• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Gizi, Sifat Fisik, dan Mutu Kimia RPO

Kandungan Gizi

Pengujian kandungan gizi pada RPO meliputi jumlah β-karoten pada RPO dan jenis asam lemak yang ada pada RPO. Hasil pengamatan mendapatkan kandungan β-karoten pada sampel RPO adalah 356 µg/gram. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Riyadi (2009) yang mendapatkan hasil β-karoten 375.33 ± 22.87 µg/gram.

Jenis asam lemak yang terdapat pada RPO didominasi oleh asam lemak palmitat (16:0) dan asam lemak oleat (18:1). Tabel 7 menunjukkan perbandingan profil asam lemak pada beberapa minyak nabati.

Tabel 7 Profil Asam Lemak pada Beberapa Minyak Nabati

Jenis asam lemak

RPO (%) Kelapa sawit (olein) 1) (%) Kedelai 2) (%) Kelapa2) (%) Bunga matahari1) (%) 16:0 36,31 39,1 7,0-14 7,5-10,5 7,0 18:0 3,92 4,1 1,4-5,5 1,0-3,0 3,8 18:1 40,23 42,4 19-30 5,0-8,0 76,4 18:2 10,79 10,1 44-62 1,5-2,5 9,2 18:3 0,29 0,2 4,0-11 1,5-2,5 0,1 Sumber: 1) Matthaus (2007) 2) Ketaren 1986

Hasil Tabel 7 menunjukkan antara minyak kelapa sawit olein dengan minyak RPO memiliki kandungan asam palmitat dan asam oleat yang hampir sama. Minyak kedelai didominasi oleh asam lemak linoleat (18:2) dan sedikit memiliki asam lemak palmitat. Minyak bunga matahari didominasi oleh asam lemak oleat (18:1) yang bernilai 76,4. Minyak kelapa memiliki asam lemak yang sangat berbeda dengan RPO. Asam lemak yang dominan pada minyak kelapa adalah asam lemak miristat 13,0-19,0 dan asam lemak laurat 44,0-52,0.

Sifat Fisik

Pengujian sifat fisik RPO dilakukan dengan pengujian warna dan kekentalan RPO. Pengamatan pada pengukuran warna dengan menggunakan kromameter mendapatkan hasil RPO berwarna merah dengan derajat Hue bernilai 27,74. Hasil pengukuran warna RPO dengan menggunakan Lovibond Tintometer menunjukkan tidak adanya perbedaan dengan hasil yang telah diperoleh oleh Riyadi (2009), yaitu berwarna merah dengan nilai Y (kuning) sekitar 30 dan nilai R (merah) di atas 9,6.

Kekentalan RPO diamati dengan menggunakan alat viscometer brookfield

22

sesuai dengan pengamatan penelitian Romaria (2008) mendapatkan kekentalan minyak goreng curah bernilai 47,7-56,8 cP.

Mutu Kimia

Mutu kimia RPO yang diamati meliputi bilangan peroksida RPO dan kadar asam lemak RPO. Pengukuran bilangan peroksida pada RPO mendapatkan hasil 2,54

µeq/kg

. Hasil pengamatan ini lebih besar dari pada yang didapatkan oleh Riyadi (2009) sebesar 0,12 ± 0,03 µeq/kg. Menurut Blumenthal (1996) nilai bilangan peroksida maksimum sebesar 5 µeq/kg sehingga hasil RPO pada pengamatan penelitian ini masih memenuhi syarat RPO yang baik.

Pengukuran kadar asam lemak pada RPO memperoleh hasil 0,12 % asam palmitat. Hasil ini lebih kecil daripada hasil penelitian Riyadi (2009) yang bernilai 0,490 ± 0,15 % asam lemak palmitat. Menurut Blumenthal (1996) syarat RPO yang baik memiliki kadar asam lemak maksimum bernilai 0,1 % asam palmitat.

Proses Fortifikasi RPO dan Recovery β-Karoten pada Minyak Goreng Curah dengan RPO

Fortifikasi dilakukan dengan cara memasukkan RPO ke dalam minyak goreng curah sedikit demi sedikit untuk 50 kg minyak goreng curah diperlukan RPO sebanyak 3,79 kg. Perhitungan fortifikasi ini dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan perhitungan konversi satuan vitamin A disajikan pada Lampiran 6.

Alat yang digunakan untuk melakukan proses fortifikasi berupa sebuah wadah (ember) yang dirancang dan ditambahkan dengan baling-baling pengaduk (Gambar 1). Pengadukan dilakukan dengan kecepatan 500 putaran per menit (rpm) selama satu jam (Arafah 2008).

Minyak goreng curah yang akan difortifikasi mengandung kurang dari 0,002 ppm β-karoten. Minyak tersebut kemudian difortifikasi RPO dengan dosis 45 IU. Tabel 8 menunjukkan bahwa recovery kandungan β-karoten pada minyak goreng curah fortifikasi sebesar 107,06%.

Tabel 8 Recovery Minyak Goreng Curah Fortifikasi

β-karoten pada minyak non-fortifikasi (IU) β-karoten pada minyak fortifikasi (IU) Rata-rata (IU) dosis fortifikasi (IU) recovery (%) <0,03 48,25 48,18 45 107,06 48,18 48,3 48,1 48,18 48,15

Hasil recovery fortifikasi yang dilakukan lebih besar dari pada target dosis fortifikasi sebesar 45 IU. Hal ini disebabkan karena jumlah minyak goreng curah yang difortifikasi dalam sekali pengadukan cukup banyak sehingga kemungkinan tidak merata dalam pengadukan menjadi lebih besar. Target fortifikasi yang tidak akurat 100% ini sejalan dengan penelitian Arafah (2008).

Karakteristik Fisik Minyak yang Difortifikasi RPO

Kekentalan

Analisis kekentalan pada penelitian ini meliputi kekentalan pada minyak goreng curah dan minyak goreng curah yang telah difortifikasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kekentalan yang terjadi saat minyak goreng ditambah RPO. Viskositas merupakan salah satu indikator minyak goreng yang penting untuk diamati. Menurut Blumenthal (1996) viskositas merupakan daya tahan internal suatu cairan untuk mengalir. Viskositas RPO diukur dengan menggunakan alat viscometer brookfield LV. Hasil pengamatan mendapatkan kekentalan minyak sebelum dan sesudah fortifikasi RPO. Hasil pengukuran kekentalan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kekentalan Minyak

No Jenis minyak Viskositas (cP) Pustaka (cP) 1 Minyak non fortifikasi 62.0 42,7-56,83 2 Minyak fortifikasi 62.0

24

Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kekentalan minyak setelah difortifikasi, tidak menunjukkan perubahan bila dibandingkan dengan minyak non fortifikasi. Viskositas minyak goreng akan meningkat seiring penggunaannya untuk menggoreng. Viskositas minyak goreng sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu penggorengan yang ± 2500C akan meningkatkan viskositas minyak yang digunakan (Ketaren 2005). Viskositas juga meningkat seiring dengan penggunaannya. Minyak goreng dengan viskositas yang tinggi akan menghasilkan produk akhir yang sangat berminyak karena minyak goreng akan tertahan di dalam produk (Blumenthal 1996).

Warna

Warna telah dijadikan sebagai indek kualitas minyak selama bertahun-tahun. Metode pengujian warna dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode seperti Lovibond, spektrofotometer dan kromameter. Menurut Febriansyah R (2007), terdapat perbedaan antara metode penentuan warna minyak ini, metode Lovibond bersifat subjektif sedangkan penentuan secara spektrofotometer bersifat objektif.

Pengujian warna dengan menggunakan Lovibond terdiri dari tiga warna, yaitu merah, biru, dan kuning. Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan pada panjang gelombang 490 nm dengan minyak awal sebagai blanko. Pengujian warna dengan metode kromameter menggunakan derajat Hue dan nilai L, a dan b. Analisis warna dilakukan pada RPO, minyak non fortifikasi dan setelah fortifikasi menggunakan metode kromameter dengan alat Konica minolta CR 310. Data pengukuran warna disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Pengukuran Warna pada Minyak Goreng

No Sampel L a b 0Hue Warna Pustaka

1 Minyak non fortifikasi 66,40 -5,70 +36,52 81,12 kuning-merah Kuning1) 2 Minyak fortifikasi 56,43 +12,66 +33,30 69,18 Kuning-merah Sumber:1) BSN 2002

Pengamatan pada pengukuran warna dengan menggunakan kromameter mendapatkan hasil Minyak yang difortifikasi RPO berwarna kuning-merah dengan derajat Hue bernilai 69,18. Menurut Purbowo (1995) warna merah yang terdapat pada minyak sawit disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak. Hasil uji T menunjukkan bahwa fortifikasi RPO pada minyak goreng curah berpengaruh (p<0,05) terhadap perubahan warna pada taraf kepercayaan 95% (lampiran 12). Karotenoid bersifat tidak stabil pada suhu tinggi, dan jika

minyak dipanaskan pada suhu yang cukup tinggi, warna merah tersebut akan memudar sesuai dengan penurunan kandungan karoten total. Masih tingginya kadar karoten setelah proses pembuatan RPO menyebabkan warna merah RPO yang terukur pada kromameter masih relatif tinggi.

Pustaka SNI tahun 2002 untuk minyak goreng menyatakan standar minyak goreng untuk Indonesia adalah berwarna kuning. Hasil pengukuran warna pada minyak hasil fortifikasi sebesar 45 IU menunjukkan warna kuning-merah. Warna kuning-merah menunjukkan kandungan karotenoid dalam minyak fortifikasi masih memiliki pengaruh besar untuk merubah warna kuning menjadi kemerahan.

Mutu Kimia Minyak

Bilangan peroksida

Bilangan peroksida dapat digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan oksidatif pada minyak atau lemak. Peroksida merupakan produk pertama dari reaksi autooksidasi. Oksidasi pada lemak dan minyak dapat menyebabkan kerusakan minyak berupa ketengikan sehingga menurunkan tingkat penerimaan konsumen (Dewanti TA 2009). Bilangan peroksida merupakan metode yang paling umum untuk menentukan derajat degradasi minyak akibat proses oksidasi (Febriansyah 2007). Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk peroksida. Peroksida adalah komponen yang dapat mempercepat oksidasi. Data bilangan peroksida yang diamati dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Bilangan Peroksida

No Jenis minyak Bilangan peroksida (µeq/kg)

Pustaka (µeq/kg)

1 Minyak non fortifikasi 5,065 51)

2 Minyak setelah fortifikasi 3,935 Sumber: 1)Blumenthal (1996)

Data bilangan peroksida RPO 2,548 µeq/kg bernilai lebih rendah dari minyak goreng non fortifikasi yang bernilai 5,065 µeq/kg. Hal ini menunjukkan RPO lebih tahan dari kerusakan oksidatif dari pada minyak non fortifikasi bila ditinjau dari segi bilangan peroksidanya. Tabel 11 memperlihatkan minyak yang telah difortifikasi memiliki bilangan peroksida lebih kecil daripada minyak non fortifikasi. Hasil uji T menunjukkan bahwa fortifikasi RPO pada minyak goreng curah berpengaruh (p<0,05) terhadap perubahan bilangan peroksida pada taraf kepercayaan 95% (Lampiran 12). Tingginya bilangan peroksida merupakan indikasi dimulainya kerusakan oksidatif pada minyak.

26

Proses penyimpanan minyak juga dapat menjadi penyebab utama kerusakan oksidatif. Waktu simpan di suhu ruang yang relatif lama akan menyebabkan kenaikan bilangan peroksida pada Minyak dalam kemasan yang tidak kedap udara (tanpa blanketing oleh N2) (Riyadi 2009). Menurut Dewanti (2009), peroksida akan terurai pada suhu penggorengan namun akan mulai terbentuk lagi selama pendinginan. Peroksida indikator yang baik untuk menentukan kualitas dari produk pangan goreng. Minyak diekstrak dari produk goreng kemudian minyak hasil ekstrak diukur bilangan peroksidanya. Nilai bilangan peroksida lebih dari 5 meq/kg sampel merupakan indikator tingginya potensi ketengikan pada produk goreng sehingga dapat menghasilkan masa simpan yang rendah.

Kadar asam lemak bebas

Kadar asam lemak bebas merupakan karakteristik yang paling umum digunakan sebagai indikator kontrol kualitas minyak. Asam lemak bebas menunjukkan kualitas minyak goreng karena dengan jumlah asam lemak bebas tinggi mengakibatkan munculnya buih dan menurunkan titik asap minyak goreng. (Romaria 2009). Kadar asam lemak dapat diamati dalam Tabel 12.

Tabel 12 Hasil Pengamatan Kadar Asam Lemak Bebas

No Jenis minyak Kadar asam lemak bebas (%

asam laurat)

Pustaka (% asam laurat) 1 Minyak non fortifikasi 0,4 Maks. 0,31) 2 Minyak fortifikasi 0,38

Sumber: 1) BSN (1995)

Hasil pengamatan menunjukkan minyak setelah fortifikasi memiliki kadar asam lemak bebas yang lebih rendah daripada minyak non fortifikasi. Hal ini karena minyak setelah fortifikasi yang digunakan memiliki karoten sebagai tambahan antioksidan alami sehingga kadar asam lemak bebas bernilai lebih kecil Widarta (2008). Kadar asam lemak bebas pada minyak fortifikasi maupun non fortifikasi lebih besar dari pustaka sehingga minyak fortifikasi maupun non fortifikasi sudah menurun kualitasnya. Hasil uji T menunjukkan bahwa fortifikasi RPO pada minyak goreng curah tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap perubahan ALB pada taraf kepercayaan 95% (Lampiran 12).

Kadar asam lemak bebas dipengaruhi oleh pengulangan penggorengan. Semakin sering melakukan penggorengan akan meningkatkan kadar asam lemak bebas karena kenaikan kadar air dalam minyak. Keberadaan air pada

minyak akan mempercepat proses hidrolisis dari minyak goreng (Sulaiman et al 2001).

Profil Asam Lemak

Jenis asam lemak yang mendominasi minyak hasil fortifikasi adalah asam lemak palmitat (16:0) dan asam lemak oleat (18:1). Tabel 13 menunjukkan perbandingan minyak fortifikasi dan minyak sebelum fortifikasi.

Tabel 13 Profil Asam Lemak Minyak Fortifikasi dan Non Fortifikasi

Jenis asam lemak Minyak non fortifikasi (%) Minyak fortifikasi (%) Minyak RPO 1) (%) - C16:0 31,13 33,39 39,1 - C18:0 0,81 4,13 4,1 - C18.1n9c 34,80 37,18 42,4 - C18:2n6c 10,76 11,38 10,1 - C18:3n3 0,20 0,23 0,20 Sumber: 1) Matthaus (2007)

Hasil Tabel 13 menunjukkan asam-asam lemak pada minyak setelah difortifikasi oleh RPO meperlihatkan hasil yang lebih tinggi daripada minyak sebelum fortifikasi. Asam lemak yang mengalami peningkatan yang besar adalah asam lemak stearat (18:0). Asam lemak linoleat (C18:3n3) mengalami kenaikan 0,03 % dan melebihi dari pustaka.

Retensi β-karoten pada Minyak Goreng Curah Fortifikasi

Pengujian retensi β-karoten dilakukan dengan menggoreng produk tahu kuning. Penggorengan dilakukan dengan metode deep frying dalam suhu mulai penggorengan 160-210 0C. Tabel 14 menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan mengakibatkan penurunan kandungan β-karoten dalam minyak tersebut.

Penurunan kandungan β-karoten disebabkan oleh adanya paparan udara dan oksigen serta sinar ultraviolet. Selain itu menurut Muchtadi (1992) suhu juga ikut mempengaruhi stabilitas karotenoid saat penggorengan. Faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini adalah suhu, lama waktu penggorengan dan oksigen.

28

Tabel 14 Retensi β-karoten pada Minyak Goreng Setelah Pengulangan Penggorengan

Jenis pangan yang digoreng

Penggorengan ke-

Suhu (0C) Waktu menggoreng tahu (menit)

Retensi (%)

Tahu kuning 1 165-210 5 70,57a *)

2 160-200 5 41,84b

3 160-190 5 14,05c

Keterangan: *)Angka dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 14 menunjukkan penggorengan produk gorengan dengan suhu 160-2100C mendapatkan retensi minyak pada penggorengan pertama adalah 70,57 %. Setelah penggorengan kedua sebesar 41,83 % dan penggorengan ketiga sebesar 14,05 %. Retensi setelah pengulangan penggorengan pertama hingga ketiga lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Arafah (2008) dengan menggunakan fortifikan vitamin A, yaitu sebesar 81-94 % pada penggorengan pertama, 64-77 % setelah penggorengan kedua dan 51-63 % setelah penggorengan ketiga dengan suhu 160-1900C.

Saat proses penggorengan, minyak goreng akan terpapar oleh oksigen sehingga terjadi proses oksidasi. Proses oksidasi minyak RPO menurut Sundram (2007) mengakibatkan diskolorisasi dan bleaching. Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan.

Suhu sangat berpengaruh dalam proses oksidasi. Pengaruh suhu dikemukakan oleh Muchtadi (1992) yaitu karotenoid belum mengalami kerusakan karena pemanasan pada suhu dibawah 600C. Gross (1991) mengemukakan laju oksidasi β-karoten meningkat dengan peningkatan suhu.

Peningkatan waktu pemanasan sangat berpengaruh terhadap tingkat ketahanan β-karoten. Penelitian ini mendapatkan hasil reduksi β-karoten pada penggorengan pertama sebesar 29,43% pada suhu 160-2100C dengan waktu menggoreng bahan pangan sekitar 5 menit. Data penggorengan kedua menunjukkan peningkatan reduksi menjadi 58,16% dengan suhu 160-2000C. Reduksi pada penggorengan ketiga meningkat menjadi 85,98% dengan suhu menggoreng 160-1900C.

Menurut Alyas et al (2006), waktu pemanasan minyak yang meningkat dari 30 menit menjadi 120 menit akan mengakibatkan reduksi β-karoten sebesar 3 % pada suhu 500C dan 6 % pada suhu 1000C. Peningkatan waktu pada suhu 2000C menyebabkan reduksi kandungan β-karoten sebesar 59 persen. Hal yang serupa juga terdapat dalam penelitian Rianto (1995) yang menyatakan

penurunan karoten total minyak sawit merah mencapai 97.94 persen pada suhu 1800C selama 120 menit. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap retensi β-karoten (Lampiran 7). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa retensi β-karoten pada minyak hasil penggorengan pertama berbeda dengan penggorengan kedua dan ketiga. Kadar β-karoten pada minyak hasil penggorengan kedua berbeda dengan penggorengan ketiga (Lampiran 8). Semakin banyak pengulangan penggorengan maka semakin rendah retensi pada tahu goreng.

Penyerapan Minyak pada Produk Gorengan

Kadar air

Analisis kadar air dalam penelitian ini dilakukan pada bahan mentah dan bahan yang telah diberi perlakuan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pergaruh pengggorengan terhadap perubahan kadar air produk tahu yang diberi perlakuan pengulangan pengggorengan. Hasil analisis kadar air terhadap tahu yang digoreng dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Kadar Air Tahu Awal dan Setelah Digoreng

Jenis pangan

Kadar air (%) Pustaka (%) Penurunan kadar air (%) Tahu kuning mentah 82,61 89,041) Goreng 1 75,23 7,38a*) Goreng 2 74,72 7,89a Goreng 3 75,48 7,13a

Keterangan: *)Angka dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Sumber: 1) BSN (1998)

Tabel 15 menunjukkan adanya penurunan kadar air setelah produk digoreng. Kadar air dalam tahu kuning mentah adalah 82,61%, sedangkan setelah mengalami perlakuan penggorengan mengalami penurunan kadar air sebesar 7,38% sampai 7,89%.

Kadar air tahu setelah mengalami proses penggorengan mengalami penurunan. Menurut Ketaren (1986) minyak akan menghantarkan panas dari wajan sehingga air akan keluar dari produk pangan yang ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung dari produk yang digoreng. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penurunan kadar air (Lampiran 7).

30

Kadar lemak

Analisis kadar lemak dilakukan pada produk pangan mentah dan produk pangan yang digoreng. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggorengan terhadap perubahan kadar lemak produk pangan. Mekanisme yang terjadi pada penyerapan minyak terdiri dari pergantian minyak-air pada bahan pangan selama proses penggorengan dan efek masa pendinginan setelah proses menggoreng. (Dana dan Saguy 2006)

Menurut Orthoefer et al. (1996) penyerapan minyak oleh bahan pangan goreng diantaranya dipengaruhi oleh kualitas minyak, suhu dan waktu menggoreng, bentuk dan komposisi produk, perlakuan sebelum menggoreng, dan coating. Hasil analisis kadar lemak produk pangan yang digoreng (tahu) dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Kadar Lemak dan Kenaikan Kadar Lemak Tahu

Jenis pangan Kadar lemak (%) bb Kadar lemak (%) bk Pustaka (%bb) Kenaikan kadar lemak (%) Tahu kuning mentah 5,128 31,96 Min. 0,51) Goreng 1 8,10 32,70 2,96a*) Goreng 2 8,81 34,85 2,97a Goreng 3 7,93 32,34 2,78a

Keterangan: *)Angka dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

bb : basis basah bk : basis kering Sumber: 1) BSN (1998)

Kadar lemak tahu mentah hasil pengujian lebih besar daripada pustaka. Hal ini disebabkan oleh pustaka yang digunakan adalah untuk produk tahu secara umum. Tabel 16 menunjukkan peningkatan kadar lemak pada produk tahu yang telah digoreng. Peningkatan ini dikarenakan penyerapan minyak goreng yang menjadi penghantar. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh nyata pengulangan penggorengan terhadap peningkatan kadar lemak (p>0.05) (Lampiran 7).

Pokorny (1999) menyatakan penyerapan minyak oleh produk sangat dipengaruhi oleh kualitas minyak yang digunakan. Tegangan permukaan antara minyak dan permukaan produk yang digoreng tinggi pada minyak baru (fresh oil). Saat minyak digunakan untuk menggoreng kembali, tegangan tersebut berkurang yang disebabkan oleh kenaikan polaritas dari minyak sehingga minyak mudah terserap. Penyerapan minyak juga dipengaruhi oleh tingkat kerusakan

dari minyak goreng yang digunakan. Perubahan sifat kimia dari minyak yang digunakan pada proses penggorengan akan mempengaruhi sifat fisiknya. Perubahan sifat fisik minyak, seperti kenaikan viskositas akan menurunkan performa minyak.dan menyebabkan penyerapan minyak oleh produk meningkat.

Kandungan β-karoten pada Tahu Goreng dan Kontribusinya Terhadap Kebutuhan Vitamin A

Kandungan β-karoten dari minyak goreng curah fortifikasi dapat dilihat pada Tabel 17. Kandungan β-karoten dari minyak goreng curah fortifikasi per 100 gram produk gorengan pada tahu goreng mengalami penurunan dari penggorengan pertama 57,26 (μg/100 g) menjadi 10,71 (μg/100 g) pada pengulangan penggorengan ketiga.

Tabel 17 Kandungan β-karoten pada Tahu Kuning

Jenis pangan Penggorengan ke- β-karoten (μg/buah) β-karoten (μg/100 g) Tahu kuning Goreng 1 17,19 57,26a*)

Goreng 2 10,19 33,96b

Goreng 3 3,21 10,71c

Keterangan: *)Angka dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kandungan β-karoten per 100 gram produk gorengan (Lampiran 9). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar β-karoten pada tahu hasil penggorengan pertama berbeda dengan penggorengan kedua dan ketiga. Kadar β-karoten pada tahu hasil penggorengan kedua berbeda dengan penggorengan ketiga. Semakin banyak pengulangan penggorengan maka semakin rendah kandungan β-karoten pada tahu goreng (Lampiran 10)

Konsumsi tahu yang digoreng akan memberikan kontribusi vitamin A tergantung usianya. Kontribusi pada pengulangan penggorengan pertama hingga ketiga disajikan pada Tabel 18.

32

Tabel 18 Kontribusi Vitamin A/100 gram Produk Gorengan pada Penggorengan 1, 2 dan 3 untuk Masing-masing Kelompok Usia

Golongan AKG Vitamin A1) Penggorengan 1 (%) Penggorengan 2 (%) Penggorengan 3 (%) Umur µg RE/hari Anak 1-3 th 400 2,38 1,42 0,45 4-6 th 450 2,12 1,26 0,4 7-9 th 500 1,91 1,13 0,36 Pria 10-64 th 600 1,59 0,94 0,3 65 th+ 600 1,59 0,94 0,3 Wanita 10-18 th 600 1,59 0,94 0,3 19-64 th 500 1,91 1,13 0,36 65 th+ 500 1,91 1,13 0,36

Sumber: 1) Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004)

Minyak goreng memberikan kontribusi vitamin A paling besar pada penggorengan pertama. Minyak goreng curah fortifikasi pada penggorengan pertama memberikan kontribusi sebesar 1,91% per 100 gram produk gorengan terhadap angka kecukupan vitamin A per hari untuk anak usia 7-9 tahun. Minyak goreng fortifikasi pada penggorengan pertama memberikan kontribusi sebesar 1,59% terhadap kebutuhan vitamin A pria. Kontribusi terbesar vitamin A diberikan oleh hasil penggorengan pertama sedangkan kontribusi terkecil vitamin A diberikan oleh hasil penggorengan ketiga. Kontribusi vitamin A pada pengulangan penggorengan minyak ini lebih rendah dibandingkan penelitian Arafah (2008) yang mendapatkan 55,62% -38,42% pada penggorengan pertama untuk anak usia 7-9 tahun dan 26,16%-39,57% pada penggorengan ketiga.

Harga merupakan salah satu pertimbangan teknis yang diperhitungkan dalam program fortifikasi menurut Soekirman (2008). Perhitungan biaya fortifikasi minyak goreng curah dengan penambahan RPO dihitung berdasarkan harga minyak goreng curah dan RPO. Perhitungan biaya menunjukkan harga minyak goreng curah yang bernilai Rp 11.000,00 mengalami penurunan setelah dilakukan fortifikasi menjadi Rp 10.929,54. Penurunan harga ini disebabkan oleh RPO yang dipakai sebagai fortifikan tidak melalui proses bleaching dalam pembuatannya sehingga lebih murah dari minyak goreng curah. Perhitungan disajikan dalam Lampiran 11.

Dokumen terkait