• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan antibodi (IgY) dalam serum dapat dideteksi dengan pengujian AGPT. Hasil AGPT ditunjukkan pada Tabel 1.

4.1 Produksi Antibodi (IgY) Anti Koi Herpesvirus (KHV) pada Serum Ayam

Tabel 1 Hasil AGPT pada serum Hasil AGPT (Minggu ke-) Metode I II 0 * * 1 * * 2 * * 3 * * 4 + + 5 + + 6 + + 7 + + 8 + + 9 + + 10 + + Ket :

Minggu ke-0 : Minggu sebelum vaksinasi

Minggu ke-1 dst : Minggu setelah vaksinasi terakhir

- : Tidak terjadi presipitasi

+ : Terjadi presipitasi

* : Tidak dilakukan pengujian

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa sampel serum minggu ke 0-3 (sebelum vaksinasi) menunjukkan hasil AGPT negatif pada kedua ayam yang ditandai tidak terbentuknya garis presipitasi (Gambar 4 B) karena belum dilakukannya pengujian serum (pengumpulan serum). Pembentukan antibodi kedua ayam ditunjukan oleh adanya reaksi positif dari AGPT serum ditandai dengan terbentuknya garis presipitasi (Gambar 4 A) yang diperoleh setelah vaksinasi ketiga pada minggu keempat sebelum vaksinasi terakhir. Sistem imun ayam sangat responsif terhadap

22

protein asing atau mikroorganisme yang memaparnya (akibat vaksinasi atau infeksi alami) (Davis & Reeves 2002, dalam Rawendra 2005). Menurut Carlander (2002) ayam memiliki sensitivitas tinggi terhadap protein asing sehingga walaupun dalam jumlah sedikit dapat memberikan respon pembentukan antibodi. Keberadaan Hadrian gland didaerah nasotrakheal dan Bursa Fabricius juga memungkinkan unggas sangat responsif terhadap berbagai protein asing (Coleman 2002, dalam Rawendra 2005).

Reaksi positif hasil AGPT pada metode I berlangsung sampai minggu ke-10 (antibodi bertahan selama 7 minggu) sampai pengujian terakhir. Penurunan produksi antibodi dapat terjadi apabila jumlah antigen berkurang sehingga tidak mampu menggertak sistem kekebalan. Respon imun primer terjadi apabila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah kira-kira 7 hari. Enam sampai 7 hari setelah pemaparan dalam serum mulai dapat dideteksi adanya IgG, kadar IgG mencapai puncaknya yaitu 10 – 14 hari setelah pemaparan antigen (Wibawan et al. 2003) dan menurut Bellanti (1993) reaksi antibodi akan terbentuk 10 – 14 hari pasca injeksi. Sedangkan pada metode II hasil AGPT juga positif sampai minggu ke-10 (keberadaan antibodi bertahan selama 7 minggu). Untuk minggu-minggu berikutnya pada metode II tidak dilakukan lagi pengujian.

Pembentukan antibodi dipengaruhi beberapa faktor diantaranya : imunogenesitas, kualitas, bentuk kelarutan stimulan, spesies hewan yang di imunisasi, rute aplikasi, dan sensitifitas assay. Pada metode I dilakukan secara intramuskular dengan penambahan freund adjuvan komplit dan freund adjuvan inkomplit. Adjuvan merupakan substansi yang apabila dicampurkan antigen dapat meningkatkan imunogenitas antigen tersebut. Freund adjuvan terdiri dari campuran minyak mineral dan pengemulsi, adjuvan yang mengandung larutan minyak mineral dan zat emulsi seperti Mannide monooleate (freund adjuvan inkomplit) mengedarkan minyak menjadi droplet kecil mengelilingi antigen. Kemudian antigen dilepaskan secara perlahan dari tempat penyuntikan. Sedangkan campuran minyak mineral dan zat emulsi yang mengandung mikobakteria dengan komponen tambahan Muramyl dipeptida (freund adjuvan komplit). Muramyl dipeptida dapat mengganti mikobakteria dalam emulsi

23

minyak, dan mengaktivasi makrofag sehingga freund adjuvan komplit lebih kuat dari freund adjuvan inkomplit (Kuby 1997; Smith 1995). Penambahan adjuvan juga mempertahankan keberadaan antigen dalam tubuh sehingga dapat menyediakan rangsangan antigenik yang lama. Adjuvan dapat efektif pada setiap tingkat proses imunisasi yang dapat memodifikasi imunogen atau bekerja pada tingkat sel dari respon imun inang. Pada tingkat sistem imun inang, penambahan adjuvan dapat memodifikasi membran sel (mengaktifkan agen di permukaan) sehingga mempermudah pengikatan imunogen ke makrofag dan limfosit, merangsang aktivitas sel yang terlibat dalam respon imun terutama fagositosis oleh makrofag, dan membentuk depot imunogen sehingga memperlambat pelepasannya dari lokasi inokulasi (Smith 1995). Keberadaan antigen yang berkesinambungan bertujuan untuk meningkatkan produksi antibodi dan mempertahankan keberadaan antibodi untuk waktu yang lama di dalam tubuh. Hal yang sama dilakukan pada metode II tetapi imunisasi dilakukan secara intravena dan intramuskular sehingga mampu merangsang terbentuknya respon imun sekunder dan antibodi yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan pada respon imun primer. Penyuntikan antigen menyebabkan terbentuknya antibodi yang bereaksi dengan antigen, antibodi hanya berikatan dengan antigen yang merangsang pembentukannya (Tizard 1988). Jenis adjuvan sangat mempengaruhi rute injeksinya, tetapi apabila menggunakan adjuvan yang diserap lambat terutama freund adjuvan sebaiknya tidak diberikan secara intravena. Aplikasi penyuntikan melalui intravena dan intramuskular dengan penambahan freund adjuvan komplit pada metode II merangsang respon antibodi yang kuat untuk waktu yang lama dengan membebaskan tetes-tetes emulsi dengan perlahan dan merangsang fungsi makrofag serta dapat mempercepat proses induksi sehingga antigen cepat menyebar dalam darah dan segera merangsang terbentuknya antibodi (Smith 1995). Sedangkan aplikasi penyuntikan melalui intramuskular dengan penambahan freund adjuvan komplit maupun freund adjuvan inkomplit pada metode I diharapkan agar penderitaan hewan minimum dan dapat merangsang pembentukan antibodi yang berkesinambungan dan dalam jumlah yang lebih banyak ( Bellanti 1993; Smith 1995)

24

A. B.

Gambar 4 (A) Reaksi positif dari AGPT serum pada minggu ke-6 metode I, terdapat garis presipitasi antara sumur antigen (a) dan sumur antibodi (b) dari serum ayam yang divaksinasi KHV (1-6). (B) Reaksi negatif dari AGPT serum, tidak terdapat garis presipitasi antara sumur antigen (a) dan sumur antibodi (b) dari serum ayam yang divaksinasi KHV (1-6)

Antibodi yang direaksikan dengan antigen spesifik membentuk kompleks yang tidak larut (presipitat) diukur dengan reaksi presipitasi. Hal yang paling menentukan adalah spesifisitas antiserum yang digunakan, dan larutan standar yang stabil dengan kadar yang pasti serta afiditas antibodi. Afiditas antibodi menentukan derajat stabilitas kompleks antigen-antibodi pada tempat pengikatan (antigen dinding site); kompleks yang tarbentuk cenderung berdisosiasi bila antibodi mempunyai afiditas yang lemah, sebaliknya makin tinggi afiditas antibodi makin stabil kompleks antigen-antibodi yang terbentuk. Faktor-faktor lain yang berpengaruh yaitu suhu, pH dan molaritas larutan yang dipakai serta perbandingan antara konsentrasi antigen dan antibodi (Kresno 2001). Apabila digunakan beberapa campuran antigen-antibodi, setiap komponen akan mencapai proporsi optimal pada posisi yang tidak sama. Bila kedua garis tepat bersesuaian, maka kedua antigen dianggap identik. Bila garis-garis bersilangan, maka kedua antigen berbeda, sedangkan bila garis-garis bersatu dengan pembentukan taji, maka terdapat identitas parsial dengan masing-masing antigen mempunyai determinan antigen bersama (Tizard 1988).

Garis presipitasi b b b b b b b b b b b a a

25 Zona proporsi optimal Jumlah presipitat yang terbentuk (mg) 0 0,5 1 1,5 1 2 3 4 Zona antibodi berlebihan Zona antigen berlebihan

Jumlah antigen yang bertambah (mg)

Gambar 5 Kurva presipitasi kuantitatif yang menunjukkan efek dari penambahan jumlah antigen yang meningkat terhadap jumlah antibodi yang konstan ( Tizard 1988)

Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan melarutnya kembali kompleks yang terbentuk, sedangkan antibodi berlebihan menyebabkan kompleks antigen-antibodi tetap ada dalam larutan. Zona ekivalen merupakan daerah antigen dan antibodi dalam keadaan seimbang. Pada umumnya bila digunakan teknik imunopresipitasi yang menggunakan semisolid, diusahakan supaya reaksi presipitasi berlangsung dalam zona ekivalen, jadi antigen dan antibodi berimbang (Kresno 2001).

26

4.2 Penghitungan Konsentrasi (IgY) Anti Koi Herpesvirus (KHV) pada Serum Ayam

Tabel 2 Titer IgY pada serum Hasil AGPT minggu

ke- Metode I II 0 * * 1 * * 2 * * 3 * * 4 4 2 5 4 4 6 4 4 7 4 * 8 2 2 9 2 2 10 4 2 Ket :

Minggu ke-0 : Minggu sebelum vaksinasi

Minggu ke-1 dst : Minggu setelah vaksinasi terakhir

- : Tidak terjadi presipitasi

+ : Terjadi presipitasi

* : Tidak dilakukan pengujian

# : dilakukan booster

2, 4, 8, 16, 32, 64 : Nilai titer IgY

Pada Tabel 2 Titer antibodi (IgY) pada serum metode I mulai terlihat dari minggu ke-4 sampai minggu ke-10 dan mengalami penurunan dari minggu ke-8 sampai minggu ke-9 dan meningkat lagi pada minggu ke-10. Menurut Tizard (1988) penurunan titer ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti kondisi ayam (stress, sakit, kelelahan), lingkungan, dan nutrisi. Selain itu umur dan kondisi hipofungsi berpengaruh pada imunitas (Kresno 2001). Faktor lain yang juga mempengaruhi titer antibodi (IgY) adalah ukuran molekul antigen, kerumitan struktur kimiawi antigen, konstitusi genetik, metode pemasukan antigen, dosis antigen yang diberikan dan sifat imunogenitas dari antigen (Subowo 1993).

27

Pada serum metode II titer antibodi (IgY) mulai terlihat pada minggu ke-4 sampai minggu ke-10. Tetapi pada minggu ke-7 nilai konsentrasi IgY 0 disebabkan tidak dilakukannya pengujian, serum tidak mencukupi untuk dilakukan pengenceran. Titer IgY meningkat minggu ke-5 sampai minggu ke-6 dan mengalami penurunan pada minggu ke-8 sampai minggu ke-10, keberadaan antibodi dalam keadaan kurang stabil. Untuk mendapatkan serum dengan titer dan afiditas paling tinggi maka dosis pertama sebaiknya diberikan dalam freund adjuvan komplit, sedangkan imunisasi selanjutnya harus diberikan dalam freund adjuvan inkomplit untuk menghindari reaksi hipersensitivitas yang hebat (Goding 1986, dalam Smith).

Gambar 6 Grafik titer IgY pada serum ayam Single Comb Brown Leghorn Gambar 6 menunjukkan perbandingan grafik titer IgY pada metode I dan metode II. Grafik menggambarkan serum pada metode I cenderung lebih stabil dan berkesinambungan dibandingkan metode II. Menurut Carlander (2002) bahwa persentase titer bergantung pada kondisi individu, prosedur vaksinasi serta imunogenitas antigen. 0 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7

Hasil AGPT minggu

ke-Ti tl e r l g Y Metode 1 Metode 2

28

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

• Pada metode I antibodi spesifik KHV dalam serum dapat terdeteksi setelah vaksinasi ketiga (minggu keempat) dan bertahan sampai dengan enam minggu setelah vaksinasi terakhir. Pada metode II antibodi spesifik KHV dapat terdeteksi setelah vaksinasi ketiga (minggu keempat) dan bertahan sampai dengan 7 minggu.

• Terdapat perbedaan respon imun dari kedua aplikasi penyuntikan, dan hasil yang lebih baik ditunjukkan pada metode I.

SARAN

• Penelitian merupakan tahap awal, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi antibodi anti KHV (Koi herpesvirus) pada kuning telur ayam single comb brown leghorn. Selanjutnya produksi antibodi dapat diuji efektifitasnya dalam pencegahan dan pengobatan penyakit KHV (Koi Herpesvirus) pada ikan.

• Manajemen kandang yang lebih baik sehingga sistem respon imun ayam single comb brown leghorn yang digunakan dalam penelitian dapat berfungsi lebih efektif.

29 DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2006. http://id.wikipedia.org/wiki/Koi. [14 -07-2006]. Anonimous. 2007. http://images.google.co.id/images?hl=id&q=koi+herpesvirus& btnG= cari+gambar [23-07-2007]. Anonimous. 2007. http://www.beckmancoulter.com/products/images/IgY [23-07-2006].

Arasyi AR. 2005. Studi Viabilitas KHV (Koi herpesvirus ) diluar sel inang dengan menggunakan Kultur sel KT-2 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bellanti JA. 1993. Imunologi III. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Carlander D. 2002. Avian Ig Y antibody: In Vitro and In Vivo. [Disertasi]. Acta

Universitatis Upsaliensis. Upsala.

Daili S.F, Makes W.I. 2002. Infeksi Virus Herpes FK UI. Kelompok Studi Herpes Virus. Jakarta.

Davenport K. 2001. Koi Herpes Virus (KHV). Ornamental Aquatic Trade Association. United Kingdom.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. SK No: 1874/DPB.4/IK.225.D4/V/2002. Wabah Penyakit Pada Budidaya Ikan Mas. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Petunjuk. Pengendalian Penyakit Insang Membusuk. http://www.dkp.go.id/content.php ?c=1631. Bogor, Indonesia. [27-8-2006].

Effendy dan Hersanto 1993. Mengenal Beberapa Jenis Koi (Karper Jepang-Nishikigoi). Kanisius. Yogyakarta.

Herdiansyah Y. 2001. Produksi Antibodi Anti-Enteropathogenic Eschericia coli (EPEC) K.1.1 dari Serum dan Kuning Telur Ayam Single Comb Brown Leghorn. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnostik dan Prosedur Laboratorium. Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Kuby J. 1997. Immunology 3th ed. W.H Freeman and Company; New York.

Li-Chan ECY. 2000. Application of Egg Imunoglobulin in Immunoafinity Chromatoghrapy. Egg Nutrition and Biotechnology. Faculty of

30

Agricultural Sciences. Univ. Of British columbia. CAB International.Canada.p: 323-337.

Mulyana, A. 2006. Titer Dosis Infektif Koi Herpesvirus (KHV) Dengan Menggunakan Kultur Sel KT-2 (Koi Tail no 2).[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Mulyono R.H. 1996. Pengaruh Vaksinasi Newcastle Disease terhadap Titer Antibodi dan Fraksi Protein Serum Ayam Kampung, Pelu dan Kedu pada Umur 20-30 Minggu. [Disertasi] Institut pertanian Bogor.

OATA. 2001. Koi Herpes Virus (KHV). http://www.ornamentalfish.org

Rabinow P. 1998. What The Heck is PCR ? / !. http://people.ku.edu/~jbrown/pcr.html. Berkeley, California [12 Juli 2004]. Rawendra R. 2005. Imunoglobulin Y (IgY) Fraksi Larut Air (WSF) kuning Telur

Kering Beku Anti Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC). [Disertasi] Institut pertanian Bogor.

Rukyani A, Sunarto A. 2003. Makalah Seminar Penilaian Kualitas Ikan Koi : Mewaspadai Bahaya Penyakit Koi Herpesvirus (KHV). Jakarta.

Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kuntji Identifikasi Ikan. Binatjipta. Bogor.

Sano T, Fukuda H, Furukawa M, Hosoya H, Moriya Y. 1985. A Herpes Virus Isolated From Carp Papilloma In Japan. Fis Shelfish Pathology 32:307-311.

Setiadarma G.1993. Pembuatan Pellet Bervaksin Aeromonas hydropila Metode Sonikasi pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Simorangkir M. 1993. Isolasi dan Identifikasi Immunoglobulin Gama (IgG) Serum Ayam Buras dan Ayam Ras dengan Metode Komatografi Pertukaran Ion dan Imunokimia. [Disertasi] Institut Pertanian Bogor.

Syaifullah M. 2001. Satu Moyang dengan Ikan Emas. Kompas. 16 Juli 2001. Schubert G.H. 1996. The Infective Agent In Carp Pox. Bulletin Office

International Epizootie 65:1011-1022.

Smith J.R. 1995. Produksi Serum Imun. Dalam Burgess GW. (Penerjemah): Wayan. TA. Tekhnologi ELISA dalam Diagnosis Penelitian. Gajah mada University Press.

31

Suartha N. 2003. Telur sebagai Imunoterapi. [Makalah]. Pascasarjana. Bogor. http;//rudyct.tripod.com/pps702_71034/71034_14.htm [12 Mei 2006]

Subowo. 1993. Imunobiologi. Penerbit Angkasa: Bandung

Sugiri N. 1992. Biologi Sel vol 1. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor.

Sunarto A, Rukyani A, Hami T. 2005. Indonesia Experience On The Outbreak Og KHV In Koi And Carp (Cyprinus carpio). Bulletin Of Fisheries Research Agency.

Sunarto A. 2004. Epidemiology, Diagnostic and Preventive Practices for Koi Herpesvirus (KHV) in Indonesia. Tokyo University of Marine Science and Technology. Fisheries Research Agency.

Sunarto A, Rukyani A, Itami T. 2005. Indonesian Experience on The Outbreak of Koi Herpesvirus in Koi and Carp (Cyprinus carpio). Bulletin of Fisheries Research Agency.

Susanto H. 2002. Koi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Svendsen BL, Hau J. 1995. Chickens Eggs in polyclonal Antibody Production. Scand J Lab Anim Sci. 23: 85-91.

Tizard. 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Terjemahan: Dr. Masduki Partodirejo. Airlangga University: Surabaya.

Wibawan IWT, Soejoedono RD, Damayanti Cs, Tauffani TB. 2003. Diktat Imunologi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Yosha S. 2003. Update On Koi Herpesvirus (KHV) For The Koi Hobbyist. KOI

Alat-alat yang digunakan selama penelitian

Refrigerator (Sanyo Medicool)

Water bath (Eyela)

Vortex (Maxi mix II)

Microwave

Gel puncher

Kandang ayam

Sentrifuge

Microplate

In

kubator

Deep freezer (Sanyo Ultralow)

Micropipet (10-100 µl), tip,

microtube1,5 ml

Dokumen terkait