• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan protein kasar (PK) pada R0 adalah sebesar 13,98 %BK, sedangkan kandungan PK pada R1, R2, dan R3 berkisar antara 14,87-15,56 %BK (Tabel 3). Kandungan PK pada R1, R2, dan R3 lebih besar daripada R0 dan semakin meningkat seiring dengan semakin besar taraf curcin yang diberikan. Hal ini terjadi karena curcin adalah protein dari nonimunoglobulin alami dan dapat mengikat karbohidrat dari kompleks karbohidrat (Cheeke, 1989). Kadar abu pada ransum penelitian ini berkisar antara 9,09-9,83 %BK. Kadar abu pada R1, R2, dan R3 lebih tinggi dari R0, tetapi kadar abu pada R3 paling tinggi yaitu 9,83 %BK. Kandungan lemak kasar (LK) pada ransum penelitian ini berkisar antara 2,83-3,31 %BK. Kandungan LK tertinggi pada R1 dan LK terendah pada R2.

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Ransum Tiap Perlakuan Ransum Perlakuan Zat Makanan R0 R1 R2 R3 Bahan Kering (%)1 89,66 85,22 83,41 84,36 Kadar Abu (%BK)1 9,09 9,74 9,29 9,83 Protein Kasar (%BK)1 13,98 14,87 15,26 15,56 Lemak Kasar (%BK)1 3,16 3,31 2,83 3,14 Serat Kasar (%BK)1 18,64 19,98 20,79 19,82 BETN (%BK)* 55,13 52,1 51,83 51,65 TDN (%BK)** 69,90 67,77 66,58 67,60 Jumlah Curcin (ppm)2 0 1 2 3

Keterangan : R0 = Ransum kontrol R1 = R0 + 1% ekstrak curcin R2 = R0 + 2% ekstrak curcin R3 = R0 + 3% ekstrak curcin

*) BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitorgen) = 100% - (Kadar Abu + PK + LK + SK) **) TDN (Total Digestible Nutrient) = 25,6 + 0,53PK + 1,7LK – 0,474SK + 0,732BETN (Sutardi, 2003).

Sumber : 1Hasil analisis Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2008)

2

Kandungan serat kasar (SK) pada ransum penelitian ini berkisar antara 18,64-20,79 %BK. Kandungan SK pada R1, R2, dan R3 lebih tinggi daripada R0. Kandungan BETN pada ransum penelitian ini berkisar antara 51,65-55,13 %BK. Sedangkan kandungan TDN pada ransum penelitian ini adalah 66,58-69,90 %BK. Kandungan BETN dan TDN pada R1, R2, dan R3 lebih rendah daripada R0. Kandungan nilai nutrisi pada ransum penelitian ini baik R0, R1, R2, dan R3 dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia besar.

Hasil analisis dari laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian (2008) menyatakan bahwa aktivitas curcin atau lectin pada ekstrak curcin adalah sebesar 100 ppm. Jadi, aktivitas curcin pada R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 1 ppm, 2 ppm, dan 3 ppm. Menurut hasil analisis dari laboratorium Pusat Studi Biofarmaka (2008), ekstrak curcin pada penelitian ini juga masih mengandung saponin dalam jumlah kecil.

Ransum penelitian ini yang terdiri dari 50% rumput gajah, 25% jagung, dan 25% konsentrat memiliki kandungan nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia besar. Menurut NRC (1984), kebutuhan TDN dan PK sapi pedaging dengan bobot 300-400 kg masing-masing adalah 55-86 %BK dan 8,7-15,6 %BK. Sedangkan menurut NRC (1988), kebutuhan TDN dan PK sapi perah periode laktasi dengan produksi susu 7-10 kg/hari masing-masing adalah 63-67 %BK dan 12-15 %BK. Kebutuhan TDN dan PK kerbau dengan bobot 350-400 kg masing-masing adalah 43,77-78,69 %BK dan 6,69-9,74 %BK (Parakkasi, 1999).

Konsentrasi NH3

Protein di dalam rumen mengalami proteolisis oleh enzim asal mikroba menjadi oligopeptida dan asam amino, tetapi beberapa asam amino mengalami pencernaan lebih lanjut menjadi asam organik, amonia dan CO2. Amonia yang dihasilkan lalu dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen untuk mensintesis protein mikroba bersama dengan beberapa peptida kecil dan asam amino bebas (Sutardi, 1977). Amonia merupakan sumber nitrogen yang utama dan penting untuk sintesis protein mikroba. Sekitar 82% spesies mikroba mampu menggunakan amonia sebagai sumber N. Pengukuran konsentrasi NH3 dilakukan untuk mengetahui efisiensi penggunaan N pada ternak ruminansia (Sutardi, 1980).

Berdasarkan hasil sidik ragam, konsentrasi amonia yang dihasilkan pada penelitian ini dipengaruhi oleh perlakuan perbedaan cairan rumen dan waktu inkubasi, tetapi tidak dipengaruhi oleh taraf pemberian curcin, interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, interaksi taraf curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor (Tabel 4). Konsentrasi NH3 pada cairan rumen ternak sapi lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan pada cairan rumen ternak kerbau. Hakim (2002) menyatakan bahwa penambahan DABA (2,4-diaminobutyricacid) dan lamtoro merah (Acacia villosa) pada ransum akan menyebabkan perbedaan konsentrasi NH3 diantara cairan rumen ternak, dimana konsentrasi amonia pada sapi dan kambing lebih tinggi dibandingkan kerbau dan domba. Konsentrasi amonia pada penggunaan bungkil biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh jenis ternak, namun secara deskriptif konsentrasi amonia pada sapi lebih tinggi daripada kerbau (Dewi, 2007). Namun, hasil penelitian Ulya (2007) menyatakan bahwa konsentrasi amonia pada kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan sapi, karena populasi bakteri proteolitik pada kerbau juga lebih tinggi dibandingkan dengan sapi. Populasi bakteri proteolitik juga sangat berhubungan dengan konsentrasi amonia pada kedua ternak tersebut, populasi bakteri proteolitik pada sapi lebih tinggi daripada populasi bakteri proteolitik pada kerbau sehingga konsentrasi amonia pada sapi lebih tinggi daripada kerbau. Hal ini menunjukkan bahwa proses degradasi protein pada ternak sapi lebih baik daripada kerbau. Kemampuan mikroba rumen kerbau dalam memecah protein lebih rendah dibandingkan pada sapi yaitu 9,65 mM untuk kerbau dan 10,1 mM untuk sapi (Verawaty, 2003). Perbedaan konsentrasi NH3 dari perlakuan perbedaan cairan rumen juga dapat disebabkan adanya perbedaan pemberian pakan antar ternak sebelum penelitian.

Konsentrasi NH3 pada sapi dan kerbau pada penelitian ini masing-masing adalah 23,74 mM dan 20,91 mM, sedangkan kadar amonia normal yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen adalah 5-17,65 mM (McDonald et al., 2002). Konsentrasi amonia pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar amonia normal. Hal ini dapat disebabkan oleh proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen (McDonald et al., 2002). Pada penelitian

Sunarso (1984), konsentrasi amonia yang dihasilkan pada pemakaian bungkil biji jarak pohon (Ricinus comunis L.) sebesar 22,3033 mM. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein pada bungkil biji jarak dapat didegradasi secara optimum oleh ternak. Konsentrasi amonia pada bungkil biji jarak pagar yang berasal dari 3 daerah di Indonesia berkisar antara 11,24-15,70 mM. Hal ini disebabkan oleh kandungan protein pada bungkil biji jarak pagar juga tinggi (Triastuty, 2007).

Tabel 4. Rataan Konsentrasi NH3 pada Perlakuan in vitro (mM) Waktu Inkubasi

Cairan

Rumen Taraf Curcin 0 Jam 3 Jam 6 Jam Rataan ± SD* 0% 16,95 ± 7,53 25,46 ± 5,23 24,30 ± 5,38 22,24 ± 4,62 1% 17,92 ± 6,27 27,47 ± 3,44 27,43 ± 4,23 24,27 ± 5,50 Sapi 2% 19,09 ± 6,93 24,73 ± 4,00 25,09 ± 5,07 22,97 ± 3,37 3% 21,69 ± 8,70 26,67 ± 2,56 28,11 ± 3,37 25,49 ± 3,37 Rataan ± SD 18,91 ± 2,05 26,08 ± 1,22 26,23 ± 1,83 23,74 ± 3,90A 0% 15,92 ± 3,32 24,02 ± 6,42 21,36 ± 3,93 20,43 ± 4,13 1% 16,78 ± 3,75 24,68 ± 6,15 21,32 ± 2,01 20,93 ± 3,97 Kerbau 2% 16,62 ± 2,50 23,71 ± 3,68 22,14 ± 2,54 20,83 ± 3,72 3% 16,86 ± 4,82 24,88 ± 1,19 22,60 ± 2,64 21,45 ± 4,13 Rataan ± SD 16,55 ± 0,43 24,32 ± 0,55 21,85 ± 0,62 20,91 ± 3,42B Rataan ± SD** 17,73 ± 1,87B 25,20 ± 1,29Aa 24,04 ± 2,66Ab * : superskrip dengan huruf besar berbeda pada kolom yang sama berbeda pada (P<0,01)

** : superskrip dengan huruf besar berbeda pada baris yang sama berbeda pada (P<0,01), sedangkan superskrip dengan huruf kecil berbeda pada baris yang sama berbeda pada (P<0,05)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi amonia dipengaruhi (P<0,01) oleh waktu inkubasi. Uji lanjut menunjukkan bahwa konsentrasi amonia pada waktu inkubasi 0 jam lebih rendah (P<0,01) dibandingkan pada waktu inkubasi 3 jam dan 6 jam, tetapi konsentrasi amonia pada waktu inkubasi 3 jam lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan waktu inkubasi 6 jam. Konsentrasi amonia mengikuti persamaan kuadratik Y = -1,44X2 + 11,79X + 53,18 dengan Y sebagai konsentrasi

amonia (mM) dan X adalah waktu inkubasi (jam). Berdasarkan persamaan tersebut, konsentrasi amonia optimum terjadi pada waktu inkubasi 4 jam (Gambar 6). Hal ini sesuai dengan pendapat Leng dan Nolan (1984), produksi amonia meningkat pada 2-4 jam setelah makan yang diikuti proses deaminasi asam amino untuk membebaskan amonia, tetapi produksi amonia tersebut tergantung pula pada sumber protein yang digunakan serta mudah tidaknya protein tersebut didegradasi.

y = -1,44x2 + 11,79x + 12,83 R2 = 0,75 0 5 10 15 20 25 30 0 3 6

Waktu Inkubas i (Jam )

K o n sen tr asi A m o n ia ( m M) Konsentrasi Amonia Poly. (Konsentrasi Amonia)

Gambar 6. Hubungan Konsentrasi Amonia terhadap Waktu Inkubasi

Konsentrasi amonia tidak dipengaruhi oleh taraf curcin yang diberikan, namun konsentrasi amonia pada pemberian curcin 0% (tanpa pemberian curcin) paling rendah. Hal ini membuktikan bahwa pemberian curcin bungkil biji jarak pagar dapat meningkatkan konsentrasi amonia yang dihasilkan dari pencernaan fermentatif. Peningkatan konsentrasi amonia ini dapat disebabkan karena curcin merupakan suatu protein yang berikatan dengan karbohidrat (Cheeke, 1989). Efek interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, taraf curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Produksi VFA Total

VFA merupakan produk akhir fermentasi gula dan sumber energi utama dalam ruminansia. VFA terutama dihasilkan dari pencernaan karbohidrat yang difermentasi oleh mikroba (Arora, 1995). Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah asam lemak terbang (VFA) yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam valerat dan asam-asam lemak rantai cabang seperti asam isobutirat, 2-metil butirat dan isovalerat (Forbes dan Frances, 1993). Produksi VFA pada rumen erat hubungannya dengan aktivitas dan populasi mikroorganisme rumen. Mikroba rumen berperan penting dalam pencernaan, terutama menghasilkan VFA (Church, 1979).

Hasil sidik ragam menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antar perlakuan cairan rumen (Tabel 5). Produksi VFA total pada sapi lebih rendah dibandingkan pada kerbau. Hal ini sesuai dengan penelitian Ulya (2007), bahwa produksi VFA total sapi yang diberi bungkil biji jarak pagar lebih rendah dibandingkan pada kerbau. Produksi VFA total pada penggunaan bungkil biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh jenis ternak, namun secara deskriptif produksi VFA total pada sapi lebih rendah daripada kerbau (Dewi, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa mikroba ternak sapi kurang mampu memfermentasi karbohidrat pada bungkil biji jarak. Produksi VFA total sapi lebih rendah dibandingkan kerbau karena rumen kerbau lebih unggul dalam menggunakan selulosa dan struktur dinding sel lainnya. Aktivitas selulase pada kerbau 399 µg gula/mg protein, sedangkan pada sapi 360 µg gula/mg protein (Pradhan, 1994).

Produksi VFA total pada sapi dan kerbau masing-masing adalah 137,04 mM dan 165,03 mM. Adapun kadar VFA normal yang dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen adalah 80-160 mM (Sutardi, 1979). Jadi, produksi VFA total pada penelitian ini masih dapat mendukung pertumbuhan mikroba rumen. Menurut Triastuty (2007), konsentrasi VFA pada penggunaan bungkil biji jarak pagar dari 3 daerah di Indonesia berkisar antara 131-148 mM yang menunjukkan bahwa karbohidrat pada bungkil biji jarak ini mencukupi kebutuhan mikroba rumen.

Tabel 5. Rataan Produksi VFA Total pada Perlakuan in vitro (mM) Waktu Inkubasi

Cairan

Rumen Taraf Curcin 0 Jam 3 Jam 6 Jam Rataan ± SD* Sapi 0% 141,81 ± 23,05 138,34 ± 14,65 135,89 ± 36,61 138,68 ± 2,97 1% 147,48 ± 17,93 130,16 ± 13,38 134,19 ± 18,81 137,28 ± 9,06 2% 138,16 ± 21,96 152,87 ± 29,07 112,55 ± 3,14 134,53 ± 20,41 3% 149,98 ± 24,37 138,07 ± 19,31 124,93 ± 25,53 137,66 ± 12,53 Rataan ± SD 144,36 ± 5,36 139,86 ± 9,47 126,89 ± 10,70 137,04 ± 11,11B Kerbau 0% 152,13 ± 23,12 187,08 ± 29,39 161,23 ± 17,81 166,81 ± 18,13 1% 152,09 ± 24,72 184,83 ± 17,92 173,62 ± 15,97 170,18 ± 16,64 2% 155,53 ± 8,79 158,46 ± 14,74 174,53 ± 20,23 162,84 ± 10,23 3% 155,29 ± 27,26 167,57 ± 38,47 157,95 ± 12,81 160,27 ± 6,46 Rataan ± SD 153,76 ± 1,91 174,49 ± 13,79 166,83 ± 8,48 165,03 ± 12,34A Rataan ± SD 149,06 ± 6,26 157,17 ± 21,50 146,86 ± 23,15

* : superskrip dengan huruf besar berbeda pada kolom yang sama berbeda pada (P<0,01)

Produksi VFA total tidak dipengaruhi oleh taraf curcin yang diberikan. Produksi VFA total yang diberi curcin 0%, 1%, 2%, dan 3% hampir sama, yaitu masing-masing adalah 152,74 mM, 153,73 mM, 148,67 mM, dan 148,96 mM. Hal ini menunjukkan bahwa curcin yang diberikan sampai taraf 3% belum memberikan respon yang negatif terhadap fermentasi karbohidrat dalam rumen. Produksi VFA total juga tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi, tetapi produksi VFA total pada waktu inkubasi 3 jam paling tinggi. Pada waktu inkubasi 6 jam, produksi VFA total menurun karena VFA tersebut digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan penelitian Ulya (2007), konsentrasi VFA pada pemakaian bungkil biji jarak pagar tidak berbeda nyata, tetapi produksi VFA paling tinggi pada saat inkubasi 3 jam. Produksi VFA total juga sangat berhubungan dengan mikroba rumen, khususnya bakteri selulolitik dan amilolitik (Church, 1979). Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa populasi bakteri selulolitik dan amilolitik pada waktu inkubasi 0 jam, 3 jam, dan 6 jam tidak berbeda nyata, sehingga produksi VFA total juga tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Efek interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen

dengan taraf curcin, perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, taraf

curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Populasi Protozoa

Protozoa berperan dalam pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikel-partikel pati sehingga menyebabkan kadar asam lemak atsiri rendah (Arora, 1995). Populasi protozoa dalam rumen sekitar 104-106 per ml cairan rumen (Freer dan Dove, 2002). Berat total protozoa rumen hampir sama dengan berat total bakteri rumen karena ukuran protozoa lebih besar daripada bakteri yaitu mencapai 20-200 µm. Kontribusi protozoa sekitar 60% dari biomassa rumen walaupun jumlahnya lebih sedikit dari bakteri (Arora, 1995).

Tabel 6. Rataan Populasi Protozoa pada Perlakuan in vitro (x104 per ml cairan rumen) Taraf Curcin Cairan Rumen Waktu Inkubasi 0% 1% 2% 3% Rataan ± SD* 0 Jam 6,20 ± 5,10 5,07 ± 2,91 3,87 ± 2,55 4,00 ± 1,31 4,78 ± 1,09 3 Jam 6,80 ± 2,95 5,33 ± 2,14 4,33 ± 1,29 3,00 ± 1,40 4,87 ± 1,60 Sapi 6 Jam 5,67± 2,20 4,53 ± 1,21 3,33± 0,50 2,47 ± 0,61 4,00 ± 1,40 Rataan ± SD 6,22 ± 0,57 4,98 ± 0,41 3,84 ± 0,50 3,16 ± 0,78 4,55 ± 1,31B 0 Jam 6,53 ± 4,54 6,67 ± 3,67 5,73 ± 3,56 5,73 ± 3,31 6,17 ± 0,50 3 Jam 7,80± 3,86 6,53 ± 2,97 6,07 ± 2,66 5,27 ± 2,66 6,42 ± 1,06 Kerbau 6 Jam 7,33 ± 1,86 6,13 ± 1,92 5,73 ± 1,70 5,07 ± 1,81 6,07 ± 0,95 Rataan ± SD 7,22 ± 0,64 6,44 ± 0,28 5,84± 0,19 5,36 ± 0,34 6,22± 0,80A Rataan ± SD** 6,72± 0,77A 5,71± 0,86A 4,84±1,15Ba 4,26±1,32Bb * : superskrip dengan huruf besar berbeda pada kolom yang sama berbeda pada (P<0,01)

** : superskrip dengan huruf besar berbeda pada baris yang sama berbeda pada (P<0,01), sedangkan superskrip dengan huruf kecil berbeda pada baris yang sama berbeda pada (P<0,05)

Berdasarkan hasil sidik ragam, populasi protozoa dipengaruhi oleh perlakuan perbedaan cairan rumen dan taraf curcin yang diberikan, tetapi tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi, interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, interaksi taraf

curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor (Tabel 6). Populasi protozoa pada sapi lebih rendah (P<0,01) dibandingkan dengan kerbau. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ulya (2007), populasi protozoa pada sapi paling rendah diantara ternak kerbau, kambing, dan domba. Populasi protozoa yang lebih rendah pada sapi mengakibatkan populasi bakteri amilolitik pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan populasi bakteri amilolitik pada kerbau. Perbedaan populasi protozoa ini diduga karena pengaruh pemberian ransum pada ternak sebelum dilakukan penelitian.

Taraf curcin yang diberikan sangat berpengaruh terhadap populasi protozoa. Populasi protozoa yang diberi curcin 0% dan 1% lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan yang diberi curcin 2% dan 3%, namun populasi protozoa yang diberi curcin

2% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan yang diberi curcin 3%. Hal ini disebabkan oleh adanya agen defaunasi seperti saponin yang masih bercampur pada ekstrak curcin kasar sehingga populasi protozoa semakin menurun. Hasil analisis dari laboratorium Pusat Studi Biofarmaka menunjukkan bahwa ekstrak curcin masih mengandung saponin. Saponin merupakan agen anti protozoa yang dapat menghambat pertumbuhan protozoa. Nilai populasi protozoa mengikuti persamaan linier Y = -0,8267X + 7,45 dengan Y sebagai nilai populasi protozoa (x104 sel per ml cairan rumen) dan X adalah taraf curcin (%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar taraf curcin yang diberikan maka populasi protozoa semakin menurun (Gambar 7). y = -0,8267x + 7,45 R2 = 0,9869 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 0 1 2 3 Taraf Cur ci n (%) P o p u lasi P ro to z o a ( x1000 sel p er m l c a ira n ru m e n ) Populasi Protozoa Linear (Populasi Protozoa)

Populasi Protozoa tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi, tetapi populasi protozoa paling tinggi pada waktu inkubasi 3 jam. Hal ini sesuai dengan penelitian Ulya (2007), populasi protozoa tidak berbeda nyata terhadap waktu inkubasi. Efek interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, taraf curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Populasi Bakteri Total

Bakteri merupakan penghuni terbesar dalam rumen yaitu sekitar 1010-1012 sel per ml cairan rumen (Freer dan Dove, 2002). Menurut Sutrisno et al. (1992) dalam

Suminar (2005), rumen sapi segar setiap gramnya mengandung total bakteri 3,7 x 109 sel; total mikroba amilolitik 3,0 x 106 sel; total mikroba selulolitik 1,7 x 103 sel; total mikroba proteolitik 8,5 x 104 sel; total mikroba lipolitik 5,0 x 103 sel dan mikroba pembentuk asam 1,1 x 104 sel.

Berdasarkan hasil sidik ragam, populasi bakteri total tidak berbeda nyata antar perlakuan cairan rumen (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa produk fermentasi pakan pada kedua ternak ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Populasi bakteri total pada pemberian bungkil biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh jenis ternak (Dewi, 2007). Hal ini membuktikan bahwa sapi dan kerbau memiliki jumlah populasi bakteri total yang hampir sama. Populasi bakteri total juga berhubungan dengan populasi protozoa, dimana populasi protozoa yang lebih rendah pada sapi dibandingkan dengan kerbau menyebabkan populasi bakteri total pada sapi lebih tinggi dibandingkan kerbau. Hal ini berkaitan dengan kemampuan predasi protozoa terhadap bakteri. Protozoa memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhannya. Populasi bakteri total juga tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Populasi bakteri total pada 0 jam cenderung lebih tinggi dibandingkan pada 3 jam dan 6 jam. Pemakaian Acacia villosa dapat menyebabkan penurunan populasi total bakteri dengan semakin lamanya waktu inkubasi karena adanya antinutrisi seperti tanin yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba rumen (Hakim, 2002).

Tabel 7. Rataan Populasi Bakteri Total pada Perlakuan in vitro (x107 CFU/ml) Waktu Inkubasi

Cairan

Rumen Taraf Curcin 0 Jam 3 Jam 6 Jam Rataan ± SD 0% 4,97 ± 6,62 3,45 ± 5,61 7,45 ± 11,14 5,29 ± 2,02 1% 6,74 ± 6,42 6,17 ± 8,73 7,26 ± 11,79 6,73 ± 0,55 Sapi 2% 5,63 ± 6,75 7,56 ±11,80 6,29 ± 10,24 6,49 ± 0,98 3% 4,96 ± 7,30 2,56 ± 3,42 5,05 ± 8,08 4,19 ± 1,41 Rataan ± SD 5,58 ± 0,84 4,94 ± 2,33 6,51 ± 1,10 5,68 ± 1,57 0% 3,59 ± 3,59 2,02 ± 2,42 1,37 ± 0,26 2,32 ± 1,14 1% 3,67 ± 1,02 1,06 ± 0,98 1,10 ± 0,20 1,94 ± 1,49 Kerbau 2% 2,82 ± 2,13 1,31 ± 0,76 0,97 ± 0,70 1,70 ± 0,98 3% 0,94 ± 0,75 1,53 ± 0,36 1,17 ± 0,45 1,21 ± 0,29 Rataan ± SD 2,75 ± 1,27 1,48 ± 0,41 1,15 ± 0,17 1,79 ± 1,01 Rataan ± SD 4,16 ± 1,81 3,21 ± 2,41 3,83 ± 2,96

Populasi bakteri total tidak dipengaruhi oleh taraf curcin yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian curcin tidak memiliki dampak yang negatif terhadap populasi bakteri total. Efek interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, taraf

curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Populasi Bakteri Selulolitik

Bakteri selulolitik mempunyai enzim yang mampu menghancurkan karbohidrat komplek menjadi selulosa, glukosa dan asam lemak atsiri (Preston dan Leng, 1987). Berdasarkan hasil sidik ragam, populasi bakteri selulolitik sangat dipengaruhi oleh perbedaan antar cairan rumen (P<0,01; Tabel 8). Populasi bakteri selulolitik pada sapi lebih tinggi dibandingkan pada kerbau. Hal ini juga berkaitan dengan populasi protozoa pada sapi yang lebih rendah dibandingkan dengan kerbau. Protozoa juga memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhannya karena kemampuan protozoa untuk mensintesis asam amino dan vitamin B kompleks sangat rendah

(Arora, 1995). Populasi bakteri selulolitik juga tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi, namun populasi bakteri selulolitik semakin tinggi dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ulya (2007), populasi bakteri selulolitik pada ternak ruminansia yang diberi bungkil biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi.

Tabel 8. Rataan Populasi Bakteri Selulolitik pada Perlakuan in vitro (x107 CFU/ml)

Waktu Inkubasi Cairan

Rumen Taraf Curcin 0 Jam 3 Jam 6 Jam Rataan ± SD* 0% 0,47 ± 0,60 0,24 ± 0,22 1,02 ± 1,51 0,58 ± 0,40 1% 0,18 ± 0,21 0,40 ± 0,47 0,57 ± 0,75 0,39 ± 0,19 Sapi 2% 0,39 ± 0,38 0,44 ± 0,60 1,02 ± 1,49 0,62 ± 0,35 3% 0,29 ± 0,25 0,65 ± 0,81 0,78 ± 1,20 0,57 ± 0,26 Rataan ± SD 0,33 ± 0,12 0,43 ± 0,17 0,85 ± 0,22 0,54 ± 0,28A 0% 0,20 ± 0,07 0,15 ± 0,05 0,11 ± 0,03 0,16 ± 0,04 1% 0,19 ± 0,07 0,20 ± 0,04 0,13 ± 0,07 0,17 ± 0,04 Kerbau 2% 0,15 ± 0,03 0,12 ± 0,06 0,13 ± 0,03 0,13 ± 0,02 3% 0,24 ± 0,08 0,20 ± 0,07 0,14 ± 0,06 0,19 ± 0,05 Rataan ± SD 0,20 ± 0,04 0,16 ± 0,40 0,13 ± 0,01 0,16 ± 0,04B Rataan ± SD 0,26 ± 0,11 0,29 ± 0,18 0,49 ± 0,41

* : superskrip dengan huruf besar berbeda pada kolom yang sama berbeda pada (P<0,01)

Populasi bakteri selulolitik tidak dipengaruhi oleh taraf curcin yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian curcin tidak memiliki dampak yang negatif terhadap populasi bakteri selulolitik. Efek interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, taraf

Populasi Bakteri Amilolitik

Berdasarkan hasil sidik ragam, populasi bakteri amilolitik sangat dipengaruhi oleh perbedaan antar cairan rumen (P<0,01; Tabel 9). Populasi bakteri amilolitik pada sapi lebih tinggi dibandingkan pada kerbau. Hal ini juga berkaitan dengan populasi protozoa pada sapi yang lebih rendah dibandingkan dengan kerbau. Jouany et al. (1991) menyatakan bahwa protozoa berperan dalam pencernaan pati di dalam rumen dan secara teratur membebaskan produk akhir fermentasi pada pH dan tekanan yang sesuai, sehingga terjadi penurunan populasi bakteri amilolitik akibat kondisi ini. Protozoa juga memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhannya karena kemampuan protozoa untuk mensintesis asam amino dan vitamin B kompleks sangat rendah (Arora, 1995).

Tabel 9. Rataan Populasi Bakteri Amilolitik pada Perlakuan in vitro (x107 CFU/ml)

Waktu Inkubasi

Cairan

Rumen Taraf Curcin 0 Jam 3 Jam 6 Jam Rataan ± SD* 0% 1,46 ± 1,82 1,73 ± 2,36 0,79 ± 0,79 1,33 ± 0,48 1% 1,74 ± 2,52 1,39 ± 1,92 0,77 ± 0,68 1,30 ± 0,49 Sapi 2% 1,05 ± 1,19 0,40 ± 0,46 0,99 ± 1,35 0,81 ± 0,36 3% 2,11 ± 3,17 0,71 ± 0,79 0,71 ± 1,04 1,18 ± 0,81 Rataan ± SD 1,59 ± 0,45 1,06 ± 0,61 0,82 ± 0,12 1,15 ± 0,52A 0% 0,58 ± 0,08 0,76 ± 0,67 0,41 ± 0,18 0,58 ± 0,18 1% 0,36 ± 0,20 0,31 ± 0,19 0,30 ± 0,14 0,32 ± 0,03 Kerbau 2% 0,49 ± 0,43 0,29 ± 0,10 0,28 ± 0,01 0,35 ± 0,12 3% 0,29 ± 0,23 0,42 ± 0,30 0,19 ± 0,03 0,30 ± 0,12 Rataan ± SD 0,43 ± 0,13 0,44 ± 0,22 0,29 ± 0,09 0,39 ± 0,16B Rataan ± SD 1,01 ± 0,93 0,75 ± 0,63 0,56 ± 0,52

Populasi bakteri amilolitik juga tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi, namun populasi bakteri amilolitik semakin menurun dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ulya (2007), populasi bakteri amilolitik pada ternak ruminansia yang diberi bungkil biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi.

Populasi bakteri amilolitik tidak dipengaruhi oleh taraf curcin yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian curcin tidak memiliki dampak yang negatif terhadap populasi bakteri amilolitik. Efek interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi, taraf

curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Populasi Bakteri Proteolitik

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan antar cairan rumen berpengaruh sangat nyata (P<0,01; Tabel 10) terhadap populasi mikroba proteolitik. Populasi bakteri proteolitik pada ternak sapi lebih tinggi dibandingkan ternak kerbau, sehingga dapat dikatakan bahwa bakteri proteolitik dari sapi lebih toleran terhadap zat antinutrisi curcin dibandingkan dengan ternak kerbau, atau aktivitas bakteri proteolitik pada sapi lebih besar daripada ternak kerbau.

Populasi bakteri proteolitik lebih tinggi daripada populasi bakteri amilolitik dan selulolitik pada semua ternak. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya penambahan zat antinutrisi curcin yang termasuk suatu protein, sehingga terjadi peningkatan populasi bakteri proteolitik untuk mencerna zat antinutrisi tersebut.

Populasi bakteri proteolitik juga tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi, namun populasi bakteri proteolitik semakin menurun dengan semakin lamanya waktu inkubasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ulya (2007), populasi bakteri proteolitik pada ternak ruminansia yang diberi bungkil biji jarak pagar tidak dipengaruhi oleh waktu inkubasi.

Populasi bakteri proteolitik tidak dipengaruhi oleh taraf curcin yang diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian curcin tidak memiliki dampak yang negatif terhadap populasi bakteri proteolitik. Efek interaksi perlakuan perbedaan cairan rumen dengan taraf curcin, perlakuan perbedaan cairan rumen dengan waktu

inkubasi, taraf curcin dengan waktu inkubasi, dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Tabel 10. Rataan Populasi Bakteri Proteolitik pada Perlakuan in vitro (x107 CFU/ml)

Waktu Inkubasi

Cairan

Rumen Taraf Curcin 0 Jam 3 Jam 0 Jam Rataan ± SD* 0% 1,59 ± 5,82 1,26 ± 2,88 1,53 ± 3,89 1,46 ± 0,18 1% 1,87 ± 5,73 1,01 ± 3,99 0,63 ± 3,49 1,17 ± 0,63 Sapi 2% 2,12 ± 6,65 1,55 ± 3,60 1,28 ± 4,91 1,65 ± 0,42 3% 2,33 ± 7,64 1,59 ± 2,36 0,61 ± 3,27 1,51 ± 0,86 Rataan ± SD 1,98 ± 0,32 1,35 ± 0,27 1,01 ± 0,46 1,45 ± 0,53A 0% 0,32 ± 2,81 0,23 ± 5,58 0,26 ± 3,64 0,27 ± 0,05 1% 0,37 ± 3,22 0,28 ± 5,56 0,27 ± 2,09 0,31 ± 0,05 Kerbau 2% 0,31 ± 2,06 0,16 ± 3,71 0,18 ± 2,24 0,22 ± 0,08 3% 0,14 ± 4,22 0,26 ± 1,12 0,20 ± 2,50 0,20 ± 0,06 Rataan ± SD 0,29 ± 0,10 0,23 ± 0,05 0,23 ± 0,04 0,25 ± 0,07B Rataan ± SD 1,13 ± 0,69 0,79 ± 0,54 0,62 ± 0,30

* : superskrip dengan huruf besar berbeda pada kolom yang sama berbeda pada (P<0,01) Degradasi Bahan Kering

Nilai degradasi bahan kering (DBK) dan degradasi bahan organik (DBO) menunjukkan seberapa besar kandungan ZM dalam bahan pakan sumber serat dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen. Berdasarkan hasil sidik ragam, DBK tidak dipengaruhi oleh perlakuan perbedaan cairan rumen (Tabel 11). Akan tetapi, nilai degradasi bahan kering pada kerbau lebih rendah dibandingkan sapi. Hal ini menunjukkan bahwa ternak sapi memiliki kemampuan mendegradasi pakan yang lebih tinggi dibandingkan kerbau. Sapi lebih baik dalam mencerna pakan

Dokumen terkait