Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin
Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin dapat dilihat dari tumbuh atau tidaknya bakteri tersebut pada media TSA yang mengandung ampisilin (TSAA).Pada penelitian ini tingkat resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin bervariasi yaitu sensitif, intermediat resisten, dan resisten. Isolat yang tidak tumbuh pada media TSAA digolongkan sebagai isolat yang sensitif terhadap ampisilin. Isolat digolongkan intermediat resisten jika isolat tumbuh pada TSAA dengan konsentrasi ampisilin 10 µg/mL, jika isolat masih tumbuh pada konsentrasi ampisilin20 µg/mLmaka digolongkan sebagai resisten ampisilin.Dari 12 isolat yang diuji terdapat 8 isolat (66.6 %) yang sensitif terhadap ampisilin (FWHc3, FWHb6, FWHb15, YRw3, E2, E4, E6, and E9), 2 isolat (16.6 %) bersifat intermediat resisten (Desb10, E7) dan 2 isolat (16.6 %) yang resisten terhadap ampisilin yaitu E1 dan FWHd1(Tabel 2).
Tabel 2. Tingkat ResistensiCronobacter sakazakii(wild type)terhadap Ampisilin Kode Isolat/GenBank
Intensitas koloni yang tumbuh pada
beberapa konsentrasi ampisilin (µg/ml) Sifat resistensi
0 10 20 30 40 50 E1 +++++ +++++ +++ - - - resisten FWHd1/JX535018 +++++ +++++ ++ - - - Desb10/JF800181 +++++ +++ - - - - intermediat resisten E7 +++++ + - - - - YRw3/JF800185 +++++ - - - - - sensitive FWHc3 +++++ - - - - - FWHb6 +++++ - - - - - FWHb15 +++++ - - - - - E2 +++++ - - - - - E4 +++++ - - - - - E6 +++++ - - - - - E9 +++++ - - - - -
Ket: - = tidak ada pertumbuhan koloni
+ = koloni yang tumbuh sangat sedikit (1-25 CFU/mL) ++ = koloni yang tumbuh sedikit (26-100 CFU/mL) +++ = koloni yang tumbuh agak banyak (101-175CFU/mL) ++++ = koloni yang tumbuh banyak (176-250CFU/mL) +++++ = koloni yang tumbuh sangat banyak (>250CFU/mL)
Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa terdapat 53 % (Stock dan Wiedemann 2002) dan 31.8 % (Kim et al. 2008) Cronobacter spp. yang diuji resisten terhadap ampisilin, akan tetapi Li et al. (2014) melaporkan hanya 7.7 % atau 1 dari 13 isolat Cronobcter spp. yang diisolasi dari beberapa jenis sumber pangan resisten terhadap ampisilin. Ketiga penelitian tersebut menetapkan tingkat resistensiCronobacter spp. terhadap ampisilin berdasarkan minimum inhibitory consentration (MIC) atau konsentrasi antibiotik terendah dalam menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi 10 µg/mL.Sulistyanti (2013) dengan menggunakan metode yang sama dengan penelitian ini melaporkan bahwa dari 3
19 isolat lokal C. sakazakii yang diuji terdapat 1 isolat yang resisten terhadap ampisilin pada konsentrasi 25 µg/mL yaitu DESc7.
Isolat E1 dan FWHd1 mampu tumbuh hingga konsentrasi ampisilin 20 µg/mL, sedangkan Desb10 dan E7 hanya tumbuh hingga konsentrasi 10 µg/mL. Kuzina et al. (2001) melaporkan bahwaampisilin dengan konsentrasi 2 µg/mL sudah bisa menghambat pertumbuhan C. sakazakii, akan tetapi Noor dan Poeloengan (2008) melaporkan bahwaC. sakazakii masih tumbuh pada media yang mengandung ampisilin pada konsentrasi 10µg/mL.
Faktor yang menentukan sifat resistensi bakteri terhadap ampisilin terdapat
pada elemen yang bersifat genetik yaitu gen penyandi enzim β-laktamase.Enzim ini mampu menghidrolisis ampisilin, sehingga kehadiran ampisilin tidak mengganggu pembentukan ikatan silang pada dinding sel bakteri(Haddix et al. 2000). Lee et al. (2012) menyatakan bahwa perkembangan resistensi juga dipengaruhi oleh intensitas paparan antibiotik yang terlalu tinggi sehingga meningkatkan pola kepekaan atau resistensi bakteri yang semula sensitif. Resistensi C. sakazakii terhadap ampisilin kemungkinan terjadi karena pemberian ampisilin yang berlebihan atau tidak sesuai aturan kepada pasien yang terinfeksi bakteri tersebut.
Sifat resistensi juga dapat terjadi melalui perantaraan plasmid (Ashet al. 2002).Pada umumnya bakteri yang resisten terhadap ampisilin mengandung plasmid yang membawa gen penyandi resisten ampisilin. Sejumlah gen penyandi resistenampisilinpada plasmid dapat dibawa oleh faktor resisten(R). Ashet al. (2002) melaporkan bahwa dari 54 plasmid yang diisolasi dari beberapa jenis bakteri Gram negatifyang diisolasi dari sungai di USA mengandung 38 (70 %) gen penyandi resisten ampisilin. Gen yang berlokasi pada plasmid tidak stabil bila dibandingkan dengan yang berlokasi pada kromosom, oleh karena itu gen resistensi yang berlokasi pada plasmid dapat ditransfer dari satu sel ke sel lain.Sifat resistensi tersebut melibatkan perubahan genetik yang bersifat stabil dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
PelabelanCronobacter sakazakiidenganpGFPuv
Pelabelan C. sakazakiidalam penelitian ini dilakukan denganmenggunakan pGFPuv yang mengandung gen penyandi resisten ampisilin sehingga pertumbuhan isolat pada media TSAA pasca pelabelan dapat dijadikan sebagai tahap awal untuk mengetahui keberhasilan mutan.Kemampuan tersebut dapat dijadikan sebagai penanda atau penyeleksi karena mutan GFPuv merupakan sel yang telah mengalami perubahan fenotip yang semula sensitif menjadi resisten ampisilin. Isolat FWHb6 dan FWHb15 tidak tumbuh pada media TSAA yang menunjukkan bahwa isolat tersebut tidak dapat dilabeli oleh plasmid GFPuv akibat dari kegagalan dalam proses transformasi (Tabel 3).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan bakteri tidak dapat dilabeli oleh pGFPuv dengan menggunakan metode transformasi CaCl2.Faktor yang pertama adalah kondisi isolat yang digunakan. Kondisi yang paling efektif adalah pada saat isolat mencapai fase pertumbuhan logaritmik (OD600 = 0.4). Sel bakteri pada fase tersebut mengalami pertumbuhanyang optimal, elastisitas membran bakteri cukup tinggi,dan aktif membelah sehingga memudahkan introduksi DNA asing. Pada fase stasioner bakteri akan membentuk membran sel yang tidak elastis atau
20
kaku sehingga pori membran akan lebih susah terbuka PADA tahapheat shock(Sambrook dan Russell 2001).
Faktor berikutnya adalah tahap preparasi sel kompeten dengan CaCl2. Cl permeable terhadap membran sel yang menyebabkan sel bakteri membengkak dan membentuk pori pada membran. Ion-ion Ca2+ yang bersifat positif dapat berikatan dengan membran fosfolipid sehingga molekul DNA yang bermuatan negatif dapat menempel dan mempermudah integritas DNA ke dalam sel. Perbandingan konsentrasi antara jumlah CaCl2 dengan kultur yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasilan dari proses transformasi. Konsentrasi CaCl2 yang terlalu tinggi menyebabkan lisis atau pecahnya sel bakteri (Brown 2006).
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi keberhasilan transformasi adalah tahapheat shock, yaitu dengan melakukan perubahan suhu yang cukup tinggi. Kejutan panas dapat membantu DNA dalam melewati dinding sel bakteri.Suhu yang optimal untuk heat shock adalah 420C, jika melebihi suhu tersebut maka akan terjadi kerusakan dari sel kompeten. Pada suhu di bawah 42oC, kemampuan bakteri untuk mengambil plasmid atau DNA eksogenus lebih rendah, sedangkan pada suhu ekstrim bakteri akan mati (Li et al. 2010).
Selain faktor diatas perbandingan jumlah sel kompeten dan jumlah DNA atau plasmid yang digunakan sangat mempengaruhi keberhasilan transformasi. Efisiensi transformasi CaCl2 berkisar antara 105 - 106sel/mL atau absorbansi OD600 0.4 transforman/μg DNA dan dapat ditingkatkan hingga mencapai efisiensi
108 transforman/μg DNA tergantung kombinasi bahan-bahan kimia yang digunakan dan perlakuan secara fisik pada sel (Sambrook dan Russel 2001). Tabel 3. Hasil Transformasi Mutan GFPuv pada Sel C. sakazakii
Kode Isolat/GenBank Sifat Resistensi Keberhasilan pelabelan* Kemampuan ekspresiGFPuv ** Kestabilan Ekspresi GFPuv E1
Resisten terlabel tidak terekspresi tidak terekspresi
FWHd1/JX535018 terlabel tidak terekspresi tidak terekspresi
Desb10/JF800181 intermediat
resisten
terlabel terekspresi tidak stabil
E7 terlabel terekspresi stabil
YRw3/JF800185
Sensitive
terlabel terekspresi tidak stabil
E9 terlabel terekspresi tidak stabil
E2 terlabel terekspresi stabil
E4 terlabel terekspresi stabil
E6 terlabel terekspresi stabil
FWHc3 terlabel terekspresi stabil
FWHb15 tidak terlabel - -
FWHb6 tidak terlabel - -
Ket - : tidak diuji karena isolat tidak dapat dilabeli oleh GFPuv * : Pertumbuhan koloni pada TSAA
** : Diamati di bawah lampu UV
Isolat yang tumbuh pada TSAA dikonfirmasi dibawah UV dan mikroskop fluoresen untuk melihat sifat fluoresensi dari mutan GFPuv. Isolat yang mampu mengekspresikan GFPuv menghasilkan koloni yang berpendar hijau. Pendaran hijau muncul karena kromofor pada gugus GFP mengalami reaksi oksidasi ketika dikenai dengan gelombang UV. Energi yang diserap membuat elektron-elektron
21 di dalam gugus ini tereksitasi dan menghasilkan energi yang lebih rendah yang secara otomatis mampu memancarkan cahaya hijau (Shimomura 2005). Konfirmasi mutan secara fenotip juga dilihat di bawah mikroskop fluoresen. Gambar 9 menunjukkan bahwa bahwa sel mutan berbentuk batang kehijauan.
Gambar 9Sel mutan C. sakazakii GFPuv (E2) dibawah mikroskop fluoresen (1000x)
Hasil konfirmasi mutan GFPuv di bawah lampu UV menunjukkan hasil yang bervariasi (Gambar 10).Ekspresi GFPuv pada sel C. sakazakii ada yang stabil, tidak stabil bahkan tidak terekspresi ketika diuji pada subkultur ke-2. Ekspresi GFPuv dikatakan stabil jika semua koloni isolat menghasilkan fluoresen atau pendaran hijau. Jika pendaran hijau yang dihasilkan hanya pada sebagian koloni dari isolat dikatakan tidak stabil, sedangkan koloni yang tidak menghasilkan pendaran hijau sama sekali merupakan isolat yang tidak dapat mengekspresikan GFPuv. Ekspresi GFP yang stabil terdapat pada isolat C. sakazakiiE2, E4, E6, E7, dan FWHc3, sedangkan isolat yang tidak mengekspresikan GFP adalah E1 dan FWHd1 (Tabel 3).
(A) (B) (C)
Gambar 10Ekspresi mutan GFPuv dibawah UV (A) stabil pada isolat E2, (B)tidak stabil pada isolat Desb10, (C) tidak terekspresi pada isolat E1
Gen yang telah disisipkan seharusnya bersifat stabil saat diwariskan pada generasi berikutnya, akan tetapi kestabilan dan ekspresi dari gen tersebut sering tidak terjadi (Rashid et al. 1996). Penyebab ketidakstabilan tersebut terjadi karena distribusi plasmid yang tidak seimbang pada saat proses pembelahan atau
22
segregasi sel inang (Ma et al. 2011;Akasakaet al. 2015).Pembelahan sel merupakan proses dimana sel induk membelah atau membagi dirinya menjadi 2 atau lebih sel anakan. Proses pembelahan diikuti dengan dublikasi materi genetik sehingga sel anakan juga mewarisi sifat dari induknya. Dalam sel juga ditemukan plasmid yang mengandung materi genetik akan tetapi tidak selamanya pembelahan sel induk dan plasmid bersamaan sehingga ada beberapa sel anakan yang tidak mengandung plasmid sebagaimana induknya.
Hwang et al. (2003); Yusuf et al. (2014)menyatakan bahwa kestabilan dan ekspresi gen juga berhubungan erat dengan jumlah kopigen yang terdapat pada setiap sel. Semakin rendah jumlah kopi yang dihasilkan maka kestabilan dan ekspresi gen di dalam sel semakin rendah.Plasmid dapat bereplikasi secara otonom atau independen tidak tergantung pada DNA pada kromosom bakteri, sehingga tingkat pertumbuhan bakteri dapat mempengaruhi jumlah kopian plasmid yang diperoleh di dalam sel. Tingkat pertumbuhan yang rendah menyebabkan bakteri memiliki waktu yang cukup sehingga plasmid melakukan replikasi sebelum terjadi pembelahan sel(Wiley et al. 2008).
Hubungan Resistensi Cronobacter sakazakii terhadap Ampisilin dengan Kestabilan dan EkspresiGFPuv
Gen GFPuv disisipkan dalam sel C. sakazakii melalui perantara plasmid yang dilengkapi dengan gen penyandi resisten ampisilin yang bertujuan untuk mempermudah seleksi. Beberapa hasil penelitin menunjukkan bahwa keberadaan gen penyandi resisten antibiotik menyebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik tersebut tidak berhasil ditransformasikan. Ma et al. (2011) melaporkan bahwa plasmid GFPuv dapat dikonstruksikan pada Listeria, Salmonella dan Escherichia coli, akan tetapi dari beberapa strain bakteri tersebut ada yang tidak dikonstruksikan yaitu strain yang resisten ampisilin karena peneliti menyatakan bahwa bakteri yang resisten ampisilin tidak berhasil dilabeli oleh pGFPuv.Nurjanah et al, (2014) melaporkan bahwa pGFPuv dapat disisipkan pada C. sakazakii. Dari 5 isolat lokal yang dikonstruksikan terdapat 1 isolat yang tidak terlabeli yaitu isolat yang memiliki sifat resisten terhadap ampisilin.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa isolat yang bersifat resisten terhadap ampisilin cenderung tidak stabil bahkan tidak mampu mengekspresikan GFPuv (Tabel 3). Sama halnya dengan penelitian Zhang et al.(2013) yang melaporkan bahwa ada beberapa strain bakteri yang tidak mampu mengekspresikan GFP pada selnya, khususnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang dikandung oleh plasmid GFP, walaupun gen tersebut masih teramplifikasi oleh PCR.
Kestabilan dan ekspresi gen biasanya berhubungan erat dengan jumlah kopigen yang terdapat pada setiap sel. Ekspresi gen yang lemah bahkan tidak ada disebabkan karena jumlah kopi gen yang rendah (Rahman et al, 2000; Hwang et al. 2003).Jumlah kopi gen yang relatif rendah karena terjadinya pembungkaman gen atau gene silencing(Rahman et al. 2000).Gene silencingterjadi karena gen tidak aktif mengalami transkripsi yang menyebabkan tidak terjadinya ekspresi dari gen yang telah tersisipi.
23 Gen pada plasmid GFPuv kemungkinan tidak di transkripsi karena proses transkripsi berhubungan dengan tingkat kebutuhan gen di dalam sel.C. sakazakii yang resisten ampisilin telah memiliki gen penyandi resisten ampisilin pada selnya, ketika gen yang sama disisipkan pada sel tersebut maka gen itu tidak disintesis kembali. Yu et al.(2015) menyatakan bahwagen yang dibutuhkandisintesis dalam jumlah yang besar, sedangkan yang lain dalam jumlah yang kecil Oleh karena itu aktivitas semua gen yang dibutuhkan secara khusus diatur dalam satu atau banyak cara agar penggunaan energi yang tersedia dalam sel lebih efisien. Mekanisme pengaturan tersebut dapat terjadi pada tingkat gen itu sendiri dengan mengendalikan proses transkripsi. Pada proses transkripsiDNA ditranskripsi menjadi RNA. Dalam keadaan normal RNA merupakan untaian tunggal, akan tetapi dalam keadaan tertentu RNA dapat menjadi ikatan dupleks. Ikatan dupleks tersebut dapat menghambat ekspresi gen (Malik 2005).
Deteksi gen GFP pada Sel Mutan yang Tidak Stabil dan Terekspresi dengan PCR
Keberadaan gen GFP di dalam sel C. sakazakii diketahui dari proses amplifikasi gen GFPdengan menggunakan primer spesifik GFP yaituforward (5’- AAG CTA TCA ACT TCA AAA TTC GCC-3’) dan reverse (5’- TCA TCC ATG CCA TGT GTA ATC C-3’). Primer spesifik hanya mengamplifikasi gen yang sesuai dengan urutan nukleotida primer dan akan membentuk amplikon dengan ukuran 223 bp (Nurjanah et al. 2014). Gen yang berada dalam sel C. sakazakiiapabila bukan gen GFP maka tidak akan terjadi reaksi PCR dan dapat dipastikan bahwa gen yang divisualisasikan adalah gen GFP.
Hasil PCR divisualisasi dengan menggunakan elektroporesis gel agarosa 1.5% menunjukkan adanya produk PCR berupa pita DNA tunggal yang berukuran 223 bp (Gambar 11). Hal tersebut menunjukkan bahwa semua isolat yang diuji mengandung gen GFP, karena ukuran pita DNA tersebut sesuai dengan ukuran primer GFP yang digunakan. Tebal pita dari beberapa isolat yang diuji berbeda-beda. Pita gen GFP yang dihasilkan oleh isolat EI, FWHd1 lebih tipis dibanding dengan isolat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau konsentrasi gen GFP yang terdapat pada isolat E1 dan FWHd1 lebih sedikit dibandingkan pada isolat yang lain. Sambrook dan Russell (2001) menyatakan bahwa pita yang tipis dipengaruhi oleh nilai kemurnian. Nilai kemurnian dapat diketahui berdasarkan konsentrasi DNA dan keberadaan kontaminan DNA lain maupun protein.
Kemurnian DNA dapat dinilai dari rasio absorbansi DNA (A260 : A280). Hasil isolasi DNA dikatakan murni jika nilai rasio A260/A280 antara 1.8 sampai 2.0. Nilai kemurnian yang lebih besar dari 2.0 menunjukkan adanya kontaminasi DNA lain, sedangakan nilai kemurnian yang berada dibawah 1.8 menunjukkan bahwa DNA terkontaminasi oleh protein (Sambrook dan Russell 2001). Pada penelitian ini tidak dilakukan uji kemurnian DNA, akan tetapi pada penelitian Nofrianti (2015) yang bertujuan untuk melihat keberadaan gen sea pada Staphylococcus aureus menunjukkan bahwa pita yang tipis dihasilkan oleh isolat yang memiliki nilai kemurnian DNA sebesar 1.74 dan 2.09, sedangkan pita yang tebal dihasilkan oleh isolat yang memiliki nilai kemurnian 2.0.
24
Gambar 11 Visualisasi DNA hasil amplifikasi gen GFP(A) Desb10(B) YRw3(C) kontrol dengan DNA GFP,( D) 100 bp DNA ladder, (E) kontrol tanpa DNA, (F) E9, (G) FWHd1, (H) E1
Kestabilan Plasmid GFPuv pada Sel MutanCronobacter sakazakii
Kestabilan plasmid merupakan salah satusyaratdalam pelabelan sel bakteri.Informasi kestabilan plasmid sangat diperlukan ketika mutan diaplikasikan pada pengujian tertentu, dikhawatirkan plasmid hilang sehingga menghasilkan data yang tidak akurat. Kestabilan plasmid pada sel mutan dievaluasi dengan cara menghitung perbandingan populasi mutan dengan total koloni bakteri yang tumbuh.
Semua mutan dari stok kultur atau yang telah disimpan beku mempunyai kestabilan plasmid diatas 90%. Sama halnya setelah melalui subkultur 1 dan 2 tetap memiliki kestabilan plasmid diatas 90%. Akan tetapi pada subkultur berikutnya menunjukkan adanya penurunan tingkat kestabilan plasmid pada sel. Isolat yang paling tinggi kestabilannya adalah E2 (97.0 %), sedangkan yang paling rendah adalah isolat E7 yaitu 73.5 % pada subkultur ke-5 (Tabel 4). Kestabilan plasmid pada sel tergantung dari proses segregasi atau pemisahan plasmid tersebut. Adanya generasi sel bakteri yang tidak mengandung plasmid terjadi karena ketidakseimbangan antara kecepatan pembelahan sel dengan distribusi plasmid sehingga sel anak yang tidak mendapatkan plasmid menjadi sel normal kembali sehingga mengakibatkan perbedaan kandungan plasmid dari sel yang telah direkultur(Akasakaet al. 2015; Ma et al. 2011).
Tabel 4Kestabilan plasmid GFPuvpada sel mutan
Isolat Kestabilan Plasmid (%)
1
Stok kultur Subkulur 1 Subkultur 2 Subkultur 3 Subkultur 4 Subkultur 5
E2 99.2±0.22 98.5±0.42 98.1±0.43 98.4±0.59 97.7±1.09 97.0±0.44 E4 97.5±0.43 96.0±0.28 95.9±1.25 95.7±4.65 90.7±6.12 86.3±8.57 E6 98.8±0.07 98.3±0.31 97.7±0.12 94.9±4.58 88.7±11.94 92.0±7.98 E7 94.3±2.86 93.3±0.14 92.1±0.90 78.1±9.40 80.4±12.63 73.5±15.08 FWHc3 99.3±0.40 99.6±0.29 99.1±0.37 98.2±0.84 96.4±2.87 93.8±6.27 1) Kestabilan plasmid ±SD 223 bp A B C D E F G H
25
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pelabelan Cronobacter sakazakiidengan pGFPuv dilakukan dengan metode transformasi CaCl2. Keberhasilan pelabelan dikonfirmasi dengan melihat koloni bakteri di bawah sinar UV dan melihat sel bakteri dengan mikroskop fluoresen. Isolat yang berhasil dilabeli pGFPuv menghasilkan koloni dan sel yang berwarna hijau berfluoresen.Hasil pengujian resistensi isolat terhadap ampisilin menunjukkan bahwa dari 12 isolat yang diuji terdapat 8 isolat (66.6 %) yang sensitif terhadap ampisilin (FWHc3, FWHb6, FWHb15, YRw3, E2, E4, E6, dan E9), 2 isolat (16.6 %) bersifat intermediat resisten (Desb10, E7) dan 2 isolat (16.6 %) yang resisten terhadap ampisilin yaitu E1 dan FWHd1. Isolat yang sensitif terhadap ampisilin dapat dilabeli oleh pGFPuv bahkan memiliki tingkat kestabilan plasmid yang paling tinggi(E2). Isolat yang resisten terhadap ampisilin dapat dilabel oleh pGFPuv,tetapi plasmid tidak stabil di dalam sel dan tidak diekspresikan.Isolat yang tidak mengekspresikan GFPuv adalah isolat yang tinggi tingkat resistennya yaitu E1 dan FWHd1. Sifat resistensi terhadap ampisilin berpengaruh pada kestabilan dan ekspresi mutan C. sakazakii.
Saran
Pelabelan Cronobacter sakazakiidengan pGFPuv memiliki hasil yang bervariasi. Keberadaanplasmid GFPuv pada isolat yang resisten ampisilintidak stabil dan tidak diekspresikan. Disarankan pada penelitian selanjutnya agar tidak melakukan pelabelan dengan pGFPuv pada isolat yang bersifat resisten ampisilin. Sebaiknya isolat yang diaplikasikan pada penelitian selanjutnya adalah isolat E2 karena memiliki tingkat kestabilan yang paling tinggi.
26