• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam)

Perkembangan Nilai Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA

Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA paling tinggi di antara negara anggota ACFTA lainnya meskipun nilainya berfluktuasi. Sebaliknya, nilai ekspor kertas negara anggota ACFTA lainnya tidak terlalu berfluktuasi. Pada tahun 1999 nilai ekspor kertas Indonesia meningkat sebesar 173 497 454 USD, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan volume ekspor kertas secara signifikan yang dilakukan pemerintah agar dapat membantu penerimaan devisa negara di masa krisis ekonomi. Tiga tahun berikutnya nilai ekspor kertas Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh adanya penurunan pangsa pasar ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA. Tahun 2003 nilai ekspor kertas Indonesia sebesar 140 755 313 USD dan mencapai 184 202 992 USD tahun 2004.

Periode setelah diberlakukannya ACFTA, nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA cenderung meningkat mulai dari tahun 2005 hingga 2008. Akan tetapi, pada tahun 2009 nilai ekspor kertas Indonesia mengalami penurunan menjadi 354 333 503 USD. Tahun 2010 dan 2011 nilai ekspor kertas Indonesia kembali meningkat masing-masing sebesar 447 784 949 USD dan 474 841 883 USD. Di samping itu, nilai ekspor kertas Thailand dan China pada periode setelah adanya ACFTA cenderung mengalami peningkatan meskipun tidak sebesar yang diperoleh oleh Indonesia karena Indonesia memiliki sumber bahan baku kertas yang berlimpah dengan harga murah serta tenaga kerja dengan upah yang relatif lebih rendah.

19

Sumber : WITS (2013).

Gambar 4 Nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA

Perkembangan Volume Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA

Perkembangan nilai ekspor kertas dapat dipengaruhi oleh volume kertas yang diekspor oleh suatu negara. Semakin banyak volume kertas yang diekspor maka semakin besar pula nilai ekspor yang diterima oleh suatu negara. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa volume ekspor kertas Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya kecuali pada tahun 2000 dan 2008. Pada tahun 1999 volume ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA meningkat secara signifikan sebesar 312 122 703 ton. Pada tahun 2000 mengalami penurunan menjadi 182 334 708 ton. Selanjutnya, terjadi peningkatan volume ekspor pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, tahun 2008 terjadi penurunan kembali volume ekspor kertas sebesar 37 519 022 ton meskipun pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh Indonesia tidak bisa memenuhi permintaan kertas dari negara importir sehingga para importir membeli kertas dari negara lain.

Di samping itu, pesaing Indonesia untuk produk kertas di pasar ACFTA adalah Thailand yang pangsa pasarnya mengalami kenaikan setelah adanya ACFTA. Volume ekspor kertas Thailand meningkat hampir setiap tahunnya meskipun tidak sebesar peningkatan volume ekspor kertas Indonesia. Hal ini disebabkan oleh permintaan kertas Thailand meningkat di pasar ACFTA sehingga terjadi peningkatan pangsa pasar kertas Thailand dan Thailand mampu memenuhi permintaan kertas negara importir.

0 50000000 10000000 15000000 20000000 25000000 30000000 35000000 40000000 45000000 50000000 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 N il a i e k sp o r (U S D ) CHN IDN MYS SGP THA PHL VNM

20

Sumber: WITS (2013).

Gambar 5 Volume ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA

Perkembangan Pangsa Pasar Kertas Indonesia di Pasar ACFTA

Dalam perdagangan internasional, setiap negara memiliki pangsa pasarnya sendiri. Pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar dan sebaliknya jika pangsa pasar kecil maka suatu negara tidak dapat bersaing dalam suatu tekanan persaingan. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa selama periode 1998 sampai 2011 pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA paling tinggi di antara negara anggota ACFTA lainnya, namun pangsa pasar tersebut nilainya masih berfluktuatif. pada tahun 1999, pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA meningkat sebesar 12.88%. Selanjutnya pangsa pasar kertas Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2000 hingga 2003 masing-masing sebesar 13.85%, 9.93%, 3.44%, dan 5.98%. Di samping itu, Indonesia juga mengalami penurunan pada tahun 2007, 2009 dan 2011. Penurunan yang paling signifikan terjadi pada tahun 2011 sebesar 23.09%.

Berdasarkan Gambar 5 juga terlihat bahwa Malaysia mengalami penurunan pangsa pasar kertas pada periode setelah adanya ACFTA. Sebaliknya, Thailand mengalami kenaikan pangsa pasar setelah adanya ACFTA. Sementara itu, negara China memiliki pangsa pasar kertas yang berfluktuatif dari tahun 1998 sampai 2006. Akan tetapi, tahun 2008 hingga tahun 2011 China mengalami peningkatan pangsa pasar kertas di pasar ACFTA masing-masing sebesar 1.09%, 1.84%, 2.51%, dan 0.84%. 0 10000000 20000000 30000000 40000000 50000000 60000000 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 V o lu m e e k sp o r (Kg) CHN IDN MYS SGP THA PHL VNM

21

Sumber: WITS (2013).

Gambar 6 Pangsa Pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA

Daya Saing Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam)

Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)

Kinerja ekspor kertas Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA dari segi daya saing komparatif menggunakan metode Revealed Comparative Advantage

(RCA). Nilai ekspor dan impor terbesar di pasar ACFTA ditunjukkan pada Tabel 5. Nilai rata-rata RCA negara China, Indonesia, Thailand dan Vietnam sesudah diterapkannya ACFTA pada Tabel 5 mengalami peningkatan dibandingkan dengan nilai rata RCA sebelum diterapkannya ACFTA. Sebaliknya nilai rata-rata RCA negara Malaysia, Singapura, dan Philipina sesudah adanya ACFTA mengalami penurunan. Nilai RCA Indonesia terbesar di antara negara anggota ACFTA lainnya mulai dari tahun 1998 sampai 2011. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor komoditas kertas Indonesia sangat besar terhadap total ekspor seluruh komoditas Indonesia ke pasar ACFTA baik sebelum dan sesudah perjanjian ACFTA meskipun nilainya mengalami fluktuasi.

Suatu negara dengan nilai RCA kertas lebih dari satu maka memiliki nilai ekspor kertas yang relatif tinggi sehingga memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing kuat. Kertas Indonesia memiliki nilai RCA tertinggi baik sebelum maupun sesudah ACFTA yaitu dengan rata-rata sebelum ACFTA sebesar 6.69 dan rata-rata setelah ACFTA sebesar 7.42. Hal ini disebabkan oleh nilai dan volume ekspor kertas Indonesia cenderung meningkat pada periode setelah ACFTA. Pada tahun 2011 nilai RCA Indonesia tetap lebih dari satu yaitu sebesar 5.01 tetapi terjadi penurunan dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA yang signifikan.

Selanjutnya diurutan kedua diikuti oleh Thailand dengan rata-rata RCA sebelum adanya ACFTA sebesar 1.05 dan rata-rata RCA sesudah adanya ACFTA sebesar 1.34. Hal ini disebabkan oleh Thailand mampu meningkatkan produksi kertasnya yang dapat dilihat dari volume kertas yang diekspor Thailand di pasar

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 p a n gs a p a sa r (% ) CHN IDN MYS SGP THA PHL VNM

22

ACFTA semakin meningkat pada periode setelah adanya ACFTA. Oleh sebab itu, Indonesia dan Thailand memiliki keunggulan komparatif pada kertas dan berdaya saing kuat baik sebelum maupun sesudah adanya ACFTA. Berikutnya, untuk nilai rata-rata RCA baik sebelum maupun sesudah ACFTA negara China, Malaysia, Singapura, Philipina, dan Vietnam nilainya lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing lemah. Nilai RCA kertas rendah umumnya memiliki nilai impor yang cukup besar.

Tabel 5 Nilai RCA kertas di negara anggota ACFTA tahun 1998-2011 Tahun RCA CHN RCA IDN RCA MYS RCA SGP RCA THA RCA PHL RCA VNM 1998 0.11 5.32 0.32 0.15 0 0 0 1999 0.18 6.17 0.24 0.20 0.97 0 0 2000 0.62 5.67 0.28 0.26 1.35 0.001 0 2001 0.38 6.77 0.36 0.10 1.22 0 0.002 2002 0.33 6.97 0.39 0.15 1.08 0.001 0.000000013 2003 0.50 7.47 0.51 0.06 1.36 0.005 0.009 2004 0.28 8.45 0.48 0.05 1.36 0.002 0.00000002 Rata-rata 0.34 6.69 0.37 0.14 1.05 0.0013 0.0015 2005 0.25 8.28 0.27 0.04 1.55 0.001 0.144 2006 0.38 8.55 0.24 0.04 1.18 0 0.152 2007 0.26 8.82 0.14 0.06 1.22 0.001 0.083 2008 0.27 7.92 0.13 0.17 1.28 0.002 0.076 2009 0.34 6.70 0.14 0.13 1.64 0.004 0.032 2010 0.42 6.68 0.16 0.12 1.33 0.002 0.030 2011 0.56 5.01 0.14 0.33 1.16 0.001 0 Rata-rata 0.35 7.42 0.17 0.13 1.34 0.001 0.07

Analisis Intra Industry Trade (IIT)

Salah satu cara melihat kinerja perdagangan adalah dengan mengukur tingkat integrasi di kawasan yang melakukan perdagangan. Tingkat integrasi dapat diketahui dari aliran perdagangan internasional melalui nilai ekspor dan impor antara suatu negara dengan negara lain menggunakan indikator Intra Industry Trade (IIT). Oleh karena itu, untuk menganalisis tingkat integrasi dan keterkaitan perdagangan antara negara anggota ASEAN dan China sebelum dan sesudah perjanjian ACFTA dapat menggunakan nilai dari IIT masing-masing negara mulai dari tahun 1998 sampai 2011. Nilai IIT yang tinggi menunjukkan keterkaitan yang erat dan bersifat dua arah (two way trade) di antara negara-negara anggota ACFTA sebab suatu negara-negara melakukan kegiatan ekspor dan impor. Nilai IIT yang rendah menunjukkan keterkaitan yang lemah dan bersifat satu arah (one way trade) di antara negara-negara anggota ACFTA sebab suatu negara hanya melakukan ekspor atau impor saja. Nilai IIT dari masing-masing negara anggota ACFTA pada Tabel 6 berbeda baik sebelum dan sesudah adanya

23 perjanjian ACFTA. Nilai IIT yang bernilai nol pada tabel disebabkan oleh ketiadaan data yang kurang lengkap.

Nilai IIT China sebelum ACFTA sebesar 30.64 kemudian meningkat menjadi 56.84 setelah adanya ACFTA, dan nilai IIT Thailand sebelum ACFTA sebesar 22.49 kemudian meningkat menjadi 56.98 setelah adanya ACFTA. Hal ini menunjukkan bahwa China mengalami peningkatan integrasi perdagangan dari integrasi perdagangan yang sedang menjadi kuat dan Thailand mengalami peningkatan integrasi perdagangan dari integrasi perdagangan yang lemah menjadi kuat. Oleh sebab itu, China dan Thailand menjadi semakin terintegrasi setelah adanya ACFTA. Sebaliknya, Malaysia dan Singapura mengalami penurunan integrasi setelah adanya ACFTA. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata IIT Malaysia dan Singapura sebelum dan setelah ACFTA. Nilai rata-rata-rata-rata IIT Malaysia sebelum ACFTA sebesar 34.19 dan setelah ACFTA sebesar 13.79 sehingga integrasi perdagangan Malaysia sebelum ACFTA yaitu integrasi perdagangan yang sedang berubah menjadi integrasi perdagangan yang lemah setelah ACFTA. Selanjutnya, nila rata-rata IIT Singapura sebelum ACFTA sebesar 62.09 dan setelah ACFTA sebesar 35.69 sehingga integrasi perdagangan Singapura sebelum ACFTA adalah integrasi perdagangan yang kuat dan sesudah ACFTA menjadi integrasi perdagangan yang sedang.

Malaysia dan Singapura mengalami penurunan integrasi karena pada periode setelah adanya ACFTA pangsa pasar kedua negara tersebut mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kedua negara tersebut tidak memiliki daya saing setelah adanya ACFTA terbukti dari nilai RCA Malaysia dan Singapura pada Tabel 5 yang mengalami penurunan. Oleh sebab itu, volume ekspor kertas Malaysia dan Singapura lebih kecil dari pada volume impornya sehingga nilai ekspor yang diperoleh kedua negara kecil. Integrasi perdagangan negara Indonesia, Philipina, dan Vietnam baik sebelum dan sesudah adanya ACFTA tetap memiliki integrasi yang lemah meskipun nilai rata-rata IIT negara-negara tersebut meningkat.

Indonesia memiliki integrasi perdagangan yang lemah dan nilai RCA bernilai lebih dari satu (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia melakukan perdagangan satu arah (one way trade) yaitu banyak melakukan ekspor dan sedikit sekali melakukan impor baik sebelum maupun sesudah ACFTA. Menurut Heldini (2008) Indonesia melakukan banyak ekspor ke negara anggota ACFTA dibandingkan dengan Amerika karena negara anggota ACFTA belum terlalu memiliki perhatian terhadap lingkungan. Indonesia yang belum menggunakan standarisasi yang tinggi terhadap produk alam cenderung mengekspor kertas ke negara yang kurang memperhatikan standar terhadap produk alam.

Sebaliknya, Philipina dan Vietnam memiliki integrasi yang lemah dan nilai RCA negara tersebut bernilai kurang dari satu (Tabel 5) sehingga menunjukkan bahwa Philipina dan Vietnam melakukan perdagangan satu arah (one way trade) yaitu melakukan impor dan sedikit sekali melakukan ekspor.

24

Tabel 6 Nilai IIT kertas di negara anggota ACFTA tahun 1998-2011

Tahun IIT CHN IIT IDN IIT MYS IIT SGP IIT THA IIT PHL IIT VNM 1998 5.49 7.86 39.47 76.66 0 0 0 1999 12.22 1.67 30.08 94.70 8.39 0 0 2000 68.50 8.17 25.39 99.52 5.64 0.17 0 2001 43.80 5.80 29.14 55.21 9.20 0 0.39 2002 25.23 8.88 35.64 65.06 11.87 0.06 0 2003 36.65 2.93 44.70 22.12 62.10 0.62 1.21 2004 22.56 1.80 34.90 21.35 60.21 0.25 0 Rata-rata 30.64 5.30 34.19 62.09 22.49 0.16 0.23 2005 28.43 2.05 17.80 15.26 54.54 0.19 24 2006 50.86 4.48 20.50 22.28 56.23 0 14.18 2007 42.92 4.34 10.58 29.93 74.06 0.12 4.54 2008 54.40 6.36 11.33 58.40 69.64 0.18 3.66 2009 59.39 6.53 11.21 50.80 30.84 0.31 1.11 2010 70.94 8.04 12.44 44.36 51.10 0.33 1.42 2011 90.96 15.18 12.63 28.77 62.44 0.08 0 Rata-rata 56.84 6.71 13.79 35.69 56.98 0.17 6.99

Analisis Export Product Dinamics (EPD)

Indikator Export Product Dinamics (EPD) merupakan indikator yang dapat mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu sehingga dapat memberikan gambaran tentang tingkat daya saing suatu produk. Posisi pasar negara anggota ACFTA baik sebelum maupun sesudah adanya ACFTA ditunjukkan pada Tabel 7. Posisi Lost Opportunity adalah posisi yang paling tidak disukai karena kehilangan kesempatan akibat semakin menurunnya pangsa pasar kertas di pasar ACFTA. Posisi paling tinggi adalah Rising Star

karena pada posisi tersebut komoditas kertas kompetitif dan dinamis. Komoditas kertas kompetitif apabila terjadi peningkatan market share komoditas kertas di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan market share komoditas kertas di pasar ACFTA, sedangkan komoditas kertas dinamis apabila perkembangan rata-rata market share dari komoditas kertas lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata market share dari seluruh komoditas yang diperdagangkan di pasar ACFTA.

China berada pada posisi pasar yang paling disukai yaitu Rising Star pada periode sebelum ACFTA. Hal ini berarti bahwa China memiliki keunggulan kompetitif pada kertas dan pangsa produknya bersifat dinamis. Hal ini dikarenakan China memiliki teknologi maju serta infrastruktur dengan kualitas baik di antara negara anggota ACFTA yang dapat memengaruhi kinerja perdagangan (Bappenas 2009). Di samping itu, laju pertumbuhan pangsa produk kertas China tumbuh dengan cepat karena pangsa pasar kertas China meningkat setiap tahunnya. Selanjutnya Malaysia, Thailand, Philipina dan Vietnam berada pada posisi pasar yang sama yaitu Lost Opportunity. Posisi pasar tersebut menunjukkan bahwa komoditas kertas tidak kompetitif karena terjadi penurunan pangsa pasar di pasar ACFTA namun pangsa produknya bersifat dinamis.

25 Indonesia dan Singapura berada pada posisi pasar Retreat karena tidak memiliki keunggulan kompetitif dan pangsa produknya bersifat tidak dinamis.

China tetap berada pada posisi pasar Rising Star pada periode setelah adanya ACFTA. Selanjutnya, Thailand menduduki posisi pasar Rising Star yang sebelumnya berada pada posisi pasar Lost Opportunity. Posisi pasar ini menunjukkan bahwa pangsa produknya tetap bersifat dinamis dan terjadi peningkatan pangsa ekspor kertas di pasar ACFTA sehingga dari yang tidak kompetitif menjadi kompetitif. Berikutnya, Indonesia menduduki posisi pasar

Falling Star yang berarti pangsa produknya tetap bersifat tidak dinamis namun pangsa ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA menjadi kompetitif. Vietnam tetap berada posisi pasar Lost Opportunity dan Singapura mengalami perubahan posisi pasar dari Retreat menjadi Lost Opportunity. Pangsa produk kertas Singapura mengalami peningkatan yaitu menjadi dinamis namun pangsa ekspor di pasar ACFTA tetap tidak kompetitif. Malaysia dan Philipina menduduki posisi pasar Retreat yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan pangsa produk menjadi tidak dinamis dan pangsa ekspor di pasar ACFTA tetap tidak kompetitif.

Pangsa produk kertas Indonesia di pasar ACFTA tidak dinamis karena laju pertumbuhan pangsa pasar kertas berkembang dengan sangat lambat dibandingkan dengan komoditas lainnya. Akan tetapi, Indonesia mampu meningkatkan kegiatan ekspornya di pasar ACFTA sehingga pangsa pasar ekspor Indonesia menjadi kompetitif setelah adanya ACFTA. Hal tersebut terbukti dari

share nilai ekspor total Indonesia terhadap nilai ekspor total ACFTA semakin besar setiap tahunnya karena adanya pengurangan hambatan perdagangan. Selain itu, adanya pengurangan hambatan baik tarif maupun non tarif setelah adanya ACFTA menyebabkan harga kertas Indonesia menjadi lebih murah sehingga permintaan terhadap kertas dari negara anggota ACFTA meningkat.

Tabel 7 Posisi pasar negara anggota ACFTA di pasar ACFTA tahun 1998-2011 Negara Sebelum ACFTA

(1998-2004)

Sesudah ACFTA (2005-2011)

China Rising Star Rising Star

Indonesia Retreat Falling Star

Malaysia Lost Opportunity Retreat

Singapura Retreat Lost Opportunity

Thailand Lost Opportunity Rising Star

Philipina Lost Opportunity Retreat

Vietnam Lost Opportunity Lost Opportunity

Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam)

Uji Kesesuaian Model

Nilai probabilitas F-statistics pada uji Chow (0,0000) < taraf nyata (10%) yang artinya tolak H0, model yang digunakan adalah Least Square Dummy Variable (LSDV). Berdasarkan uji Hausmann, nilai probabilitas (0.0798) < taraf

26

nyata (10%) yang artinya tolak H0, maka model yang dipilih adalah LSDV. Berdasarkan uji Chow dan Uji Hausamann maka dapat disimpulkan bahwa model terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah LSDV. Variabel-variabel pada model dianalisis dengan menggunakan taraf nyata pada taraf 10%.

Tabel 8 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kertas Indonesia Variabel Koefisien Prob.

GDPPC 1.703655 0.0000 INTERNP −1.219472 0.0260 PXINDO 1.600421 0.0000 ER 0.485267 0.0000 DUMMY 0.465728 0.0000 C 6.742317 0.0041 R-squared 0.954846 Adjusted R-squared 0.948661 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.565304 Sum squared resid weighted 81.69966 Sum squared resid unweighted 18.59187

Uji Kriteria Ekonometrika

Nilai probalitias Jarque Bera pada uji asumsi kenormalan sebesar 0.244581 lebih besar dari taraf nyata (10%) maka terima H0 yang artinya asumsi kenormalan terpenuhi dimana error term sudah terdistribusi secara normal. Langkah berikutnya ialah uji asumsi autokorelasi, uji ini berguna untuk mengetahui adanya hubungan korelasi antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Selanjutnya dilakukan uji autokorelasi dengan membandingkan Durbin Watson (DW) hasil estimasi sebesar 1.565304 dengan DW pada tabel. Berdasarkan tabel DW dengan taraf nyata 5%, n = 84, dan k = 5 maka diperoleh nilai batas bawah (DL) sebesar 1.5219 dan batas atas (DU) sebesar 1.7732. Suatu model terbebas dari autokorelasi jika nilai DW statistik berada diantara nilai 1.7732 dan 2.2268. Akan tetapi, nilai DW hasil estimasi berada pada daerah ragu-ragu atau tidak ada keputusan terdapat autokorelasi atau tidak (DL<DW<DU).

Uji homoskedastisitas dilakukan dengan melihat nilai sum square residual

pada weighted statistics lebih besar dari sum square residual pada unweighted statistics. Nilai sum square residual pada weighted statistics (81.69966) lebih besar dari sum square residual pada unweighted statistics (18.59187) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji asumsi multikolinearitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai korelasi antar peubah dengan

R-square. Jika nilai korelasi antar peubah lebih kecil dari R-square maka tidak terjadi multikolinearitas. Nilai korelasi antar peubah lebih kecil dari R-square

27 (0.954846) sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut telah terbebas dari multikolinearitas.

Uji Kriteria Statistik

Langkah awal uji kriteria statistik adalah uji F-statistic. Nilai probabilitas

F-statistic pada hasil estimasi sebesar 0.0000 lebih kecil dari taraf nyata 10% sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model yang dipilih setidaknya ada satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA. Langkah selanjutnya ialah melakukan uji T-statistic

dan uji koefisien determinasi (R2). Nilai probabilitas T-statistic dari variabel GDP per kapita negara tujuan, harga internasional, harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan, nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan, dan dummy

lebih kecil dari taraf nyata 10% yang ditunjukkan pada Tabel 8. Hal ini berarti variabel-variabel independen tersebut secara individu berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA. Nilai R-square pada model sebesar 0.954846 maka dapat diartikan bahwa 95.48% perubahan variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen, sedangkan sisanya yaitu 4.52% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

GDP Per Kapita Negara Tujuan

Variabel GDP per kapita negara tujuan diketahui secara siginifikan memengaruhi nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dengan koefisien sebesar 1.703655. Seperti halnya hasil penelitian Heldini (2008) yang menyatakan bahwa pendapatan per kapita negara Amerika positif memengaruhi pangsa pasar industri kertas Indonesia. Jika GDP per kapita negara importir naik 1% maka nilai ekspor kertas Indonesia akan meningkat sebesar 1.70% (cateris paribus). Hal ini sesuai dengan teori permintaan menurut Mankiw (2000) dimana peningkatan GDP per kapita suatu negara akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga akan meningkatkan permintaan di negara tersebut. Oleh karena itu, ketika GDP per kapita negara tujuan meningkat maka permintaan kertas negara tujuan juga meningkat sehingga nilai ekspor kertas Indonesia akan meningkat. Nilai probabilitas (0.0000) < taraf nyata (10%) menunjukkan bahwa GDP per kapita negara tujuan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA.

Harga Internasional

Variabel harga internasional dari hasil estimasi diketahui berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dengan koefisien sebesar −1.219472. Kenaikan harga internasional kertas sebesar 1% akan menurunkan nilai ekspor kertas Indonesia sebesar 1.22% (cateris paribus). Hal ini disebabkan harga internasional dan kuantitas permintaan negara pengimpor berhubungan negatif. Nilai probabilitas (0.0260) < taraf nyata (10%) yang menunjukkan bahwa variabel harga internasional kertas berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA.

28

Harga Ekspor Kertas Indonesia ke Negara Tujuan

Harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan berpengaruh positif terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dengan koefisien sebesar 1.600421. Jika harga ekspor kertas negara pesaing meningkat 1% maka nilai ekspor kertas Indonesia akan meningkat sebesar 1.60% (cateris paribus). Hal ini disebabkan oleh peningkatan harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan tidak melebihi dari harga internasional maka terjadi peningkatan permintaan dari negara tujuan terhadap kertas Indonesia karena harga kertas Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan harga kertas internasional, sehingga nilai ekspor kertas Indonesia meningkat. Nilai probabilitas (0.0000) < taraf nyata (10%) menunjukkan bahwa harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA.

Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Mata Uang Negara Tujuan

Variabel nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan secara signifikan memiliki pengaruh terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dengan koefisien sebesar 0.485267. Hasil estimasi ini sama dengan hasil penelitian Ningrum (2006) yang menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika memiliki pengaruh positif terhadap permintaan kertas Indonesia. Jika terjadi kenaikan pada nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan sebesar 1% maka akan meningkatkan nilai ekspor kertas Indonesia sebesar 0.48% (cateris paribus). Hal ini disebabkan harga kertas Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan harga kertas negara tujuan. Oleh sebab itu, Indonesia mengalami peningkatan permintaan pada kertas sehingga nilai ekspor kertas meningkat. Nilai probabilitasnya (0.0000) < taraf nyata (10%) yang menunjukkan bahwa variabel nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan

Dokumen terkait