Kondisi Lokasi dan Rusa Penelitian
Kondisi lokasi penelitian yang berada di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Jakarta merupakan tempat yang sangat ideal dalam melakukan penelitian, dimana telah terdapat fasilitas pendukung berupa kandang permanen yang terbuat dari bahan-bahan (besi) yang sengaja dibuat untuk jangka waktu pemakaian yang cukup lama dan lebih pada jaminan keselamatan satwa itu sendiri dan bagi para pengunjung yang ingin menambah wawasan pengetahuan terhadap berbagai macam satwa (yang dilindungi maupun yang tidak) di TMR tersebut. Disis i lain fasilitas penanganan kesehatan hewanpun telah cukup memadai dengan disediakannya tempat-tempat isolasi bagi satwa baru atau yang dicurigai mengidap suatu penyakit dan satwa yang mengalami kecelakaan sehingga perlu penanganan khusus untuk proses penyembuhan.
Jaminan terhadap kesehatan satwa didukung pula oleh tenaga-tenaga perawat dan tenaga-tenaga medis yang cukup trampil dalam menangani satwa itu sendiri. Sementara untuk pemberian pakan telah terorganisir dengan baik dengan disediakannya fasilitas angkutan dan lahan hijauan yang cukup luas sebagai cadangan pakan. Pengadaan rusa yang digunakan pada penelitian ini adalah rusa timor yang berada dalam satu kelompok dalam jumlah banyak yang terdiri dari jantan, betina serta anak-anak rusa yang dipisahkan dari kelompok rusa lain yang spesiesnya berbeda untuk menghindari adanya perkawinan antar rusa yang berbeda spesiesnya.
Berbagai macam hambatan yang ditemui dalam melakukan pemisahan rusa yang digunakan dalam penelitian, diantaranya adalah sulitnya menentukan status reproduksi rusa betina yang dicampur dengan rusa jantan dan dengan kondisi yang masih agak liar. Upaya yang bisa dilakukan untuk melakukan seleksi adalah dengan menggunakan pembiusan terhadap rusa-rusa betina yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kebuntingan dengan menggunakan USG. Cara ini masih dianggap cukup efektif mengingat rusa yang masih agak liar tidak mungkin melakukan USG hanya dengan hanya memasukkan rusa ke kandang jepit tanpa pembiusan.
Dari awal pelaksanaan seleksi terhadap rusa betina yang akan digunakan sebagai materi penelitian diperoleh 15 ekor yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kebuntingan (USG). Rusa yang dalam kondisi bunting tidak dimasukkan dalam kandang penelitian yang telah disediakan sebelumnya (terpisah dari kelompok). Rusa yang dicurigai tidak bunting langsung dipindahkan, dari 15 ekor diperoleh sebanyak 13 ekor. Dari jumlah tersebut kemungkinan akan berkurang dengan adanya seleksi lanjutan di kandang penelitian. Untuk melihat status reproduksi rusa betina di kandang penelitian dilakukan pengamatan siklus estrus alamiah, disamping itu proses adaptasi (penjinakan) terus dilakukan. Seiring dengan berjalannya waktu ternyata ditemukan beberapa rusa yang tidak layak sebagai materi penelitian yang disebabkan oleh kondisi rusa yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dikembalikan dan dikembalikan ke kelompok asalnya. Dari proses adaptasi yang dilakukan selama beberapa bulan diperoleh rusa-rusa betina yang telah memenuhi kriteria untuk diberi perlakuan dalam penelitian. Sedangkan pada saat mendekati perlakuan masih didapati rusa yang dalam kondisi sulit untuk dikendalikan dan sering membuat rusa lainnya yang telah jinak sering terus ik, inipun tetap dikeluarkan dan dikembalikan pada kelompok asalnya. Pada akhirnya diperoleh jumlah rusa (enam ekor) yang sesuai dengan kebutuhan penelitian.
Beberapa sifat rusa yang perlu diperhatikan untuk menghindari kecelakan baik terhadap rusa itu maupun bagi perawatnya (pegawai) yaitu, sifat rusa yang begitu peka/curiga terhadap perubahan-perubahan di lingkungannya. Perawat yang sudah terbiasa dengan warna pakaian yang sama sepanjang proses penanganan rusa akan dengan mudah dikenali oleh rusa. Sebaliknya dengan kondisi pakaian yang berbeda dengan perawat yang sama tetap akan memberikan reaksi tertentu dari rusa, misalnya kecenderunga n sifat liarnya muncul dengan menabrak dinding kandang untuk mencari jalan keluar atau dengan meloncat setinggi-tingginya dan ini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan rusa. Akibatnya rusa akan mengalami luka dan rontoknya bulu dalam jumlah yang banyak akibat benturan-benturan. Kondisi rusa yang selalu panik akibat kesalahan yang sekecil apapun selalu berakibat fatal pada kondisi tubuh rusa.
Dengan penanganan yang tekun dan sabar, proses adaptasi terhadap rusa bisa dilaksanakan dengan cara memahami karakter dari rusa itu sendiri. Beberapa kiat yang bisa dilakukan antara lain adalah (1) rusa dipuasakan pada saat pertama memasuki kandang penelitian (adaptasi) dengan harapan pada saat membutuhkan makanan rusa telah mengenal perawat yang datang dengan membawa makanan; (2) diusahakan kandang yang digunakan tidak terlalu luas untuk menghindari ruang gerak dari rusa, sehingga dalam kondisi tersebut rusa tidak mempunya i kesempatan untuk menabrak dinding kandang; (3) beberapa hari pertama dikandang adaptasi selalu tersedia pakan yang cukup dan air minum secara ad-libitum; (4) tidak melakukan gerakan-gerakan yang dapat membuat rusa curiga; (5) berusaha untuk selalu memegang punggung rusa atau kepalanya (dalam kandang) untuk mempermudah penaganan setela h dikandang yang lebih luas; (6) menggunakan peralatan kandang yang sama setiap hari dengan warna yang cenderung gelap; (7) menyediakan tempat kubangan pada kandang yang lebih luas, ini berhubungan dengan sifat rusa itu sendiri yang selalu berkubang pada kondisi cuaca panas; (8) hijauan yang diberikan diusahan dalam bentuk segar, hijauan yang segar akan selalu merangsang konsumsi hijauan yang baik pada rusa; (9) pemberian pakan tambahan (konsentrat) maupun jenis kacang-kacangan dan ubi- ubian sangat membantu pemenuhan kebutuhan nutrisi rusa dalam kandang adaptasi; (10) sesering mungkin berada disekitar kandang rusa untuk lebih membiasakan rusa mengenal perawat dan (11) melakukan adaptasi rusa yang paling efektif agar mudah penanganannya adalah dengan memisahkan anak-anak rusa yang masih berumur dua bulan dan ditempatkan dalam kandang tersendiri, sehingga akan diperoleh rusa yang jinak karena penangan yang lebih awal.
Pengaruh Pemberian Hormon Progesteron dan Kombinasinya dengan PMSG
Respons Timbulnya Estrus
Gejala yang muncul pada betina yang berada pada fase estrus dan siap untuk dikawinkan, baik secara alamiah maupun dengan IB adalah merupakan tingkah laku estrus. Sedangkan respons timbulnya estrus dapat didefinisikan sebagai persentase betina ya ng estrus yang dicapai serta kecepatan munculnya
estrus (onset) yang teramati sejak pencabutan hormon progesteron sampai betina menunjukkan gejala-gejala klinis awal seperti pembengkakan pada vulva, keluarnya lendir, diam bila dinaiki dan menaiki betina la innya. Estrus itu sendiri merupakan suatu kegiatan fisiologik pada hewan betina yang dimanifestasikan dengan memperlihatkan gejala keinginan kawin.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan respons estrus yang cukup baik. Dari enam ekor rusa betina yang digunakan dalam penelitian ini semuanya memperlihatkan gejala estrus yang hampir sama dengan gejala estrus pada ternak sapi dan domba/kambing. Rataan persentase betina estrus yang diperoleh adalah sebesar 100% atau keseluruhan betina yang diberi perlakuan menunjukkan gejala estrus yang sama meskipun gejala estrus yang teramati tidak muncul secara bersamaan (Tabel 3). Tingginya respons estrus yang diakibatkan oleh perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG dapat dipahami karena progesteron yang diberikan akan menghambat lonjakan LH dari hipofisis anterior melalui mekanisme umpan balik negatif, dan setelah hormon progesteron dilepas akan terjadi pelepasan LH yang menstimulir pematangan folikel. Demikian halnya dengan PMSG yang memiliki aktivitas FSH tinggi sehingga mampu merangsang pertumbuhan maupun pematangan folikel, disamping itu PMSG juga memiliki aktivitas LH yang akan secara sinergis mempengaruhi folikel ovarium mencapai ukuran matang (Turner dan Bagnara 1988).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kaneko et al. (1991) bahwa percobaan dengan menggunakan hormon progesteron eksogenus dalam bentuk apa saja, jika dilakukan lebih dari tujuh hari (antara 12 sampai 16 hari atau rata-rata 14 hari) akan menghasilkan respons sinkronisasi estrus yang lebih bagus, bahkan mencapai persentase estrus pada ternak sebesar 100%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap persentase estrus.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilaporkan oleh Asher (1998) pada sinkronisasi estrus pada rusa fallow yang menggunakan hormon yang sama memiliki respons estrus yang tinggi (98 - 100%). Perlakuan sinkronisasi
estrus menggunkan hormon progesteron tunggal pada rusa merah ternyata kurang efektif dan dilaporkan 75% gagal berespons (Asher et al. 1992). Pada rusa totol yang dilaporkan oleh Mylrea et al. (1992) menunjukkan sinkronisasi dengan hormon yang sama memberikan respons estrus hanya 60%. Sedangkan rataan respons estrus pada rusa timor yang dilaporkan Nalley (2006) dengan menggunakan hormon progesteron sebesar 82,22% lebih rendah dari hasil yang diperoleh dari penelitian ini.
Tabel 3 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap persentase estrus
Perlakuan Jumlah rusa (ekor)
Persentase estrus Estrus Tidak estrus ……(n, %)……
Progesteron (P4) 2 2 (100)a - P4 + PMSG 150 IU 2 2 (100)b - P4 + PMSG 300 IU 2 2 (100)c - Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil superscript yang tidak sama menunjukkan beda
nyata (P < 0,05).
Untuk memperoleh hasil sinkronisasi estrus yang maksimal pada rusa sebaiknya dikombinasikan dengan preparat hormon lain (Asher et al. 1992). Namun pendapat ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jabbour (1993) bahwa sinkronisasi estrus pada rusa dengan cara mengkombinasikan hormon progesteron dengan hormon lain belum tentu memberikan respons estrus yang lebih baik. Hal ini terbukti dari respons estrus yang muncul dengan menggunakan hormon progesteron memberikan respons estrus sebesar 100%, sedangkan dikombinasikan dengan PMSG 50 IU menunjukkan respons estrus yang lebih rendah, yaitu 90%. Kenyataan pada hasil penelitian ini dengan me nggunakan hormon progesteron tunggal maupun dikombinasikan dengan PMSG memberikan respons yang tinggi 100%. Kemungkinan disebabkan dosis PMSG yang digunakan lebih tinggi (150 IU dan 300 IU). Apabila dibandingkan dengan ternak domba (Feradis 1999) dan pada kambing (Ngangi 2002) dilaporkan bahwa penggunaan hormon progesteron
dengan atau tanpa kombinasi dengan hormon lain dapat me mberikan respons estrus yang tinggi hingga 100%.
Onset (timbulnya) estrus pada ketiga perlakuan dalam penelitian ini adalah 22 - 24 jam atau rata-rata 23,33 jam (Tabel 4). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap onset estrus. Angka ini lebih lama dibandingkan dengan onset estrus pada rusa fallow
yang dilaporkan oleh Jabbour et al. (1992) yang rata-rata 20,0 jam. Akan tetapi hasil penelitian ini lebih cepat dibandingkan dengan penelitian pada rusa timor yang dilaporkan oleh Nalley (2006) dengan rataan onset estrus sebesar 25,33 jam dan rata-rata 24 jam pada rusa ekor putih (Anonimous 2004).
Sedangkan Jabbour et al. (1994) melaporkan bahwa pada rusa merah onset estrus lebih lama dan dapat mencapai rata-rata 43,6 jam dan 34,5 - 42,14 jam pada rusa yang sama dilaporkan oleh Argo dan Loudon (1992) dengan mengkombinasikan CIDR-G dan estrumate (PGF2a). Pada rusa sambar, onset estrus terjadi rata-rata 54 jam setelah pencabutan CIDR-G (Semiadi et al. 1998).
Tabel 4 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya
dengan PMSG terhadap onset (timbulnya) estrus
Perlakuan Jumlah rusa (ekor)
Onset estrus (jam)
< 24 jam 24 - 30 jam >30 jam ……(n, %)……
Progesteron (P4) 2 - 2 (100)a -
P4 + PMSG 150 IU 2 - 2 (100)b - P4 + PMSG 300 IU 2 2 (100)c - -
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil superscript yang tidak sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05).
Pemberian hormon progesteron secara tunggal dan kombinasinya dengan PMSG telah memberikan hasil yang diharapkan (estrus). Fenomena ini menggambarkan bahwa selama pemberian hormon progesteron (eksogenus) berlangsung cukup menekan aktivitas estrus pada rusa betina percobaan. Pada pemberian hormon progesteron selama 14 hari telah mampu menekan lonjakan LH (pematangan folikel) dan estrogen, sehingga estrogen yang bertanggung jawab
24 24 22 21 21.5 22 22.5 23 23.5 24 24.5 Perlakuan
Onset etrus (jam)
Progesteron (P4) P4 + PMSG 150 IU P4 + PMSG 300 IU
terhadap timbulnya manifestasi tingkah laku estrus dalam konsentrasi yang rendah. Sebaliknya ketika hormon progesteron dilepas, maka konsentrasi estrogen akan meningkat dalam waktu yang sangat singkat dan hambatan terhadap lonjakan LH akan hilang.
Apabila rusa percobaan berada dalam kondisi memiliki CL dan bersamaan dengan pemberian perlakuan, berarti pada saat bersamaan pula rusa-rusa tersebut memiliki progesteron endogen. Dengan demikian progesteron endogen dan eksogen akan bekerja sama dalam menekan estrus tanpa melihat seberapa lama progesteron eksogen diberikan. Progesteron dari CL akan bereaksi bersama progesteron eksogen melalui penekanan pada output gonadotropin dari hipofisis anterior. Sehingga perlakuan progesteron eksogen akan memberi peluang hidup bagi CL lebih panjang. Penghilangan perlakuan akan berakibat pada beregresinya CL secara spontan. Proses hilangnya CL diantara perlakuan yang relatif hampir bersamaan menyebabkan respons estrus pada masing- masing perlakuan relatif hampir sama. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat onset estrus relatif lebih lama pada perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU (24 jam) dibandingkan perlakuan dengan kombinasi PMSG 300 IU sebesar 22 jam (Gambar 5).
Munculnya estrus akan cenderung lebih cepat dengan intensitas lebih tinggi apabila hormon progesteron dikombinasikan dengan PMSG dua hari sebelum hormon progesteron dilepas. Hal ini diduga karena secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang mirip dengan FSH dan LH. PMSG merupakan hormon glikoprotein dengan berat molekul 60.000 Dalton yang terdiri atas dua sub unit, yaitu sub unit a dan sub unit ß. PMSG memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi terutama pada gugus asam sialat. Konsentrasi asam sialat yang tinggi ini diduga menyebabkan masa paruh PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang lainnya (Reeves 1987).
Perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG yang dapat menyebabkan tingginya respons estrus dapatlah dipahami karena pregesteron yang diberikan secara otomatis akan menghambat pelepasan LH dari hipofisis anterior melalui umpan balik negatif dan setelah hormon progesteron dilepas akan terjadi lonjakan LH yang menstimulir pematangan folikel de Graff. Perkembangan folikel dari primer menjadi sekunder berlangsung satu sampai tiga hari (Adams et al. 1992). Demikian halnya dengan PMSG yang memiliki aktivitas FSH yang tinggi dan sedikit LH akan mampu me rangsang perkembangan maupun pematangan folikel. Progesteron dan kombinasinya dengan PMSG meningkatkan konsentrasi FSH dan LH yang bekerja secara sinergis dalam pertumbuhan dan pematangan folikel kemudian menghasilkan konsentrasi estrogen yang tinggi dan pada akhirnya menimbulkan gejala- gejala estrus.
Akan tetapi hal ini tergantung pada konsentrasi gonadotropin (FSH dan LH) dalam plasma darah, sehingga saat hormon progesteron dilepas folikel sekunder akan semakin meningkat oleh karena efek hambatan dari progesteron hilang bersamaan dengan estrogen mulai disintesis yang akan mempercepat timbulnya estrus dan terjadi ovulasi Fortune (1993) dan Savio et al. (1995). Pada umumnya PMSG memiliki efek sekitar tiga sampai empat hari sesudah penyuntikan (Dielemen et al 1993), sedangkan produksi gonadotropin in vivo
akan terjadi dua atau tiga hari setelah hormon progesteron dilepas. Dengan demikian PMSG yang diberikan secara eksogen akan memperlihatkan pengaruh yang bersamaan waktunya bahkan lebih memperjelas kerja hormon go nadotropin
ganda dari dua sumber gonadotropin tersebut akan merangsang secara intensif terjadinya proses pertumbuhan dan perkembangan folikel yang berakhir dengan timbulnya estrus dan ovulasi.
Sebaliknya apabila pemberian PMSG baru dilakukan setelah perlakuan hormon progesteron dilepas, maka gonadotropin yang dihasilkan oleh hilangnya umpan balik negatif progesteron akan terlebih dahulu menyebabkan perkembangan beberapa folikel dalam waktu dua sampai tiga hari, sedangkan gonadotropin yang berasal dari PMSG baru akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan folikel satu atau dua hari kemudian, sehingga akan mengacaukan onset estrus dengan intensitas yang rendah.
Lama Estrus dan Intensitas Estrus
Lama estrus dapat dihitung sejak rusa menunjukkan gejala klinis, terutama gejala perubahan pada vulva sampai pada gejala tingkah laku (gejala diam dinaiki) tidak terlihat lagi atau jarak antara waktu timbulnya estrus dengan berakhirnya estrus yang dihitung dalam jam.
Tabel 5 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap lama estrus
Perlakuan
Jumlah rusa (ekor)
Kisaran lama estrus (jam) < 24 jam 24 - 30 jam >30 jam
……(n, %)……
Progesteron (P4) 2 - 2 (100)a - P4 + PMSG 150 IU 2 - 2 (100)b - P4 + PMSG 300 IU 2 - - 2 (100)c Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil superscript yang tidak sama menunjukkan beda nyata (P < 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU memberikan hasil yang sama dengan lama estrus 30 jam, sedangkan pada perlakuan hormon progesteron yang dikombinasikan dengan PMSG 300 IU selama 34 jam (Tabel 5). Secara keseluruhan diperoleh lamanya estrus berkisar antara 30 sampai 34 jam dengan rataan 31,33 jam. Adanya kesamaan lama estrus pada perlakuan pertama dan
30 30 34 28 29 30 31 32 33 34 35 Perlakuan
Lama etrus (jam)
Progesteron (P4) P4 + PMSG 150 IU P4 + PMSG 300 IU
kedua kemungkinan disebabkan oleh rendahnya dosis PMSG (150 IU) yang dikombinasikan dengan hormon progesteron, sehingga hasil yang diperoleh tidak berbeda (sama), dimana dosis yang dianjurkan untuk ternak kambing atau domba yang menjadi acuan penggunaan bagi rusa adalah antara 300 - 600 IU.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P < 0,05) terhadap lamanya estrus. Hasil ini lebih lama bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada rusa timor yang dilaporkan oleh Nalley (2006) yang memperoleh rataan lama estrus 28 jam dan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Guiness et al. (1971) pada rusa merah yang sering melebihi 24 jam. Sedangkan menurut Fennesy et al. (1985) bahwa lama estrus pada rusa berkisar antara 12 sampai 14 jam. Lama estrus pada rusa timor hasil penelitian ini lebih singkat dibandingkan dengan lama estrus pada rusa fallow, yakni selama 34,1 – 46,0 jam (Asher et al. 1990). Pada rusa sambar dilaporkan oleh Semiadi et al. (1998) yakni rata-rata 48 jam dan rusa bawean yang disuntik dengan PGF2a
dilaporkan oleh Rukman (1990) mencapai lama estrus lebih dari 24 jam. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat lama estrus relatif lebih tinggi (34 jam) pada perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG 300 IU dibandingkan perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU yang hanya 30 jam (Gambar 6).
Intensitas estrus dapat didefenisikan sebagai penentuan taraf aktivitas tingkah laku kawin yang muncul dan nampak dari luar selama proses estrus berlangsung akibat adanya perlakuan terhadap rusa-rusa percobaan. Pada penelitian ini, intensitas estrus dikategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu (1) intensitas rendah (skor satu), rusa tidak memperlihatkan sebagian besar tanda-tanda estrus; (2) intensitas sedang (skor dua), rusa memperlihatkan beberapa tanda-tanda estrus kecuali gejala diam dinaiki; (3) intensitas tinggi (skor tiga), rusa memperlihatkan semua tanda-tanda estrus terutama diam dinaiki. Gejala yang terakhir ini merupakan patokan untuk mengidentifikasi ternak yang standing heat. (Lampiran 2).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG secara umum pada rusa percobaan menimbulkan estrus dengan gejala- gejala yang jelas, berkisar pada skor dua sampai tiga, sedangkan intensitas estrus dengan skor satu tidak terlihat. Secara umum intensitas estrus pada rusa penelitian cukup baik tanpa ada perbedaan yang berarti diantara perlakuan (Tabel 6). Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua rusa yang memperoleh perlakuan hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG menampakkan intensitas estrus dalam dua kategori saja (sedang dan tinggi). Rusa dengan perlakuan hormon progesteron tunggal dan kombinasinya dengan PMSG 150 IU menunjukkan kategori dengan intensitas sedang (skor 2) masing- masing dua ekor. Sedangkan pada perlakuan hormon progesteron yang dikombinasikan dengan PMSG 300 IU memperlihatkan hasil intensitas estrus dengan kategori tinggi (skor 3) sebanyak 2 ekor.
Tabel 6 Pengaruh pemberian hormon progesteron dan kombinasinya dengan PMSG terhadap intensitas estrus
Perlakuan Jumlah rusa (ekor)
Intensitas estrus
Rendah Sedang Tinggi ……(n, %)…… Progesteron (P4) 2 - 2 (100) - P4 + PMSG 150 IU 2 - 2 (100) - P4 + PMSG 300 IU 2 - - 2 (100) Keterangan: Rendah (skor 1); Sedang (skor 2) dan Tinggi (skor 3).
Baik tidaknya penampakan tingkah laku kawin yang dimanifestasikan dalam bentuk fenomena biologis maupun fisiologis (tingkah laku estrus) tersebut secara langsung dipengaruhi oleh mekanisme hormonal ovarium. Level progesteron turun yang dikuti naiknya level estrogen untuk menstimulir ovulasi dan menggertak pelepasan LH dari hipofisis anterior. Frekuensi pulsa LH meningkat pada saat terjadi penurunan konsentrasi progesteron dan peningkatan estrogen. Akibat turunnya progesteron akan meningkatkan rangsangan terhadap sekresi hormon endogen yang selanjutnya dapat menimbulkan lonjakan sekresi LH yang diperlukan untuk ovulasi.
Mekanisme FSH dalam ovarium yaitu dengan jalan mengaktivkan reseptor-reseptor untuk FSH sendiri dan reseptor LH pada sel-sel granulosa. FSH akan berikatan dengan reseptornya yang nantinya akan mengaktifkan enzim adenilat siklase sehingga cAMP intraseluler meningkat. Meningkatnya cAMP ini akan mengaktifkan protein kinase yang dibutuhkan untuk berlangsungnya sintesis hormon steroid (estrogen) yang sangat dibutuhkan untuk tingkah laku estrus. Reseptor progesteron itu sendiri ditemukan dalam sitoplasma sel sasaran diantaranya saluran telur, uterus, vagina dan sistem reproduksi lainnya pada hewan betina (Norman dan Litwack 1987).