• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kadar Air Media (KAM) dan Kadar Air Relatif (KAR) Daun

Kebutuhan air pada tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim) dan C4 (Echnochloa dan bayam) dapat dipenuhi melalui tanah dengan jalan penyerapan oleh akar, walaupun sebagian besar air akan dilepas ke udara dalam proses transpirasi. Besarnya penyerapan air oleh tumbuhan dalam pot, ditandai dengan penurunan kadar air media (KAM) tanam. Kandungan air pada tumbuhan akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan salah satunya adalah kadar air tanah itu sendiri.

Perlakuan cekaman kekeringan dengan menunda penyiraman dapat menurunkan KAM tumbuhan (Gambar 4 atas). Penurunan KAM terus terjadi sampai akhir perlakuan kekeringan yaitu 12 hari setelah perlakuan (HSP) pada padi gogo, caisim, dan bayam, serta 14 HSP pada Echinochloa.

Gambar 4 Nilai rata-rata Kadar Air Media (KAM) (%) (Gambar atas), dan nilai rata-rata Kadar Air relatif (KAR)(%) (Gambar bawah) padi gogo, cesim dan bayam pada 0-12 HSP dan 0-14 HSP (Echinochloa) dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.

Umumnya tumbuhan uji sudah layu berat pada 12 HSP yang ditunjukkan dengan nilai KAM secara berturut-turut pada padi gogo sebesar 15,93%, caisim sebesar 15,93%, dan bayam sebesar 14,13%. Nilai KAM pada Echinochloa pada 12 HSP sebesar 14,13%, namun secara morfologi tumbuhan Echinochloa belum

Padi gogo 0 10 20 30 40 0 4 8 12 Recovery K A M (% )

Caisim Echinochloa Bayam

0 20 40 60 80 100 0 4 8 12 14 Hari Setelah Perlakuan

K A R (% ) 0 4 8 12 14 Hari Setelah Perlakuan

Kontrol

0 4 8 12 14 16 Hari Setelah Perlakuan

Kekeringan

0 4 8 12 14 Hari Setelah Perlakuan

24

nampak layu berat, sehingga perlakuan kekeringan dilanjutkan hingga 14 HSK (Gambar 5C). Penurunan KAM secara nyata terjadi antara perlakuan kekeringan dengan kontrol, namun terhadap jenis tumbuhan yang diamati tidak berbeda nyata (P>0,05). Walaupun demikian KAM meningkat lagi setelah dilakukan penyiraman kembali (Gambar 4 atas).

Penurunan KAM dapat mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan aliran air pada tumbuhan, sehingga terjadi defisit air dan gangguan fungsi fisiologis di dalam sel tumbuhan. Aliran air ini terkait dengan potensial air, potensial osmotik dan gradien tekanan. Ketika kandungan air tanah menurun, konduktivitas hidrolik tanah juga akan menurun drastis. Penurunan ini terjadi karena adanya penguapan akibat transpirasi. Pada tanah yang sangat kering, potensial air media akan menurun di bawah titik layu permanen. Pada kondisi ini berarti potensial air tanah lebih rendah dari atau sama dengan potensial osmotik tumbuhan, sehingga tumbuhan tidak mampu mempertahankan tekanan turgor walaupun kehilangan air lewat transpirasi berhenti (Tang et al. 2002).

Aliran air di tanah terjadi dalam bentuk aliran massa yang terjadi karena adanya gradien tekanan. Air ini kemudian akan diserap oleh tumbuhan secara osmosis melalui membran sel akar. Penyerapan air oleh akar terjadi karena adanya gradien potensial osmotik ataupun gradien potensial air antara tumbuhan dan tanah (Taiz dan Zeiger 2002). Perakaran yang lebih dalam akan meningkatkan ketersediaan air dari proliferasi akar (berat akar persatuan volume tanah), meningkatkan pengambilan air dari suatu satuan volume tanah sebelum terjadi pelayuan permanen (Sharma dan Flotcher 2002).

Gambar 5 Morfologi tumbuhan percobaan pada hari 12 HSK. (A) padi gogo, (B) caisim, (C) Echinochloa, dan (D) bayam . Tanda panah menunjukkan cekaman kekeringan.

Penurunan KAM akibat perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan penurunan kadar air relatif (KAR) daun tumbuhan, walaupun pola penurunannya agak berbeda (Gambar 4 bawah). KAM menurun sejak awal kekeringan, namun penurunan KAR daun baru terlihat pada hari ke-8, walaupun tidak berbeda nyata (p >0,05) antara perlakuan cekaman kekeringan dan kontrol. Penurunan ini terus terjadi sampai hari terakhir perlakuan hari ke-12 untuk padi gogo, caisim, dan bayam serta 14 HSP untuk echinochloa. Nilai KAR terendah daun pada padi gogo, caisim, dan bayam berturut-turut sebesar 56,68%, 53,97%, dan 57,97%, sedangkan echinochloa sebesar 63,25%.

Secara umum hari ke-12 setelah perlakuan kekeringan tumbuhan mengalami penurunan KAR di bawah 60%, kecuali pada echinochloa. Echinochloa memiliki nilai KAR lebih tinggi dari pada ketiga tumbuhan uji (padi gogo, caisim, dan bayam) pada 12 HSK. Hal ini kemungkinan terkait dengan karakteristik echinochloa sebagai tumbuhan C4 yang dapat memanfaatkan air lebih efisisen. Long (1999), menyatakan bahwa tumbuhan C4 cukup efisien dalam pemanfaatan air. Echinochloa mengalami penurunan nilai KAR di bawah 60 % terjadi pada hari ke-14 setelah perlakuan kekeringan yaitu sebesar 59,91% (Gambar 4 bawah).

Penurunan nilai KAR daun akan menyebabkan kehilangan turgor daun sehingga akhirnya terjadi kelayuan, penutupan stomata, penurunan fotosintesis dan mempengaruhi proses metabolisme dasar lainnya (Alfredo et al. 2000). Kehilangan turgor akibat penurunan KAR daun berkaitan erat dengan kondisi air media tanam. Pada kondisi normal, saat potensial air media lebih tinggi dari pada potensial air tumbuhan, akar dapat menyerap air dengan baik. Proses ini berlangsung hingga tekanan turgor bernilai positif pada jaringan tumbuhan (Taiz dan Zeiger 2002). Ketika cekaman kekeringan terjadi, saat KAM rendah, laju penyerapan air oleh tumbuhan menurun dan akan menurunkan tekanan turgor sel.

Kadar air relatif daun yang menggambarkan status air daun merupakan parameter ketahanan menghadapi cekaman kekeringan. Proses fotosintesis pada sebagian besar tumbuhan akan mulai tertekan bila nilai KAR tumbuhan lebih rendah dari 70 %, sehingga tumbuhan memerlukan pengaturan dalam tubuhnya diantaranya dengan melakukan penutupan stomata (Quilambo 2004).

Penurunan KAR daun akan menurunkan konduktansi stomata daun dan dengan perlahan akan menurunkan konsentrasi CO2 di dalam daun. Karena

26

penurunan konduktansi stomata menyebabkan penurunan konsentrasi CO2, dan dengan sendirinya akan menurunkan laju fotosintesis (Lawlor 2002). Penurunan konduktansi stomata ini terjadi pada tumbuhan untuk mengurangi kehilangan air yang berlebihan akibat cekaman air yang terjadi (Tezara et al. 2002).

Rewatering akan mengembalikan kondisi KAM sehingga dapat meningkatkan KAR daun dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan tumbuhan kontrol setelah dua hari recovery (Gambar 4 atas dan bawah). Peningkatan kandungan air tanah dapat mengurangi faktor cekaman yang disebabkan oleh cekaman kekeringan dan dapat menurunkan kerusakan akibat cekaman yang terjadi. Dengan sendirinya tumbuhan dapat tumbuh kembali dan terhindar dari kerusakan akibat cekaman air (Marschner 1995).

Peningkatan KAR daun ini diperlukan untuk perbaikan tumbuhan dari kerusakan akibat perlakuan cekaman kekeringan. Blanco-shanchez et al. (2002) telah melakukan penelitian pada tumbuhan Cistus albidus dan Cistus monspeliensis. Pemberian air kembali pada tumbuhan yang mendapat perlakuan

kekeringan dapat meningkatkan KAR daun sampai mencapai nilai yang sama dengan kontrol.

Parameter Fotosintesis

Perlakuan cekaman kekeringan beberapa hari menyebabkan penurunan suplai CO2 yang berakibat pada penurunan laju fotosintesis yang dapat diamati melalui parameter fotosintesis. Pada percobaan ini parameter fotosintesis yang diamati meliputi; efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm), pelepasan energi untuk reaksi fotokimia atau photochemical quenching (qP), hasil quantum fotosintesis (qY), dan pelepasan energi reaksi non fotokimia atau non photochemical quenching (qN).

Perlakuan cekaman kekeringan tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap nilai Fv/Fm, namun pada akhir cekaman (12 HSK) nilai Fv/Fm menurun cukup besar terutama pada tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim). Nilai Fv/Fm pada caisim saat 12 HSK menurun dari 0,70 menjadi 0,45 µmol m-2 s-1 dan padi gogo dari 0,62 menjadi 0,43 µmol m-2s-1sedangkan Echinochloa dari 0,69 menjadi 0,59 µmol m-2s-1dan pada bayam penurunan Fv/Fm hanya terjadi sedikit (Gambar 6A).

Dari parameter fotosintesis yang diukur menunjukkan efisiensi fotosintesis maksimum (Fv/Fm) cenderung menurun pada akhir perlakuan kekeringan (Gambar 6A), walaupun tidak berbeda nyata, namun kecenderungan penurunan lebih besar pada tumbuhan C3 dibandingkan tumbuhan C4. Penurunan Fv/Fm diduga sebagai akibat terjadinya kerusakan piranti fotosintesis, khususnya pada fotosistem II (PSII) (Hamim 2005).

Cekaman kekeringan secara dramatis menurunkan parameter fotosintesis qP. Penurunan qP terlihat nyata mulai hari ke-4 (caisim) dan hari ke-8 (padi gogo) hingga 12 HSP (Gambar 6B). Pada akhir cekaman yaitu 12 HSP nilai qP pada tumbuhan padi gogo, caisim, dan bayam berturut-turut dari: 0,32 µmol m-2s-1, 0,30 µmol m-2 s-1, dan 0,54 µmol m-2 s-1 serta 14 HSP pada Echinochloa sebesar 0,30 µmol m-2 s-1 dibandingkan dengan rata-rata kontrol berturut-turut sebesar 0,83 µmol m-2 s-1, 0,81 µmol m-2 s-1, 0,86 µmol m-2 s-1, dan 0,81 µmol m-2 s-1. Berdasarkan data parameter pelepasan energi untuk reaksi fotokimia (qP) menggambarkan bahwa telah terjadi penurunan laju fotosintesis (Pn) akibat cekaman kekeringan. Penurunan qP pada tumbuhan C3 terjadi lebih besar dari pada tumbuhan C4 (Gambar 6B). Hal tersebut menggambarkan bahwa pemanfaatan energi hasil reaksi terang untuk reduksi karbon jauh lebih rendah pada tumbuhan C3 dibanding tumbuhan C4 sebagai akibat cekaman kekeringan.

Cekaman kekeringan yang diberikan selama 12 hari telah menyebabkan suplai air untuk menjaga tugiditas sel dan jaringan berkurang sehingga menurunkan laju fotosintesis. Penurunan ini disebabkan terutama akibat suplai CO2 yang berkurang akibat penutupan stomata (Cornic 2000). Pada keadaan ini pemanfaatan energi dari reaksi terang untuk reaksi karbon menurun yang ditandai dengan penurunan nilai qP (photochemical quenching). Penrunan qP hingga akhir periode cekaman menandakan bahwa reaksi fotokimia fotosintesis semakin rendah dan hampir mencapai nol. Hal ini berakibat pada terjadinya over reduksi pada tumbuhan karena pemakaian ATP dan NADPH hasil reaksi terang tidak terjadi (Subrahmanyam 2006).

Di lain pihak untuk menghindari terjadinya kerusakan akibat over reduksi, energi hasil reaksi terang dimanfaatkan untuk proses non-photochemical quenching (qN), yang dapat melepaskan kembali energi dalam bentuk panas. Hal tersebut dapat dilihat dengan nilai qN yang justru meningkat dengan perlakuan kekeringan.

28

Peningkatan qN secara nyata mulai 4 HSP (padi gogo) dan 8 HSP (bayam) hingga 12 HSP. Pada akhir cekaman peningkatan qN tertinggi terjadi pada tumbuhan padi gogo yaitu dari 0,24 hingga 0,69 µmol m-2s-1 dan terendah pada Echinochloa yaitu dari 0,57 menjadi 0,62 µmol m-2s-1 (Gambar 6C).

A

B

C

D

Gambar 6 Parameter fotosintesis tumbuhan uji. (A) Efisiensi maksimum fotosintesis (Fv/Fm), (B) pelepasan energi untuk reaksi fotokimia (qP), (C) pelepasan

energi untuk reaksi non fotokimia (qN) ,dan (D) quantum Yield (qY) tumbuhan padi gogo, caisim, Echinochloa dan bayam. Tanda panah menunjukkan titik

rewatering.

Mungkin penurunan qP dikompensasi dengan disipasi energi berupa panas melalui proses non fotokimia (qN), sehingga nilai qN meningkat. Peningkatan qN ini berfungsi sebagai kontrol balik terhadap kelebihan transpor elektron saat fotosintesis. Proses disipasi energi berupa panas ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tumbuhan terhadap kerusakan piranti fotosintesis akibat cekaman kekeringan (Pastenes et al. 2004).

Cekaman kekeringan juga menurunkan quantum Yield (qY) pada semua tumbuhan yang diamati di akhir perlakuan. Penurunan qY terbesar pada padi gogo

Padi gogo 0 0,2 0,4 0,6 0,8 0 4 8 12 Recovery F v /F m (u m o l m -2 s -1 Caisim Echinochloa 0 4 8 12 Recovery Bayam 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 q P (u m o l m -2 s -1 ) 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 0 4 8 12 14 Recovery 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 0 4 8 12 Recovery 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 0 4 8 12 Recovery q N (u m o l m -2 s -1 ) Caisim 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 0 0,2 0,4 0,6 0 4 8 12 14

Hari setelah Perlakuan

q Y (u m o l m -2 s -1 ) 0 4 8 12 14

Hari setelah Perlakuan Kontrol

0 4 8 12 14 16

Hari setelah Perlakuan Kekeringan

Bayam

0 4 8 12 14

dari 0,46 menjadi 0,05 µmol m-2 s-1 dan penurunan terkecil pada bayam dari 0,52 menjadi 0,20 µmol m-2 s-1 setelah 12 HSP kekeringan (Gambar 6D). Peningkatan qN dan penurunan qP menyebabkan transfer elektron yang akan menghasilkan energi dalam bentuk ATP dan NADPH atau quantum Yield (qY) menjadi berkurang. Hal ini ditunjukkan pada Gambar (6D). Penurunan qY disebabkan banyaknya energi yang dilepas dalam bentuk energi panas yang terkait dengan perubahan gradien pH dan siklus xantofil (Horton dan Ruban 2004).

Rewatering selama 2 hari meningkatkan kembali laju fotosintesis pada

semua tumbuhan yang diamati dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan kontrol pada 14 HSP (padi gogo, caisim, dan bayam), dan 16 HSP (Echinochloa). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan dapat recovery setelah cekaman air dan peningkatan laju fotosintesis seiring dengan peningkatan KAR pada daun tumbuhan yang diuji. Menurut Wang dan Huang (2004), rewatering sangat penting untuk perbaikan fisiologi tumbuhan yang diberi perlakuan cekaman kekeringan dan cekaman suhu tinggi. Tumbuhan memulai kembali aktifitas fisiologinya seperti fotosintesis, stabilitas membran sel, dan aktifitas senyawa antioksidan. Semua proses tersebut sangat penting bagi tumbuhan untuk perbaikan dari cekaman seperti kekeringan.

Kandungan Asam Askorbat (ASA)

Perlakuan cekaman kekeringan dapat menginduksi peningkatan kandungan ASA pada semua tumbuhan kecuali bayam (Gambar 7). Kandungan ASA tertinggi dijumpai pada echinochola sebesar 17,71 g/100g berat segar dan terendah pada bayam sebesar 6,95 g/100g berat segar, sementara itu rata-rata nilai ASA dari semua tumbuhan kontrol adalah 5,57 g/100g berat segar. Akumulasi ASA lebih tinggi pada tumbuhan berdaun sempit dibanding tumbuhan berdaun lebar saat mengalami cekaman kekeringan. Bahkan pada tumbuhan bayam akumulasi ASA hampir tidak terjadi hingga pada akhir periode cekaman kekeringan. Kandungan ASA daun kembali mengalami penurunan setelah penyiraman kembali.

30

Gambar 7 Kandungan asam askorbat padi gogo, caisim, dan bayam mulai 0 sampai 12 HSP dan 14 HSP Echinochloa dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.

Perlakuan cekaman kekeringan pada tumbuhan uji dapat menginduksi peningkatan kandungan ASA daun terutama pada tumbuhan berdaun sempit (Padi gogo dan Echinochloa) mulai hari 8 HSP pada padi gogo dan 12 HSP pada Echinochloa sampai akhir perlakuan kekeringan (Gambar 7). Peningkatan kandungan ASA ini diduga berkaitan dengan tindakan penyelamatan tumbuhan terhadap tingginya ROS terutama periode akhir cekaman. Peranan asam askorbat (ASA) pada tumbuhan terutama diperlukan pada saat tumbuhan mengalami cekaman oksidatif. Cekaman oksidatif dapat terjadi pada saat tumbuhan mengalami cekaman kekeringan berat (Violita 2007). ASA digunakan sebagai senyawa antioksidan yang dapat membantu mengubah senyawa oksidatif menjadi senyawa yang tidak berbahaya bagi tumbuhan. ASA berkaitan dengan aktivitas enzim askorbat peroksidase (APX) pada siklus askorbat-glutation. Pada siklus ini ASA berperan sebagai senyawa yang ikut mengubah H2O2 menjadi H2O (Apel dan Hirt 2004).

ASA berperan sebagai agen reduksi yang dapat menetralisir spesies oksigen reaktif (ROS) seperti hidrogen peroksida pada tumbuhan. Pembentukan senyawa oksidatif pada tumbuhan diawali dengan reduksi oksigen pada membran sel kloroplas membentuk ROS seperti; (O2-), H2O2(Blokhina et al. 2003). Peningkatan ROS dapat menimbulkan kerusakan pada komponen membran sel terutama pada saat tumbuhan defisit air (Noctor dan Foyer 1998).

Walaupun demikian ASA bukan satu-satunya antioksidan pada tumbuhan, seperti yang terjadi pada bayam. Bayam memiliki kandungan ASA lebih rendah

Padi gogo 0 5 10 15 20 0 4 8 12 14 Hari setelah Perlakuan

A S A (m g /1 0 0 g B S ) Caisim 0 4 8 12 14 Hari setelah Perlakuan

Kontrol

Echinochloa

0 4 8 12 14 16 Hari setelah Perlakuan

Kekeringan

Bayam

0 4 8 12 14 Hari setelah Perlakuan

dibanding tanaman uji yang lainnya pada 12 HSP (Gambar 7). Hal ini menguatkan dugaan bahwa mekanisme pertahanan tumbuhan dalam menghadapi cekaman kekeringan melalui antioksidan mungkin dilakukan oleh enzim lain seperti

superoksida dismutase (SOD) atau glutation reduktase (GR). Kedua enzim ini juga

aktif terlibat dalam menanggulangi ROS dalam tumbuhan seperti pada kedelai (Violita 2007).

Rewatering yang diberikan pada tumbuhan selama 2 hari, dapat menurunkan kembali kandungan ASA daun sampai pada tingkat yang sama dengan kontrol (Gambar 6). ASA terinduksi ketika tumbuhan kelebihan elektron karena adanya ketidakseimbangan antara produksi NADPH oleh fotosistem I dengan penggunaan NADPH pada siklus Calvin (Kuzniak et al. 2008). Penurunan kandungan ASA setelah recovery menandakan bahwa tumbuhan sudah mulai mengalami perbaikan setelah diberikan perlakuan cekaman kekeringan. Pada kondisi tersebut mungkin metabolisme yang terjadi pada tumbuhan sudah mulai stabil.

Pertumbuhan Tanaman

Tinggi tumbuhan sebagai respon terhadap cekaman kekeringan

Perlakuan cekaman kekeringan dapat menekan pertumbuhan tinggi tajuk semua tumbuhan yang diuji. Penghambatan pertumbuhan tinggi tajuk secara nyata (p< 0,05) akibat cekaman kekeringan terjadi pada tumbuhan C4 (Echinochloa dan bayam), sedangkan tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim)) mengalami penurunan yang tidak nyata (p>0,05) (Tabel 1). Perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan selama 12 hari menyebabkan penghambatan pertumbuhan. Perbedaan tinggi tajuk antara perlakuan kekeringan dan kontrol paling besar terjadi pada echinochloa, sedangkan terkecil terjadi pada padi gogo. Tinggi tajuk pada Echinochloa dan padi gogo pada 12 HSP berturut-turut sebesar 149,7 cm dan 90,5 cm dibanding dengan masing-masing kontrolnya berturut-turut sebesar 199 cm dan 98,5 cm (Tabel 1).

Proses pemanjangan dan perbesaran pada sel tumbuhan di antaranya ditentukan oleh tekanan turgor. Hilangnya turgiditas dapat menghambat pertumbuhan sel yang akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (Hamim

32

2003). Ketika kekeringan semakin meningkat maka tumbuhan menyesuaikan diri melalui proses fisiologi yang kemudian diikuti perubahan struktur morfologi tumbuhan seperti layu, meningkatkan pertumbuhan akar dan menghambat pertumbuhan pucuk. Pertumbuhan sel merupakan fungsi tumbuhan yang paling sensitif terhadap kekurangan air. Nilai kandungan air jaringan meristem yang rendah, seringkali menyebabkan penurunan kandungan air yang dibutuhkan untuk pengembangan sel. Hal ini menyebabkan pengurangan dalam hal sintesis protein, sintesis dinding sel, dan pengembangan sel (Sharma dan Flotcher 2002).

Tabel 1 Tinggi tajuk dan panjang akar tumbuhan padi gogo, caisim, Echinochloa, dan bayam perlakuan kontrol (K0) dan cekaman kekeringan (K1) pada akhir perlakuan

Tumbuhan C3 Tumbuhan C4

Parameter Perlakuan

Padi gogo Caisim Echinochloa Bayam

Tinggi tajuk (cm) K0 K1 98,5c 90,5c 33,1ab 21,8a 199e 149,7d 82,2c 52b Panjang akar (cm) K0 K1 29,2b 38,6c 9,9a 14,3a 32,5c 50d 24,1b 31,7b Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom, menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

5% pada uji.

Pertumbuhan sel tanaman juga ditentukan oleh ketersedian zat hara pada media tanam seperti ketersedian unsur karbon untuk membentuk senyawa polisakarida, unsur nitrogen untuk membentuk polipeptida pada dinding sel dan unsur-unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan dalam pertumbuhan sel (Yosilayla 2008). Pada media tanah yang digunakan dalam percobaan ini memiliki unsur hara yang rendah (Lampiran 2) yang diketahui melalui kriteria penilaian sifat kimia tanah (Lampiran 3), bahkan unsur N dan C tergolong sangat rendah. Ketersedian unsur hara dan kemampuan akar menyerap unsur hara tersebut, kemungkinan berpengaruh terhadap penghambatan pertumbuhan tanaman uji (Tabel 1). Hal ini berkaitan dengan perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan, yang menyebabkan keterbatasan air sebagai pelarut unsur hara, sehingga kemampuan akar untuk menyerap unsur hara tersebut menjadi turun. Penurunan penyerapan hara dan air oleh akar, mengakibatkan suplai zat-zat yang dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman tidak terpenuhi, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (Sharma dan Flotcher 2002).

Berbeda dengan tajuk, perlakuan cekaman kekeringan justru meningkatkan panjang akar pada keempat tumbuhan yang diamati. Peningkatan panjang akar terlihat secara nyata terjadi pada Echinochloa dan padi gogo sedangkan pada caisim dan bayam juga cenderung meningkat, namun tidak berbeda nyata antara kekeringan dengan kontrol. Peningkatan tertinggi terjadi pada echinochloa yaitu dari 32,5 menjadi 50 cm sedangkan terendah caisim dari 9,9 menjadi 14,3 cm (Tabel 1). Peningkatan panjang akar akibat cekaman kekeringan merupakan respon tumbuhan sebagai bentuk adaptasi terhadap kekeringan yang terkait dengan kemampuan akar untuk memperoleh air tanah pada zona yang lebih dalam (Taiz dan Zeiger 2002).

Walaupun panjang akar bertambah, akan tetapi pertumbuhan akar secara lateral tidak berkembang. Hal ini yang mungkin menyebabkan tidak bertambahnya bobot kering akar tumbuhan uji. Bahkan cenderung terjadi penurunan pada bobot kering akar akibat cekaman kekeringan (Tabel 2).

Kramer (1995) menambahkan bahwa akar pada tumbuhan yang terdapat pada tanah kering berfungsi sebagai sensor utama terhadap cekaman air. Perubahan kandungan air tanah akan dapat menyebabkan perubahan metabolisme akar seperti; produksi sitokinin, peningkatan produksi ABA, dan gangguan metabolisme nitrogen yang akan mengirim sinyal biokimia ke tajuk. Sinyal ini akan menginduksi terhambatnya pertumbuhan tajuk sehingga terjadi perubahan-perubahan pada tumbuhan seperti; penghambatan pertumbuhan, konduktan stomata dan laju fotosintesis, tanpa memperhatikan status air daun (Kramer dan Boyer 1995).

Tajuk akan tumbuh sedemikian sampai pengambilan air oleh akar menjadi pembatas pertumbuhan selanjutnya, sebaliknya akar akan tumbuh sampai permintaan untuk fotosintat dari tajuk sama dengan suplai fotosintat ke bagian-bagian tumbuhan seperti ke biji (Lambers et al. 1997) . Hal ini dilakukan tumbuhan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi kekeringan. Penghambatan pertumbuhan ini terkait dengan distribusi fotosintat yang dibutuhkan organ tumbuhan. Selain itu juga terkait dengan kemampuan akar untuk mencari air yang lebih ke dalam tanah (Taiz dan Zeiger 2002).

Wu dan Cosgrove (2000) menyatakan bahwa mekanisme fisiologi dan molekuler yang membantu pertumbuhan akar di bawah kondisi kekeringan dapat

34

terlihat antara lain pada perubahan dinding sel. Pada bagian akar ini akan terjadi peningkatan aktivitas pemanjangan dan juga terdapat enzim yang dapat menginduksi pemanjangan akar dan perubahan dinding sel akar yang lebih kompleks.

Pengaruh kekeringan terhadap luas daun

Perlakuan cekaman kekeringan dapat menghambat pertumbuhan luas daun. Penghambatan pertumbuhan luas daun akibat cekaman selama 12 HSP pada padi gogo, caisim, dan bayam berturut-turut 54,6 cm, 84,8 cm, 126,7 cm dan Echinochloa sebesar 134,3 cm pada 14 HSP dibanding masing-masing kontrol berturut-turut sebesar 64,4 cm, 167,1 cm, 215,8 cm dan 148,6 cm (Gambar 8). Hal ini dapat dipahami bahwa caisim dan bayam adalah tanaman berdaun lebar yang memungkinkan penguapan per satuan luas daun lebih besar dibanding dengan Echinochloa dan padi gogo yang memiliki tipe berdaun sempit. Penghambatan pertumbuhan luas daun ditunjukkan pula oleh data anatomi baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Tabel 3 dan Gambar 9).

Gambar 8 Luas daun padi gogo, caisim, Echinochloa, dan bayam mulai 0 hingga 12 HSP dan recovery. Tanda panah menunjukkan titik rewatering.

Padi gogo 0 50 100 150 200 0 3 6 9 12 14 L u a s D a u n (c m ) Echinochloa 0 3 6 9 12 14 16 Caisim 0 50 100 150 200 250 0 3 6 9 12 14

Hari setelah Perlakuan

L u a s D a u n (c m ) Kontrol Bayam 0 3 6 9 12 14

Hari setelah Perlakuan

Apabila asupan air dari akar ke daun tidak terpenuhi seperti pada perlakuan kekeringan, maka dapat menurunkan laju fotosintesis tumbuhan di daun (Gambar 6B). Penghambatan pertumbuhan luas daun merupakan respon pertama tumbuhan terhadap kekeringan. Keterbatasan air karena penurunan KAM dan KAR akan menghambat pemanjangan sel yang secara perlahan-lahan akan menghambat pertumbuhan luas daun. Luas daun pada tumbuhan sangatlah penting, karena luas daun dapat mempengaruhi absorbsi cahaya yang digunakan dalam proses fotosintesis. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya penurunan laju fotosintesis pada tingkat tajuk tumbuhan, sehingga produksi menjadi turun (Sitompul dan Guritno 1995). Dengan demikian cekaman kekeringan tidak hanya berpengaruh pada nisbah berat daun per satuan luas daun, tetapi juga total fotosintesis dari tajuk tumbuhan (Szilagyi 2003).

Produksi bahan kering tumbuhan

Perlakuan cekaman kekeringan juga menurunkan bobot kering tajuk tumbuhan uji seperti halnya pada penurunan tinggi tajuk. Penurunan bobot tajuk secara nyata terjadi pada tumbuhan berdaun sempit (padi gogo dan Echinochloa) dibandingkan kontrolnya (Tabel 2).

Tabel 2 Bobot tajuk, bobot akar, bobot biji/pot tumbuhan C3 (padi gogo dan caisim), dan C4 (Echinochloa dan bayam) pada perlakuan kontrol (K0) dan cekaman

kekeringan (K1).

Tumbuhan C3 Tumbuhan C4

Padi Caisim Echinochloa Bayam

Bobot kering K0 K1 K0 K1 K0 K1 K0 K1 Tajuk (g) Akar (g) Biji (g) 24,5d 7,7bc 24,4d 18,0c 3,7ab 13,1c 3,4ab 1,1a 2,2a 1,2a 0,5a 1,2a 31,3e 9,4c 11,8c 19,7cd 8,0bc 6,6b 8,1b 2,5ab 10,8c 3,0ab 1,0a 6,4b Ket: Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris, menunjukkan tidak berbeda nyata taraf 5% pada uji

lanjut tukey.

Kekeringan juga menyebabkan penurunan pada bobot kering akar. Pada umumnya perbedaan bobot kering akar tidak nyata terjadi antara cekaman kekeringan dengan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekeringan lebih besar pengaruhnya terhadap penurunan bobot kering tajuk dibanding penurunan

Dokumen terkait