• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Kertas Indonesia: Sebelum dan Sesudah ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Kertas Indonesia: Sebelum dan Sesudah ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

EKSPOR KERTAS INDONESIA: SEBELUM DAN SESUDAH

ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA

(ACFTA)

INDAH RIZKI ANUGRAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Kertas Indonesia: Sebelum dan Sesudah

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Indah Rizki Anugrah

(4)

ABSTRAK

INDAH RIZKI ANUGRAH. Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Kertas Indonesia: Sebelum dan Sesudah ASEAN-China Free Trade Area

(ACFTA). Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI.

Indonesia memiliki peluang ekspor kertas yang lebih baik karena memiliki kekayaan sumber daya alam dan berlimpahnya tenaga kerja yang dimiliki. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kinerja ekspor kertas di Indonesia, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi daya saing kertas Indonesia, dan menganalisis posisi daya saing kertas Indonesia untuk kawasan ASEAN dan China sebelum dan sesudah ACFTA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada kertas dan memiliki integrasi perdagangan yang lemah sebelum dan sesudah ACFTA. Performa perdagangan kertas Indonesia tidak dinamis sebelum dan sesudah ACFTA dan Indonesia memiliki keunggulan kompetitif setelah adanya ACFTA. Selanjutnya, variabel GDP per kapita negara tujuan, harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan, nilai tukar rill negara tujuan dan dummy ACFTA secara signifikan berpengaruh positif terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA sedangkan harga kertas internasional secara signifikan berpengaruh negatif terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA.

Kata kunci: ekspor kertas, ACFTA, daya saing, harga, GDP per kapita, nilai tukar

ABSTRACT

INDAH RIZKI ANUGRAH. Competitiveness and Factors Affecting Export of Indonesia’s Paper: Before and After the ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Supervised by RINA OKTAVIANI.

Indonesia has better opportunity exporting paper because its natural resources and labor abundant. The objectives of this research are to analyze the export performance of Indonesia’s paper, to identify factors that affect the competitiveness of Indonesia’s paper, and analyze the competitiveness position Indonesia’s paper for ASEAN and China area before and after ACFTA. The results showed that Indonesia has a comparative advantage on paper and a weak trade integration before and after ACFTA. Indonesia’s paper trading performance remains dynamically both before and after ACFTA and Indonesia has a competitive advantage after ACFTA. Furthermore, GDP per capita, Indonesia’s exporting paper price, real exchange rate and dummy ACFTA are significantly positive affect on the export value of Indonesia’s paper in ACFTA market while international paper price is significantly negative affect the export value of Indonesia’s paper in ACFTA market.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DAYA SAING DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI

EKSPOR KERTAS INDONESIA: SEBELUM DAN SESUDAH

ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA

(ACFTA)

INDAH RIZKI ANUGRAH

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Kertas Indonesia: Sebelum dan Sesudah ASEAN-China Free Trade Area

(ACFTA)

Nama : Indah Rizki Anugrah NIM : H14090094

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 ini ialah perdagangan, dengan judul Daya Saing dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Kertas Indonesia: Sebelum dan Sesudah Asean-China Free Trade Area (ACFTA).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Lukitawati Anggraeni selaku dosen penguji utama, Widyastutik, MSi selaku dosen penguji Komisi Pendidikan yang telah memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan karya ilmiah ini dan Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta masukan selama penulisan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, serta seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya yang sangat berarti selama ini, kepada teman-teman satu bimbingan (Nyimas Tyah Nadhilah, Marsela Dwi T dan Gradisny Qaliffa M) yang bersama-sama menjalani penelitian baik dalam suka maupun duka, kepada para sahabat saya Athu, Surini, Gita, Iren, Tari, Dini, Tia, Arvin, Bintan, Ulfa, dan Eva atas doa dan dukungannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan sehingga saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Landasan Teori 5

Penelitian Terdahulu 9

Kerangka Pemikiran 10

METODE PENELITIAN 11

Jenis dan Sumber Data 11

Analisis Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 18

Kinerja Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura,

Thailand, Philipina, dan Vietnam) 18

Daya Saing Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura,

Thailand, Philipina, dan Vietnam) 21

Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) 25

SIMPULAN DAN SARAN 28

Simpulan 28

Saran 29

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 32

(10)

DAFTAR TABEL

1. Kinerja perdagangan negara anggota ASEAN dengan China tahun 2011 1 2. Perkembangan kertas di Indonesia tahun 2007-2011 2

3. Matriks posisi daya saing 13

4. Klasifikasi dari nilai Intra Industry Trade 13

5. Nilai RCA kertas di negara anggota ACFTA tahun 1998-2011 22 6. Posisi pasar negara anggota ACFTA di pasar ACFTA tahun 1998-2011 25 7. Nilai IIT kertas di negara anggota ACFTA tahun 1998-2011 24 8. Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kertas Indonesia 26

DAFTAR GAMBAR

1. Kurva perdagangan internasional 7

2. Kerangka pemikiran 11

3. Matriks Export Product Dinamics (EPD) 14

4. Nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA 19

5. Volume ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA 20

6. Pangsa Pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA 21

DAFTAR LAMPIRAN

1. Perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA) 32

2. Perhitungan Export Product Dinamics (EPD) 35

3. Perhitungan Intra Industry Trade (IIT) (lanjutan) 40

4. Variabel panel data (lanjutan) 42

5. Uji Chow 43

6. Uji Hausmann 44

7. Hasil estimasi model LSDV 45

8. Uji asumsi kenormalan 46

9. Uji asumsi homoskedastisitas 47

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Era perdagangan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan perjanjian untuk mewujudkan suatu kawasan perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN dan China melalui hubungan perdagangan ekspor dan impor. Kesepakatan kerangka kerjasama yang sering disebut dengan “Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation” terjadi pada tanggal 4 November 2002 dan telah disepakati bahwa perdagangan bebas untuk barang pada tahun 2004, sektor jasa pada tahun 2007 dan investasi tahun 2009. Di samping itu, dari sisi kesiapan perdagangan bebas bagi ASEAN juga berlaku secara bertahap. Perdagangan bebas mulai berlaku tahun 2010 antara China dengan ASEAN+6 yaitu Indonesia, Singapura, Thailand, Malaysia, Philipina, dan Brunei. Tahun 2015 berlaku bagi China dengan ASEAN+4 yaitu Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar. Pengurangan atau penghapusan hambatan baik tarif maupun non tarif dan peningkatan akses pasar jasa di antara negara ASEAN dan China dapat menciptakan persaingan industri yang semakin ketat di kawasan tersebut. Kinerja perdagangan (ekspor dan impor) negara-negara ASEAN dengan China tahun 2011 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kinerja perdagangan negara anggota ASEAN dengan China tahun 2011

Negara

Nilai perdagangan (Ribu US$) Pangsa (%)

Ekspor dari

(12)

2

Indonesia masih memiliki peluang untuk meningkatkan ekspor dari sejak terbentuknya perjanjian ACFTA. Peluang tersebut semakin luas setelah berbagai bentuk hambatan di negara-negara anggota ACFTA telah diminimalkan. Selain itu, Indonesia memiliki peluang ekspor yang lebih baik terutama di sektor agroindustri karena memiliki kekayaan sumber daya alam dan berlimpahnya tenaga kerja yang dimiliki.

Salah satu sektor agroindustri di Indonesia yang berkembang saat ini adalah industri kertas. Industri kertas memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini didukung oleh tiga alasan yaitu produk kertas harganya banyak ditentukan oleh nilai dollar, komponen impor dalam produksi nilainya tidak lebih dari 30 persen, dan produk kertas banyak ditujukan untuk pasar luar negeri karena industri penghasil kertas masih dapat membantu dalam hal penerimaan devisa di masa kritis sekalipun (Rosadi dan Vidyatmoko 2002). Perkembangan kertas di Indonesia dilihat dari sisi peningkatan kapasitas, jumlah produksi riil, ekspor dan impor, maupun konsumsi kertas dalam lima tahun terakhir (2007-2011) (Tabel 2).

Tabel 2 Perkembangan kertas di Indonesia tahun 2007-2011

Tahun Kapasitas Produksi riil Ekspor Impor Konsumsi (Ton/Th) (Ton/Th) (Ton) (Ton) (Ton) 2010, namun nilai dari ekpor kertas meningkat. Menurut Kementrian Perindustrian (2012) nilai ekspor kertas mencapai 2 873 514 ribu US$ dan mengalami penurunan sebesar 57 470 ribu US$ tahun 2008. Peningkatan nilai ekspor kertas 3 257 220 ribu US$ terjadi pada tahun 2009, dan kembali meningkat pada tahun 2010 sebesar 3 786 312 ribu US$. Nilai ekspor kertas pada tahun 2011 meningkat sebesar 4 027 527 ribu US$. Nilai ekspor kertas ini menjadi hal yang penting karena menjadi salah satu penyokong perekonomian Indonesia sebagai penyumbang devisa.

(13)

3 Industri kertas di Indonesia memiliki potensi jika dilihat dari segi sumberdaya manusia dan ketersediaan bahan baku. Industri ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Perusahaan kertas yang ada di Indonesia berjumlah 79 unit perusahaan dengan menyerap tenaga kerja sebesar 184 900 orang (Kemenperin 2012).

Indonesia juga berpotensi untuk menjadi pemain utama dalam industri kertas, karena Indonesia memiliki hutan yang masih luas dan iklim tropis. Hutan yang masih luas merupakan sumber bahan baku utama industri kertas. Iklim tropis memungkinkan tanaman tumbuh lebih cepat sehingga menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang secara alami efisien menghasilkan serat alam (Sipayung et al. 2000).

Masalah yang dihadapi Indonesia saat ini adalah daya saing kertas di pasar ACFTA. Hal ini menjadi tantangan yang menyulitkan Indonesia dalam mengikuti arus liberalisasi perdagangan internasional mengingat China adalah salah satu negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Produk yang dihasilkannya sangat kompetitif dengan harga yang terjangkau sehingga dapat merambah hampir ke seluruh dunia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat Indonesia karena harga jual produk memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk dari China dan dianggap belum dapat bersaing dengan produk China. Di samping itu, dengan tidak adanya lagi hambatan masuk, banyak negara yang berupaya menghambat dengan cara isu dumping dan isu kerusakan lingkungan pada produk kertas Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, dengan melihat beberapa peluang, potensi, keuntungan hingga hambatan serta adanya perjanjian ACFTA penulis tertarik untuk melakukan analisis daya saing terhadap kertas di Indonesia sebelum dan sesudah adanya kebijakan ACFTA.

Perumusan Masalah

Liberalisasi perdagangan antara negara anggota ASEAN dan China melalui perjanjian ACFTA menandai terbukanya pasar bersama bagi para pelaku usaha dalam kawasan negara yang tergabung dalam blok perdagangan tersebut. Pasar bersama ini menyebabkan semakin mudahnya mendapatkan berbagai produk dan semakin bebasnya pergerakan manusia melewati batas antar negara. Hal ini menyebabkan kertas akan semakin kompetitif.

Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kinerja ekspor kertas Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA? 2. Bagaimana posisi daya saing kertas Indonesia dengan negara-negara pesaing

ASEAN dan China sebelum dan sesudah ACFTA?

(14)

4

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis kinerja ekspor kertas Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA. 2. Menganalisis posisi daya saing kertas Indonesia untuk kawasan ASEAN dan

China sebelum dan sesudah ACFTA.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi daya saing kertas Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ke berbagai pihak antara lain:

1. Bagi pelaku ekonomi, penelitian ini memberikan informasi dan saran yang dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas industri kertas di Indonesia. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini menjadi acuan dalam membuat kebijakan

untuk pengembangan industri kertas di Indonesia.

3. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan tentang kertas di Indonesia dan mengaplikasikan teori yang telah dipelajari dengan kondisi yang sebenarnya terjadi.

4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat menjadi referensi penelitian tentang kertas ini secara lebih mendalam.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang analisis daya saing kertas (kode HS 4802) di Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA. Analisis daya saing ini hanya meliputi daya saing kertas Indonesia terhadap negara anggota ASEAN lainnya (Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Vietnam) dan China serta faktor-faktor yang memengaruhi daya saing tersebut. Periode analisis ialah sebelum dan sesudah ditandatanganinya perjanjian ACFTA mulai dari tahun 1998 sampai 2011.

Hipotesis

1. Nilai RCA kertas Indonesia sebelum dan sesudah perjanjian ACFTA lebih dari satu (RCA > 1), artinya Negara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada kertas sehingga memiliki daya saing kuat diantara negara-negara ACFTA. 2. Indeks Intra Industry Trade (IIT) sebelum dan sesudah ACFTA bernilai tinggi dimana menunjukkan bahwa alur perdagangan bersifat intra-industri dan tingkat integrasi antar negara anggota ACFTA tinggi karena Indonesia melakukan ekspor sekaligus impor kertas ke negara-negara ASEAN dan China. 3. Nilai RCA kertas sebelum dan sesudah ACFTA lebih dari satu sehingga

memiliki keunggulan komparatif, dengan kata lain kertas berada pada posisi

(15)

5 4. Variabel GDP per kapita negara tujuan, nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan dan dummy ACFTA memengaruhi nilai ekspor kertas Indonesia secara positif.

5. Variabel harga kertas internasional dan harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan memengaruhi nilai ekspor kertas Indonesia secara negatif.

TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

Teori Permintaan

Dalam konsep permintaan terdapat tiga hal penting. Pertama, jumlah yang diminta pada harga tersebut, harga barang lain, pendapatan konsumen, selera, dan lain-lain adalah tetap. Kedua, apa yang diinginkan merupakan permintaan efektif, artinya jumlah orang yang bersedia membeli pada harga yang mereka harus bayar untuk komoditas tersebut. Ketiga, kuantitas yang diminta menunjukkan arus pembelian yang terus menerus (Lipsey 1995). Jumlah permintaan suatu komoditas dipengaruhi oleh beberapa variabel antara lain :

1. Harga komodti itu sendiri

Semakin rendah harga suatu komoditas maka jumlah komoditas yang diminta akan semakin besar. Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu komoditas maka jumlah komoditas yang diminta akan semakin kecil.

2. Rata-rata pendapatan rumah tangga atau konsumen

Jika asumsi barang normal, kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga menyebabkan jumlah barang yang akan dibeli semakin banyak meskipun harganya tetap. Jika asumsi barang inferior, kenaikan pendapatan rata-rata rumah tanggamenyebabkan jumlah barang yang diminta semakin sedikit. 3. Harga-harga lainnya

Harga barang substitusi pada komoditas tertentu meningkat maka permintaan untuk komoditas tersebut pada setiap tingkat harga akan meningkat pula. Jika harga pada barang komplementer mengalami penurunan maka permintaan untuk komoditas tersebut pada setiap tingkat harga akan meningkat.

4. Selera

Semakin besar selera atau kesukaan masyarakat terhadap suatu komoditas maka akan meningkatkan permintaan komoditas tersebut.

5. Distribusi pendapatan

Perubahan dalam distribusi pendapatan dapat menggeser kurva permintaan ke kanan artinya, permintaan untuk komoditas yang dibeli mengalami peningkatan oleh mereka yang memperoleh tambahan pendapatan tersebut. 6. Populasi

Jika jumlah penduduk meningkat maka akan meningkatkan permintaan komoditas tersebut, cateris paribus.

(16)

6

harga kompetitor, pendapatan per kapita negara pengimpor, nilai tukar riil, dan lain lain (Salvatore 1997).

Teori Perdagangan Internasional

Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah lain. Perdagangan internasional dapat meningkatkan industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi serta menciptakan perusahaan multinasional.

Menurut Hady (2004) terdapat beberapa asumsi dasar dalam melakukan analisis teori perdagangan internasional yaitu:

1. Neutrality of Money, dalam arti uang tidak berpengaruh atas harga relatif 2. Jumlah faktor produksi dari setiap negara tetap

3. Faktor produksi secara internasional tidak dapat berpindah (international immobility of factors)

4. Teknologi yang tersedia sama

5. Taste and income distribution dianggap sebaga sesuatu yang given dan tidak berubah

6. Tidak terdapat hambatan perdagangan atau trade barrier dalam bentuk biaya transpor, informasi, dan komunikasi

7. Adanya full employment faktor produksi dan tidak terjadi excess supplies

ataupun shortage of commodities

Gambar 1 menunjukkan proses terciptanya harga komoditas relatif ekuilibrium dengan adanya perdagangan, dilihat dari analisis keseimbangan parsial. Kurva DA, SA, DB, SB, dalam panel A dan C pada Gambar 1 masing-masing melambangkan kurva permintaan dan kurva penawaran untuk komoditas X di Negara A, dan Negara B. Sumbu vertikal pada ketiga panel tersebut mengukur harga-harga relatif untuk komoditas X (Px/Py) sedangkan sumbu horizontalnya mengukur kuantitas komoditas X.

Tanpa adanya perdagangan internasional, keseimbangan yang terjadi di negara A akan dicapai pada kondisi keseimbangan domestik, dimana volume transaksi berada di QA dan harga di PA. Di negara B, keseimbangan akan tercapai pada kondisi volume transaksi berada dititik QB dan harga di PB, dengan menggunakan asumsi harga domestik di negara A lebih murah dibandingkan dengan negara B untuk komoditas tersebut. Dilihat dari struktur yang terjadi di negara A, harga yang terjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di negara B. Jika harga yang terjadi di pasar negara A meningkat, maka akan mengakibatkan peningkatan penawaran melebihi dari jumlah yang diminta konsumen di negara tersebut, yang mengakibatkan terjadinya excess supply di negara A. Sementara kondisi yang berlaku di negara B adalah ketika harga yang berlaku turun dibawah PB, akan mengakibatkan bertambahnya permintaan barang dan mengurangi penawaran barang tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya

excess demand di negara B.

(17)

7 yang terjadi akan berubah. Penawaran ekspor di pasar internasional akan digambarkan oleh SW yang merupakan excess supply function dari negara A, dan fungsi permintaan akan digambarkan oleh DW yang merupakan excess demand function dari negara B, dan menciptakan keseimbangan yang terjadi saat harga berada di titik PW. Kondisi yang berlaku saat perdagangan ini, negara A akan mengekspor (QA2-QA1) dengan jumlah yang sama dengan negara B (QB2-QB1). Jumlah ekspor dan impor tersebut ditunjukkan oleh volume perdagangan sebesar QW pada pasar internasional.

Sumber : Salvatore (1997).

Gambar 1 Kurva perdagangan internasional

Teori Pendapatan

Gross Domestic Product (GDP) adalah indikator ekonomi untuk mengukur total nilai produk barang dan jasa akhir dalam suatu perekonomian (Mankiw 2007). Ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menghitung GDP yaitu : pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Berdasarkan pendekatan produksi, GDP adalah total nilai tambah dari seluruh sektor kegiatan ekonomi. Pendekatan ini dapat diformulasikan sebagai berikut :

GDP = Σ N T

Keterangan : NT = Nilai tambah dari seluruh kegiatan usaha dalam perekonomian GDP juga dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan pendapatan, yaitu dengan menjumlahkan seluruh pendapatan yang diterima oleh produsen dalam negeri. Pendekatan GDP ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

GDP = W + OS + TSP

(18)

8

OS = Gross Operating Surplus perusahaan seperti keuntungan, bunga, sewa, dan penyusutan

TSP = Pajak setelah dikurangi subsidi

Sedangkan untuk pendekatan pengeluaran GDP dapat dirumuskan sebagai berikut :

GDP = C + I + G + (X-M)

Keterangan : C = Konsumsi rumah tangga

I = Investasi (pembentukan modal bruto) membedakan nilai tukar menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang antar dua negara. Nilai tukar riil menyatakan kondisi memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang lain. Nilai tukar riil disebut juga term of trade (Mankiw 2007).

Hubungan yang terjadi antara nilai tukar nominal dan nilai tukar riil adalah bahwa nilai tukar riil diantara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal dan tingkat harga dikedua negara. Jika nilai tukar riil tinggi maka barang luar negeri relatif lebih murah dan barang domestik relatif lebih mahal. Apabila hal tersebut terjadi maka penduduk akan berkeinginan untuk membeli barang-barang impor sehingga ekspor netto menjadi lebih rendah. Ekspor netto sendiri adalah nilai ekspor dikurangi impor. Perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dapat mempengaruhi harga pada perdagangan dunia yang pada akhirnya dapat menentukan banyaknya penawaran dan permintaan ekspor. Apabila terjadi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, maka barang-barang Indonesia akan dinilai relatif lebih murah sehingga daya saing produk Indonesia akan meningkat dan hal ini akan dapat meningkatkan permintaan ekspor untuk

Indonesia.

Teori Ekspor

Ekspor adalah total penjualan barang yang dapat dihasilkan oleh suatu negara kemudian diperdagangkan kepada negara lain untuk mendapatkan devisa. Ekspor dan impor yang terjadi dalam kurun waktu tertentu ditentukan oleh faktor-faktor yang berbeda-beda, sehingga perkembangan ekspor berbeda dengan perkembangan impor (Lipsey 1995).

Menurut Lipsey (1995), pertumbuhan ekspor suatu komoditas dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

1. Adanya daya saing dengan negara-negara lain di dunia

(19)

9 Jika harga internasional lebih tinggi daripada harga pasar domestik maka produsen lebih memilih untuk memasarkan komoditas yang diproduksi ke pasar internasional sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut.

3. Adanya permintaan dari luar negeri

Semakin tinggi permintaan dari luar negeri terhadap komoditas yang dihasilkan oleh suatu negara, maka semakin tinggi pula pertumbuhan ekspor di negara tersebut.

4. Nilai tukar mata uang

Jika suatu negara mengalami apresiasi nilai tukar maka akan menurunkan pertumbuhan ekspor di negara tersebut. Hal tersebut terjadi karena harga barang luar negeri lebih murah dibandingkan dengan harga barang dalam negeri sehingga permintaan luar negeri terhadap komoditas tersebut akan menurun.

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai mengenai kertas sudah banyak diteliti antara lain penelitian Suriarty Situmorang (2005) yang berjudul “Analisis Penawaran dan Permintaan Pulp dan Kertas Indonesia di Pasar Domestik dan Internasional”. Penelitian ini menggunakan data deret waktu (time series) dari tahun 1975 sampai 2000 dengan pendekatan ekonometrika 2SLS. Berdasarkan hasil estimasi dapat diketahui bahwa baik dalam jangka pendek maupun panjang produksi pulp tidak responsif terhadap perubahan harga pulp dan biaya produksi dan ekspor pulp Indonesia hanya responsif terhadap produksi domestik pulp. Permintaan domestik pulp tidak responsif pada perubahan harga domestik kertas dan harga impor pulp dan impor pulp tidak responsif terhadap permintaan domestik pulp dan harga impor pulp. Sedangkan harga domestik pulp responsif terhadap perubahan produksi domestik pulp. Variabel produksi domestik kertas, ekspor kertas, impor kertas, maupun permintaan domestik kertas Indonesia tidak responsif terhadap perubahan semua peubah penjelasnya masing-masing kecuali harga domestik kertas responsif terhadap perubahan permintaan dan penawaran domestik kertas. Hasil dari simulasi model tersebut adalah peningkatan penawaran pulp Indonesia di pasar domestik dilakukan dengan cara meningkatkan harga domestik pulp dan penawaran pulp Indonesia di pasar internasional dapat ditingkatkan melalui peningkatan harga ekspor pulp dan devaluasi rupiah. Peningkatan penawaran kertas di pasar domestik maupun internasional dapat dicapai melalui pengurangan tarif impor dan peningkatan harga ekspor kertas Indonesia. Sedangkan permintaan domestik pulp dan kertas dapat ditingkatkan melalui pengurangan tarif impor.

Agustina W.P Ningrum (2006) melakukan analisis terhadap permintaan ekspor pulp dan kertas Indonesia dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) mulai dari tahun 1980 hingga 2005. Dalam melakukan uji multikolinearitas menggunakan uji Kein, uji autokorelasi menggunakan uji

(20)

10

pulp Indonesia. Variabel yang memiliki pengaruh paling besar dari permintaan ekspor pulp adalah variabel produksi pulp karena memiliki nilai elastisitas lebih dari satu. Variabel yang berpengaruh secara signifikan pada permintaan kertas adalah produksi kertas, nilai tukar, dan harga ekspor kertas. Sedangkan variabel

dummy larangan ekspor kayu bulat dan harga ekspor kertas tahun sebelumnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan kertas. Variabel produksi kertas memiliki nilai elastisitas lebih dari satu dan sangat berpengaruh pada permintaan kertas.

Analisis lainnya dilakukan oleh Noorish Heldini (2008) yaitu menganisis pangsa pasar industri kertas dengan menggunakan metode OLS. Data yang digunakan adalah data time series berupa harga domestik, harga ekspor, nilai tukar, pendapatan per kapita dan populasi negara pengimpor, serta dummy ekolabeling mulai dari tahun 1979 hingga 2006. Uji yang dilakukan adalah uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi, dan uji multikolinearitas agar hasil estimator variabel penduga bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) dan memperoleh penduga terhadap pangsa pasar yang terbaik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pangsa pasar industri kertas Indonesia di pasar internasional hanya kurang dari 10 persen dimana nilainya masih lebih rendah dibandingkan Kanada yang memiliki luas hutan lebih kecil daripada Indonesia. Pengujian variabel pada taraf 10 persen dalam kurun waktu 28 tahun diperoleh bahwa harga domestik, harga ekspor, nilai tukar, pendapatan per kapita dan populasi pengimpor, serta dummy ekolabelinglah yang menentukan pangsa pasar industri kertas Indonesia di pasar internasional.

Kerangka Pemikiran

Perkembangan perdagangan internasional merupakan bentuk perdagangan yang lebih bebas disertai berbagai bentuk kerjasama bilateral, regional, maupun multilateral. Tujuan utama dari perdagangan internasional ini adalah berusaha untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan perdagangan. Globalisasi perdagangan dunia dengan pola kerjasama internasional menghasilkan implikasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Salah satu contoh adalah negara Indonesia yang melakukan kerjasama dalam kawasan regional yaitu tergabung dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Salah satu dampak dari perdagangan ACFTA terhadap perekonomian Indonesia dilihat dari kinerja perdagangan Indonesia terhadap negara anggota ACFTA. Penelitian ini lebih difokuskan pada ekspor dan impor kertas Indonesia terhadap negara ASEAN dan China.

Indikator dari kinerja perdagangan Indonesia dapat dilihat dari daya saing komparatif, pertumbuhan pangsa ekspor di negara tujuan serta keterkaitan antar negara. Perhitungan daya saing komparatif umumnya menggunakan metode

Revealed Comparative Advantage (RCA). Pertumbuhan pangsa ekspor di negara tujuan dapat ditentukan dengan menggunakan metode Export Product Dinamics

(21)

11

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk

time series dan cross section mulai tahun 1998 sampai 2011. Data tersebut adalah nilai ekspor kertas, nilai impor kertas, nilai ekspor total, volume ekspor kertas

Gambar 2 Kerangka pemikiran Liberalisasi Perdagangan antara negara ASEAN dan

China (ACFTA)

Kinerja Perdagangan Kertas Indonesia dengan Negara

Anggota ACFTA

Ekspor dan Impor Kertas Indonesia Terhadap Negara

Anggota ACFTA

Faktor-faktor yang Memengaruhi Ekspor Kertas

Indonesia di Pasar ACFTA

Panel Data

Export Product

Dinamics (EPD)

Integrasi Perdagangan Antar Negara

(IIT) Analisis

Keunggulan komparatif

(RCA)

Posisi Daya Saing Komoditas Kertas Indonesia Diantara Negara Anggota

ACFTA Pengurangan hambatan

(22)

12

negara anggota ACFTA, nilai dan volume ekspor kertas dunia, Indeks Harga Konsumen (IHK) Amerika dan negara anggota ACFTA, GDP per kapita negara anggota ACFTA, harga kertas di pasar internasional, harga ekspor kertas Indonesia ke negara anggota ACFTA, dan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara anggota ACFTA. Data tersebut dapat diperoleh dari web UN

Comtrade dan World Bank.

Analisis Data

Revealed Comparative Advantage (RCA)

Keunggulan komparatif dapat diukur menggunakan metode analisis RCA sehingga dapat mengetahui daya saing industri suatu negara sudah cukup kuat bersaing di pasar internasional atau tidak secara kuantitatif. Perumusan umum RCA (Esterhuizen 2006) adalah sebagai berikut :

��� =

Keterangan:

RCAij = Keunggulan komparatif kertas negara j tahun ke-t

Xij = Nilai ekspor kertas Indonesia ke ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) tahun ke-t (US$) Xis = Nilai ekspor total Indonesia tahun ke-t (US$)

Wj = Nilai ekspor kertas ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) tahun ke-t (US$)

Ws = Nilai ekspor total ACFTA (China, Malaysia, Singapura,Thailand, Philipina, dan Vietnam) tahun ke-t (US$)

T = 1998,….., 2011

Jika nilai RCA lebih besar dari satu menunjukkan bahwa pangsa komoditas kertas di dalam ekspor total negara j lebih besar dari pangsa rata-rata dari komoditas yang bersangkutan dalam ekspor dunia. Artinya, negara j lebih berspesialisasi pada kelompok komoditas yang bersangkutan sehingga negara j memiliki keunggulan komparatif pada komoditas kertas dan berdaya saing kuat. Jika nilai RCA lebih kecil dari satu berlaku sebaliknya.

Intra Industry Trade (IIT)

Alur perdagangan internasional dapat dilihat juga dari keterkaitan antar perdagangan antar negara dengan menggunakan indikator Intra Industry Trade

(IIT). Integrasi yang tinggi memperlihatkan suatu kedekatan perdagangan di antara negara-negara dalam kawasan tersebut. Rumus indeks IIT (Austria 2004) :

��� = ( +� )− ∣ − � ∣

( +� ) × 100 � � 1−

∣ − � ∣

(23)

13

Keterangan :

Xij = Nilai ekspor kertas Indonesia ke ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dalam US$ Mij = Nilai impor kertas Indonesia ke ACFTA (China, Malaysia,

Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dalam US$

Indeks IIT berada pada ukuran nilai antara 0 dan 100. Indeks IIT yang mendekati 0 mencerminkan alur perdagangan bersifat inter-industri yang berarti perdagangan suatu negara hanya melibatkan satu pihak saja (ekspor atau impor saja). Sebaliknya indeks IIT yang mendekati 100 mencerminkan alur perdagangan bersifat intra-industri, artinya jumlah yang diekspor sama dengan jumlah impor untuk suatu produk.

Tabel 3 Klasifikasi dari nilai Intra Industry Trade

Intra-Industry Trade Klasifikasi

0 No integration (one way trade)

> 0 – 24.99 Weak integration

> 25 – 49.99 Mild integration

> 50 – 74.99 Moderately strong integration

> 75 – 99.99 Strong integration

Sumber : Austria (2004).

Export Product Dinamics (EPD)

Export Product Domestic (EPD) merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang tingkat daya saing karena dapat mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu dan mengetahui dinamis atau tidaknya performa suatu produk. Matriks EPD terdiri atas daya tarik pasar yang dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan suatu produk untuk tujuan pasar tertentu dan informasi kekuatan bisnis yang dihitung berdasarkan pertumbuhan dari market share sebuah negara pada tujuan pasar tertentu.

Tabel 4 Matriks posisi daya saing Pangsa ekspor negara di

perdagangan internasional

Pangsa produk di perdagangan internasional

Rising (Dinamis) Falling (Stagnat)

Rising (Competitive) Rising Star Falling Star Falling

(Non-Competitive)

Lost

Opportunity Retreat

(24)

14

Tabel 3 dapat dikonversikan menjadi Gambar 2 yang mempermudah dalam melihat posisi daya saing suatu komoditas.

Sumber : Esterhuizen (2006).

Gambar 3 Matriks Export Product Dinamics (EPD) Rumus sumbu x : Pertumbuhan pangsa pasar ekspor Indonesia =

( )

=1 × 100%− =1( ) −1× 100%

Rumus sumbu y : Pertumbuhan pangsa pasar produk kertas =

× 100%−

1× 100%

=1 =1

Keterangan :

Xij = Nilai ekspor kertas dari Indonesia ke ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dalam US$ Xt = Nilai ekspor total Indonesia ke ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dalam US$

Wij = Nilai ekspor kertas ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dalam US$

Wt = Nilai ekspor total ACFTA (China, Malaysia,Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dalam US$

Posisi pasar yang paling ideal adalah Rising Star karena mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya. Posisi yang paling tidak disukai adalah Lost Opportuninty karena terjadi penurunan pangsa pasar pada produk-produk yang dinamis. Posisi yang juga disukai tetapi masih lebih baik dari pada Lost Opportunity adalah Falling Star karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Berikutnya adalah posisi pasar Retreat, terkadang disukai tetapi pada saat tertentu tidak disukai.

Lost

Opportunity Rising Star

(25)

15 Analisis Panel Data

Estimasi yang digunakan dalam menentukan faktor-faktor yang memengaruhi daya saing kertas Indonesia di negara-negara ASEAN dan China adalah model regresi data panel statis. Program Microsoft Excel 2007 digunakan untuk menganalisis plot data variabel dan Program Eviews 6 digunakan untuk mengolah data time series dan cross section dengan metode panel data statis. Variabel-variabel yang digunakan dalam menganalisis daya saing kertas Indonesia di negara-negara ASEAN dan China adalah GDP per kapita negara tujuan, harga kertas di pasar internasional, harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan, dan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan. Penelitian ini juga menggunakan variabel dummy yaitu implementasi skema ACFTA. Model yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi daya saing kertas Indonesia di negara-negara ASEAN dan China dapat dirumuskan sebagai berikut :

� � � = + � � + � � � �

+ � � + � � + �+

Keterangan :

Xij = Nilai ekspor kertas Indonesia di negara ASEAN dan China (US$)

GDPPCj = GDP per kapita negara tujuan (US$) PINTERN = Harga kertas di pasar internasional (US$)

PXINDOij = Harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan (US$) ERij = Nilai tukar riil negara tujuan (Rp/LCU)

Dummy = Dummy ACFTA, variabel dummy yang menunjukkan dua

Dugaan tersebut diuji dengan beberapa tahapan dalam metode analisis data panel yaitu :

1. Pendekatan analisis data panel

1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS)

Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N × T observasi dengan N adalah jumlah unit cross section dan T adalah jumlah series yang digunakan. Model yang digunakan yaitu :

� = + +

Kelebihan pendekatan ini dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. 2. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV)

(26)

16

� = + +⋯+ + ′ +

Kelebihan dari pendekatan LSDV adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Akan tetapi, jika jumlah unit observasinya besar maka akan terlihat cumbersome.

3. Random Effect Model (REM)

Ketika memasukkan peubah dummy dalam model fixed effects dapat mengurangi derajat kebebasan dan akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi, sehingga digunakan model random effect untuk mengatasi masalah tersebut. Parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu pada model ini dimasukkan ke dalam error. Persamaan random effect

yaitu :

= + +�

� = + +

Keterangan : uit = komponen eror cross section

vit = komponen eror times series

wit = kombinasi komponen eror

Asumsi yang digunakan adalah error secara individual maupun kombinasinya tidak saling berkorelasi. Kelebihan pendekatan ini dapat menghemat derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya dan berimplikasi pada parameter hasil estimasi akan semakin efisien.

2. Pemilihan pendekatan yang digunakan dalam data panel

a. Chow Test

Uji ini dilakukan untuk memilih model LSDV atau REM, dengan hipotesis sebagai berikut :

LM Test dilakukan ketika pada Chow Test sudah cukup bukti untuk menolak H0 tetapi pada Haussman Test belum cukup bukti untuk menolak H0 dan sebaliknya. Hipotesis pada LM Test sebagai berikut :

H0: PLS H1: REM

(27)

17 Pemilihan model yang terbaik dalam mengestimasi koefisien slope dan intersep dari data panel dapat juga dilihat pada besarnya korelasi antara individu atau komponen error (εi) dengan variabel penjelasnya (X). Jika diasumsikan bahwa εi dan X tidak berkorelasi maka model random effect adalah model terbaik yang digunakan. Sebaliknya, jika εi dan X berkorelasi maka model fixed effect

adalah model yang terbaik. Akan tetapi, dalam beberapa penggunaan aplikasi data panel memperbolehkan adanya korelasi antara error dan variabel X serta pengambilan sampel secara acak tidak selalu terpenuhi pada model random effect. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan dalam pemilihan model yang akan digunakan :

a) Jika T jumlah series yang digunakan besar dan N jumlah unit cross section

yang digunakan kecil, maka model yang memiliki estimasi lebih baik adalah model fixed effect.

b) Jika N besar dan T kecil, maka estimasi dari kedua metode berbeda secara signifikan. Apabila setiap unit individu dari N tidak diambil secara acak maka model fixed effect lebih sesuai. Sebaliknya, apabila sampel N diambil secara acak maka model random effect lebih sesuai.

c) Jika komponen error individu εi, dan satu atau lebih variabel X berkorelasi, maka estimasi dengan model random effect akan bias sedangkan estimasi dengan model fixed effect tetap tidak bias.

d) Jika N besar dan T kecil, dan asumsi pada syarat model random effect, maka model random effect lebih efisien dari pada model fixed effect.

3. Pengujian asumsi model a. Uji Kenormalan

Uji ini dilakukan untuk mengidentifikasi error term apakah sudah terdistribusi secara normal atau tidak. Uji ini dapat dilakukan dengan cara melihat nlai probabilitas yang dihasilkan. Jika nilai probabilitas lebih dari taraf nyata (5% atau 10%) maka data dapat dikatakan menyebar normal. b. Uji Autokorelasi

Suatu data dikatakan mengandung autokorelasi dengan cara membandingkan nilai Durbin Watson (DW) hasil estimasi dengan nilai DW pada tabel. Jika nilai Durbin Watson (DW) yang dihasilkan berada pada area non autoorelasi mendekati dua maka dapat disimpulkan bahwa pada model tersebut terbebas dari autokorelasi. Hipotesis pada uji autokorelasi :

H0: Tidak terdapat autokorelasi H1: Terdapat autokorelasi

Selang nilai statistik Durbin Watson adalah sebagai berikut : 0<DW<DL : Tolak H0, ada autokorelasi positif DL<DW<DU : Daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan DU<DW<4−DU : Terima H0, tidak ada autokorelasi 4−DU<DW<4−DL : Daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan 4−DL<DW<4 : Tolak H0, ada autokorelasi negatif c. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas dapat diindikasi dengan R-square hasil estimasi tinggi, variabel bebas banyak yang tidak signifikan, tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan, korelasi sederhana antar variabel individu (Rij) tinggi, R-square

(28)

18

d. Uji Homoskedastisitas

Uji ini dilakukan untuk mendeteksi apakah data sudah homoskedastis dengan cara melihat nilai sum square residual unweighted statistics lebih kecil dari sum square residual weighted statistics.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kinerja Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam)

Perkembangan Nilai Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA

Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA paling tinggi di antara negara anggota ACFTA lainnya meskipun nilainya berfluktuasi. Sebaliknya, nilai ekspor kertas negara anggota ACFTA lainnya tidak terlalu berfluktuasi. Pada tahun 1999 nilai ekspor kertas Indonesia meningkat sebesar 173 497 454 USD, hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan volume ekspor kertas secara signifikan yang dilakukan pemerintah agar dapat membantu penerimaan devisa negara di masa krisis ekonomi. Tiga tahun berikutnya nilai ekspor kertas Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh adanya penurunan pangsa pasar ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA. Tahun 2003 nilai ekspor kertas Indonesia sebesar 140 755 313 USD dan mencapai 184 202 992 USD tahun 2004.

(29)

19

Sumber : WITS (2013).

Gambar 4 Nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA

Perkembangan Volume Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA

Perkembangan nilai ekspor kertas dapat dipengaruhi oleh volume kertas yang diekspor oleh suatu negara. Semakin banyak volume kertas yang diekspor maka semakin besar pula nilai ekspor yang diterima oleh suatu negara. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa volume ekspor kertas Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya kecuali pada tahun 2000 dan 2008. Pada tahun 1999 volume ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA meningkat secara signifikan sebesar 312 122 703 ton. Pada tahun 2000 mengalami penurunan menjadi 182 334 708 ton. Selanjutnya, terjadi peningkatan volume ekspor pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, tahun 2008 terjadi penurunan kembali volume ekspor kertas sebesar 37 519 022 ton meskipun pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh Indonesia tidak bisa memenuhi permintaan kertas dari negara importir sehingga para importir membeli kertas dari negara lain.

Di samping itu, pesaing Indonesia untuk produk kertas di pasar ACFTA adalah Thailand yang pangsa pasarnya mengalami kenaikan setelah adanya ACFTA. Volume ekspor kertas Thailand meningkat hampir setiap tahunnya meskipun tidak sebesar peningkatan volume ekspor kertas Indonesia. Hal ini disebabkan oleh permintaan kertas Thailand meningkat di pasar ACFTA sehingga terjadi peningkatan pangsa pasar kertas Thailand dan Thailand mampu memenuhi permintaan kertas negara importir.

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(30)

20

Sumber: WITS (2013).

Gambar 5 Volume ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA

Perkembangan Pangsa Pasar Kertas Indonesia di Pasar ACFTA

Dalam perdagangan internasional, setiap negara memiliki pangsa pasarnya sendiri. Pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar dan sebaliknya jika pangsa pasar kecil maka suatu negara tidak dapat bersaing dalam suatu tekanan persaingan. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa selama periode 1998 sampai 2011 pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA paling tinggi di antara negara anggota ACFTA lainnya, namun pangsa pasar tersebut nilainya masih berfluktuatif. pada tahun 1999, pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA meningkat sebesar 12.88%. Selanjutnya pangsa pasar kertas Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2000 hingga 2003 masing-masing sebesar 13.85%, 9.93%, 3.44%, dan 5.98%. Di samping itu, Indonesia juga mengalami penurunan pada tahun 2007, 2009 dan 2011. Penurunan yang paling signifikan terjadi pada tahun 2011 sebesar 23.09%.

Berdasarkan Gambar 5 juga terlihat bahwa Malaysia mengalami penurunan pangsa pasar kertas pada periode setelah adanya ACFTA. Sebaliknya, Thailand mengalami kenaikan pangsa pasar setelah adanya ACFTA. Sementara itu, negara China memiliki pangsa pasar kertas yang berfluktuatif dari tahun 1998 sampai 2006. Akan tetapi, tahun 2008 hingga tahun 2011 China mengalami peningkatan pangsa pasar kertas di pasar ACFTA masing-masing sebesar 1.09%, 1.84%,

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(31)

21

Sumber: WITS (2013).

Gambar 6 Pangsa Pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA

Daya Saing Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam)

Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)

Kinerja ekspor kertas Indonesia sebelum dan sesudah ACFTA dari segi daya saing komparatif menggunakan metode Revealed Comparative Advantage

(RCA). Nilai ekspor dan impor terbesar di pasar ACFTA ditunjukkan pada Tabel 5. Nilai rata-rata RCA negara China, Indonesia, Thailand dan Vietnam sesudah diterapkannya ACFTA pada Tabel 5 mengalami peningkatan dibandingkan dengan nilai rata RCA sebelum diterapkannya ACFTA. Sebaliknya nilai rata-rata RCA negara Malaysia, Singapura, dan Philipina sesudah adanya ACFTA mengalami penurunan. Nilai RCA Indonesia terbesar di antara negara anggota ACFTA lainnya mulai dari tahun 1998 sampai 2011. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor komoditas kertas Indonesia sangat besar terhadap total ekspor seluruh komoditas Indonesia ke pasar ACFTA baik sebelum dan sesudah perjanjian ACFTA meskipun nilainya mengalami fluktuasi.

Suatu negara dengan nilai RCA kertas lebih dari satu maka memiliki nilai ekspor kertas yang relatif tinggi sehingga memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing kuat. Kertas Indonesia memiliki nilai RCA tertinggi baik sebelum maupun sesudah ACFTA yaitu dengan rata-rata sebelum ACFTA sebesar 6.69 dan rata-rata setelah ACFTA sebesar 7.42. Hal ini disebabkan oleh nilai dan volume ekspor kertas Indonesia cenderung meningkat pada periode setelah ACFTA. Pada tahun 2011 nilai RCA Indonesia tetap lebih dari satu yaitu sebesar 5.01 tetapi terjadi penurunan dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan pangsa pasar kertas Indonesia di pasar ACFTA yang signifikan.

Selanjutnya diurutan kedua diikuti oleh Thailand dengan rata-rata RCA sebelum adanya ACFTA sebesar 1.05 dan rata-rata RCA sesudah adanya ACFTA sebesar 1.34. Hal ini disebabkan oleh Thailand mampu meningkatkan produksi kertasnya yang dapat dilihat dari volume kertas yang diekspor Thailand di pasar

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(32)

22

ACFTA semakin meningkat pada periode setelah adanya ACFTA. Oleh sebab itu, Indonesia dan Thailand memiliki keunggulan komparatif pada kertas dan berdaya saing kuat baik sebelum maupun sesudah adanya ACFTA. Berikutnya, untuk nilai rata-rata RCA baik sebelum maupun sesudah ACFTA negara China, Malaysia, Singapura, Philipina, dan Vietnam nilainya lebih kecil dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing lemah. Nilai RCA kertas rendah umumnya memiliki nilai impor yang cukup besar.

Tabel 5 Nilai RCA kertas di negara anggota ACFTA tahun 1998-2011 Tahun RCA

Analisis Intra Industry Trade (IIT)

(33)

23 perjanjian ACFTA. Nilai IIT yang bernilai nol pada tabel disebabkan oleh ketiadaan data yang kurang lengkap.

Nilai IIT China sebelum ACFTA sebesar 30.64 kemudian meningkat menjadi 56.84 setelah adanya ACFTA, dan nilai IIT Thailand sebelum ACFTA sebesar 22.49 kemudian meningkat menjadi 56.98 setelah adanya ACFTA. Hal ini menunjukkan bahwa China mengalami peningkatan integrasi perdagangan dari integrasi perdagangan yang sedang menjadi kuat dan Thailand mengalami peningkatan integrasi perdagangan dari integrasi perdagangan yang lemah menjadi kuat. Oleh sebab itu, China dan Thailand menjadi semakin terintegrasi setelah adanya ACFTA. Sebaliknya, Malaysia dan Singapura mengalami penurunan integrasi setelah adanya ACFTA. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata IIT Malaysia dan Singapura sebelum dan setelah ACFTA. Nilai rata-rata-rata-rata IIT Malaysia sebelum ACFTA sebesar 34.19 dan setelah ACFTA sebesar 13.79 sehingga integrasi perdagangan Malaysia sebelum ACFTA yaitu integrasi perdagangan yang sedang berubah menjadi integrasi perdagangan yang lemah setelah ACFTA. Selanjutnya, nila rata-rata IIT Singapura sebelum ACFTA sebesar 62.09 dan setelah ACFTA sebesar 35.69 sehingga integrasi perdagangan Singapura sebelum ACFTA adalah integrasi perdagangan yang kuat dan sesudah ACFTA menjadi integrasi perdagangan yang sedang.

Malaysia dan Singapura mengalami penurunan integrasi karena pada periode setelah adanya ACFTA pangsa pasar kedua negara tersebut mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh kedua negara tersebut tidak memiliki daya saing setelah adanya ACFTA terbukti dari nilai RCA Malaysia dan Singapura pada Tabel 5 yang mengalami penurunan. Oleh sebab itu, volume ekspor kertas Malaysia dan Singapura lebih kecil dari pada volume impornya sehingga nilai ekspor yang diperoleh kedua negara kecil. Integrasi perdagangan negara Indonesia, Philipina, dan Vietnam baik sebelum dan sesudah adanya ACFTA tetap memiliki integrasi yang lemah meskipun nilai rata-rata IIT negara-negara tersebut meningkat.

Indonesia memiliki integrasi perdagangan yang lemah dan nilai RCA bernilai lebih dari satu (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia melakukan perdagangan satu arah (one way trade) yaitu banyak melakukan ekspor dan sedikit sekali melakukan impor baik sebelum maupun sesudah ACFTA. Menurut Heldini (2008) Indonesia melakukan banyak ekspor ke negara anggota ACFTA dibandingkan dengan Amerika karena negara anggota ACFTA belum terlalu memiliki perhatian terhadap lingkungan. Indonesia yang belum menggunakan standarisasi yang tinggi terhadap produk alam cenderung mengekspor kertas ke negara yang kurang memperhatikan standar terhadap produk alam.

(34)

24

Tabel 6 Nilai IIT kertas di negara anggota ACFTA tahun 1998-2011

Tahun IIT CHN IIT IDN IIT MYS IIT SGP IIT THA IIT PHL IIT VNM

Analisis Export Product Dinamics (EPD)

Indikator Export Product Dinamics (EPD) merupakan indikator yang dapat mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu sehingga dapat memberikan gambaran tentang tingkat daya saing suatu produk. Posisi pasar negara anggota ACFTA baik sebelum maupun sesudah adanya ACFTA ditunjukkan pada Tabel 7. Posisi Lost Opportunity adalah posisi yang paling tidak disukai karena kehilangan kesempatan akibat semakin menurunnya pangsa pasar kertas di pasar ACFTA. Posisi paling tinggi adalah Rising Star

karena pada posisi tersebut komoditas kertas kompetitif dan dinamis. Komoditas kertas kompetitif apabila terjadi peningkatan market share komoditas kertas di Indonesia lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan market share komoditas kertas di pasar ACFTA, sedangkan komoditas kertas dinamis apabila perkembangan rata-rata market share dari komoditas kertas lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata market share dari seluruh komoditas yang diperdagangkan di pasar ACFTA.

(35)

25 Indonesia dan Singapura berada pada posisi pasar Retreat karena tidak memiliki keunggulan kompetitif dan pangsa produknya bersifat tidak dinamis.

China tetap berada pada posisi pasar Rising Star pada periode setelah adanya ACFTA. Selanjutnya, Thailand menduduki posisi pasar Rising Star yang sebelumnya berada pada posisi pasar Lost Opportunity. Posisi pasar ini menunjukkan bahwa pangsa produknya tetap bersifat dinamis dan terjadi peningkatan pangsa ekspor kertas di pasar ACFTA sehingga dari yang tidak kompetitif menjadi kompetitif. Berikutnya, Indonesia menduduki posisi pasar

Falling Star yang berarti pangsa produknya tetap bersifat tidak dinamis namun pangsa ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA menjadi kompetitif. Vietnam tetap berada posisi pasar Lost Opportunity dan Singapura mengalami perubahan posisi pasar dari Retreat menjadi Lost Opportunity. Pangsa produk kertas Singapura mengalami peningkatan yaitu menjadi dinamis namun pangsa ekspor di pasar ACFTA tetap tidak kompetitif. Malaysia dan Philipina menduduki posisi pasar Retreat yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan pangsa produk menjadi tidak dinamis dan pangsa ekspor di pasar ACFTA tetap tidak kompetitif.

Pangsa produk kertas Indonesia di pasar ACFTA tidak dinamis karena laju pertumbuhan pangsa pasar kertas berkembang dengan sangat lambat dibandingkan dengan komoditas lainnya. Akan tetapi, Indonesia mampu meningkatkan kegiatan ekspornya di pasar ACFTA sehingga pangsa pasar ekspor Indonesia menjadi kompetitif setelah adanya ACFTA. Hal tersebut terbukti dari

share nilai ekspor total Indonesia terhadap nilai ekspor total ACFTA semakin besar setiap tahunnya karena adanya pengurangan hambatan perdagangan. Selain itu, adanya pengurangan hambatan baik tarif maupun non tarif setelah adanya ACFTA menyebabkan harga kertas Indonesia menjadi lebih murah sehingga permintaan terhadap kertas dari negara anggota ACFTA meningkat.

Tabel 7 Posisi pasar negara anggota ACFTA di pasar ACFTA tahun 1998-2011 Negara Sebelum ACFTA

(1998-2004)

Sesudah ACFTA (2005-2011)

China Rising Star Rising Star

Indonesia Retreat Falling Star

Malaysia Lost Opportunity Retreat

Singapura Retreat Lost Opportunity

Thailand Lost Opportunity Rising Star

Philipina Lost Opportunity Retreat

Vietnam Lost Opportunity Lost Opportunity

Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Ekspor Kertas Indonesia di Pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam)

Uji Kesesuaian Model

(36)

26

nyata (10%) yang artinya tolak H0, maka model yang dipilih adalah LSDV. Berdasarkan uji Chow dan Uji Hausamann maka dapat disimpulkan bahwa model terbaik yang digunakan dalam penelitian ini adalah LSDV. Variabel-variabel pada model dianalisis dengan menggunakan taraf nyata pada taraf 10%.

Tabel 8 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ekspor kertas Indonesia Variabel Koefisien Prob.

GDPPC 1.703655 0.0000

INTERNP −1.219472 0.0260

PXINDO 1.600421 0.0000

ER 0.485267 0.0000

DUMMY 0.465728 0.0000

C 6.742317 0.0041

R-squared 0.954846

Adjusted R-squared 0.948661

Prob(F-statistic) 0.000000

Durbin-Watson stat 1.565304

Sum squared resid weighted 81.69966

Sum squared resid unweighted 18.59187

Uji Kriteria Ekonometrika

Nilai probalitias Jarque Bera pada uji asumsi kenormalan sebesar 0.244581 lebih besar dari taraf nyata (10%) maka terima H0 yang artinya asumsi kenormalan terpenuhi dimana error term sudah terdistribusi secara normal. Langkah berikutnya ialah uji asumsi autokorelasi, uji ini berguna untuk mengetahui adanya hubungan korelasi antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Selanjutnya dilakukan uji autokorelasi dengan membandingkan Durbin Watson (DW) hasil estimasi sebesar 1.565304 dengan DW pada tabel. Berdasarkan tabel DW dengan taraf nyata 5%, n = 84, dan k = 5 maka diperoleh nilai batas bawah (DL) sebesar 1.5219 dan batas atas (DU) sebesar 1.7732. Suatu model terbebas dari autokorelasi jika nilai DW statistik berada diantara nilai 1.7732 dan 2.2268. Akan tetapi, nilai DW hasil estimasi berada pada daerah ragu-ragu atau tidak ada keputusan terdapat autokorelasi atau tidak (DL<DW<DU).

Uji homoskedastisitas dilakukan dengan melihat nilai sum square residual

pada weighted statistics lebih besar dari sum square residual pada unweighted statistics. Nilai sum square residual pada weighted statistics (81.69966) lebih besar dari sum square residual pada unweighted statistics (18.59187) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Uji asumsi multikolinearitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai korelasi antar peubah dengan

(37)

27 (0.954846) sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut telah terbebas dari multikolinearitas.

Uji Kriteria Statistik

Langkah awal uji kriteria statistik adalah uji F-statistic. Nilai probabilitas

F-statistic pada hasil estimasi sebesar 0.0000 lebih kecil dari taraf nyata 10% sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model yang dipilih setidaknya ada satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA. Langkah selanjutnya ialah melakukan uji T-statistic

dan uji koefisien determinasi (R2). Nilai probabilitas T-statistic dari variabel GDP per kapita negara tujuan, harga internasional, harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan, nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan, dan dummy

lebih kecil dari taraf nyata 10% yang ditunjukkan pada Tabel 8. Hal ini berarti variabel-variabel independen tersebut secara individu berpengaruh signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA. Nilai R-square pada model sebesar 0.954846 maka dapat diartikan bahwa 95.48% perubahan variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen, sedangkan sisanya yaitu 4.52% dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

GDP Per Kapita Negara Tujuan

Variabel GDP per kapita negara tujuan diketahui secara siginifikan memengaruhi nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dengan koefisien sebesar 1.703655. Seperti halnya hasil penelitian Heldini (2008) yang menyatakan bahwa pendapatan per kapita negara Amerika positif memengaruhi pangsa pasar industri kertas Indonesia. Jika GDP per kapita negara importir naik 1% maka nilai ekspor kertas Indonesia akan meningkat sebesar 1.70% (cateris paribus). Hal ini sesuai dengan teori permintaan menurut Mankiw (2000) dimana peningkatan GDP per kapita suatu negara akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga akan meningkatkan permintaan di negara tersebut. Oleh karena itu, ketika GDP per kapita negara tujuan meningkat maka permintaan kertas negara tujuan juga meningkat sehingga nilai ekspor kertas Indonesia akan meningkat. Nilai probabilitas (0.0000) < taraf nyata (10%) menunjukkan bahwa GDP per kapita negara tujuan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA.

Harga Internasional

(38)

28

Harga Ekspor Kertas Indonesia ke Negara Tujuan

Harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan berpengaruh positif terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dengan koefisien sebesar 1.600421. Jika harga ekspor kertas negara pesaing meningkat 1% maka nilai ekspor kertas Indonesia akan meningkat sebesar 1.60% (cateris paribus). Hal ini disebabkan oleh peningkatan harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan tidak melebihi dari harga internasional maka terjadi peningkatan permintaan dari negara tujuan terhadap kertas Indonesia karena harga kertas Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan harga kertas internasional, sehingga nilai ekspor kertas Indonesia meningkat. Nilai probabilitas (0.0000) < taraf nyata (10%) menunjukkan bahwa harga ekspor kertas Indonesia ke negara tujuan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA.

Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Mata Uang Negara Tujuan

Variabel nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan secara signifikan memiliki pengaruh terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam) dengan koefisien sebesar 0.485267. Hasil estimasi ini sama dengan hasil penelitian Ningrum (2006) yang menyatakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika memiliki pengaruh positif terhadap permintaan kertas Indonesia. Jika terjadi kenaikan pada nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan sebesar 1% maka akan meningkatkan nilai ekspor kertas Indonesia sebesar 0.48% (cateris paribus). Hal ini disebabkan harga kertas Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan harga kertas negara tujuan. Oleh sebab itu, Indonesia mengalami peningkatan permintaan pada kertas sehingga nilai ekspor kertas meningkat. Nilai probabilitasnya (0.0000) < taraf nyata (10%) yang menunjukkan bahwa variabel nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara tujuan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam).

Dummy ACFTA

Nilai probabilitas dummy ACFTA (0.0000) < taraf nyata (10%) menunjukkan bahwa dummy setelah ACFTA berpengaruh secara signifikan terhadap nilai ekspor kertas Indonesia di pasar ACFTA (China, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Vietnam). Pemberlakuan ACFTA membuat hambatan perdagangan akan semakin berkurang dan menjadi insentif bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai ekspor kertas dan dapat memberikan keuntungan yang yang lebih besar.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Gambar

Tabel 1  Kinerja perdagangan negara anggota ASEAN dengan China tahun 2011
Tabel 2  Perkembangan kertas di Indonesia tahun 2007-2011
Gambar 1  Kurva perdagangan internasional
Gambar 2  Kerangka pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari grafik di atas dapat diketahui jenis pompa yang sesuai dengan kebutuhan operasional sistem pemadam hydrant. 3.8

Pemahaman Konsep Matematika dalam

Penelitian lebih lanjut mengenai buah yang terolah minimal dengan perlakuan pelapisan chitosan perlu dilakukan tidak hanya pada buah salak pondoh tetapi juga

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penolakan dan penilaian negatif dari lingkungan sosial membuat remaja indigo memandang dirinya secara negatif atau dengan kata

Sejauh ini penulis menemukan bahwa komunikasi yang terjadi dalam suatu lingkungan dapat terjadi seperti yang diharapkan apabila seseorang di dalam lingkungan tersebut

Abstrak: Pengaruh Budaya Organisasi dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai Bagian Keuangan Organisasi Sektor Publik dengan Motivasi Kerja sebagai

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suku bunga BI, Jumlah uang yang beredar, berpengaruh terhadap inflasi sedangkan pengeluaran pemerintah dan kurs tidak

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when