinisikan sebagai noda di dalam setiap sel. Keakuratan penyelesaian CFD diatur oleh banyaknya sel pada grid. Secara umum, semakin banyak jumlah sel maka semakin baik pula keakuratan penyelesainnya.

Pencarian solusi (Solving)

Pada tahap pencarian solusi persamaan-persamaan matematika yang digunakan untuk memodelkan aliran didiskritisasi untuk masing-masing grid dan dicari solusinya. Terdapat tiga aliran yang berbeda dalam teknik penyelesaian numerik dalam mecari solusi CFD, yaitu difference, finite element, dan spectral method. Adapun tahapan pencarian solusi CFD dengan teknik numerik antara lain: a. Integrasi pengaturan persamaan aliran fluida atas semua kontrol volume

hingga (finite volume) pada domain.

b. Diskritisasi dengan mengkonversi hasil persamaan integral menjadi sistem persamaan aljabar.

c. Mencari solusi dari persamaan aljabar dengan metode iteratif. Pascapemrosesan (Post-processing)

Pada tahap akhir, yaitu pascapemrosesan, semua solusi dari parameter aliran yang telah diperoleh akan disajikan melalui visualisasi, termasuk animasi untuk tampilan hasil yang bersifat dinamis. Visualisasi hasil simulasi CFD tersebut meliputi:

a. Domain geometri dan tampilan grid. b. Plot berdasarkan vektor.

c. Plot berdasarkan kontur.

d. Plot berdasarkan permukaan dua dimensi dan tiga dimensi. e. Pelacakan partikel.

f. Manipulasi tampilan (pemindahan, rotasi, skala, dan sebagainya).

(24)

10

dengan nilai determinasi (R2) mencapai 0.997 pada perlakuan dengan pendinginan

terbatas (zone cooling).

Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetika

Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan representasi model komputer dari otak manusia. Pada dasarnya JST tersusun dari tiga layer, yaitu input layer, hidden layer, dan output layer (Gambar 3). Setiap layer dihubungkan dengan sinapsis yang direpresentasikan dengan nilai pembobot yang diperoleh dari proses pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran JST adalah dengan algoritma backpropagation

yang menggunakan error output untuk mengubah nilai pembobotnya dalam arah mundur. JST merupakan metode identifikasi yang tepat untuk diaplikasikan pada sistem yang kompleks. Hubungan antara faktor lingkungan dan pertumbuhan tanaman merupakan salah satu sistem dinamik yang dapat diidentifikasi dengan metode ini (Suhardiyanto 2009). Algoritma pelatihan backpropagation terdiri atas inisialisasi pembobot (weight), perhitungan nilai aktivasi, perbaikan nilai pembobot, dan pengulangan. Setelah JST terlatih memecahkan suatu masalah, kemudian harus dilakukan validasi yang merupakan proses pengujian kinerja jaringan terhadap contoh yang belum diberikan selama proses pelatihan (Arif 2008).

Gambar 3 Struktur JST backpropagation (Arif 2008)

Algoritma Genetika (AG) merupakan suatu teknik pencarian dan optimasi dengan cara meniru proses evolusi dan perubahan genetik pada struktur kromosom makhluk hidup. AG memiliki kemampuan untuk belajar dan beradaptasi, yaitu hanya membutuhkan informasi tentang stuktur kromosom (individu) dan bentuk fungsi fitness dari permasalahan yang dihadapi, kemudian mampu mencari sendiri solusi yang terbaik. Operator AG sederhana terdiri atas proses seleksi dan reproduksi. Proses seleksi merupakan proses pemilihan beberapa kromosom untuk dijadikan kromosom induk bagi generasi berikutnya. Sedangkan proses reproduksi merupakan suatu proses pembentukan individu baru melalui proses crossover dan mutasi (Arif 2008).

(25)

11

3

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai September 2015. Perancangan sistem hidroponik, simulasi CFD, identifikasi dan optimasi dengan model JST dan AG dilakukan di Laboratorium Lingkungan dan Bangunan Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB. Pembuatan sistem hidroponik dan penanaman kentang dilakukan di screenhouse Unit Lapangan Percobaan IPB Pasir Sarongge yang berada pada ketinggian 1200 m dpl.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas multiplek (plywood), styrofoam, sekrup, plastik polyethylene (PE) hitam, kain flanel, pipa PVC ¾ inch, pipa PE 5 mm, selang, emiter, kawat loket (welded wiremesh) ½ inch, arang sekam, rockwool, polybag, ember, tangki air 120 liter, fungisida dengan bahan aktif Mankozeb 80% dan Klorotalonil 75%, insektisida dengan bahan aktif Deltrametrin 25 g/l, dan larutan KOH. Bibit kentang yang digunakan adalah bibit G2 kultivar Granola. Nutrisi yang digunakan adalah larutan hara hidroponik AB

Mix.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan perancangan dan pembuatan sistem hidroponik serta instrumen pengukuran. Peralatan untuk perancangan dan pembuatan sistem hidroponik terdiri atas seperangkat komputer, meteran, gunting, gergaji listrik, mesin bor tangan, tang potong, pompa air celup (model WP-3800) dan waterpass. Sedangkan instrumen pengukuran yang digunakan adalah gelas ukur 10 ml dan 1000 ml, Hybrid Recorder Yokogawa MV1000, termokopel tipe T, EC meter (model COM-80), pH meter (model PH-108), Lightmeter (model LX-101A), timer (tipe TS-ED1), timbangan digital (Sonic® model JSC-B), penggaris dan kamera digital.

Konsep Rancangan Sistem Hidroponik

Rancangan Fungsional

Fungsi utama sistem hidroponik yang dirancang adalah untuk membudidayakan tanaman kentang secara hidroponik sehingga tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik dan mampu menghasilkan umbi. Fungsi-fungsi utama dari sistem hidroponik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Menampung dan mendistribusikan larutan hara ke setiap tanaman

(26)

12

aliran larutan hara yang keluar pada setiap emiter irigasi tetes diatur dengan menggunakan kran.

b. Mengatur waktu penyiraman

Larutan hara tidak dapat dialirkan secara terus menerus karena suplai yang terbatas pada tangki nutrisi sehingga penyiraman harus diatur menggunakan timer

sehingga kebutuhan hara tanaman tetap dapat terpenuhi. Pengaturan waktu penyiraman dapat dilakukan secara otomatis dengan menggunakan timer.

c. Menyangga tanaman dan umbi kentang yang dihasilkan

Tanaman kentang yang ditanam secara hidroponik tidak menggunakan tanah sebagai media tumbuh tanaman. Rockwool digunakan sebagai media untuk menyangga tanaman agar tetap dapat tumbuh tegak pada bedeng tanaman. Umbi kentang yang terbentuk akan menggantung di dalam bedeng tanaman. Keranjang berlubang yang dibuat dengan menggunakan kawat loket berfungsi sebagai penyangga umbi kentang yang terbentuk agar umbi tersebut tidak mencapai dasar bedeng dan terendam pada larutan hara, namun akar tanaman tetap dapat mencapai dasar bedeng tanaman dan menyarap hara dari larutan hara di dasar bedeng. d. Mengoptimalkan penyerapan hara oleh tanaman

Penanaman kentang secara hidroponik yang tidak menggunakan media tanah menyebabkan kebutuhan hara bagi tanaman hanya disuplai dari larutan hara. Sehingga diperlukan suatu mekanisme yang dapat mengoptimalkan penyerapan hara oleh tanaman dari larutan hara yang diberikan. Mekanisme sumbu digunakan untuk membantu penyerapan hara secara pasif pada masa awal pertumbuhan tanaman karena akar tanaman masih belum mencapai dasar bedeng. Sementara itu, mekanisme NFT berfungsi menyediakan hara yang dapat langsung diserap oleh tanaman.

e. Mensirkulasikan larutan hara agar dapat digunakan kembali

Larutan hara yang dialirkan ke setiap bedeng tanaman akan tertampung pada bagian dasar bedeng sampai setinggi 5 cm yang diatur dengan memberikan pipa pembuangan pada bedeng yang langsung menuju pada ember penampung. Ember penampung berfungsi untuk menampung larutan hara yang keluar dari bedeng tanaman sehingga dapat disirkulasikan kembali ke tangki nutrisi dan dapat digunakan kembali untuk penyiraman tanaman.

Rancangan Struktural

(27)

13

Gambar 4 Rancangan sistem hidroponik

Bedeng tanaman dibuat dari multiplek (plywood) dengan ketebalan 1.2 cm yang dilapisi dengan plastik PE hitam. Tutup bedeng tanaman dibuat dari styrofoam

(28)

14

Gambar 5 Bedeng tanaman : pipa nutrisi (a), rockwool (b), keranjang (c), sumbu

(d), pipa pembuangan (e), dan ember penampung (f)

Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD

Simulasi CFD digunakan untuk melihat distribusi suhu larutan hara dan udara daerah perakaran pada bedeng tanaman. Simulasi ini dilakukan dengan bantuan

software Solidworks Premium 2011 yang sudah terintegrasi dengan flow simulation. Perangkat komputer yang digunakan memiliki spesifikasi CPU Intel Core i7, memori RAM 12 GB, dan sistem operasi 64-bit. Persamaan-persamaan pada fluida dibangun dan dianalisis berdasarkan persamaan diferensial parsial yang mempresentasikan hukum-hukum konservasi massa, momentum dan energi. Pada simulasi CFD, pemecahan aliran fluida seperti udara digambarkan secara kuantitatif dalam besaran suhu dengan bentuk persamaan diferensial yang didasarkan pada analisis numerik metode volume hingga (finite volume method) khususnya persamaan Navier-Stokes (Sumarni et al. 2013a). Tahapan simulasi menggunakan CFD disajikan pada Gambar 6.

Persamaan Kekekalan Massa

Keseimbangan massa elemen fluida dinyatakan sebagai laju kenaikan massa dalam elemen fluida. Semua elemen fluida merupakan fungsi dari ruang dan waktu, maka massa jenis fluida ρ ditulis dalam bentuk ρ(x,y,z,t) dan komponen kecepatan fluida ditulis sebagai dx/dt=u, dy/dt=v, dan dz/dt=w (Sumarni et al. 2013a). Bentuk persamaan matematis ditulis sebagai berikut :

(a) (b) (c) (d) (e)

(29)

15

Persamaan momentum dikembangkan dari persamaan Navier-Stokes dalam bentuk yang sesuai dengan metode finite volume (Sumarni et al. 2013a). viskositas dinamik fluida (kg/m.s), p adalah tekanan (Pa), f adalah gaya per satuan massa yang dikenakan pada fluida, adalah kecepatan skalar, V adalah kecepatan vektor, dan adalah -2/3µ .

Persamaan Energi

Persamaan energi diturunkan dari Hukum I Termodinamika. Secara matematika ditulis sebagai berikut (Sumarni et al. 2013a) :

i dimana T adalah suhu fluida (K), k adalah konduktivitas termal fluida (W/mK), dan Si adalah energi yang ditambahkan per unit volume per unit waktu.

(30)

16

Gambar 6 Tahapan simulasi dengan CFD

Simulasi dilakukan untuk melihat distribusi suhu bedeng tanaman pada kondisi suhu lingkungan rendah (pagi hari) dan tinggi (siang hari) pada dua fase pertumbuhan tanaman, yaitu fase vegetatif dan fase tuberisasi. Bentuk dan dimensi geometri bedeng tanaman yang digunakan dalam simulasi ini adalah ukuran yang sebenarnya. Bentuk geometri bedeng tanaman untuk simulasi dibuat dengan skala 1:1 dengan ukuran yang sebenarnya yang memiliki panjang 400 cm, lebar 62 cm, dan tinggi 26 cm dengan ketebalan dinding dan alas 1.2 cm, sedangkan tutup bedeng memiliki ketebalan 2 cm (Gambar 7). Material bedeng hidroponik didefinisikan sebagai multiplek (plywood), styrofoam sebagai tutup bedeng, dan kawat loket (stainless steel welded wiremesh) sebagai keranjang. Sifat fisik dari material tersebut disajikan dalam Tabel 3.

Mulai Pembuatan geometri

Pengecekan geometri

Geometri baik?

Pendefinisian material yang digunakan

Penentuan kondisi awal

Penentuan Computational domain, Boundary condition, goals

Proses numerik dan iterasi

Konvergen?

Plot kontur, animasi,

grafik dan data Selesai

Pre-processing

Solving

Post-processing Ya

Ya

(31)

17

Gambar 7 Model geometri bedeng tanaman untuk simulasi CFD Tabel 3 Sifat fisik material bedeng hidroponik

Sifat Fisik Bahan Satuan Plywood Styrofoam Wiremesh

Kerapatan kg/m3 700 70 7900

Panas Jenis J/kg°C 1420 1045 500

Konduktivitas Panas W/m°C 0.15 0.026 16.29

Tipe Konduktivitas - Isotropik Isotropik Isotropik

Melting Temperature °C 726.85 348 1400

Sumber : Solidworks Engineering database

Simulasi dalam penelitian ini menggunakan tipe analisis internal dengan pengaruh gravitasi. Fluida yang digunakan adalah air (water) yang dianggap sebagai larutan hara. Data input yang digunakan dalam simulasi diambil dari data pengukuran pada tanggal 24 Juni 2015 (fase vegetatif, 14 HST) dan 5 Agustus 2015 (fase tuberisasi, 56 HST). Data input kondisi awal dan kondisi batas simulasi disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Input kondisi awal dan kondisi batas simulasi CFD

Parameter Fase Vegetatif Fase Tuberisasi

Pagi Siang Pagi Siang

Kondisi Awal

Suhu lingkungan (°C) 16.3 26.9 16.4 28.5

Suhu larutan hara (°C) 19.9 21.7 19.5 20.6

Tekanan udara (Pa) 101325 101325 101325 101325

Garvitasi (m/s2) 9.81 9.81 9.81 9.81

Tanggal 24/06/2015 24/06/2015 5/08/2015 5/08/2015

Pukul (WIB) 06:00 12:00 06:00 12:00

Kondisi Batas

Inlet mass flow (kg/s) 0.006 0.006 0.006 0.006

Environment pressure (Pa) 101325 101325 101325 101325

Suhu dinding depan (°C) 18.6 28.9 18.5 28

Suhu dinding belakang (°C) 17.5 28.9 17.5 30.5

Suhu dinding atas (°C) 20.0 29.4 19.4 28.6

Suhu dinding kanan (°C) 17.9 29.3 18.6 28.9

Suhu dinding kiri (°C) 18.3 28.9 18.5 27.6

Suhu dinding bawah (°C) 19.9 21.7 19.5 20.6

Meshing 3 (default) 3 (default) 3 (default) 3 (default)

Asumsi yang digunakan dalam simulasi distribusi suhu udara dan larutan hara di dalam bedeng hidroponik antara lain:

(32)

18

2. Udara bergerak dalam kondisi steady state dan bersifat tidak terkompresi. 3. Pengaruh perpindahan panas yang terjadi di sepanjang pipa penyalur nutrisi

diabaikan.

4. Panas jenis, konduktivitas dan viskositas udara konstan selama simulasi. 5. Lapisan plastik hitam tidak didefinisikan sebagai bahan pelapis bedeng. 6. Pengaruh evaporasi di sepanjang bedeng tanaman diabaikan.

7. Faktor hambatan akar tanaman dianggap tidak mempengaruhi aliran nutrisi di dalam bedeng tanaman.

Validasi Hasil Simulasi CFD dengan Pengukuran

Validasi dilakukan dengan membandingkan suhu udara dan suhu larutan hara di dalam bedeng tanaman hasil pengukuran dengan hasil simulasi CFD. Pengujian keabsahan dilakukan dengan garis regresi yang terbentuk pada hubungan linear antara hasil pengukuran (x) dan simulasi CFD (y).

b ax

y  (6)

dimana a menyatakan gradien garis regresi dan b menyatakan intersep garis regresi dengan sumbu tegak. Keakuratan hasil simulasi dengan hasil pengukuran dinyatakan dalam persentase error yang dinyatakan dalam persamaan :

%

Keseragaman distribusi suhu dari hasil simulasi dapat ditentukan dengan menghitung nilai koefisien keseragaman (coefficient of uniformity) data hasil simulasi. Hal ini menunjukkan kualitas keseragaman sebaran nilai parameter yang diukur dan disimulasikan. Koefisien keseragaman data hasil simulasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 8.

%

(°C), µ adalah nilai rata-rata suhu hasil simulasi (°C), dan n adalah jumlah data. Budidaya Tanaman dan Pengukuran

Budidaya kentang dilakukan pada sistem hidroponik yang dibangun. Umbi bibit kentang terlebih dahulu ditanam di polybag dengan media tanam arang sekam. Pada 8 hari setelah tanam (HST), tanaman kentang dipindahkan ke bedeng hidroponik yang telah dibangun (Gambar 8). Terdapat dua sistem hidroponik yang digunakan untuk dua nilai EC larutan hara yang berbeda, yaitu 1.8 mS dan 2.5 mS dengan pH larutan hara 5.5–6.5. Larutan hara yang digunakan adalah nutrisi AB

(33)

19

Gambar 8 Tanaman kentang umur 8 HST

Pemeliharaan tanaman dilakukan untuk menjaga agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Pemeliharaan yang dilakukan adalah penyemprotan fungisida dan insektisida untuk mencegah dan mengurangi serangan patogen dan hama pada tanaman kentang.

Pengamatan dan pengukuran dilakukan mulai dari awal penanaman sampai panen. Parameter yang diukur antara lain :

1. Suhu

Pengukuran suhu dilakukan untuk mengetahui distribusi suhu secara aktual yang akan digunakan sebagai data input dan validasi dalam simulasi CFD. Pengukuran dilakukan setelah bibit ditanam pada sistem hidroponik. Pencatatan data pengukuran suhu dilakukan menggunakan hybrid recorder yang dihubungkan pada titik-titik pengukuran dengan termokopel. Pengukuran suhu dilakukan selama pertumbuhan tanaman kentang. Titik-titik pengukuran di lakukan pada setiap bagian dari sistem hidroponik, yaitu larutan hara pada tangki nutrisi, larutan hara yang keluar dari emiter, larutan hara di dalam bedeng tanaman, larutan hara yang keluar dari pipa pembuangan, udara di dalam bedeng tanaman, udara di dalam

screenhouse, dan udara di luar screenhouse (Gambar 9).

Gambar 9 Skema titik-titik pengukuran distribusi suhu (•) 2. Intensitas cahaya

(34)

20

3. Intensitas serangan penyakit

Intensitas serangan penyakit diamati setiap satu minggu sekali mulai dari 15 HST sampai 57 HST. Pengamatan dilakukan pada setiap tanaman dengan melihat gejala serangan pada daun secara keseluruhan. Selanjutnya dibuat penilaian numerik berdasarkan gejala seperti pada Tabel 5. Kemudian intensitas penyakit dihitung dengan persamaan berikut (Widjayanti et al. 2012) :

%

dimana I adalah intensitas penyakit (%), niadalah jumlah tanaman yang terinfeksi

pada setiap kategori, vi adalah nilai numerik masing-masing kategori serangan, Z

adalah nilai numerik kategori serangan tertinggi, dan N adalah jumlah tanaman yang diamati.

Tabel 5 Sistem penilaian numerik serangan penyakit

Nilai numerik Tingkat serangan penyakit

0 Tidak ada gejala serangan

1 Gejala serangan 0 – 5 %

2 Gejala serangan 5 – 15 %

3 Gejala serangan 15 – 30 %

4 Gejala serangan 30 – 50 %

5 Gejala serangan >50 %

4. Pertumbuhan vegetatif tanaman

Pertumbuhan vegetatif tanaman yang diukur meliputi tinggi tanaman dan jumlah daun. Pengukuran dilakukan satu minggu sekali mulai dari 8 HST sampai 57 HST karena sudah tidak terjadi pertambahan tinggi pada tanaman. Tinggi tanaman kentang diukur dari pangkal batang sampai tunas tertinggi. Sedangkan jumlah daun dihitung mulai dari daun paling bawah sampai daun teratas.

5. Jumlah dan berat umbi per tanaman

Jumlah dan berat umbi dihitung dan ditimbang setelah umbi dipanen. Pemanenan dilakukan pada 76 HST, yaitu setelah sebagian besar tanaman mati.

Identifikasi Menggunakan Model Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan (JST) digunakan untuk identifikasi jumlah dan berat umbi kentang yang dihasilkan. Model JST dibangun menggunakan pemrograman

Visual Basic yang terdapat pada Software Microsoft Excel. Model JST yang dibangun terdiri atas tiga layer, yaitu input layer, hidden layer, dan output layer. Nilai EC larutan hara, intensitas cahaya, suhu daerah perakaran, intensitas serangan penyakit, dan tinggi tanaman digunakan sebagai input, sementara jumlah dan berat umbi kentang digunakan sebagai nilai output layer (Gambar 10).

Model JST ini digunakan sebagai model black box non-linear. Pembelajaran yang digunakan adalah back-propagation dengan multilayer networks yang terdiri atas dua prosedur, yaitu feed-forward dan back-propagation weight training. Fungsi sigmoid dipilih sebagai fungsi aktivasi untuk hidden layer dan output layer

(35)

21

Gambar 10 Struktur model JST

Sampel data yang diperoleh dibagi menjadi dua, sebagian untuk proses Persamaan fungsi error tersebut diberikan sebagai fungsi berikut (Suhardiyanto 2009) :

dimana Yp adalah nilai prediksi oleh JST, Ya adalah nilai aktual hasil pengukuran,

(36)

22

Optimasi Menggunakan Model Algoritma Genetika

Model Algoritma Genetika (AG) yang dikembangkan bertujuan untuk mencari nilai EC larutan hara yang optimal pada budidaya kentang dengan sistem hidroponik untuk mendapatkan jumlah dan berat umbi yang maksimum. Model AG juga dibangun menggunakan pemrograman Visual Basic yang terdapat pada

Software Microsoft Excel. Nilai bobot dari pembelajaran model JST digunakan sebagai input pada model AG untuk memprediksi jumlah dan berat umbi kentang. Selain itu, nilai EC juga digunakan sebagai input pada model AG untuk mencari nilai EC larutan hara yang optimal untuk budidaya kentang dengan sistem hidroponik. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum mengembangkan model AG dalam proses optimasi, yaitu pendefinisian individu dalam populasi, pendefinisian fungsi fitness, dan operator AG (Suhardiyanto et al.

2009).

Prosedur optimasi menggunakan AG melalui tahapan berikut : 1. Inisialisasi populasi awal secara acak.

2. Penghitungan nilai fitness dari semua individu. 3. Seleksi berdasarkan peluang seleksi.

4. Penyilangan (crossover) berdasarkan peluang penyilangan yang diinginkan. 5. Mutasi berdasarkan peluang mutasi yang diinginkan.

6. Terbentuknya populasi baru. 7. Pengurutan.

8. Pengulangan (iterasi) pada tahap kedua sampai kondisi konvergen tercapai.

(37)

23 Fungsi tujuan dari model AG ini adalah maksimasi jumlah dan berat umbi kentang yang dihasilkan. Untuk kemudahan dalam formulasi persamaan matematika, maka fungsi tujuan yang dikembangkan merupakan penjumlahan rata-rata nilai jumlah dan berat umbi kentang. Persamaan fungsi tujuan tersebut sebagai berikut (Suhardiyanto et al. 2009) :



Fungsi tujuan : maksimasi F(EC)

Fungsi batas : 1.8  EC  2.5 mS

dimana F(EC) adalah fungsi dari konsentrasi larutan hara, Jijadalah jumlah umbi

kentang (buah), Bijadalah berat umbi kentang (g), m adalah jumlah tanaman pada

masing-masing perlakuan (40 tanaman), n adalah jumlah perlakuan (2 perlakuan), dan EC adalah nilai EC larutan hara yang diberikan.

Gambar 12 Tahapan optimasi nilai EC larutan hara dengan JST dan AG Mulai

Optimasi nilai EC larutan nutrisi

(38)

24

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Hidroponik untuk Budidaya Tanaman Kentang

Sistem hidroponik untuk budidaya tanaman kentang dibangun sesuai dengan konsep rancangan yang telah dibuat. Sistem hidroponik terdiri atas bedeng tanaman, tangki nutrisi, pompa air celup, pipa penyalur nutrisi, selang emiter irigasi tetes, timer, dan ember penampung (Gambar 13). Dalam satu sistem hidroponik terdapat empat bedeng tanaman. Bedeng tanaman dibuat menggunakan bahan multiplek (plywood) dengan ketebalan 1.2 cm yang kemudian dilapisi dengan plastik PE hitam. Tutup bedeng tanaman dibuat menggunakan bahan styrofoam

dengan ketebalan 2 cm. Tangki air 120 liter digunakan untuk menampung larutan hara yang akan dialirkan pada sistem hidroponik tersebut. Pompa air celup dengan daya 45 W digunakan untuk mengalirkan larutan hara ke setiap bedeng tanaman. Larutan hara dialirkan ke setiap tanaman melalui selang emiter dengan debit 6 ml/s. Penyiraman tanaman dilakukan selama 2 menit setiap 2 jam sekali yang diatur menggunakan timer sehingga penyiraman dapat dilakukan secara otomatis. Selanjutnya larutan hara akan tertampung pada bagian dasar bedeng tanaman sampai setinggi 5 cm dan apabila berlebih akan dikeluarkan ke ember penampung yang kemudian disirkulasikan ke tangki nutrisi agar dapat digunakan kembali.

Gambar 13 Sistem hidroponik yang dibangun: tangki nutrisi (a), pompa air celup (b), selang emiter (c), timer (d), dan ember penampung (e)

Sistem hidroponik yang dibangun merupakan kombinasi dari tiga sistem dasar hidroponik, yaitu sistem irigasi tetes, sistem sumbu, dan sistem NFT.

Rockwool digunakan sebagai media tanam dalam sistem hidroponik ini, namun hanya untuk menahan agar tanaman dapat tumbuh tegak. Sementara akar tanaman akan menggantung di dalam bedeng tanaman seperti terlihat pada Gambar 14.

(39)

25 Larutan hara dialirkan ke setiap tanaman dengan sistem irigasi tetes. Dengan sistem ini tanaman bisa mendapatkan suplai hara secara merata. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kasiran (2006) bahwa irigasi tetes merupakan salah satu jenis irigasi mikro yang menggunakan air secara efisien dan bekerja secara pasti dalam memenuhi kebutuhan tanaman. Larutan hara yang diberikan dengan irigasi tetes akan membasahi rockwool dan akar tanaman sehingga dapat langsung diserap oleh tanaman. Namun, hanya sedikit larutan hara yang dapat diserap secara langsung oleh tanaman karena sebagian besar larutan hara akan langsung mengalir ke dasar bedeng tanaman. Oleh karena itu, penyerapan hara selanjutnya dilakukan dengan mekanisme sistem sumbu (wick) yang ada pada sistem hidroponik ini. Sistem sumbu berperan efektif dalam membantu penyerapan hara oleh akar tanaman, terutama pada saat awal pertumbuhan tanaman dimana akar tanaman belum mencapai dasar bedeng. Akar tanaman akan menempel pada bagian sumbu untuk dapat menyerap hara seperti terlihat pada Gambar 14 (2). Sumbu yang dibuat dari bahan kain flanel dapat menyerap larutan hara dengan baik sehingga akan selalu dalam kondisi basah. Akar tanaman yang telah mencapai dasar bedeng dapat menyerap hara secara langsung dengan mekanisme NFT. Kombinasi dari ketiga sistem hidroponik ini mengoptimalkan penyerapan hara oleh akar tanaman.

Gambar 14 Tiga sistem dasar hidroponik: irigasi tetes (a), sumbu (b), dan NFT (c) Iklim Mikro di dalam Screenhouse

Kondisi iklim mikro di dalam screenhouse direpresentasikan dengan data hasil pengukuran pada saat fase vegetatif dan fase tuberisasi tanaman kentang. Pengukuran suhu dan radiasi matahari dilakukan pada tanggal 24 Juni 2015 (tanaman kentang berumur 14 HST) untuk fase vegetatif dan pada tanggal 5 Agustus 2015 (tanaman kentang berumur 56 HST) untuk fase tuberisasi. Suhu udara maksimum di dalam screenhouse pada saat fase vegetatif mencapai 28.6 °C dan suhu minimum 16.3 °C. Sedangkan pada saat fase tuberisasi suhu maksimum mencapai 30.1 °C dan suhu minimum 14.8 °C (Gambar 15). Berdasarkan klasifikasi iklim Junghuhn, suhu udara pada daerah dengan ketinggian 600–1500 m dpl berkisar antara 17.1–22 °C. Sehingga kondisi suhu di dalam screenhouse ini tergolong tinggi meskipun lokasinya yang berada di dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1200 m dpl.

Fenomena perubahan suhu ini menunjukkan telah terjadi pemanasan global, termasuk pada daerah dataran tinggi sehingga berakibat pada kondisi yang kurang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran budidaya tanaman kentang secara konvensional ke daerah yang lebih tinggi. Menurut Kusmantoro (2010) dan Henny

(40)

26

et al. (2011), budidaya kentang pada wilayah usaha tani yang semakin tinggi dan berlereng akan meningkatkan resiko terjadinya erosi tanah dan air. Selain itu, pergeseran budidaya kentang ke daerah yang lebih tinggi juga berdampak pada penebangan hutan untuk perluasan wilayah usaha tani. Menurut Latief (2010), penebangan hutan akan menyebabkan lepasnya sejumlah emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang sebelumnya disimpan di dalam pohon. Jika laju kerusakan hutan semakin tinggi, maka emisi gas rumah kaca yang lepas ke atmosfer juga akan semakin besar jumlahnya. Hal tersebut berdampak pada terjadinya peningkatan suhu udara secara global, termasuk sampai ke wilayah dataran tinggi.

Gambar 15 Suhu udara dan radiasi matahari di dalam screenhouse pada fase

vegetatif (a) dan fase tuberisasi (b)

Radiasi matahari maksimum yang masuk ke dalam screenhouse mencapai 351.77 W/m2 pada saat fase vegetatif dan 498.88 W/m2 pada saat fase tuberisasi. Radiasi matahari maksimum terjadi pada pukul 11:00, setelah itu terjadi penurunan radiasi matahari karena terhalang oleh awan (Gambar 15). Cahaya memegang peranan penting dan seringkali menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Cahaya diperlukan dalam proses asimilasi sejumlah senyawa penting dalam tubuh tanaman (Lestari et al. 2012). Menurut Sumarni (2013), faktor cahaya yang penting untuk pertumbuhan tanaman adalah intensitas cahaya (radiasi matahari) dan lama pencahayaan. Radiasi matahari berpengaruh terhadap perumbuhan vegetatif tanaman, seperti batang, cabang, dan daun, serta pertumbuhan generatif tanaman

(a)

(41)

27 seperti bunga dan umbi. Banyaknya awan yang terbentuk pada siang hari secara signifikan menurunkan radiasi matahari langsung yang mencapai permukaan tanah. Peningkatan intensitas radiasi matahari pada pagi sampai siang hari juga meningkatkan suhu udara di dalam screenhouse secara signifikan. Namun, suhu udara masih tetap tinggi walaupun intensitas radiasi matahari menurun.

Suhu Daerah Perakaran Tanaman Kentang

Kondisi iklim mikro di dalam screenhouse mempengaruhi suhu di daerah perakaran bedeng tanaman sistem hidroponik. Suhu udara di dalam bedeng tanaman mengikuti pola suhu udara di dalam screenhouse. Peningkatan suhu udara di dalam bedeng tanaman terjadi mulai pada pukul 07:00 dan mencapai suhu maksimum pada suhu 29.8 °C pada saat fase vegetatif dan 30.4 °C pada saat fase tuberisasi. Sedangkan suhu air (larutan hara) memiliki pola yang berbeda dengan suhu udara di dalam screenhouse. Suhu air terlihat relatif stabil pada pagi, siang dan malam hari, yaitu antara 19.3–23.3 °C pada saat fase vegetatif dan 18.9–23.0 °C pada saat fase tuberisasi (Gambar 16).

Gambar 16 Suhu daerah perakaran tanaman kentang pada fase vegetatif (a) dan fase tuberisasi (b)

Suhu udara di dalam bedeng tanaman terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di dalam screenhouse. Terdapat selisih suhu yang mencapai 2.9 °C pada fase vegetatif dan 4.3 °C pada fase tuberisasi. Hal tersebut dapat terjadi

(a)

(42)

28

karena udara yang terjebak di dalam bedeng tanaman akan terpanaskan melalui konveksi udara yang bersumber dari bahan bedeng serta radiasi termal yang dipantulkan oleh permukaan bedeng ke udara di sekelilingnya (Niam 2011). Kondisi ini menunjukkan bahwa suhu di daerah perakaran tanaman masih relatif tinggi bagi tanaman kentang. Tanaman kentang dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu rendah, yaitu 15–20 °C. Sementara, cekaman suhu tinggi dapat menghambat perkembangan umbi dan umbi yang dihasilkan akan berbentuk abnormal (Sumartono & Sumarni 2013).

Simulasi Distribusi Suhu pada Bedeng Tanaman dengan CFD

Jumlah fluid cells yang terbentuk pada proses simulasi CFD bedeng tanaman berjumlah 1,160,758 dengan partial cells berjumlah 1,318,794. Kondisi konvergen dicapai pada iterasi 1,110 (Gambar 17). Perbedaan nilai suhu pada bedeng tanaman hasil simulasi CFD digambarkan dengan gradasi warna yang berbeda. Nilai suhu terendah digambarkan dengan warna biru dan nilai suhu tertinggi dengan warna merah.

Gambar 17 Jumlah cells dan iterasi pada proses simulasi CFD

(43)

29 rendah dibandingkan Cp air (4.182 kJ/kg.K) sehingga suhu udara akan lebih cepat

meningkat pada siang hari.

Gambar 18 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase vegetatif : pagi (a) dan siang (b)

Gambar 19 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase vegetatif : pagi (a) dan siang (b)

Sementara itu, keseragaman distribusi suhu bedeng tanaman pada fase tuberisasi dapat dilihat dari pola kontur pada bedeng tampak samping (Gambar 20) dan tampak atas (Gambar 21). Apabila dilihat dari pola konturnya, hasil simulasi pada fase tuberisasi tidak begitu berbeda dengan hasil simulasi pada fase vegetatif. Rata-rata suhu udara hasil simulasi di dalam bedeng tanaman sebesar 18.84 °C dan rata-rata suhu air (larutan hara) hasil simulasi sebesar 19.49 °C pada pagi hari. Sedangkan rata-rata suhu udara mencapai 27.88 °C dan rata-rata suhu air (larutan hara) sebesar 20.63 °C pada siang hari. Pada fase tuberisasi, sudah banyak terbentuk umbi kentang yang menggantung di atas keranjang yang ada di dalam bedeng tanaman. Seperti terlihat pada Gambar 20, udara di dasar keranjang memiliki suhu yang lebih rendah daripada bagian atasnya pada siang hari. Hal tersebut mungkin terjadi karena umbi kentang memiliki Cp yang lebih besar dibandingkan dengan

udara disekitarnya, yaitu sebesar 3.67 kJ/kg.K (ASHRAE 2006) sehingga umbi kentang tersebut mampu menyerap panas dari udara dan menurunkan suhu udara disekitarnya. Meskipun begitu, suhu udara di dalam bedeng tanaman masih terlalu tinggi bagi perakaran tanaman kentang sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan umbi.

(a)

(b)

(a)

(44)

30

Gambar 20 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak samping pada fase tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)

Gambar 21 Distribusi suhu bedeng tanaman hasil simulasi tampak atas pada fase tuberisasi : pagi (a) dan siang (b)

Akurasi hasil simulasi CFD yang dilakukan dapat diketahui dengan melakukan validasi dan menghitung nilai error terhadap nilai suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran di dalam bedeng tanaman (Tabel 6). Nilai error dihitung dnegan menggunakan persamaan (7). Titik-titik koordinat 3 dimensi diperoleh berdasarkan titik-titik pengukuran pada bedeng tanaman.

Tabel 6 Perbandingan hasil pengukuran suhu udara dan larutan hara di dalam bedeng tanaman dengan simulasi CFD

Fase

Pertumbuhan

Pukul (WIB)

Ordinat Suhu (°C) Error

(%) x (m) y (m) z (m) Pengukuran Simulasi

Vegetatif 6:00 1.05 0.03 -0.07 18.9 19.17 1.44 0.057 0.03 0.077 18.6 19.17 3.04 -0.95 0.03 0.225 18.6 19.17 3.06 1.05 -0.145 -0.07 20.1 19.89 1.06 -0.95 -0.145 0.225 19.6 19.89 1.47 12:00 1.05 0.03 -0.07 27.7 28.81 4.00 0.057 0.03 0.077 28.1 28.79 2.44 -0.95 0.03 0.225 27.8 28.79 3.55 1.05 -0.145 -0.07 21.2 21.73 2.50 -0.95 -0.145 0.225 22.2 21.73 2.11

(a)

(b)

(a)

(45)

31 Tuberisasi 6:00 1.05 0.03 -0.07 18.8 18.84 0.22

0.057 0.03 0.077 19.3 18.83 2.42 -0.95 0.03 0.225 18.8 18.83 0.17 1.05 -0.145 -0.07 19.7 19.49 1.07 -0.95 -0.145 0.225 19.2 19.49 1.51 12:00 1.05 0.03 -0.07 28.3 27.88 1.50 0.057 0.03 0.077 28.4 27.88 1.83 -0.95 0.03 0.225 28.7 27.90 2.80 1.05 -0.145 -0.07 20.5 20.63 0.64 -0.95 -0.145 0.225 20.7 20.63 0.32

Maksimum 4.00

Minimum 0.17

Rata-Rata 1.86

Dari Tabel 6 diketahui bahwa nilai error maksimum hasil simulasi CFD terhadap distribusi suhu di dalam bedeng tanaman sebesar 4%. Sementara nilai rata-rata error yang diperoleh adalah sebesar 1.86%. Hal tersebut berarti pendefinisian material untuk input dalam simulasi CFD sudah baik dan dapat menggambarkan kondisi di dalam bedeng tanaman pada saat pengukuran. Nilai error dapat diminimalkan dengan pendefinisian yang lebih akurat, yaitu dengan memasukkan sifat fisik dan kimia larutan hara yang digunakan di dalam penelitian (Sumarni 2013). Analisis regresi dari perbandingan antara suhu hasil simulasi dan pengukuran menghasilkan persamaan linear dengan gradien 0.9978 dan intersep 0.165 dengan nilai R2 sebesar 0.9837 (Gambar 22). Gradien yang mendekati 1 dan itersep yang mendekati 0 menunjukkan bahwa suhu hasil simulasi CFD sudah hampir sama dengan suhu hasil pengukuran di lapangan. Selain itu, koefisien keseragaman (CU) yang dihitung menggunakan persamaan (8) menghasilkan nilai

CU untuk simulasi pada fase vegetatif sebesar 84.18%, sedangkan CU untuk simulasi pada fase tuberisasi sebesar 88.41%. Oleh karena itu, hasil simulasi CFD dapat dikatakan baik karena nilai CU >75% (Niam 2011). Hal tersebut menunjukkan bahwa simulasi CFD mampu mengambarkan distribusi suhu di dalam bedeng hidroponik secara akurat.

Gambar

grafik dan data
Gambar 7 Model geometri bedeng tanaman untuk simulasi CFD
Gambar 9 Skema titik-titik pengukuran distribusi suhu (•)
Tabel 5 Sistem penilaian numerik serangan penyakit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi perairan Teluk Ambon Luar memiliki indeks pencemaran perairan berdasarkan baku mutu untuk biota laut seluruhnya dalam kondisi baik meskipun ada beberapa

Final Rendering merupakan tahap akhir dari pembuatan video Animasi 3D pada aplikasi Adobe Premiere Pro CS5 dengan output Animasi 3 Dimensi Pencegahan Cyber

Kami juga bekerja untuk mendukung pembangunan daerah melalui program pengembangan ekonomi masyarakat lokal, sepert Program Pengembangan Usaha Mikro Kecil

Berdasarkan hal tersebut, maka aspek yang diungkap dalam penelitian ini dibatasi yakni keefektifan yang dimaksud apakah dengan menggunakan media penunjang Edmodo ini siswa

Terima kasih buat keluarga besar saya yang selalu memberikan motivasi, semangat dan doa yang selalu mengucapkan bahwa saya pasti bisa, tidak ada sesuatu hal didunia ini

2 Agung, “Pentingnya Pendidikan Bagi Manusia”, Official Website of Agung.. punah atau mati. Hal ini berarti bahwa pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan

Pengaruh Penggunaan Multimedia Interaktif Terhadap Hasil Belajar Pada Kompetensi Proses Mesin Konversi Energi Siswa Kelas X SMK Negeri 6 Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia |

Pada proses pengelasan variasi kuat arus, pendingin dan merk elektroda merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi nilai tingkat kekuatan