• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Sebaran Spasial Tutupan Hutan dan Lahan Ekosistem Transisi

Pola spasial adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi. Pola spasial ini menjelaskan bagaimana perilaku sebaran pada ekosistem transisi. Sebaran spasial yang terjadi pada tutupan ekosistem transisi umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Hasil analisis pola sebaran spasial tutupan lahan dan hutan pada ekosistem transisi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil metode tetangga terdekat No.

Tutupan

lahan Tahun Do (m) DE (m) NNI Z-score Pola 1 Hutan 1990 6413.18 9827.3 0.65 -3,8 Cluster Primer 2000 - - - - - 2011 - - - - - 2013 - - - - - 2 Hutan 1990 2437.73 5063.56 0.48 -13,8 Cluster Sekunder 2000 2283.18 4668.87 0.49 -14,73 Cluster 2011 2228.9 4331.55 0.51 -14,71 Cluster 2013 2209.41 4199.76 0.53 -14,8 Cluster 3 Hutan 1990 - - - - - Karet 2000 - - - - - 2011 41890.9 0.000195 215215051 823442954 Dispersed 2013 41890.9 0.000196 215215051 823442954 Dispersed 4 Perkebunan 1990 - - - - - Karet 2000 3261.16 5985.68 0.54 -3,79 Cluster 2011 3775.06 4568.8 0.83 -2,7 Cluster 2013 3316.1 4181.1 0.79 -3,54 Cluster 5 Perkebunan 1990 - - - - - Sawit 2000 6569.86 12184.96 0.54 -3,14 Cluster 2011 2890.58 6243.25 0.46 -8,72 Cluster 2013 2525.51 5890.4 0.43 -10,6 Cluster

Keterangan: *) -: Tidak ditemukan tutupan lahannya

Hutan Primer

Berdasarkan hasil metode kuadrat pola penyebaran hutan primer adalah mengelompok (cluster) pada tahun 1990. Berdasarkan luasan seperti pada Lampiran 1, pola sebaran hutan primer tahun 1990 adalah cluster atau berkelompok, yang didominasi oleh luas kelas lereng 15-25% sebesar 142 165 ha, selain itu juga terdapat pada kelas lereng 0-8% dan 8-15%. Pola sebaran hutan primer pada tahun 1990 cenderung berkelompok dan didominasi pada jarak ke

desa 3000 m adalah sebesar 952 ha serta umumnya tidak berada di sekitar jalan. Hasil luasan pola sebaran hutan primer tahun 2000 diperoleh pola spasial random dan diperoleh pada kelas lereng 8-15% (68 468 ha) dan 15-25% (38 542 ha) namun berada jauh dari sekitar jalan. Sedangkan pola sebaran spasial hutan primer tahun 2011 dan 2013 pada wilayah kajian adalah random dan terdapat pada kelas lereng 0-8% (23 963 ha) yang umumnya berada di luar buffer desa dan jalan. Buffer jalan yang digunakan adalah jalan Kabupaten, jalan produksi, dan jalan lainnya dengan jarak 1000 m ke kanan dan ke kiri jalan, sedangkan buffer jarak desa yang digunakan dengan jarak terjauh adalah 3000 m.

Berdasarkan hasil NNI, hutan primer pada tahun 2000, 2011, dan 2013 tidak bisa dihitung karena jumlah titik centroid (n) < 4. Sedangkan analisis tetangga terdekat pada hutan primer tahun 1990 menunjukkan pola spasial cluster. Identifikasi pola hutan primer pada tahun 1990 menghasilkan jarak rata-rata observasi sebesar 6 431.18, jarak rata-rata ekspektasinya sebesar 9 827.3, dengan nilai NNIsebesar 0.65, dan Z-score sebesar -3.8. NNI < 1 menunjukkan bahwa pola tutupan hutan primer pada tahun 1990 adalah cluster atau berkelompok, dan diperoleh jarak observasi lebih kecil dibandingkan dengan jarak yang diharapkan sehingga jarak antar titik akan semakin rapat dan membentuk kelompok. Berdasarkan Z-score yang didapatkan bahwa Z-score yang didapatkan< Zα/2 = -2.58. Waite (2000) menyatakan bahwa tanda negatif mengindikasikan sebaran spasial adalah berkelompok atau cluster. Secara visual peta pola sebaran spasial hutan primer dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 9 Peta pola hutan sekunder

Gambar 11 Peta pola perkebunan karet

Hutan Sekunder

Hutan sekunder salah satu perubahan yang terjadi sangat signifikan di wilayah kajian. Hutan sekunder pada tahun 1990 memiliki luasan sebesar 734 643.29 ha yang mengalami penurunan luasan dari tahun ke tahun dengan rata-rata penurunan luasan hutan sekunder dari tahun 1990 – 2013 adalah sebesar 91 868.18 ha dan penurunan luasan hutan sekunder sebesar 3 994.27 ha per tahun.

Pola penyebaran ekosistem transisi dengan menggunakan metode analisis kuadrat menghasilkan sebaran hutan sekunder yang mengelompok pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013. Pada tahun 1900, 2000, 2011, dan 2013 nilai d (sebaran) > 1.96. Hal ini menunjukkan ragam > rata-rata maka dapat dikatakan bahwa sebaran hutan sekunder pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster. Pada analisis nearest neighbor (Tabel 5) hutan sekunder pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 memiliki nilai NNI < 1, hal ini berarti hutan sekunder memiliki pola cluster. Hasil perhitungan NNI memperlihatkan nilai Z-score yang diperoleh negatif. Tanda negatif pada Z-score mengindikasikan bahwa pola yang terdapat pada tutupan hutan sekunder adalah cluster.

Hutan sekunder pada tahun 1990 berada di empat kelas lereng yaitu, 0-8%, 8-15%, 15-25%, dan 25-40% namun, hutan sekunder tahun 1990 didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 727 450 ha dan cenderung jauh dari pedesaan ataupun pemukiman. Pada tahun 2000 hutan sekunder terdapat di tiga kelas lereng yaitu, 0-8%, 8-15%, 15-25% dan tetap didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 679 043 ha. Pada tahun 2011 dan 2013 hutan sekunder ada pada empat kelas yaitu, 0-8%, 8-15%, 15-25%, dan 25-40%, dimana hutan sekunder pada tahun 2011 dan 2013 didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 462 642 ha. Pada tahun 1990 hutan sekunder ada dikelas 25-40% namun pada tahun 2000 tidak ditemukan, hal ini disebabkan oleh saat interpretasi citra secara visual hutan sekunder dikelas lereng 25-40% pada tahun 1990 berubah menjadi semak pada tahun 2000, dan pada tahun 2011 tutupan lahan telah menyerupai pola, ukuran, dan bentuk dari hutan sekunder, begitu juga dengan keberadaan hutan sekunder tahun 2013 yang berada disemua kelas lereng, namun pada kelas lereng >40% awalnya tidak bertutupan hutan sekunder. Hal ini disebabkan oleh tutupan hutan sekunder dari tahun 1990 ataupun 2000 dalam rentang waktu yang cukup panjang dapat merubah tutupan semak menjadi hutan sekunder di kelas lereng >40%. Selain itu hutan sekunder pada semua tahun jauh dari pedesaan dan jalan namun, masih memungkinkan di lapangan adanya perambahan hutan. Peta pola hutan sekunder dapat dilihat pada Gambar 9.

Hutan Karet

Hutan karet merupakan tegakan heterogen dengan densitas pohon yang tinggi yang bersifat multigenerasi sehingga menyerupai hutan sekunder pada umumnya yang membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja karena spesies kayu liar melindungi karet dari gulma dan predator (Gouyon et al. 1993). Berdasarkan hasil klasifikasi secara visual pada Citra Landsat TM dan ETM+, serta Landsat OLI memperlihatkan bahwa baru ditemukannya hutan karet pada tahun 2011 dan 2013 di wilayah kajian namun, luasan arealnya sama. Hal ini disebabkan oleh, keterbatasan kasat mata saat melakukan digitasi dan rentang waktu yang terjadi hanya dua tahun.

Pola penyebaran hutan karet menggunakan analisis kuadrat diketahui mempunyai sebaran random pada hutan karet tahun 2011 dan 2013. Hutan karet tahun 2011 dan 2013 memiliki nilai NNI > 1 atau pola dispersed. Selain itu, hasil perhitungan menunjukkan Z-score > Zα/2yang menunjukkan pola sebaran spasial hutan karet adalah dispersed. Hal ini berbeda dengan hasil analisis kuadrat karena apabila dilihat oleh kasat mata akan cenderung seragam namun, hasil perhitungan analisis kuadrat menunjukkan sebarannya acak. Hal yang harus diketahui bahwa pola sebaran tidak sama dengan pola spasial.

Hutan karet baik tutupan hutan karet pada tahun 2011 dan 2013 memiliki Kepemilikan hutan karet di Provinsi Jambi umumnya pribadi, namun hutan karet pribadi ini pemiliknya cenderung tinggal di pusat kota sehingga hutan karet tersebut ada yang ditelantarkan dan ada juga yang dimanfaatkan masyarakat sekitar. Secara spasial peta pola hutan karet dapat dilihat pada Gambar 10.

Perkebunan Karet

Perkebunan karet merupakan tegakan homogen dengan sistem yang beragam berasal dari perladangan berpindah. Perkebunan karet yang homogen dengan densitas pohon jauh lebih rendah serta populasi pohon yang memiliki umur, ukuran serta jarak tanam yang relatif sama. Perkebunan karet biasanya dikelola lebih intensif, yaitu disertai pemupukan untuk menambah kesuburan tanah gambut serta pemakaian herbisida untuk memberantas gulma dan insektisida untuk mengendalikan hama (Gouyon et al. 1993).

Pola spasial perkebunan karet tahun 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster, dimana telah dilakukan analisis perubahan sebelumnya, karena perubahan lahan dapat bersifat sementara dan permanen. Perubahan lahan ini dianalisis berdasarkan sifat permanennya penyebaran suatu perubahan tutupan lahan. Pengetahuan mengenai penyebaran sangat penting untuk mengetahui tingkat pengelompokan dari individu yang dapat memberikan dampak terhadap populasi dari rata-rata per unit area (Soegianto 1994). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian karena pengetahuan terhadap pola sebaran perubahan tutupan hutan menjadi kebun karet, kebun sawit, maupun hutan karet pada ekosistem transisi di wilayah kajian dapat memberikan informasi terkait dampak yang akan terjadi.

Berdasarkan hasil klasifikasi secara visual perkebunan karet baru ditemukan pada tahun 2000. Pola penyebaran ekosistem transisi pada perkebunan karet menggunakan analisis kuadrat dengan metode grid menghasilkan sebaran cluster pada tahun 2000, 2011 dan 2013. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks sebaran (d) perkebunan karet pada tahun 2000, 2011 dan 2013 memiliki d > 1.96, yang berarti sebaran perkebunan karet adalah cluster. Selain itu, varian mean ratio yang diperoleh atau ID yang diperoleh> 1 sehingga perkebunan karet pada tahun 2000, 2011 dan 2013 memiliki pola cluster. Perkebunan karet tahun 2000, 2011 dan 2013 pada metode tetangga terdekat memiliki nilai NNI < 1 atau pola cluster. Selain itu, hasil perhitungan Z-score perkebunan karet tahun 2000, 2011, dan 2013 bernilai negatif menunjukkan pola sebaran spasial perkebunan karet adalah cluster. Pola sebaran spasial perkebunan karet pada wilayah kajian cenderung berkelompok dan jauh dari berada di sekitar desa, dan diperoleh titik perkebunan karet yang berada di sekitar jalan, serta perkebunan karet berada di kelas lereng 0-8% dan 8-15% serta didominasi oleh

kelas lereng 0-8% pada tahun 2000 dan untuk tahun 2011 dan 2013, dimana perkebunan karet berada pada kelas lereng 0-8%, 8-15%, dan 15-25%. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan dari hutan sekunder sebelumnya pada lereng 15-25% menjadi kebun karet. Secara spasial pola kebun karet dapat dilihat pada Gambar 11.

Perkebunan Sawit

Hasil klasifikasi secara visual Citra Landsat TM, ETM+, dan OLI diketahui bahwa pola sebaran perkebunan sawit adalah cluster. Perubahan pada ekosistem yang terjadi adalah perubahan dari lahan vegetasi menjadi lahan budidaya dan pemukiman. Perkebunan sawit merupakan salah satu bentuk perubahan ekosistem transisi yang berbasis budidaya dari lahan bervegatasi rapat dan jarang.

Berdasarkan hasil analisis kuadrat ditemukan bahwa pola sebaran perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster. Pola sebaran perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 cenderung cluster, hal ini ditunjukkan dengan nilai sebaran (d) yang dihitung > 1.96 dan varian mean ratio yang diperoleh > 1.

Perkebunan sawit tahun 1990 tidak memiliki nilai NNI hal ini disebabkan oleh, jumlah titik (n) < 4. Sedangkan perkebunan sawit tahun 2000, 2011 dan 2013 memiliki nilai NNI < 1 dengan hasil berpola cluster. Selain itu, hasil perhitungan Z-score perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 cenderung negatif yang menunjukkan pola sebaran spasial perkebunan sawit adalah mengelompok (cluster). Pada hasil metode tetangga terdekat diperoleh jarak observasi yang lebih kecil daripada jarak ekspektasi yang menunjukkan pola spasial perkebunan sawit lebih berkelompok atau berdekatan. Pola perkebunan sawit yang berkelompok cenderung berada jauh dari pusat desa dan berada di buffer jalan 1 km pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013.

Perkebunan sawit tahun 1990, 2000, dan 2011 berada di kelas lereng 0-8%. Hal ini disebabkan oleh mudahnya akses terhadap suatu lahan dan pada tahun 1990 masih belum begitu maraknya menanam sawit sehingga masyarakat menanam di lokasi yang datar. Pada tahun 2013 perkebunan sawit berada di kelas lereng 0-8%, dan 8-15% lokasi berdekatan dengan pusat desa, serta berada di dekat jalan. Secara spasial pola sebaran perkebunan sawit disajikan pada Gambar 12.

Pola Sebaran Spasial Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi

Identifikasi pola perubahan khususnya dari hutan primer menjadi hutan sekunder, hutan menjadi perkebunan sawit, perkebunan karet, dan hutan karet sangat diperlukan untuk perencanaan tata ruang dan informasi perilaku dari perubahan tersebut. Pada analisis pola perubahan spasial tutupan lahan periode 2011 – 2013 tidak ditemukan perubahan pada ekosistem transisi. Informasi terkait hasil metode tetangga terdekat terkait pola spasial dari masing-masing perubahan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil metode tetangga terdekat pada perubahan tutupan hutan ekosistem transisi

No. Perubahan Periode Do (m) DE (m) NNI Z-score Pola 1 HP_HS 1990 – 2000 4 180 8 407 0.5 -7.3 Cluster 2000 – 2011 13 375 0.012 1 196 328 7 237 371 Dispersed 2 H_PS 1990 – 2000 3 495 7 374 0.47 -6.67 Cluster 2000 – 2011 1 284 3 875 0.3 -14.5 Cluster 3 H_PK 1990 – 2000 3 304 6 056 0.55 -3.79 Cluster 2000 – 2011 4 447 8 577 0.52 -6.2 Cluster 4 H_HK 2000 – 2011 3 654 7 467 0.49 -4.98 Cluster Keterangan: *) : H = Hutan Primer dan sekunder, PK = Perkebunan Karet, PS = Perkebunan Sawit, HP = Hutan Primer, HS = Hutan Sekunder, HK = Hutan Karet

Hutan Primer menjadi Hutan Sekunder

Pada kurun waktu 1990 – 2000, 2000 – 2011, dan 2011 – 2013 luas hutan yang mengalami perubahan tutupan lahan bervegetasi menjadi lahan budidaya di wilayah kajian cukup besar karena berada pada rentang waktu yang lama yaitu 23 tahun. Gunawan (2012) menyatakan bahwa peta jenis penggunaan lahan di Jambi tahun 2000 dan 2010 pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tebo menunjukkan perubahan lahan terbanyak dari hutan primer menjadi hutan sekunder dan mangrove.

Hutan primer mengalami perubahan menjadi hutan sekunder bersifat sementara namun, membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah hutan sekunder tersebut kembali menjadi hutan primer. Martens et. al. (2000) menyatakan bahwa cahaya understory untuk tempat dalam sekumpulan padang rumput/hutan bergantung pada tutupan dan secara substansial dimodifikasi oleh tinggi. Pola spasial tutupan pohon memiliki pengaruh kecil pada mean tetapi tidak mempengaruhi varians. Hal ini berarti tutupan lahan memiliki varians yang lebih tinggi dibandingkan mean karena mean tidak dapat mempengaruhi varians. Pada perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder periode 1990 – 2000 diperoleh nilai varians sebesar 0.5 dan mean 0.2, serta pada periode 2000 – 2011 diperoleh nilai varians 0.2 dan mean 0.1, hal ini dapat menunjukkan bahwa terlihat pola penyebarannya cluster, namun apabila kita perbesar pola dapat membentuk dispersed or uniform.Pada periode 2011 – 2013 tidak ditemukan perubahan pada ekosistem transisi yaitu perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder, hutan (primer dan sekunder) menjadi hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit, hal ini disebabkan oleh rentang waktu hanya dua tahun. Berdasarkan Gambar 14 yang disajikan, memperlihatkan pola sebaran cluster pada perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder periode 1990 – 2000 dan 2000 - 2011.

Analisis metode tetangga terdekat terkait pola spasial perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder di wilayah kajian pada tahun 1990 – 2000 memilki NNI < 1 dan mengindikasikan bahwa pola spasial perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder adalah cluster. Hal ini sejalan dengan analisis kuadrat dengan menggunakan metode grid. Pada perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder pada tahun 2000 – 2011 berdasarkan hasil NNI >1 dan jarak observasi lebih besar daripada jarak ekspektasi dan diindikasikan pola spasial dispersed,

sedangkan hasil analisis kuadrat dengan metode grid menunjukkan pola sebaran perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder adalah cluster. Hal ini disebabkan oleh, metode tetangga terdekat saat menganalisis pola spasial dilakukan berdasarkan distance, sedangkan metode grid sebarannya berdasarkan jumlah point yang ada pada satu grid.

Pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder pada tahun 1990 –

2000 yang mendominasi adalah kelas lereng 0-8% namun diperoleh juga kelas lereng 8-15%, 15-25%, 25 - 40%, dan > 40% di wilayah kajian, sedangkan pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder pada tahun 2000 – 2011 didominasi oleh kelas lereng 8-15% dan 0-8%, selain itu berada pada kelas lereng > 40% seluas 65 397 ha. Perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder ditemukan pada jarak desa 0-1000 m dan didominasi oleh jarak 2000-3000 m sebesar 952 ha pada periode 1990 – 2000. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa semakin dekat desa ataupun jalan maka perubahan akan semakin tinggi pada hutan primer menjadi hutan sekunder. Secara spasial pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 15 Pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan sawit

Gambar 17 Peta pola perubahan dari hutan menjadi hutan karet

Hutan menjadi Perkebunan Sawit

Hutan pada perubahan ekosistem transisi adalah hutan primer dan hutan sekunder yang berada di wilayah kajian. Tekanan terhadap hutan datang dari proyek transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, bahkan telah dilakukan sejak 1983. Penempatan transmigrasi di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi tidak lepas dari pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan dan tentunya pemukiman. Di beberapa tempat dikombinasikan dengan perkebunan besar menjadi perkebunan trans (Adnan et. al 2008). Berdasarkan hasil penelitian selama kurun waktu 10 tahun (1990 – 2000) telah terjadi peningkatan luas perkebunan sawit sebesar 36 416.02 ha dari luasan perkebunanan sawit yang ada pada tahun 1990 di wilayah kajian.

Muchlis et. al (2011) yang melakukan penelitian di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari Jambi menyatakan bahwa perusahaan kelapa sawit telah melakukan pola kemitraan untuk menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, perusahaan akan menggarap banyak lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit terutama pada desa – desa yang wilayahnya luas dan kepadatan penduduknya jarang. Pola sebaran pada wilayah kajian menunjukkan bahwa perubahan terjadi di wilayah penduduknya jarang dan cenderung berada di dekat jalan .

Pola spasial perubahan hutan sekunder menjadi perkebunan sawit di wilayah kajian pada Gambar 15 terlihat berkelompok atau cluster. Hasil analisis kuadrat dengan metode grid pada perubahan hutan (primer dan sekunder) menjadi perkebunan sawit tahun 1990 – 2000, dan perubahan hutan sekunder menjadi kebun sawit tahun 2000 – 2011 menunjukkan pola sebaran cluster. Analisis metode tetangga terdekat terkait pola spasial perubahan hutan (primer dan

sekunder) menjadi perkebunan sawit di wilayah kajian memilki NNI < 1, jarak observasi yang ditemukan lebih kecil daripada jarak ekspektasi dan Z-score negatif maka diindikasikan bahwa pola perubahannya adalah cluster.

Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit cenderung terjadi di sekitar pusat desa dengan jarak dari desa 0-1000 m, 1000-2000 m, dan 2000-3000 m, dan berada di buffer jalan dengan jarak ke kanan dan ke kiri jalan sebesar 1000 m. Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit 1990 – 2000 ini terjadi pada kelas lereng datar dan agak datar, pola perubahan didominasi kemiringan 0-8% seluas 28 229 ha dan satu titik di kelas lereng 8-15% seluas 225 ha. Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit 2000 – 2011 ini terjadi pada wilayah kajian dengan didominasi kelas lereng 0-8% seluas 8 192 ha, lalu hanya terdapat tiga titik pada kemiringan 8-15% (1 461 ha), dan dua titik dikemiringan 15-25% (3 ha), serta satu titik pada kemiringan 25-40% (4 ha).

Hutan menjadi Perkebunan Karet

Menurut Sakti (2007) menyatakan bahwa komoditas unggulan perkebunan di Jambi adalah kelapa sawit dan karet. Pada periode 2011 – 2013 diperoleh peningkatan luasan pada perkebunan karet seluas 1 774.25 ha serta perkebunan sawit mengalami penambahan luas sebesar 47 180.98 ha dari luas sebelumnya. Berdasarkan BPS (2012) menyatakan bahwa perkebunan daerah Jambi pada umumnya adalah perkebunan karet milik rakyat dengan luas tanaman 659 852 ha dengan produksi 322 044 ton pada tahun 2011.

Secara spasial pola perubahan hutan menjadi perkebunan karet dapat dilihat pada Gambar 16. Pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet mengelompok pada periode 1990 – 2000 dan didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 12 871 ha, dan pada kemiringan 8-15% seluas 13 ha yang terletak dari dekat pusat desa dengan jarak 1000-2000 m, dan 2000-3000 m, serta perubahan tersebut terjadi cenderung di buffer jalan 1000 m. Pada tahun 2000 – 2011 perubahan hutan menjadi perkebunan karet cenderung berkelompok pada semua kelas lereng dan didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 10 822 ha, umumnya perubahan terjadi pada buffer jalan 1000 m seluas 11 110 ha dan berada di jarak desa dengan jarak 0-1000 m, 1000-2000 m, dan 2000-3000 m.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet yang terdapat di wilayah kajian pada periode 1990 – 2000, dan 2000 – 2011 adalah mengelompok atau cluster. Pada periode 1990 – 2000 hanya terdapat perubahan dari hutan sekunder menjadi perkebunan karet, sedangkan pada periode 2000 – 2011 ditemukan perubahan dari hutan (primer dan sekunder) menjadi perkebunan karet. Pada analisis tetangga terdekat terkait pola spasial perubahan hutan menjadi perkebunan karet di wilayah kajian pada periode 1990 –

2000 dan 2000 – 2011 memilki pola cluster jika NNI < 1 dan Z- score negatif serta jarak observasi lebih kecil daripada jarak ekspektasi.

Hutan menjadi Hutan Karet

Hutan primer dan sekunder yang mengalami perubahan menjadi hutan karet adalah seluas 16 089.6 ha pada periode 2000 – 2011. Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa pola perubahan hutan menjadi hutan karet yang ada di wilayah

kajian mengelompok pada tiga lokasi. Hal ini disebabkan oleh, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa adanya akses dan pembangunan desa baru yang mempunyai jumlah penduduk yang sedikit pada wilayah tersebut. Pada periode 1990 – 2000, berdasarkan hasil klasifikasi secara visual tidak ditemukan perubahan hutan menjadi hutan karet.

Pola perubahan hutan menjadi hutan karet periode 2000 – 2011 berada pada tiga kelas lereng yaitu, 0-8%, 8-15%, dan 15-25%, dan berada pada jarak 1000 m dari jalan serta berada pada jarak buffer desa 0-1000 m dan 2000-3000 m. Perubahan dari hutan menjadi hutan karet didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 16 074 ha. Hasil analisis kuadrat dengan menggunakan grid dapat diketahui bahwa varians > mean dan diperoleh sebaran (d) > 1.96 sehingga dapat dipastikan pola perubahan hutan menjadi hutan karet pada wilayah kajian periode 2000 –

2011 adalah cluster atau berkelompok. Pola perubahan hutan menjadi hutan karet dengan menggunakan metode tetangga terdekat menghasilkan NNI < 1 (negatif) dan jarak observasi lebih kecil daripada jarak ekspektasi sehingga baik dengan menggunakan analisis kuadrat dan metode tetangga terdekat menghasilkan pola yang sama yaitu cluster.

Dokumen terkait