• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Pengaruh Infeksi SqMV terhadap Waktu Inkubasi, Insidensi Penyakit, dan Tipe Gejala

Waktu inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya virus hingga timbulnya gejala pertama pada tanaman. Gejala pertama kali muncul pada daun oyong yang paling muda berupa bintik-bintik dan berkembang menjadi bercak hijau dan kuning.Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata waktu inkubasi yang diperoleh berkisar dari 3.1 sampai 4.4 hari setelah inokulasi (HSI). Gejala yang paling cepat muncul adalah pada kultivar Esenza dengan rata-rata 3.1 HSI sedangkan yang paling lama muncul adalah kultivar Anggun F1 dengan rata-rata 4.4 HSI.

Insidensi penyakit pada kultivar yang terinfeksi SqMVmencapai 100% (Tabel 1). Insidensi penyakit ditentukan berdasarkan pada proporsi tanaman yang terserang virus dalam suatu populasi tanaman tanpa melihat berat atau ringannya tingkat infeksi. Insidensi penyakit merupakan petunjuk keberadaan suatu patogen pada tanaman (Agrios 2005).

Tabel 1 Pengaruh infeksi SqMV terhadap waktu inkubasi, insidensi penyakit dan tipe gejala

Kultivar Rata-rata waktu inkubasi (HSI)

Insidensi

penyakit (%)* Tipe gejala ** Anggun F1 4.4 5/5 (100) Bk Azura F1 3.2 6/6 (100) Mk, Vc Bidara 3.8 5/5 (100) Bk Esenza 3.1 7/7 (100) Mk, Vc Estilo 3.3 6/6 (100) Mk, Vc Grandia F1 3.2 5/5 (100) Bk Hebata 3.2 5/5 (100) Mj Jaka F1 3.8 5/5 (100) Bk Mahkota 3.4 5/5 (100) Mj Prima F1 4.2 5/5 (100) Bk

*Jumlah tanaman uji ≤ 10, karena tanaman terdeteksi terinfeksi salah satu virus lain seperti CMV,

ZYMV atau CGMMV yang diduga terbawa dari benih. **Mj: mosaik hijau gelap terang, Bk: bercak klorosis pada daun dan pertulangan daun, Mk: mosaik kuning pada daun dan pertulangan daun, Vc: vein clearing

Gejala yang muncul pada tanaman yang diinokulasi SqMV beragam.Tipe gejala yang muncul adalah gejala mosaik kuning dan vein clearing, bercak klorosis pada daun dan pertulangan daun, serta mosaik hijau gelap terang. Gejala yang ditunjukkan pada tiap kultivar terinfeksi SqMV berbeda dengan tanaman kontrol (Gambar 2).Munculnya gejala yang mosaik sistemik disebabkan adanya

7 sel tanaman yang terinfeksi berkembang membentuk kelompok yang dibatasi oleh kelompok sel tanaman yang sehat (Schumann dan D’Arcy 2012).

Gambar 2Gejala infeksi SqMV pada tiap kultivar.a. kontrol, (b-c). kultivar Mahkota dan Hebata (mosaik hijau gelap terang), (d-h).kultivar Jaka F1, Anggun F1, Bidara, Prima F1 dan Grandia F1 (bercak klorosis), (i-k).kultivarEstilo, Azura F1, Esenza (mosaik kuning dan vein clearing).

Pengaruh Infeksi SqMV terhadap Keparahan Penyakit dan Titer Virus

Skor keparahan penyakit kultivar yang terinfeksi SqMV berkisar dari 2.20 sampai 3.57.Keparahan penyakit sejalan dengan titer virus.Semua tanaman uji positif terinfeksi SqMV dengan nilai absorbansi ELISA (NAE) berkisar dari 0.596 sampai 1.151. Kultivar Essenza memiliki titer virus yang paling tinggi yaitu 7.6 kali kontrol negatif, sedangkan Anggun F1 memiliki titer virus terendah yaitu 3.8 kali kontrol negatif (Tabel 2).

b d g j k a h e i f c

8

Tabel 2 Pengaruh infeksi SqMV terhadap keparahan penyakit dan titer virus Kultivar Keparahan penyakit

1

NAE

1

Rasio NAE sampel uji/NAE K(-) (Rata-rata ± SD) (Rata-rata ± SD)

K (-)* 0.155

K (+)** 0.664

Anggun F1 2.20 ± 0.45a 0.596 ± 0.112a 3.8 Azura F1 3.33 ± 0.52de 0.961 ± 0.121cd 6.2 Bidara 2.60 ± 0.55abc 0.850 ± 0.083bc 5.4 Esenza 3.57 ± 0.53e 1.151 ± 0.040d 7.6 Estilo 3.33 ± 0.52de 0.962 ± 0.132cd 6.2 Grandia F1 3.00 ± 0.00bcde 0.930 ± 0.029bc 6.0 Hebata 3.20 ± 0.45cde 0.949 ± 0.040bc 6.1 Jaka F1 2.40 ± 0.55ab 0.751 ± 0.115ab 4.8 Mahkota 2.80 ± 0.45abcd 0.860 ± 0.063bc 5.5 Prima F1 2.20 ± 0.45a 0.625 ± 0.036a 4.0

1

Angka pada lajur yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan ujiDuncanpada taraf 5%, *Kontrol negatif ELISA, uji positif jika NAE sampel ≥

0.310, **kontrol positif ELISA

Pengaruh Infeksi SqMV terhadap Pertumbuhan Tanaman

Tanaman kontrol memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang terinfeksi SqMV (Gambar 3).Pada 2 dan 4 MSI, pertumbuhan tinggi kultivar Esenza yang terinfeksi SqMV lebih rendah dibandingkan dengan kultivar lainnya.Tinggi tanaman yang terinfeksi SqMV berbeda nyata lebih rendah dari tanaman kontrol namun pada 3 MSI terdapat tanaman yang tidak berbeda nyata lebih rendah daritanaman kontrol yaitu kultivar Estilo dan Essenza.Nilai hambatan tinggi tanaman tiap kultivar pada 1-4 MSI mengalami penurunan kecuali pada kultivar Mahkota, Azura F1 dan Esenza pada 3-4 MSI (Lampiran 1).

Jumlah bunga pada tanaman yang terinfeksi SqMV berbeda nyata lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman kontrol.Namun tidak berbeda nyata antara tiap kultivar.Hal ini disebabkan oleh masa generatif yang berbeda-beda tiap kultivar.Jumlah bunga tanaman terinfeksi SqMV berkisar dari 14.8 sampai 43.4. Kultivar Esenza memiliki rata-rata jumlah bunga mekar paling sedikit sebesar 14.8 sedangkan kultivar Anggun F1 memiliki rata-rata jumlah bunga paling banyak sebesar 43.4 (Gambar 4 dan Lampiran 2). Pertumbuhan tanaman yang terinfeksi virus menunjukkan hasil berbeda, diduga dipengaruhi oleh faktor genetik tiap kultivar.Hal ini sesuai dengan pernyataan Hull (2002), pengaruh infeksi virus terhadap pertumbuhan tanaman dapat dipengaruhi oleh faktor genetik yang dimiliki setiap kultivar.

9

Gambar 3 Pengaruh infeksi SqMV terhadap tinggi tanaman pada 2 MSI (a) dan 4 MSI (b). Huruf-huruf diatas balok yang sama pada tiap kultivar tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. An. Anggun F1,Az. Azura F1, Bi. Bidara, Ess. Esenza,Est. Estilo, Gra. Grandia F1, He.Hebata, Jk. Jaka F1, Mt. Mahkota, Pri. Prima F1

Gambar 4 Pengaruh infeksi SqMV terhadap jumlah bunga. Huruf-huruf diatas balok yang sama pada tiap kultivar tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. An. Anggun F1,Az. Azura F1, Bi. Bidara, Ess. Esenza,Est. Estilo, Gra. Grandia F1, He.Hebata, Jk. Jaka F1, Mt. Mahkota, Pri. Prima F1

a a a a a a a a a a b b b b b b b b b b 0 100 200 300 400 T ing g i t ana man (c m)

2 MSI Inokulasi Kontrol

b. . bcd ab a a abc abc ab abc a ab g cde efg efg efg fg fg fg g def 0 20 40 60 80 100

An Az Bi Ess Est Gra He Jk Mt Pri

Juml ah bung a Kultivar a. de abcd

abc a bcd abc cd abcd ab bcd

g fg

def def efg efg efg efg def fg

0 100 200 300 400

An Az Bi Ess Est Gra He Jk Mt Pri

T ing g i t ana man ( cm) Kultivar 4 MSI

10

Pengaruh Infeksi SqMV terhadap Bobot Tanaman

Bobot basah tanaman terinfeksi SqMV berkisar dari 51.6 sampai 75.9 g (Gambar 5a dan Lampiran 3).Pada bobot basah tanaman yang terinfeksi SqMV sebagian besar tidak berbeda nyata lebih ringandari tanaman kontrol kecuali pada kultivar Mahkota, Hebata, Bidara dan Prima F1.Bobot kering tanaman berkisar dari 8.6 sampai 13.6 g (Gambar 5b dan Lampiran 4).Pada bobot kering tanaman terinfeksi SqMV yang berbeda nyata lebih ringan daritanaman kontrol adalahkultivar Jaka F1, Mahkota, Hebata dan Prima F1, sedangkan kultivar Anggun F1, Bidara, Grandia F1, Estilo, Azura F1 dan Esenza tidak berbeda nyata lebih ringan daritanaman kontrol. Hal ini disebabkan oleh serangan hama ulat daun dan penggerek buah Diaphania indica (Lepidoptera; Pyralidae) yang parah pada kultivar tersebut.

Gambar 5 Pengaruh infeksi SqMV terhadap bobot basah (a) dan bobot kering tanaman (b). Huruf-huruf diatas balok yang sama pada tiap kultivar tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncanpada taraf nyata 0.05. An. Anggun F1,Az. Azura F1, Bi. Bidara, Ess. Esenza,Est. Estilo, Gra. Grandia F1, He.Hebata, Jk. Jaka F1, Mt. Mahkota, Pri. Prima F1

Respons Sepuluh Kultivar Oyong terhadap SqMV

Respons tanaman uji terhadap infeksi SqMV dikelompokan menjadi toleran, rentan, dan sangat rentan.Pengelompokan berdasarkan waktu inkubasi, keparahan penyakit, insidensi penyakit, titer virus, dan pertumbuhan tanaman.Tanaman oyong kultivar Hebata, Estilo, Azura F1 dan Esenza digolongkan sangat rentan.Kultivar Jaka F1, Mahkota, Bidara, Grandia F1, digolongkan rentan.Kultivar Anggun F1 dan Prima F1 digolongkan toleran terhadap SqMV (Tabel 3). abcde abcde ab abcde abcd ab abcd abc a abcde bcdef

abcde def bcdef

abcd abcde ef cdef bcdef f 0 20 40 60 80 100 120 B obot ba sa h (g ) Inokulasi Kontrol b. . a.

abcde bcdef ab abcd abcde abcde abc ab a abcd

def cdef abcde def abcde abcde ef def cdef f

0 20 40 60 80 100 120

An Az Bi Ess Est Gra He Jk Mt Pri

B obot ke ring (g ) Kultivar

12

Tabel 3 Respons ketahanan sepuluh kultivar oyong terhadap SqMV

Kultivar Waktu inkubasi Persentase penghambatan pertumbuhan Jumlah bunga Bobot basah tanaman Bobot kering tanaman Keparahan penyakit Insidensi penyakit Rasio NAE-S/NAE K(-) Respons Anggun F1 + ++ +++ + ++ + +++ + Toleran

Azura F1 ++ ++ ++ - + ++ +++ +++ Sangat rentan

Bidara ++ ++ +++ ++ ++ + +++ ++ Rentan

Esenza ++ ++ +++ ++ ++ ++ +++ +++ Sangat rentan

Estilo ++ ++ ++ - + ++ +++ +++ Sangat rentan

Grandia F1 ++ ++ +++ + + + +++ ++ Rentan

Hebata ++ ++ +++ ++ ++ ++ +++ +++ Sangat rentan

Jaka F1 ++ ++ +++ ++ ++ + +++ ++ Rentan

Mahkota ++ ++ +++ ++ ++ + +++ ++ Rentan

Prima F1 + ++ +++ ++ ++ + +++ + Toleran

Keterangan:

Periode inkubasi + : rata-rata gejala muncul pada > hari ke-4.0 Keparahan penyakit - : rata-rata skor keparahan ≤ 1.0

++ : rata-rata gejala muncul pada hari ke- 3.0-4.0 + : rata-rata skor keparahan 2.0-3.0

+++ : rata-rata gejala muncul pada < hari ke- 3.0 ++ : rata-rata skor keparahan 3.1-4.0

+++ : rata-rata skor keparahan 4.1-5.0 % penghambatan - : tidak terjadi penghambatan dan penurunan bobot

pertumbuhan dan + : penghambatan dan penurunan berkisar 0-20% Insidensi penyakit + : persentase insidensi penyakit 0-20%

penurunan bobot ++ : penghambatan dan penurunan berkisar 20-50% ++ : persentase insidensi penyakit 20-50%

tanaman +++ : penghambatan dan penurunan > 50% +++ : persentase insidensi penyakit > 50%

Jumlah bunga + : tidak berbeda nyata dengan kontrol Rasio NAE-sampel - : NAE < 2 kali kontrol negatif

++ : berbeda nyata lebih sedikit dari kontrol uji/NAE K(-) + : NAE 2 ≤ x ≤ 4 kali kontrol negatif

+++ : sangat berbeda nyata lebih sedikit dari kontrol ++ : NAE 4 < x ≤ 6 kali kontrol negatif

12

Pembahasan Umum

Secara umum, mekanisme virus menginfeksi tanaman melalui sel epidermis tanaman menuju plasmodesmata.Virus menyebar ke sel-sel inang dan dibawa oleh jaringan pengangkut secara pasif menuju daun muda (Agrios 2005). Hal tersebut menyebabkan terganggunya proses fisiologi tanaman dan gejala awal muncul pertama kali pada daun yang paling muda (Schumann dan D’Arcy 2012).

SqMV merupakan salah satu virus yang menyerang tanaman oyong dan dapat ditularkan secara mekanis (Lockhart 1982).Keberhasilan inokulasi pada tanaman oyong secara mekanis dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor genetika (perbedaan jenis dan jumlah gen), konsentrasi virus (virus yang terkandung dalam sap dan sumber inokulum yang digunakan) dan lingkungan (cahaya, suhu dan hara) (Hull 2002).Keberhasilan tersebut dapat dilihat melalui waktu inkubasi.Waktu inkubasi erat kaitannya dengan kemampuan virus menyebar dari tempat inokulasi ke bagian lain tanaman sampai menunjukkan gejala.Cepatnya waktu inkubasi, salah satunya diduga karena faktor lingkungan yang mendukung patogen untuk menginfeksi tanaman.Hal ini sesuai pendapat Latifah et al.(2011) yang menyatakan bahwa, timbulnya gejala pertama salah satunya bergantung pada faktor lingkungan yang mendukung seperti suhu dan kelembapan.

Area daun yang terinfeksi virus biasanya berwarna hijau pucat karena hilang atau berkurangnya produksi klorofil.Hal tersebut mengakibatkan tanaman mengalami penurunan aktivitas fotosintesis (Walkey 1991).Menurut Hemida (2005), salah satu akibat tanaman terinfeksi virus adalah tanaman mengalami penurunan jumlah klorofil a, klorofil b, karotenoid, karbohidrat, protein, dan asam amino. Penurunan persentase kandungan tersebut pada tanaman yang terinfeksi virus dapat menyebabkan gejala yang lebih parah sehingga akan meningkatkan skor keparahan penyakit. Namun saat waktu pengujian, kondisi lingkungan (suhu dan kelembapan) rumah kaca diduga tidak mendukung ekspresi gejala dan perkembangan SqMV di dalam jaringan tanaman sehingga skor keparahan penyakit tidak sesuai dengan nilai titer virus yang tinggi (Tabel 2), namun saat pengujian di rumah kaca (Februari-April 2015), temperatur rata-rata berkisar antara 28.7-30.6 oC dan kelembapan rata-rata berkisar dari 60.7-63.9% (Lampiran 7).Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman oyong berkisar 18-24 °C dan kelembaban optimal 50-60% (Edi dan Bobihoe 2010). Hal ini mengakibatkan tanaman perlakuan menunjukkan gejala berkedok (masking) yang diduga karena terhambatnya translokasi virus namun proses replikasi virus di dalam sel tanaman tidak terhambat (Wahyuni 2005).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 02/Permentan/SR.120/1/2014, sertifikasi benih harus melalui serangkaian pemeriksaan dan pengujian yang telah ditetapkan serta standar mutu benih (mutu genetis, mutu fisiologis, mutu fisik dan kesehatan benih) yang harus dijamin oleh produsen benih.Konfirmasi insidensi penyakit menunjukkan bahwa, benih yang digunakantidak terjamin kesehatannya karena terdeteksi terinfeksi salah satu virus lain yaitu CMV, ZYMV, atau CGMMV sehingga mengakibatkan insidensi penyakit tidak mencapai 100% jika 10 ulangan tiap kultivar. Lestari (2011) melaporkan bahwa, benih-benih Cucurbitaceae yang berada dipasaran terinfeksi SqMV dan/atau ZYMV. Infeksi SqMV benih Cucurbitaceae yang berasal dari distributor ditemukan sebesar 13.3% pada benih oyong dan semangka, 33.3%

13 benih zucchini, 73.3% benih kabocha, serta 100% benih mentimun dan melon. ZYMV hanya ditemukan pada benih oyong dan zucchini berturut-turut 13.3% dan 26.67%.

Menurut Babadoost (1999), tipe gejala SqMV adalah vein clearing

(pemucatan tulang daun),vein banding (penebalan tulang daun), bercak kekuningan dari daun muda, daun melengkung ke atas, mosaik hijau gelap terang dan distorsi pada daun. Pada penelitian ini, gejala yang muncul pada tanaman perlakuan berupa mosaik ringan hingga berat dengan tipe gejala mosaik hijau gelap terang, bercak klorosis, mosaik kuning dan vein clearing.Munculnya gejala mosaik sistemik disebabkan adanya area yang terinfeksi dan tidak terinfeksi virus pada daun.

Menurut Agrios (2005), tanaman yang terinfeksi virus dapat menurunkan kadar hormon pertumbuhan dan merangsang sintesis zat biokimia yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan pembentukan bunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi SqMV pada tanaman perlakuan mengakibatkan penghambatan pertumbuhan tinggi tanaman, yaitu berupa pemendekan batang tanaman dan pengecilan helai daun sehingga tanaman yang diinokulasi SqMV tampak lebih pendek (Gambar 3a-b dan Lampiran 1) dan jumlah bunga yang mekar pada tanaman perlakuan menjadi lebih sedikit (Gambar 4 dan Lampiran 2).

Semakin muda umur tanaman terinfeksi SqMV, tinggi tanaman semakin terhambat. Mayasari (2006) melaporkan bahwapertumbuhan melon yang terinfeksi ZYMV pada tanaman berumur muda mengalami peningkatan hambatan dibandingkan dengan tanaman berumur tua.Tanaman yang berumur muda diduga belum memiliki sistem pertahanan yang cukup kuat untuk menghambat replikasi virus sehingga kemampuan virus untuk menghambat pertumbuhan tanaman juga semakin tinggi.Faktor lingkungan juga diduga menjadi penghambat pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darjanto dan Satifah (1990) bahwa fase vegetatif dan generatif salah satunya ditentukan oleh faktor lingkungan seperti suhu, air, dan cahaya. Kekeringan merupakan akibat dari rendahnya kandungan air pada tanaman.

Infeksi virus juga dapat menyebabkan kekeringan.Matthews (1993) menyatakan bahwa, infeksi virus menyebabkan peningkatan respirasi tanaman sehingga menyebabkan kebutuhan air menjadi meningkat.Cekaman kekeringan dapat menurunkan tingkat biomassa tanaman berupa hasil fotosintesis, serapan unsur hara dan air.Hal ini dikarenakan menurunnya metabolisme primer, penyusutan luas daun dan aktivitas fotosintesis. Penurunan akumulasi biomassa akibat cekaman air untuk setiap jenis tanaman besarnya tidak sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh tanggapan masing-masing jenis tanaman.Pengaruh kekurangan air selama tingkat vegetatif adalah munculnya daun dengan ukuran yang lebih kecil sehingga dapat mengurangi penyerapan cahaya, sedangkan pada tingkat generatif menjadi berkurangnya jumlah bunga dan kandungan air yang dimiliki oleh buah (Solichatun et al. 2005).

Horison et al. (2007) menyatakan bahwa genotip rentan memiliki aktivitas enzim peroksidase yang lebih tinggi dibandingkan genotip tahan terhadap infeksi virus.Infeksi virus secara fisiologis menyebabkantanaman lebih tercekam karena gangguan metabolisme akibat replikasi virus dalam tanaman, sedangkan pada genotip tahan menyebabkan cekaman lebih ringan.Galston dan Davies (1970) melaporkan bahwa selain peroksidase ada beberapa enzim yang terlibat dalam

14

ketahanan berbagai spesies tanaman, seperti: fenilalanin amonialiase, tirosin amonialiase, monofenolase, difenolase, difenol oksidase, dan polifenol oksidase.

Pertumbuhan suatu tanaman dapat diukur melalui bobot kering dan laju pertumbuhan relatifnya. Bobot kering tumbuhan berupa biomassa total dipandang sebagai manifestasi proses-proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh tanaman. Bobot kering dapat menunjukkan produktivitas tanaman karena 90% hasil fotosintesis terdapat dalam bentuk berat kering (Gardner et al. 1991).Hal ini menunjukkan pentingnya untuk mengetahui bobot tanaman.Kendala hama yang ditemui di lapang berupa ulat pemakan daun dan penggerek buah Diaphania indica menjadi penyebab sulitnya untuk mengetahui bobot tanaman perlakuan dan kontrol.

Menurut Barma dan Jha (2014), Diaphania indica biasa disebut pumpkin catterpillar atau cucumber moth merupakan salah satu hama penting pada komoditas Cucurbitaceae. Hama ini dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi serta kerugian ekonomi karena pada masa pradewasa atau larva dapat memakan seluruh bagian tanaman kecuali akar.Visalakshy(2005), melaporkan bahwa tanaman Cucurbitaceae sebagai komoditas ekspor terbesar pada tahun 1990 di Karnataka telah dirusak oleh hama Diaphania indica selama sepanjang tahun sehingga mengakibatkan penurunan ekspor di negara tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darwin (2003), bahwa saat fase larva akan memakan bagian daun, batangdan buah yang masih muda hingga tua. Sehingga pengaruh infeksi SqMV terhadap bobot tanaman pada penelitian tidak menggambarkan pengaruhnya secara nyata.

Menurut Gergerich dan Dolja (2006), tingkat ketahanan tiap kultivar tanaman terhadap virus ditentukan oleh faktor genetika tanaman.Tiap kultivar memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah terjadinya infeksi virus.Mekanisme tersebut terdiri atas mekanisme aktif dan pasif.Kemampuan mendeteksi adanya patogen dan mendegradasi sel yang telah terinfeksi virus agar tidak meluas dapat dikategorikan pertahanan mekanisme aktif, sedangkan mekanisme pasif seperti pembentukan senyawa yang dapat menghambat perkembangan maupun penyebaran virus dalam sel tanaman inang.

12

Dokumen terkait