• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae

Koloni B. theobromae memiliki warna putih pada permukaan atas (Gambar 8a), yang selanjutnya berubah menjadi abu-abu (Gambar 8b), atau hijau kehitaman (Gambar 8c). Warna koloni pada bagian bawah media terlihat abu-abu (Gambar 8d), hijau kehitaman (Gambar 8e), atau hitam. Miselium B. theobromae memiliki tekstur seperti benang halus (fluffy) dengan miselium udara yang tebal dan koloni yang menyebar dari bagian tengah dengan topografi tidak beraturan (rugose) (Gambar 8). Isolat memiliki pertumbuhan radial yang cepat, yaitu dapat memenuhi cawan petri (Ø = 9 cm) setelah 3-4 hari masa inkubasi. Rataan pertumbuhan diameter B. theobromae tergolong cepat, yaitu 1.38 mm/jam. Berikut adalah gambar karakteristik makroskopis B. theobromae.

Gambar 8 Miselium B. theobromae berumur 3 hari setelah tanam (HST) :(a) ulangan 1;(b) ulangan 2;(c) ulangan 3;(d) ulangan 4;(e) ulangan 5 Tanda panah menunjukkan warna, tekstur, dan topografi miselium.

a b c

B. theobromae memiliki hifa bersekat, bercabang, hialin saat muda, dan berwarna coklat saat tua, serta berukuran 53-57 x 2-3 µm (Gambar 9a). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, B. theobromae memiliki konidia hialin dan tidak bersekat, yang kemudian menjadi kecoklatan dan bersekat satu saat tua. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid berukuran 26-32 x 13-17 μm (Gambar 9b). Berikut adalah gambar hifa tua dan konidia B. theobromae.

Sumber : Aisah (2014).

Gambar 9 Karakteristik mikroskopis B. theobromae : (a) hifa bersekat, tua, dan berwarna coklat ; (b) kondia muda, hialin, dan tidak bersekat ; konidia tua, berwarna coklat dan bersekat

Tanda panah menunjukkan sekat pada hifa tua, tidak bersekat pada konidia muda, dan bersekat pada konidia tua.

Resistensi Bibit Jabon terhadap Serangan Patogen

Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol, baik dengan cara infeksi tanpa (Gambar 10a dan b) maupun dengan pelukaan (Gambar 10c dan d) adalah sebesar 0%. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol juga sebesar 0%. Bibit jabon putih dan merah yang tidak diinokulasi patogen (kontrol), tidak menunjukkan adanya gejala mati pucuk. Berikut adalah gambar yang menyajikan tentang kondisi bibit jabon perlakuan kontrol pada hari pengamatan ke-14.

Gambar 10 Kondisi bibit jabon putih dan jabon merah perlakuan kontrol: (a) bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (b) bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (c) bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang; (d) bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang

Tanda panah menunjukkan bagian batang bibit jabon yang diinfeksi patogen B. theobromae.

Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 30% dan 100%. Keparahan penyakit pada bibit jabon dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 12% (Gambar 11d) dan 62% (Gambar 11h). Kondisi bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang tersaji pada Gambar 11.

Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 80% dan 100%. Keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 16% (Gambar 12d) dan 38% (Gambar 12h). Kondisi bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang tersaji pada Gambar 12.

Gejala penyakit yang tampak pada bibit jabon putih adalah terjadinya pembusukan batang yang diinokulasi patogen, daun menjadi layu, mengering, nekrosis pada bagian yang diinfeksi, dan mati pucuk. Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah adalah terjadi pembusukan jaringan epidermis yang diinokulasi patogen, kemudian mengering, dan nekrosis tetapi tidak menyebabkan mati pucuk, sehingga bibit jabon merah dapat recovery kembali.

Tanpa pelukaan batang Pelukaan batang

a b c d

Gambar 11 Kondisi bibit jabon putih selama 14 hari pengamatan : (a) perlakuan kontrol dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (b) 2 hari setelah inokulasi (HSI) dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (c) 7 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang ; (d) 14 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (e) perlakuan kontrol dengan cara infeksi pelukaan batang; (f) 2 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang; (g) 7 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang ; (h) 14 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang

Tanda panah menunjukkan bagian batang bibit jabon putih yang diinfeksi patogen B. theobromae dan gejalanya.

a b c d

e f g h

Kontrol 2HSI 7HSI 14HSI

Tanpa pelukaan

Gambar 12 Kondisi bibit jabon merah selama 14 hari pengamatan : (a) perlakuan kontrol dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (b) 2 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (c) 7 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang ; (d) 14 HSI dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang; (e) perlakuan kontrol dengan cara infeksi pelukaan batang; (f) 2 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang; (g) 7 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang ; (h) 14 HSI dengan cara infeksi pelukaan batang

Tanda panah menunjukkan bagian batang bibit jabon merah yang diinfeksi patogen B. theobromae dan gejalanya.

Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, lebih luas dan cepat, yaitu sebesar 80% dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 30%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa kejadian penyakit pada bibit jabon merah berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon putih (Tabel 5). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan menunjukkan kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol bibit jabon putih dan merah. Tabel 5 menyajikan respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk.

Keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon putih yaitu berturut-turut 16% dan 12%, namun demikian respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk (Tabel 6) bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang menunjukkan nilai

a b c

e f g h

d

Kontrol 2HSI 7HSI 14HSI

Tanpa pelukaan

yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon putih, bahkan terhadap perlakuan kontrol bibit jabon putih dan merah.

Tabel 5 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk

Perlakuan Ulangan Rataan kejadian penyakit (%)

Kontrol jabon putih tanpa pelukaan 10 0b Kontrol jabon putih dengan pelukaan 10 0b

Jabon putih tanpa pelukaan 10 30b

Jabon putih dengan pelukaan 10 100a

Kontrol jabon merah tanpa pelukaan 10 0b Kontrol jabon merah dengan pelukaan 10 0b

Jabon merah tanpa pelukaan 10 80a

Jabon merah dengan pelukaan 10 100a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji Tukey.

Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi pelukaan batang, masing-masing sebesar 100%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada kejadian penyakit mati pucuk (Tabel 5) bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah tidak berbeda nyata. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih lebih berat, yaitu sebesar 62% dibandingkan dengan bibit jabon merah sebesar 38%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk (Tabel 6) menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon putih berbeda nyata dengan bibit jabon merah. Tabel 6 menyajikan respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk.

Tabel 6 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk

Perlakuan Ulangan Rataan keparahan

penyakit (%) Kontrol jabon putih tanpa pelukaan 10 0c Kontrol jabon putih dengan pelukaan 10 0c

Jabon putih tanpa pelukaan 10 12c

Jabon putih dengan pelukaan 10 62a

Kontrol jabon merah tanpa pelukaan 10 0c Kontrol jabon merah dengan pelukaan 10 0c

Jabon merah tanpa pelukaan 10 16c

Jabon merah dengan pelukaan 10 38b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji Tukey.

Masa inkubasi merupakan interval waktu dari inokulasi hingga muncul gejala. Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah masing-masing adalah pada

hari ke-1 setelah inokulasi. Jumlah bibit jabon yang bergejala selama 14 hari pengamatan adalah tidak ada yang bergejala untuk perlakuan kontrol baik pada bibit jabon putih dan merah, 3 bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, 10 bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang, 8 bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, dan 10 bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang. Jumlah bibit jabon merah tanpa pelukaan batang yang bergejala lebih banyak yaitu sebanyak 8 bibit dibandingkan dengan bibit jabon putih sebanyak 3 bibit, namun gejala mati pucuk pada hari ke-14 setelah inokulasi, bibit jabon putih lebih berat yaitu skor 2 dibandingkan dengan bibit jabon merah yaitu skor 1. Gejala mati pucuk yang terjadi pada bibit jabon putih dengan pelukaan batang lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Pada hari ke-14 setelah inokulasi, nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang lebih berat yaitu skor 4 dibandingkan dengan bibit jabon merah yaitu skor 1. Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah terhadap serangan patogen B. theobromae

Perlakuan Jumlah bibit

yang bergejala Masa inkubasi (hari ke-) Nilai numerik tertinggi*

Kontrol jabon putih tanpa pelukaan 0 0 0

Kontrol jabon putih dengan pelukaan 0 0 0

Jabon putih tanpa pelukaan 3 1 2

Jabon putih dengan pelukaan 10 1 4

Kontrol jabon merah tanpa pelukaan 0 0 0

Kontrol jabon merah dengan pelukaan 0 0 0

Jabon merah tanpa pelukaan 8 1 1

Jabon merah dengan pelukaan 10 1 3

Keterangan : * = Nilai numerik tertinggi dari 10 ulangan yang tercatat pada hari ke-14 setelah inokulasi. Nilai ini mengacu pada nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Gambar 7).

Temperatur dan kelembapan merupakan faktor lingkungan yang sangat penting bagi pertumbuhan patogen dan tanaman inang, yang akan mempengaruhi perkembangan penyakit. Rataan temperatur selama 14 hari pengamatan adalah pagi sebesar 27.53 0C, siang 33.27 0C, dan malam 26.07 0C. Tabel 8 menyajikan temperatur dan kelembapan selama 14 hari pengamatan.

Tabel 8 Temperatur dan kelembapan selama 14 hari pengamatan Hari ke- setelah

inokulasi

Temperatur ( 0C) Kelembapan (%) Pagi Siang Malam Pagi Siang Malam

Inokulasi 29 33 25 78 73 92 1 28 29 29 85 78 85 2 29 35 26 78 69 92 3 29 36 25 78 75 92 4 27 32 23 92 73 91 5 29 34 25 78 74 92 6 27 35 25 92 69 92 7 26 33 27 84 73 100 8 30 33 26 85 67 100 9 27 36 25 92 75 92 10 23 31 29 83 86 85 11 29 36 27 85 56 92 12 26 32 27 92 73 92 13 27 31 26 84 73 100 14 27 33 26 84 73 92 Rataan 27.53 33.27 26.07 84.67 72.47 92.60 Resistensi Struktural Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.)

Bibit jabon putih hanya memiliki resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitifitas, yang merupakan resistensi struktural sesudah serangan patogen. Resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitif terjadi dengan menghancurkan semua membran seluler berkontak dengan fungi. Kemudian terjadi pengeringan dan nekrosis jaringan yang terserang. Bibit jabon putih yang sehat (sebagai perlakuan kontrol), tidak terdapat hifa fungi B. theobromae (Gambar 13a dan b). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang menunjukkan rusaknya jaringan epidermis, korteks dan kolonisasi hifa di jaringan stele (Gambar 13c dan d). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang menunjukkan rusaknya jaringan epidermis, korteks, dan stele hingga ke jaringan epidermis dan korteks seberangnya (Gambar 13f). Gambar 13 menyajikan kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon putih menggunakan scanning electron microscope.

Resistensi struktural bibit jabon merah adalah terdapatnya struktur trikoma (rambut-rambut halus) pada jaringan epidermis yang tidak dimiliki oleh bibit jabon putih, yang merupakan resistensi struktural sebelum serangan patogen dan resistensi nekrotik melalui hipersensitifitas, sebagai resistensi struktural sesudah serangan patogen. Bibit jabon merah yang sehat, tidak terdapat hifa B. theobromae (Gambar 14a dan b). Bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang, hifa menembus jaringan epidermis hingga korteks, dan infeksi berhenti pada jaringan korteks (Gambar 14c). Beberapa hifa terlilit pada trikoma bibit jabon merah yang berada pada jaringan epidermis (Gambar 14d). Bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang, hifa tidak terlilit pada trikoma dan langsung masuk ke dalam jaringan epidermis melalui luka buatan, sehingga memudahkan patogen menginfeksi (Gambar 14e dan f). Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon merah menggunakan scanning electron microscope tersaji pada Gambar 14.

55 µm 73.33 µm 11 µm 146.67 µm 22 µm 110 µm Gambar 13 Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon putih:

(a)jaringan epidermis dan korteks bibit jabon putih sehat (x200); (b)stele bibits jabon putih sehat (x150); (c)korteks yang rusak pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan (x1000); (d)miselium muda B. theobromae yang menyerang jaringan stele batang bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan (x75); (e)hifa B. theobromae (x500); (f) jaringan epidermis, korteks, dan stele yang telah mengering dan dibuang oleh inang, serta jaringan korteks dan epidermis seberang dengan cara infeksi pelukaan batang (x100)

Tanda panah menunjukkan jaringan bagian batang bibit jabon putih dan penyebaran hifa B. theobromae.

a b

c d

11 µm 7.33 µm

55 µm 31.42µm

220 µm 73.33 µm Gambar 14 Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon merah:

(a) epidermis bibit jabon merah sehat (x1000); (b) stele bibit jabon merah sehat (x1500); (c) sel epidermis dan korteks yang rusak akibat serangan B. theobromae dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang (x200); (d) hifa yang terlilit di trikoma pada epidermis batang bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang (x350); (e) jaringan korteks yang rusak akibat serangan patogen dengan cara infeksi pelukaan batang (x50); (f) hifa B. theobromae yang merusak epidermis, korteks, dan sedang menuju stele (x150)

Tanda panah menunjukkan jaringan bagian batang bibit jabon merah dan penyebaran hifa B. theobromae.

Resistensi Biokimia Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.)

Bibit jabon putih sehat mengandung senyawa metabolit sekunder yang lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Namun demikian, patogen B.

a b

c d

theobromae menyerang bibit jabon putih lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah. Bibit jabon putih mengandung senyawa alkaloid, flavanoid, fenol hidrokuinon, saponin, dan steroid, namun tidak mengandung triterpenoid. Bibit jabon putih yang terinfeksi patogen mengalami peningkatan kandungan senyawa tertentu seperti, flavanoid, tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid.

Bibit jabon merah, baik sehat maupun yang terinfeksi, mengandung flavanoid, fenol hidrokuinon, tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid, namun tidak mengandung alkaloid. Bibit jabon merah yang terinfeksi patogen mengalami peningkatan senyawa tertentu seperti, fenol hidrokuinon, tanin, triterpenoid, dan steroid.

Bibit jabon merah perlakuan kontrol mengandung senyawa triterpenoid dan steroid, namun demikian bibit jabon putih perlakuan kontrol hanya mengandung senyawa steroid. Kandungan senyawa triterpenoid dan steroid pada bibit jabon merah lebih kuat dibandingkan dengan bibit jabon putih. Sesudah terjadi infeksi patogen, bibit jabon mengalami peningkatan kandungan senyawa triterpenoid dan steroid. Senyawa triterpenoid dan steroid yang terkandung pada bibit jabon merah merupakan mekanisme resistensi biokimia sebelum serangan patogen. Pada bibit jabon putih, senyawa steroid merupakan mekanisme resistensi biokimia sebelum serangan patogen. Sesudah serangan patogen pada bibit jabon merah resistensi biokimia ditunjukkan dengan peningkatan kandungan senyawa fenol hidrokuinon, tanin, dan kadar yang tetap pada flavanoid, sedangkan pada bibit jabon putih mengalami peningkatan kandungan senyawa flavanoid, tanin dan penurunan kandungan fenol hidrokuinon. Berikut adalah senyawa metabolit sekunder bibit jabon, yang tersaji pada Tabel 9.

Tabel 9 Keragaan fitokimia senyawa metabolit sekunder bibit jabon (Anthocephalus spp.)

Senyawa aktif Spesies bibit jabon

Jabon putih Jabon merah

Kontrol Pelukaan batang Kontrol Pelukaan batang

Alkaloid ++ + - - Flavanoid ++ +++ + + Fenol hidrokuinon +++ ++ + ++ Tanin +++ ++++ + ++ Saponin +++ ++++ ++ + Triterpenoid - + + +++ Steroid + +++ ++ ++++

Keterangan: (-): negatif, (+): positif tapi lemah, (++): positif agak kuat, (+++): positif kuat, (++++): positif sangat kuat.

Pembahasan Umum

Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae

Koloni B. theobromae memiliki warna putih pada permukaan atas (Gambar 8a), yang selanjutnya berubah menjadi abu-abu (Gambar 8b) atau hijau

kehitaman (Gambar 8c). Warna koloni pada bagian bawah media terlihat abu-abu (Gambar 8d), hijau kehitaman (Gambar 8e) atau hitam.

Miselium B. theobromae memiliki tekstur seperti benang halus (fluffy) dengan miselium udara yang tebal dan koloni menyebar dari bagian tengah dengan topografi tidak beraturan (rugose) (Gambar 8). Isolat memiliki pertumbuhan radial yang cepat, yaitu dapat memenuhi cawan petri (Ø = 9 cm) setelah 3-4 hari masa inkubasi. Rataan pertumbuhan diameter B. theobromae tergolong cepat, yaitu 1.38 mm/jam. Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Fusarium spp. dapat memenuhi cawan petri setelah 7-10 hari masa inkubasi, sedangkan Colletotrichum sp. selama 6 hari masa inkubasi. Pestalotiopsis sp. dapat memenuhi cawan petri setelah 13 hari masa inkubasi dan

Curvularia sp. selama 6 hari masa inkubasi. Menurut Winara (2014),

pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. tergolong cepat, dengan rataan pertumbuhan diameter radial sebesar 1.72 mm/jam.

Selama 1 bulan masa inkubasi, tidak ditemukan piknidia patogen B. theobromae. Menurut Kunz (2007), perkembangan piknidia Botryodiplodia spp. pada media buatan bersifat jarang dan membutuhkan waktu yang lama. Namun apabila tumbuh, pinhead besar berwarna hitam dan bulat dapat dilihat langsung. Aisah (2014) menyatakan bahwa B. theobromae yang ditumbuhkan pada media PDA dapat membentuk piknidia setelah lebih kurang 21 hari masa inkubasi. Penelitian Shah et al. (2010) menunjukkan bahwa, 13 isolat B. theobromae yang ditumbuhkan pada media PDA dapat membentuk piknidia setelah 20-34 hari masa inkubasi.

Miselium B. theobromae memiliki hifa bersekat, bercabang, hialin saat muda, dan berwarna coklat saat tua, serta berukuran 53-57 x 2-3 µm (Gambar 9a). Menurut Aisah (2014), B. theobromae memiliki hifa bersekat, hialin pada hifa muda, dan berwarna coklat pada hifa tua. Konidia muda hialin dan tidak bersekat, kemudian berubah menjadi kecoklatan dan bersekat. Konidia berbentuk ellipsoid atau ovoid dengan ukuran 26-32 x 13-17 μm (Gambar 9b). Penelitian Punithalingam (1976) menunjukkan bahwa, piknidia B. theobromae berbentuk sederhana, bergerombol, beragregat, stromatik, dan ostiolate dengan lebar sampai 5 mm. Konidia muda uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoid, berdinding tebal, memotong seperti sekat, sedangkan konidia tua uniseptate dan berwarna coklat dengan ukuran 20-30 μm x 10-15 μm. Menurut Gandjar et al. (1999), konidia B. theobromae bersel dua saat tua, berukuran 22-28 µm x 12-15 µm, berbentuk elips, berwarna coklat tua, dan memiliki garis-garis longitudinal. Kumar dan Leena (2009) menyatakan bahwa, B. theobromae memiliki miselium hialin, bersekat, bercabang, dan berukuran 50-55 x 3-4 μm.

Resistensi Bibit Jabon terhadap Serangan B. theobromae

Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon perlakuan kontrol. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol, baik dengan cara infeksi tanpa (Gambar 10a dan b) maupun dengan pelukaan (Gambar 10c dan d) adalah sebesar 0%. Keparahan penyakit pada bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol juga sebesar 0%. Bibit jabon putih dan merah yang tidak diinokulasi patogen (perlakuan kontrol), tidak menunjukkan adanya gejala mati pucuk. Menurut Arshinta (2013), bibit jabon putih yang diinokulasi patogen, baik berumur 3, 4, dan 5 bulan, menunjukkan gejala penyakit mati

pucuk, namun demikian pada bibit jabon putih tanpa inokulasi patogen (kontrol), tidak menunjukkan gejala penyakit mati pucuk.

Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih. Kejadian penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 30% dan 100%. Patogen B. theobromae dapat menyerang bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang (bukan pada lentisel). Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang berbeda nyata dan lebih luas dibandingkan dengan bibit jabon putih tanpa pelukaan batang (Tabel 5). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. menghasilkan gejala pada bagian batang yang dilukai dan tidak dilukai. Namun demikian, menurut Kunz (2007) bahwa, Botryodiplodia sp. membutuhkan luka untuk menyerang tanaman. Semangun (2007) bahwa, B. theobromae merupakan parasit lemah yang menginfeksi inang melalui luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau serangga.

Keparahan penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 12% (Gambar 11d) dan 62% (Gambar 11h). Serangan patogen B. theobromae pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang berbeda nyata dan lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon putih tanpa pelukaan batang (Tabel 6).

Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah. Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berurutan adalah 80% dan 100%. Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon merah tanpa pelukaan batang (Tabel 5). Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. menghasilkan gejala pada bagian batang yang dilukai dan tidak dilukai. Penyakit mati pucuk berpeluang menyerang bibit jabon merah, namun tidak menyerang terlalu berat dibandingkan dengan bibit jabon putih. Menurut Halawane et al. (2011), jabon merah memiliki kayu yang lebih keras dan lebih resisten terhadap hama dan penyakit.

Keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa dan dengan pelukaan batang, berturut-turut sebesar 16% (Gambar 12d) dan 38% (Gambar 12h). Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan batang berbeda nyata dan lebih berat dibandingkan dengan bibit jabon merah tanpa pelukaan batang (Tabel 6). Patogen B. theobromae menyerang lebih berat pada bibit jabon merah dengan cara infeksi pelukaan dibandingkan dengan bibit jabon merah tanpa pelukaan batang.

Kejadian dan keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih dan merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang. Kejadian penyakit pada bibit jabon merah dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih luas dan cepat yaitu sebesar 80% dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 30%. Respon spesies

bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian penyakit mati pucuk menunjukkan bahwa, kejadian penyakit pada bibit jabon merah berbeda nyata dan lebih luas dibandingkan dengan bibit jabon putih (Tabel 5). Perlakuan bibit jabon putih dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan kontrol bibit jabon putih dan merah.

Keparahan penyakit pada bibit jabon merah memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit jabon putih, yaitu berturut-turut 16% dan 12%, namun respon spesies bibit jabon dan cara infeksi pada keparahan penyakit mati pucuk (Tabel 6), menunjukkan bahwa, keparahan penyakit pada bibit jabon merah tidak berbeda nyata dibandingkan dengan bibit jabon putih dan terhadap perlakuan kontrol bibit jabon putih serta merah. Menurut Halawane et al. (2011),

Dokumen terkait