• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI JAMBI

NOVITA WULANDARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

(4)

ABSTRAK

NOVITA WULANDARI. Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA.

Perubahan tutupan lahan merupakan isu penting didalam proses perubahan Gas Rumah Kaca (GRK). Penelitian ini mengkaji pola tutupan hutan dan lahan dan pola perubahan tutupan lahan, khususnya pada ekosistem transisi menggunakan teknologi penginderaan jauh di daerah penelitian Kabupaten Provinsi Jambi. Wilayah kajian termasuk Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat. Analisis pola dilakukan dengan menggunakan analisis kuadrat dan tetangga terdekat. Atas dasar dua pendekatan, studi ini menunjukkan bahwa pola sebaran hutan primer, hutan sekunder, kebun karet, dan perkebunan kelapa sawit pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 cenderung mengelompok, sedangkan pola sebaran hutan karet adalah menyebar. Pola perubahan spasial dari hutan primer ke hutan sekunder untuk periode 1990 - 2000 cenderung berkelompok dan sedangkan untuk periode 2000 – 2011 cenderung tersebar. Pola perubahan dari hutan ke perkebunan kelapa sawit, dan perkebunan karet cenderung berkelompok pada periode 1990 – 2000 dan 2000 – 2011, serta pola perubahan dari hutan menjadi hutan karet pada periode 2000 – 2011 adalah berkelompok.

Kata kunci: analisis kuadrat, ekosistem transisi, tetangga terdekat, tutupan hutan, tutupan lahan

ABSTRACT

NOVITA WULANDARI. Patterns of Forest and Land Cover Change on Transitions Ecosystem in Bungo, Tebo, and Tanjung Jabung Barat Regencies Jambi Province. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA.

Land cover change is an issue crucial in the process of change of GHG (Green House Gass). This study examines patterns of forest cover and land cover and their changes, especially in the transition ecosystems using remote sensing technology in Jambi Province Regencies.The study areas include Bungo, Tebo, and Tanjung Jabung Barat. The analysis of the patterns were performed using quadrat and nearest neighbor analyses. On the basis of those two approaches, this study shows that the distribution pattern of primary forest, secondary forest, rubber plantation, and oil palm plantation in 1990, 2000, 2011, and 2013 are clumped (clustered) while the distribution pattern of the jungle rubber was dispersed. The pattern of spatial changes from primary forests to secondary forests for the period 1990 - 2000 were clumped, while for the period of 2000 - 2011 were dispersed. The pattern of change from forest to oil palm plantations and rubber plantations were clumped for the period 1990 – 2000 and 2000 – 2011, and the pattern of change from forest to jungle rubber for the period 2000 – 2011 were clumped.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

POLA SEBARAN DAN PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN DAN

LAHAN PADA EKOSISTEM TRANSISI DI KABUPATEN

BUNGO, TEBO, DAN TANJUNG JABUNG BARAT

PROVINSI JAMBI

NOVITA WULANDARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi

Nama : Novita Wulandari

NIM : E14100067

Disetujui oleh

Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M Agr Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F trop Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Penelitian dan penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka melengkapi salah satu syarat kelulusan sebagai sarjana kehutanan IPB.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, M Agr selaku dosen pembimbing yang senantiasa mendukung dan membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Kedua orang tua penulis (Bapak Jumarlan dan Ibu Eliyarni), dan kakak penulis Jeni Sonata dan Ervina Sonata, serta adik penulis Indah Purnamasari dan Robi Prasetiyo atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

3. Beasiswa Bidik Misi yang telah memberikan bantuan finansial dan motivasi kepada penulis.

4. Bapak Uus Saepul M, S Hut dan a‟ Edwine, S Hut, MSc atas bimbingannya.

5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Manajemen Hutan serta Fakultas Kehutanan IPB.

6. Kakak Putu Ananta Wijaya, S Hut, I Made Haribhawana, S Hut, Artika, S Hut, Ade Jamirda, S Gz, dan Elfina Yunisari atas saran dan masukannya.

7. Rekan satu bimbingan penulis Luvia Arlenlilia S Hut, Indri Setyawanti, S Hut, dan Erfanda Irawan.

8. Keluarga besar Laboratorium SIG dan Remote Sensing, rekan-rekan Manajemen Hutan 47, Sunda Karya family, dan Himpunan Mahasiswa Jambi atas semua ilmu, bantuan, dan motivasi yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari atas kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak.

Bogor, Desember 2014

(9)

DAFTAR ISI

Software, Hardware, dan Data

Prosedur Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Sebaran Spasial Tutupan Hutan dan Lahan Ekosistem Transisi

Pola Sebaran Spasial Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada

(10)

DAFTAR TABEL

1 Data utama penelitian 2 Kategori kelas tutupan lahan

3 Ukuran grid setiap tutupan hutan pada ekosistem transisi 4 Ukuran sisi grid setiap perubahan tutupan hutan

pada ekosistem transisi

5 Hasil metode tetangga terdekat

6 Hasil metode tetangga terdekat pada perubahan tutupan hutan ekosistem transisi

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian

2 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 1990 3 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2000 4 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2011 5 Mosaik citra landsat OLI tahun 2013

6 Contoh pola sebaran (a) cluster, (b) uniform, (c) random

7 Diagram alir penelitian 8 Peta pola hutan primer 9 Peta pola hutan sekunder 10 Peta pola hutan karet 11 Peta pola perkebunan karet 12 Peta pola perkebunan sawit

13 Peta pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder 14 Peta pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit 15 Peta pola perubahan hutan menjadi perkebunan karet 16 Peta pola perubahan hutan menjadi hutan karet

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 1990 2 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2000 3 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2011 4 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2013 5 Luas perubahan pada ekosistem transisi

6 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 1990 – 2000 7 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2000 – 2011 8 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 2011 – 2013

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Provinsi Jambi terletak di bagian tengah Pulau Sumatera dan salah satu provinsi yang memiliki letak strategis. Kondisi geografis yang strategis membuat peran Provinsi Jambi penting dengan sumberdaya alam yang melimpah. Provinsi Jambi telah terjadi perubahan tutupan lahan (khususnya hutan) secara masif sejak tahun 1990. Luasan hutan di Jambi setiap tahun mengalami penurunan, berdasarkan data FWI (2001) dimana telah mengalami perubahan fungsi sebesar 522 858 ha pada tahun 1990. Menurut Statistik Kehutanan Indonesia (2011) dari total daratan Indonesia ± 187 670 600 ha, luas yang berhutan sebesar 98.56 juta ha (52.4%), dan areal tidak berhutan sebesar 89.03 juta ha (47.4%). Pada tahun 2010 terdapat perubahan peruntukan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pertanian/perkebunan tahap SK seluas 21 261.00 ha dan luas penggunaan kawasan hutan untuk tambang dan non-tambang sebanyak 77 unit sebesar 43 171.96 ha. Serta pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang dan non tambang dengan kompensasi lahan untuk tahun 2010 sebanyak 68 unit seluas 60 313.47 ha. Sedangkan menurut Sumargo et al. (2011) luas tutupan hutan Indonesia pada tahun 2000 adalah 103.33 juta ha. Laju kerusakan hutan yang besar di Jambi disebabkan adanya pengalihfungsian hutan menjadi lahan budidaya, dalam penelitian ini digunakan penggunaan lahan hutan karet, perkebunan karet, dan perkebunan sawit sebagai ekosistem transisi.

Sumberdaya hutan merupakan suatu aset bagi kehidupan manusia di permukaan bumi yang memberikan fungsi ekonomi, ekologis, dan sosial. Selain itu, sumberdaya hutan merupakan barang publik yang semua orang dapat memanfaatkannya. Santoso (2008) menyatakan bahwa penurunan manfaat ekonomi – ekologi terjadi di sektor kehutanan dan di tengah maraknya situasi anomali yang tercermin dari kian terbatasnya sumberdaya hutan, dan politik kehutanan menjadi sebuah isu sekaligus wacana utama untuk direalisasikan.

Di Provinsi Jambi diperkirakan telah terjadi pola perubahan tutupan dan penggunaan hutan serta lahan. Perubahan dari hutan menjadi non hutan dengan variasi kepadatan vegetasinya disebut ekosistem transisi. Perubahan yang terjadi adalah perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder, dari hutan (primer atau sekunder) menjadi hutan karet, perkebunan sawit, dan perkebunan karet. BPS (2012) menyatakan bahwa ini dikarenakan perubahan yang terjadi berdasarkan perkebunan daerah Jambi pada umumnya adalah perkebunan karet milik rakyat dengan luas tanaman 659 852 ha dengan produksi 322 044 ton pada tahun 2011. Komoditas andalan lainnya yaitu kelapa sawit dengan produksi 753 858 ton serta kelapa dalam 109 788 ton.

(12)

persiapan lahan, (g) pembalakan liar untuk kepentingan komersil, (h) pembalakan liar untuk kebutuhan lokal (sub-sisten), (i) pembangunan perkebunan, dan (j) bencana alam. Pemicu deforestasi tersebut dapat dikelompokkan kedalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya.

Saat ini sejalan berkembangnya teknologi penginderaan jarak jauh, untuk deteksi perubahan penggunaan dan penutupan hutan yang dapat dilakukan dengan cepat, mudah, dan akurat. Menurut Jaya (2010) penginderaan jauh dapat memperbaharui data perubahan yang terjadi begitu cepat sehingga dapat mendeteksi perubahan hutan. Teknologi penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk skala yang luas sehingga waktu yang diperlukan lebih efisien dengan hasil yang relatif akurat. Berdasarkan pernyataan Shuman dan Ambrose (2003) bahwa penginderaan jauh memiliki kelebihan, terutama karena ukuran wilayah proyek menjadi lebih besar, tapi teknik seperti foto udara kurang kuat dalam membedakan spesies. Penelitian ini fokus diberikan kepada deteksi distribusi hutan primer, hutan sekunder, hutan karet, perkebunan karet, dan perkebunan sawit, serta perubahannya dengan menggunakan pendekatan spasial melalui teknologi penginderaan jarak jauh.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola perubahan tutupan hutan dan lahan pada ekosistem transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi khususnya perubahan ekosistem transisi dari hutan menjadi hutan sekunder, perkebunan karet, perkebunan sawit, dan hutan karet.

Manfaat Penelitian

(13)

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei 2014 hingga September 2014. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium SIG dan Remote Sensing Fakultas Kehutanan IPB. Wilayah kajian terdapat di Provinsi Jambi dengan wilayah studi meliputi Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada koordinat 101º 30‟-103º 21‟ BT dan 0º 08‟ - 02º 55‟LS. Wilayah kajian penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Software, Hardware, dan Data

Software

Software (perangkat lunak) yang digunakan saat melakukan pengolahan data meliputi ERDAS Imagine 9.1, ArcGIS 9.3, ArcView 3.2, Xtools Pro 3.2.0, dan Microsoft Excel 2013.

Hardware

(14)

Data

Adapun data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat multitemporal sejak tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 (Tabel 1 dan Gambar 2, 3, 4, dan 5). Selain itu, data yang akan digunakan adalah Peta digital, berupa Peta Dasar Tematik Kehutanan 2010, peta jaringan jalan, jaringan sungai, desa/kecamatan, kelerengan, batas administrasi Provinsi Jambi dan Peta Tutupan Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan tahun 2011.

Tabel 1 Data utama penelitian

Sumber : Earthexplorer.usgs.gov

Kombinasi band citra landsat TM dan ETM+ yang digunakan adalah 5-4-3 dan citra landsat OLI menggunakan kombinasi band 7-5-4. Berikut adalah layout citra landsat multiwaktu sebagai data utama penelitian:

Path/raw Data Citra Perekaman

(15)

Gambar 2 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 1990

(16)

Gambar 4 Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2011

(17)

Prosedur Analisis Data

Persiapan

Tahap awal sebelum melakukan pengolahan citra yaitu pemilihan data citra satelit yang memiliki persen tertutup awan yang kecil. Data citra satelit dapat diperoleh melalui alamat situs: http://earthexplorer.usgs.gov/. Selain itu, kegiatan ini yang dilakukan adalah memperoleh gambaran kondisi umum dan jumlah tutupan lahan di Provinsi Jambi.

Pra-pengolahan Citra

Tahap awal dalam pengolahan citra satelit yang dilakukan analis adalah registrasi citra. Jaya (2010) menjelaskan bahwa registrasi merupakan penyamaan posisi citra satu dengan lainnya untuk lokasi yang sama, dimana penyamaan posisi ini kebanyakan dimaksudkan agar posisi piksel yang sama dapat dibandingkan. Regitrasi dilakukan dengan penyamaan posisi batas administrasi dengan Citra Landsat resolusi 30 m tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013. Selain itu, apabila terdapat citra yang tidak sama posisinya maka perlu dilakukan georeferensi. Menurut Jaya (2007) bahwa georeferensi adalah suatu proses memberikan koordinat peta pada citra sesungguhnya sudah planimetris. Oleh sebab itu, georeferensi hanya merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangkan grid dalam citra tidak berubah.

Pembuatan Mozaik Citra

Setelah melakukan layer stacking dan reproject image dari setiap masing – masing path/row, tahap selanjutnya adalah pembuatan citra mozaik (Mozaik Process). Proses ini merupakan proses penggabungan beberapa citra secara bersama membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif (Jaya 2010). Citra baru dapat dimozaik jika citra yang akan digabungkan memiliki koordinat yang sama, tingkat kontras yang sama dan jumlah band (saluran) dan panjang gelombang yang sama pula. Ketiga syarat tersebut sudah dipenuhi pada tahap sebelumnya. Agar hasil setiap mozaik memiliki kontras yang sama pula, maka proses histogram matching juga dilakukan pada citra hasil mozaik untuk empat tahun berbeda.

Klasifikasi Tutupan Lahan

(18)

Identifikasi tutupan lahan yang dilakukan secara visual menggunakan acuan peta tutupan lahan 2011 bersih awan Jambi dari Kementerian Kehutanan. Hal ini disebabkan, data citra yang diperoleh memiliki persen tutupan awan yang cukup tinggi. Adapun klasifikasi kelas tutupan hutan dan lahan dengan merujuk pada kriteria tutupan hutan dan lahan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. Terdapat 23 kelas tutupan hutan dan lahan yang terdiri dari 7 kelas hutan (hutan primer, hutan sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, dan hutan tanaman) dan 15 kelas (semak belukar, belukar rawa, rumput, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah, tambak, tanah terbuka, pertambangan, pemukiman, transmigrasi, bandara, rawa, air, dan awan) bukan hutan serta kelas tertutup awan (BAPLAN 2008). Namun, untuk tutupan hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder dijadikan satu kelas menjadi hutan rawa, begitu juga dengan hutan mangrove primer dan sekunder dijadikan sebagai hutan mangrove.

Citra Landsat tahun 2003 sebagian besar mengalami kerusakan permanen pada SLC (Scan Line Corrector) - off. Sebagai akibat daripada kerusakan tersebut maka data citra terdapat gap atau bagian yang terlewatkan oleh sapuan sensor sebesar 22%. Artinya bahwa pada setiap scene data yang dihasilkan satelit tersebut kehilangan informasi sebesar 7529.5 km2 dari luas liputan Landsat 7 yang seharusnya sebelum kerusakan SLC yakni 34.225 km2 (Loppies 2010). Adapun kelemahan lainnya dari citra Landsat adalah banyaknya terdapat awan dan bayangan awan sehingga dapat menghambat dalam melakukan pengidentifikasian terhadap kelas tutupan hutan dan lahan. Kategori tutupan hutan lahan serta ekosistem transisi dapat dilihat pada Tabel 2.

(19)
(20)
(21)
(22)

Tabel 2 (lanjutan) Keterangan: *) + : Tutupan lahan

Analisis Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan

Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan membandingkan setidaknya dua peta klasifikasi dengan waktu yang berbeda. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan dari waktu yang bebeda (Lillesand dan Kiefer 1990). Analisis dilakukan dengan melakukan metode menumpangtindihkan (overlay) pada citra. Sehingga dapat diperoleh luas dan arah perubahan tutupan lahan yang terjadi. Analisis perubahan tutupan lahan dilakukan dengan overlay data tutupan hutan dan lahan pada periode waktu 1990

– 2000, 2000 – 2011 , dan 2011 – 2013. Selanjutnya, dilakukan analisis Thematic Change dengan menggunakan formula sebagai contoh [Tuplah_90]++”_”++ [Tuplah_00], [Tuplah_00]++”_”++ [Tuplah_11], dan [Tuplah_11]++”_”++ [Tuplah_13], sehingga diperoleh data perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi non-hutan atau yang mengalami ekosistem transisi. Formula tersebut juga digunakan dalam perhitungan perubahan tutupan hutan dan lahan pada ekosistem transisi di wilayah kajian yang kemudian diolah lagi menggunakan pivot table pada microsoft excel.

Analisis Pola Keruangan

(23)

Metode analisis kuadrat adalah prosedur yang umum digunakan untuk sampling berbagai tipe organisme. Namun metode analisis kuadrat lebih memperlihatkan pola sebaran tidak berbasis spasial. Metode analisis kuadrat dilakukan dengan menggunakan grid, dimana ukuran sisi-sisi grid dihitung sebagai berikut:

Keterangan : A = luas areal adalah luas wilayah yang dikaji dalam satuan m2, N = Jumlah total individu yang dikaji dalam wilayah kajian

Ukuran grid yang digunakan pada setiap kelas tutupan hutan pada ekosistem transisi memiliki luasan yang berbeda. Pada studi ini N tersebut adalah jumlah titik pusat poligon. Hal ini menyebabkan grid dari setiap tutupan pada ekosistem transisi setiap tahunnya berbeda pula. Informasi terkait luasan dari setiap tutupan setiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Ukuran sisi grid setiap tutupan hutan pada ekosistem transisi

Tahun Keterangan A (m2) N (m)

1990 Sawit 22 552 791 1 6 716

HS 7 346 432 886 193 8 725

HP 2 808 631 706 33 13 047

2000 Sawit 386 712 996 15 7 181

Karet 142 315 290 19 3 870

HS 6 811 362 677 227 7 747

HP 1 070 095 680 2 32 712

2011 Sawit 858 522 812 72 4 883

Karet 528 260 837 67 3 971

Hutan Karet 239 631 127 4 10 946

HS 4 686 687 097 251 6 111

HP 392 070 774 1 28 003

2013 Sawit 1 005 820 117 94 4 626

Karet 546 003 340 80 3 695

Hutan Karet 239 631 127 4 10 946

HS 4 590 387 438 4 47 908

HP 392 070 774 1 28 003

Tabel 4 Ukuran sisi grid setiap perubahan tutupan hutan pada ekosistem transisi

Tahun Keterangan *) Luas (m2) N (m)

1990 – 2000 H_PK 128839280 19 3683

H_PS 284546069 44 3596

HP_HS 1693883304 58 7643

2000 – 2011 HS_PS 96599373 129 1224

H_PK 173223052 45 2775

H_HK 160896235 26 3518

(24)

Keterangan: *) : H = Hutan Primer dan sekunder, PK = Perkebunan Karet, PS = Perkebunan Sawit, HP = Hutan Primer, HS = Hutan Sekunder, HK = Hutan Karet

Menurut Waite (2000) metode distribusi yang digunakan adalah Index Dispersion (ID). Nilai ID adalah sebagai berikut dan dinyatakan dengan rumus berikut:

ID = S2/m Keterangan: S2= ragam contoh, m = rata-rata contoh

Apabila N < 30 maka digunakan uji chi-squared, sebagai berikut :

2

= ID (N-1)

Nilai chi-squared dinyatakan dengan

1. Jika ( 2hitung; db= N-1) berada diantara ( 2tabel; db=0,975) dan ( 2tabel; db=0,025) maka, H0 merupakan penyebaran secara acak dengan S2= m diterima,

2. Jika ( 2hitung; db= N-1) lebih besar dari ( 2tabel; db=0,975) maka, H0 ditolak dan pola diindikasikan berkelompok, S2 > m, dan

3. Jika ( 2hitung; db= N-1) lebih kecil dari ( 2tabel; db=0,025) maka, H0 ditolak dan pola diindikasikan seragam, S2 < m.

Apabila N > 30, dapat menggunakan alternatif uji statistik dengan mengikuti sebaran normal, sebagai berikut:

H0: S2 = m, sebaran acak

Keterangan: H1: S2 ≠ m, sebaran tidak acak

d = deviasi dari normal baku, 2

= nilai chi-squared pengamatan

Jika d ≤ 1.96, maka sebarannya acak dimana S2= m (H0 diterima); jika d < -1.96 maka H0 ditolak dan H1 diterima yang menunjukkan pola sebaran seragam, dan d > 1.96 menunjukkan sebaran berkelompok. Pola sebaran dikatakan cluster, uniform, dan random pada analisis kuadrat dapat dilihat pada Gambar 6.

(a) (b) (c)

(25)

Langkah selanjutnya adalah menghitung metode klasifikasi tetangga terdekatnya (Euclidean Distance) yang digunakan untuk menentukan pola spasial penyebaran ekosistem transisi di Kabupaten Bungo, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Hasil NNI (Nearest Neighbor Index) menunjukkan jarak rata-rata observasi dan ekspektasi antara titik satu dengan fitur terdekatnya, serta Z-hitung. NNI dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

(NNI > 1: menyebar atau dispersed; dan NNI < 1:

berkelompok atau clustered)

Keterangan: DO = Jarak rata-rata observasi

DE = Jarak rata-rata yang diharapkan

Pada metode nearest neighbor semua kasus akan terklasifikasi meskipun nilai kedekatannya belum tentu 100%. Namun hasil tidak dapat dijamin kebenarannya karena banyak kasus yang memiliki kedekatan yang sama dengan beberapa klasifikasi yang berbeda (Kusrini et. al 2009).

Jarak rata-rata observasi antara fitur (D0), dimana (di) adalah jarak terdekat antara titik 1 dengan fitur terdekatnya, pada NNI (N) adalah jumlah titik (A) luas tutupan dari masing-masing ekosistem transisi dan (DE) adalah jarak rata-rata ekspektasi adalah sebagai berikut:

DO =

DE =

Krebs (2014) menyatakan uji contoh standar deviasi dari acak tersedia karena standar error dari jarak yang diharapkan telah mengetahui persis dari ilmu ukur pesawat terbang. Karena z lebih rendah dari 1.96, sementara H0 diterima dengan α = 0.05 adalah penyebaran secara acak di wilayah kajian.

Keterangan: SE = tingkat kesalahan

Keterangan : Z < 1.96 : cluster

Z > 1.96 : dispersed Z = Sebaran normal

(26)
(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Sebaran Spasial Tutupan Hutan dan Lahan Ekosistem Transisi

Pola spasial adalah sesuatu yang menunjukkan penempatan atau susunan benda-benda di permukaan bumi. Pola spasial ini menjelaskan bagaimana perilaku sebaran pada ekosistem transisi. Sebaran spasial yang terjadi pada tutupan ekosistem transisi umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Hasil analisis pola sebaran spasial tutupan lahan dan hutan pada ekosistem transisi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil metode tetangga terdekat

No.

2011 41890.9 0.000195 215215051 823442954 Dispersed 2013 41890.9 0.000196 215215051 823442954 Dispersed

4 Perkebunan 1990 - - - - -

Keterangan: *) -: Tidak ditemukan tutupan lahannya

Hutan Primer

(28)

desa 3000 m adalah sebesar 952 ha serta umumnya tidak berada di sekitar jalan. Hasil luasan pola sebaran hutan primer tahun 2000 diperoleh pola spasial random dan diperoleh pada kelas lereng 8-15% (68 468 ha) dan 15-25% (38 542 ha) namun berada jauh dari sekitar jalan. Sedangkan pola sebaran spasial hutan primer tahun 2011 dan 2013 pada wilayah kajian adalah random dan terdapat pada kelas lereng 0-8% (23 963 ha) yang umumnya berada di luar buffer desa dan jalan. Buffer jalan yang digunakan adalah jalan Kabupaten, jalan produksi, dan jalan lainnya dengan jarak 1000 m ke kanan dan ke kiri jalan, sedangkan buffer jarak desa yang digunakan dengan jarak terjauh adalah 3000 m.

Berdasarkan hasil NNI, hutan primer pada tahun 2000, 2011, dan 2013 tidak bisa dihitung karena jumlah titik centroid (n) < 4. Sedangkan analisis tetangga terdekat pada hutan primer tahun 1990 menunjukkan pola spasial cluster. Identifikasi pola hutan primer pada tahun 1990 menghasilkan jarak rata-rata observasi sebesar 6 431.18, jarak rata-rata ekspektasinya sebesar 9 827.3, dengan nilai NNIsebesar 0.65, dan Z-score sebesar -3.8. NNI < 1 menunjukkan bahwa pola tutupan hutan primer pada tahun 1990 adalah cluster atau berkelompok, dan diperoleh jarak observasi lebih kecil dibandingkan dengan jarak yang diharapkan sehingga jarak antar titik akan semakin rapat dan membentuk kelompok. Berdasarkan Z-score yang didapatkan bahwa Z-score yang didapatkan< Zα/2 = -2.58. Waite (2000) menyatakan bahwa tanda negatif mengindikasikan sebaran spasial adalah berkelompok atau cluster. Secara visual peta pola sebaran spasial hutan primer dapat dilihat pada Gambar 8.

(29)

Gambar 9 Peta pola hutan sekunder

(30)

Gambar 11 Peta pola perkebunan karet

(31)

Hutan Sekunder

Hutan sekunder salah satu perubahan yang terjadi sangat signifikan di wilayah kajian. Hutan sekunder pada tahun 1990 memiliki luasan sebesar 734 643.29 ha yang mengalami penurunan luasan dari tahun ke tahun dengan rata-rata penurunan luasan hutan sekunder dari tahun 1990 – 2013 adalah sebesar 91 868.18 ha dan penurunan luasan hutan sekunder sebesar 3 994.27 ha per tahun.

Pola penyebaran ekosistem transisi dengan menggunakan metode analisis kuadrat menghasilkan sebaran hutan sekunder yang mengelompok pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013. Pada tahun 1900, 2000, 2011, dan 2013 nilai d (sebaran) > 1.96. Hal ini menunjukkan ragam > rata-rata maka dapat dikatakan bahwa sebaran hutan sekunder pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster. Pada analisis nearest neighbor (Tabel 5) hutan sekunder pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 memiliki nilai NNI < 1, hal ini berarti hutan sekunder memiliki pola cluster. Hasil perhitungan NNI memperlihatkan nilai Z-score yang diperoleh negatif. Tanda negatif pada Z-score mengindikasikan bahwa pola yang terdapat pada tutupan hutan sekunder adalah cluster.

Hutan sekunder pada tahun 1990 berada di empat kelas lereng yaitu, 0-8%, 8-15%, 15-25%, dan 25-40% namun, hutan sekunder tahun 1990 didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 727 450 ha dan cenderung jauh dari pedesaan ataupun pemukiman. Pada tahun 2000 hutan sekunder terdapat di tiga kelas lereng yaitu, 0-8%, 8-15%, 15-25% dan tetap didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 679 043 ha. Pada tahun 2011 dan 2013 hutan sekunder ada pada empat kelas yaitu, 0-8%, 8-15%, 15-25%, dan 25-40%, dimana hutan sekunder pada tahun 2011 dan 2013 didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 462 642 ha. Pada tahun 1990 hutan sekunder ada dikelas 25-40% namun pada tahun 2000 tidak ditemukan, hal ini disebabkan oleh saat interpretasi citra secara visual hutan sekunder dikelas lereng 25-40% pada tahun 1990 berubah menjadi semak pada tahun 2000, dan pada tahun 2011 tutupan lahan telah menyerupai pola, ukuran, dan bentuk dari hutan sekunder, begitu juga dengan keberadaan hutan sekunder tahun 2013 yang berada disemua kelas lereng, namun pada kelas lereng >40% awalnya tidak bertutupan hutan sekunder. Hal ini disebabkan oleh tutupan hutan sekunder dari tahun 1990 ataupun 2000 dalam rentang waktu yang cukup panjang dapat merubah tutupan semak menjadi hutan sekunder di kelas lereng >40%. Selain itu hutan sekunder pada semua tahun jauh dari pedesaan dan jalan namun, masih memungkinkan di lapangan adanya perambahan hutan. Peta pola hutan sekunder dapat dilihat pada Gambar 9.

Hutan Karet

(32)

Pola penyebaran hutan karet menggunakan analisis kuadrat diketahui mempunyai sebaran random pada hutan karet tahun 2011 dan 2013. Hutan karet tahun 2011 dan 2013 memiliki nilai NNI > 1 atau pola dispersed. Selain itu, hasil perhitungan menunjukkan Z-score > Zα/2yang menunjukkan pola sebaran spasial hutan karet adalah dispersed. Hal ini berbeda dengan hasil analisis kuadrat karena apabila dilihat oleh kasat mata akan cenderung seragam namun, hasil perhitungan analisis kuadrat menunjukkan sebarannya acak. Hal yang harus diketahui bahwa pola sebaran tidak sama dengan pola spasial.

Hutan karet baik tutupan hutan karet pada tahun 2011 dan 2013 memiliki Kepemilikan hutan karet di Provinsi Jambi umumnya pribadi, namun hutan karet pribadi ini pemiliknya cenderung tinggal di pusat kota sehingga hutan karet tersebut ada yang ditelantarkan dan ada juga yang dimanfaatkan masyarakat sekitar. Secara spasial peta pola hutan karet dapat dilihat pada Gambar 10.

Perkebunan Karet

Perkebunan karet merupakan tegakan homogen dengan sistem yang beragam berasal dari perladangan berpindah. Perkebunan karet yang homogen dengan densitas pohon jauh lebih rendah serta populasi pohon yang memiliki umur, ukuran serta jarak tanam yang relatif sama. Perkebunan karet biasanya dikelola lebih intensif, yaitu disertai pemupukan untuk menambah kesuburan tanah gambut serta pemakaian herbisida untuk memberantas gulma dan insektisida untuk mengendalikan hama (Gouyon et al. 1993).

Pola spasial perkebunan karet tahun 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster, dimana telah dilakukan analisis perubahan sebelumnya, karena perubahan lahan dapat bersifat sementara dan permanen. Perubahan lahan ini dianalisis berdasarkan sifat permanennya penyebaran suatu perubahan tutupan lahan. Pengetahuan mengenai penyebaran sangat penting untuk mengetahui tingkat pengelompokan dari individu yang dapat memberikan dampak terhadap populasi dari rata-rata per unit area (Soegianto 1994). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian karena pengetahuan terhadap pola sebaran perubahan tutupan hutan menjadi kebun karet, kebun sawit, maupun hutan karet pada ekosistem transisi di wilayah kajian dapat memberikan informasi terkait dampak yang akan terjadi.

(33)

kelas lereng 0-8% pada tahun 2000 dan untuk tahun 2011 dan 2013, dimana perkebunan karet berada pada kelas lereng 0-8%, 8-15%, dan 15-25%. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan dari hutan sekunder sebelumnya pada lereng 15-25% menjadi kebun karet. Secara spasial pola kebun karet dapat dilihat pada Gambar 11.

Perkebunan Sawit

Hasil klasifikasi secara visual Citra Landsat TM, ETM+, dan OLI diketahui bahwa pola sebaran perkebunan sawit adalah cluster. Perubahan pada ekosistem yang terjadi adalah perubahan dari lahan vegetasi menjadi lahan budidaya dan pemukiman. Perkebunan sawit merupakan salah satu bentuk perubahan ekosistem transisi yang berbasis budidaya dari lahan bervegatasi rapat dan jarang.

Berdasarkan hasil analisis kuadrat ditemukan bahwa pola sebaran perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster. Pola sebaran perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 cenderung cluster, hal ini ditunjukkan dengan nilai sebaran (d) yang dihitung > 1.96 dan varian mean ratio yang diperoleh > 1.

Perkebunan sawit tahun 1990 tidak memiliki nilai NNI hal ini disebabkan oleh, jumlah titik (n) < 4. Sedangkan perkebunan sawit tahun 2000, 2011 dan 2013 memiliki nilai NNI < 1 dengan hasil berpola cluster. Selain itu, hasil perhitungan Z-score perkebunan sawit tahun 2000, 2011, dan 2013 cenderung negatif yang menunjukkan pola sebaran spasial perkebunan sawit adalah mengelompok (cluster). Pada hasil metode tetangga terdekat diperoleh jarak observasi yang lebih kecil daripada jarak ekspektasi yang menunjukkan pola spasial perkebunan sawit lebih berkelompok atau berdekatan. Pola perkebunan sawit yang berkelompok cenderung berada jauh dari pusat desa dan berada di buffer jalan 1 km pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013.

Perkebunan sawit tahun 1990, 2000, dan 2011 berada di kelas lereng 0-8%. Hal ini disebabkan oleh mudahnya akses terhadap suatu lahan dan pada tahun 1990 masih belum begitu maraknya menanam sawit sehingga masyarakat menanam di lokasi yang datar. Pada tahun 2013 perkebunan sawit berada di kelas lereng 0-8%, dan 8-15% lokasi berdekatan dengan pusat desa, serta berada di dekat jalan. Secara spasial pola sebaran perkebunan sawit disajikan pada Gambar 12.

Pola Sebaran Spasial Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi

(34)

Tabel 6 Hasil metode tetangga terdekat pada perubahan tutupan hutan ekosistem Sawit, HP = Hutan Primer, HS = Hutan Sekunder, HK = Hutan Karet

Hutan Primer menjadi Hutan Sekunder

Pada kurun waktu 1990 – 2000, 2000 – 2011, dan 2011 – 2013 luas hutan yang mengalami perubahan tutupan lahan bervegetasi menjadi lahan budidaya di wilayah kajian cukup besar karena berada pada rentang waktu yang lama yaitu 23 tahun. Gunawan (2012) menyatakan bahwa peta jenis penggunaan lahan di Jambi tahun 2000 dan 2010 pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tebo menunjukkan perubahan lahan terbanyak dari hutan primer menjadi hutan sekunder dan mangrove.

Hutan primer mengalami perubahan menjadi hutan sekunder bersifat sementara namun, membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah hutan sekunder tersebut kembali menjadi hutan primer. Martens et. al. (2000) menyatakan bahwa cahaya understory untuk tempat dalam sekumpulan padang rumput/hutan bergantung pada tutupan dan secara substansial dimodifikasi oleh tinggi. Pola spasial tutupan pohon memiliki pengaruh kecil pada mean tetapi tidak mempengaruhi varians. Hal ini berarti tutupan lahan memiliki varians yang lebih tinggi dibandingkan mean karena mean tidak dapat mempengaruhi varians. Pada perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder periode 1990 – 2000 diperoleh nilai varians sebesar 0.5 dan mean 0.2, serta pada periode 2000 – 2011 diperoleh nilai varians 0.2 dan mean 0.1, hal ini dapat menunjukkan bahwa terlihat pola penyebarannya cluster, namun apabila kita perbesar pola dapat membentuk dispersed or uniform.Pada periode 2011 – 2013 tidak ditemukan perubahan pada ekosistem transisi yaitu perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder, hutan (primer dan sekunder) menjadi hutan karet, kebun karet, dan kebun sawit, hal ini disebabkan oleh rentang waktu hanya dua tahun. Berdasarkan Gambar 14 yang disajikan, memperlihatkan pola sebaran cluster pada perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder periode 1990 – 2000 dan 2000 - 2011.

(35)

sedangkan hasil analisis kuadrat dengan metode grid menunjukkan pola sebaran perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder adalah cluster. Hal ini disebabkan oleh, metode tetangga terdekat saat menganalisis pola spasial dilakukan berdasarkan distance, sedangkan metode grid sebarannya berdasarkan jumlah point yang ada pada satu grid.

Pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder pada tahun 1990 – 2000 yang mendominasi adalah kelas lereng 0-8% namun diperoleh juga kelas lereng 8-15%, 15-25%, 25 - 40%, dan > 40% di wilayah kajian, sedangkan pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder pada tahun 2000 – 2011 didominasi oleh kelas lereng 8-15% dan 0-8%, selain itu berada pada kelas lereng > 40% seluas 65 397 ha. Perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder ditemukan pada jarak desa 0-1000 m dan didominasi oleh jarak 2000-3000 m sebesar 952 ha pada periode 1990 – 2000. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa semakin dekat desa ataupun jalan maka perubahan akan semakin tinggi pada hutan primer menjadi hutan sekunder. Secara spasial pola perubahan hutan primer menjadi hutan sekunder dapat dilihat pada Gambar 14.

(36)

Gambar 15 Pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan sawit

(37)

Gambar 17 Peta pola perubahan dari hutan menjadi hutan karet

Hutan menjadi Perkebunan Sawit

Hutan pada perubahan ekosistem transisi adalah hutan primer dan hutan sekunder yang berada di wilayah kajian. Tekanan terhadap hutan datang dari proyek transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, bahkan telah dilakukan sejak 1983. Penempatan transmigrasi di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi tidak lepas dari pembukaan kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan dan tentunya pemukiman. Di beberapa tempat dikombinasikan dengan perkebunan besar menjadi perkebunan trans (Adnan et. al 2008). Berdasarkan hasil penelitian selama kurun waktu 10 tahun (1990 – 2000) telah terjadi peningkatan luas perkebunan sawit sebesar 36 416.02 ha dari luasan perkebunanan sawit yang ada pada tahun 1990 di wilayah kajian.

Muchlis et. al (2011) yang melakukan penelitian di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari Jambi menyatakan bahwa perusahaan kelapa sawit telah melakukan pola kemitraan untuk menguntungkan kedua belah pihak. Selain itu, perusahaan akan menggarap banyak lahan untuk dijadikan kebun kelapa sawit terutama pada desa – desa yang wilayahnya luas dan kepadatan penduduknya jarang. Pola sebaran pada wilayah kajian menunjukkan bahwa perubahan terjadi di wilayah penduduknya jarang dan cenderung berada di dekat jalan .

(38)

sekunder) menjadi perkebunan sawit di wilayah kajian memilki NNI < 1, jarak observasi yang ditemukan lebih kecil daripada jarak ekspektasi dan Z-score negatif maka diindikasikan bahwa pola perubahannya adalah cluster.

Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit cenderung terjadi di sekitar pusat desa dengan jarak dari desa 0-1000 m, 1000-2000 m, dan 2000-3000 m, dan berada di buffer jalan dengan jarak ke kanan dan ke kiri jalan sebesar 1000 m. Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit 1990 – 2000 ini terjadi pada kelas lereng datar dan agak datar, pola perubahan didominasi kemiringan 0-8% seluas 28 229 ha dan satu titik di kelas lereng 8-15% seluas 225 ha. Pola perubahan hutan menjadi perkebunan sawit 2000 – 2011 ini terjadi pada wilayah kajian dengan didominasi kelas lereng 0-8% seluas 8 192 ha, lalu hanya terdapat tiga titik pada kemiringan 8-15% (1 461 ha), dan dua titik dikemiringan 15-25% (3 ha), serta satu titik pada kemiringan 25-40% (4 ha).

Hutan menjadi Perkebunan Karet

Menurut Sakti (2007) menyatakan bahwa komoditas unggulan perkebunan di Jambi adalah kelapa sawit dan karet. Pada periode 2011 – 2013 diperoleh peningkatan luasan pada perkebunan karet seluas 1 774.25 ha serta perkebunan sawit mengalami penambahan luas sebesar 47 180.98 ha dari luas sebelumnya. Berdasarkan BPS (2012) menyatakan bahwa perkebunan daerah Jambi pada umumnya adalah perkebunan karet milik rakyat dengan luas tanaman 659 852 ha dengan produksi 322 044 ton pada tahun 2011.

Secara spasial pola perubahan hutan menjadi perkebunan karet dapat dilihat pada Gambar 16. Pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet mengelompok pada periode 1990 – 2000 dan didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 12 871 ha, dan pada kemiringan 8-15% seluas 13 ha yang terletak dari dekat pusat desa dengan jarak 1000-2000 m, dan 2000-3000 m, serta perubahan tersebut terjadi cenderung di buffer jalan 1000 m. Pada tahun 2000 – 2011 perubahan hutan menjadi perkebunan karet cenderung berkelompok pada semua kelas lereng dan didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 10 822 ha, umumnya perubahan terjadi pada buffer jalan 1000 m seluas 11 110 ha dan berada di jarak desa dengan jarak 0-1000 m, 1000-2000 m, dan 2000-3000 m.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet yang terdapat di wilayah kajian pada periode 1990 – 2000, dan 2000 – 2011 adalah mengelompok atau cluster. Pada periode 1990 – 2000 hanya terdapat perubahan dari hutan sekunder menjadi perkebunan karet, sedangkan pada periode 2000 – 2011 ditemukan perubahan dari hutan (primer dan sekunder) menjadi perkebunan karet. Pada analisis tetangga terdekat terkait pola spasial perubahan hutan menjadi perkebunan karet di wilayah kajian pada periode 1990 – 2000 dan 2000 – 2011 memilki pola cluster jika NNI < 1 dan Z- score negatif serta jarak observasi lebih kecil daripada jarak ekspektasi.

Hutan menjadi Hutan Karet

(39)

kajian mengelompok pada tiga lokasi. Hal ini disebabkan oleh, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa adanya akses dan pembangunan desa baru yang mempunyai jumlah penduduk yang sedikit pada wilayah tersebut. Pada periode 1990 – 2000, berdasarkan hasil klasifikasi secara visual tidak ditemukan perubahan hutan menjadi hutan karet.

Pola perubahan hutan menjadi hutan karet periode 2000 – 2011 berada pada tiga kelas lereng yaitu, 0-8%, 8-15%, dan 15-25%, dan berada pada jarak 1000 m dari jalan serta berada pada jarak buffer desa 0-1000 m dan 2000-3000 m. Perubahan dari hutan menjadi hutan karet didominasi oleh kelas lereng 0-8% seluas 16 074 ha. Hasil analisis kuadrat dengan menggunakan grid dapat diketahui bahwa varians > mean dan diperoleh sebaran (d) > 1.96 sehingga dapat dipastikan pola perubahan hutan menjadi hutan karet pada wilayah kajian periode 2000 – 2011 adalah cluster atau berkelompok. Pola perubahan hutan menjadi hutan karet dengan menggunakan metode tetangga terdekat menghasilkan NNI < 1 (negatif) dan jarak observasi lebih kecil daripada jarak ekspektasi sehingga baik dengan menggunakan analisis kuadrat dan metode tetangga terdekat menghasilkan pola yang sama yaitu cluster.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pola sebaran tutupan hutan primer pada tahun 1990 dan hutan sekunder di wilayah kajian pada tahun 1990, 2000, 2011, dan 2013 adalah cluster. Pola sebaran hutan karet ditemukan pada tahun 2011 dan 2013 di wilayah kajian adalah dispersed. Sedangkan pola sebaran perkebunan karet dan perkebunan sawit ditemukan pada tahun 2000, 2011, dan 2013 di wilayah kajian adalah cluster.

Pola perubahan dari hutan primer menjadi hutan sekunder dan hutan menjadi perkebunan karet dan sawit di wilayah kajian pada periode 1990 – 2000, dan 2000 – 2011 adalah cluster. Pola perubahan dari hutan menjadi hutan karet dengan analisis kuadrat pada periode 2000 – 2011 cenderung cluster di wilayah kajian. Pola perubahan dari hutan menjadi perkebunan karet atau sawit cenderung berkelompok di dekat desa dan di sekitar jalan. Semakin datar kelas lereng 0-8% maka semakin banyak perubahan tutupan hutan menjadi lahan pertanian dan non-pertanian.

Saran

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan H, Tadjudin D, Yuliani EL, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian YL, Munggoro DW. 2008. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor (ID): CIFOR.

[BAPLAN] Badan Planologi Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2012. Jambi Dalam Angka. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jambi. ISSN: 0215.2029.

[FWI] Forest Watch Indonesia/Global Forest Watch. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor : Forest Watch Indonesia dan Washington DC: Global Forest Watch.

Gunawan D. 2012. Simulasi Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Komponen Fluks Radiasi dan Parameter Permukaan di Provinsi Jambi menggunakan Model Iklim Regional REGCM4. Jakarta (ID): Pusat Litbang BMKG. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 13(3): 161-167.

Gouyon A, De Foresta H. and Levang P. 1993 Does Jungle Rubber Deserve its name? An analysis of Rubber Agroforestry Systems In Southeast Sumatra. Agroforestry Systems 22(3): 181–206.

Jaya INS. 2007. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Jaya INS. 2010. Analisis Citra Digital: Perspektif Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper Collins Publisher, Inc. New York. Ludwig, J.A, and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. John Wiley & Sons, Inc. Canada.

Krebs CJ. 2014. Ecological Methodology. Vancouver: University of British Columbia.

Kurniawan H dan Hidayat T. 2008. Perancangan Program Pengenalan Wajah Menggunakan Fungsi Jarak Metode Euclidean Distance Pada MATLAB. ISSN: 1907-5022. Yogyakarta (ID): Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia.

Kusrini, Hartati S, Wardoyo R, Harjoko A. 2009. Perbandingan Metode Nearest Neighbor dan Algoritma C4.5 untuk Menganalisis Kemungkinan Pengunduran Diri Calon Mahasiswa di STMIK AMIKOM Yogyakarta. Jurnal DASI. 10 (1): ISSN: 1411-3201. Yogyakarta (ID): Program Studi Ilmu Komputer UGM. Lillesand T, Kieffer R. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Loppies R. 2010. Karakteristik dan Spesifikasi Satelit LANDSAT (Bagian 1) [Internet]. [diacu 2014 September 14]. Tersedia dari: http://satelit-inderaja.blogspot.com/2010/10/karakteristik-dan-spesifikasi-satelit.html. Martens SN, Breshears DD, dan Meyer CW. 2000. Distribution Spasial of

(41)

and Patern Spasial of Trees Canopy. Ecological Modelling. 126-(1):79-93.doi: 10.106/50304-3800(99(00188-X).

Muchlis F, Fitri Y, dan Rahman A. 2011. Analisis Respon Petani terhadap Sosialisasi Rencana Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Pola Kemitraan Oleh PT. Kirana Sekernan Desa Lubuk Ruso Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari. JP UNJA. 13(1): 59-68.

Sakti T. 2008. Penelitian Penataan Hak Guna Usaha Dalam Rangka Program Pembaruan Agraria Nasional. JI. 9(2):16-12

Santoso B. 2008. Kebocoran Hutan dan Anomali Illegal Logging. Tangerang (ID): Wana Aksara.

Sari IL dan Pandansari TA. 2012. Kelas Penutup Lahan Provinsi Lampung Bagian Selatan Menggunakan Citra Spot-4. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara. 7 (1):27-37.

Sasaki TS, Ahmad AH, Ahmad ZA. 2011. REDD Development in Cambodia.

Potential Carbon Emission Reduction in REDD project. FORMATH.10:1-23. Shuman CS, Ambrose RF. 2003. A comparison of remote sensing and

ground-based methods for monitoring wetland restoration success. Restor. Ecol., 11 (2003), pp. 325–333.

Statistik Kehutanan Indonesia. 2011. Statistik Kehutanan Indonesia 2010. Jakarta: Kementrian Kehutanan.

Sumargo W, Nanggara SG, Nainggolan FA, Apriani I. 2011. Protet Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. Bogor (ID): Forest Watch Indonesia.

Sunderlin WD, Resosudarmo IAP. 1996. Laju dan Penyebab Deforestasi di

Indonesia: Penelaahan Kerancuan dan Penyelesaiannya. Paper No (9). Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR).

Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Metode analisis populasi dan komunitas. Surabaya (ID). Usaha Nasional.

(42)

Lampiran 1 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 1990

Tahun 1990 Tutupan Ekosistem Transisi (Ha)

X HP %*) HS %*) HK %*) Karet %*) Sawit %*) Slope

0-8% 138221 49 727450 99 - - 2255 100

8-15% 444 0 6747 1 - - -

15-25% 142165 51 91 0 - - -

25-40% - 356 - - -

>40% - - - - -

TOTAL 280830 100 734287 100 2255 100 Jarak Desa

0-1000 2 0 19226 65 - - -

1000-2000 - 8102 28 - - -

2000-3000 952 100 2073 7 - - -

TOTAL 954 100 29401 100

Jarak Jalan

1000 254058 - - 2255

Keterangan: X = Variabel yang mempengaruhi pola

*) = Persentase luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 1990

Lampiran 2 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2000

Tahun 2000 Tutupan Ekosistem Transisi (Ha)

X HP %*) HS %*) HK %*) Karet %*) Sawit %*)

Slope

0-8% - 679043 100 - - 14219 100 38671 100

8-15% 68468 64 1863 0 - - 13 0 - -

15-25% 38542 36 230 0 - - - - -

25-40% >40%

TOTAL 107010 100 681136 100 14232 100 38671 100 Jarak Desa

0-1000 - - 7450 3 - - 330 30 - -

1000-2000 - - 199418 90 - - 643 59 72 0,365588 2000-3000 - - 13952 6 - - 126 11 19528 99,63441

TOTAL 220819 100 1098 100 19599 100

Jarak Jalan

1000 69695 10782 132220 Keterangan: X = Variabel yang mempengaruhi pola

(43)

Lampiran 3 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2011

Tahun 2011 Tutupan Ekosistem Transisi (Ha)

X HP %*) HS %*) HK %*) Karet %*) Sawit %*)

Slope

0-8% 23963 100 462642 99 23963 100 45774 87 85852 100

8-15% - 4272 1 - 3088 6 -

15-25% - 271 0 - 3964 8 -

25-40% - 1484 0 - - -

>40% - - - - -

TOTAL 23963 100 468669 100 23963 100 52826 100 85852 100 Jarak Desa

0-1000 - 731 0 - 4228 24 4296 9

1000-2000 - 24904 11 - 2094 12 13528 28

2000-3000 - 204429 89 - 11350 64 29729 63

TOTAL 230064 100 0 0 17672 100 47553 100 Jarak Jalan

1000 318319 15786 47953 383841 Keterangan: X = Variabel yang mempengaruhi pola

*) = Persentase luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2011

Lampiran 4 Luas tutupan lahan pada ekosistem transisi tahun 2013

Tahun 2013 Tutupan Ekosistem Transisi (ha)

X HP %*) HS %*) HK %*) Karet %*) Sawit %*)

Slope

0-8% 23963 100 186662 97 23963 100 47548 87 100582 100

8-15% - 4272 2 - 3088 6 -

15-25% - 271 0 - 3964 7 -

25-40% - 1533 1 - - -

>40% - - - - -

TOTAL 23963 100 192738 100 23963 100 54600 100 100582 100 Jarak Desa

0-1000 - 580 4 - 4399 23 4474 11

1000-2000 - 2829 21 - 2235 12 5599 14

2000-3000 - 10342 75 - 12314 65 29921 75

TOTAL 0 0 13752 100 0 0 18947 100 39994 100 Jarak Jalan

1000 101392 15786 49007 351316 Keterangan: X = Variabel yang mempengaruhi pola

(44)

Lampiran 5 Luas perubahan pada ekosistem transisi

Periode Perubahan Tutupan pada Ekosistem Trasisi (Ha)

HP_HS %*) H_PS %*) H_PK %*) H_HK %*)

(45)

Lampiran 6 Matriks luas perubahan tutupan lahan tahun 1990 – 2000

Keterangan „ : Luasan hutan yang mengalami perubahan pada ekosistem transisi

B = Semak/Belukar, Br = Belukar Rawa, HM = Hutan Mangrove ( Primer dan Sekunder ), HP = Hutan Primer, HR = Hutan Rawa ( Primer dan Sekunder ), HS = Hutan Sekunder, HT = Hutan Tanaman, HK = Hutan Karet, Tmbg = Tambang, Tmbk = Tambak, Pk = Perkebunan, PLK= Pertanian Lahan Kering, PLKC = Pertanian Lahan Kering Campur, Trans = Transmigrasi, Pm = Permukiman, Sw = Sawah, Rw = Rawadan TNT = Tanah Terbuka

(46)
(47)
(48)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 November 1992 di Jambi sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Jumarlan dan Ibu Eliyarni. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Rumpun Tani Jambi tahun pada tahun 1998, dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 28 Kota Jambi pada tahun 2004. Pendidikan menengah pertama penulis tempuh di SMPN 4 Kota Jambi (2004 – 2007), kemudian pendidikan menengah atas penulis tempuh di SMAN 3 Kota Jambi dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) sebagai mahasiswa Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa studi di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Geomatika dan Inderaja Kehutanan tahun 2014, dan mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan tahun 2014. Adapun kegiatan non

– akademis penulis adalah aktif sebagai staff di Koran Kampus IPB pada tahun 2010 – 2011. Selain itu, penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yaitu Himpunan Profesi Forest Management Student Club (FMSC) sebagai anggota Kelompok Studi Perencanaan, Bendahara Umum PIKNAS VI (Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional VI) tahun 2012, dan Bendahara Umum di Pengurus Cabang Sylva IPB tahun 2013. Penulis juga pernah terlibat dalam kepanitian Masa Perkenalan Fakultas yaitu BCR (Bina Corps Rimbawan) sebagai anggota divisi medis tahun 2011 dan 2012.

Penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Papandayan dan Sancang Timur, Jawa Barat tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi tahun 2013, dan Praktik Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Trisetia Intiga, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah tahun 2014.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, penulis melaksanakan Penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Pola Sebaran dan Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan pada Ekosistem Transisi di Kabupaten Bungo, Tebo,

Dan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi” di bawah bimbingan Prof Dr Ir I

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian
Tabel 1  Data utama penelitian
Gambar 3  Mosaik citra landsat TM dan ETM+ tahun 2000
Gambar 5  Mosaik citra landsat OLI tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

tak terlupakan.. Kontribusi Media Pembelajaran, Motivasidan Kondisi Tempat Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas X Sekolah Menengah Kejuruan

didasar pada dokumen sumber dan dokumen pendukung berikut ini : “Pencatatan terjadinya piutang didasarkan atas faktur penjualan yang didukung dengan surat order pengiriman dan

UD. Jayadi merupakan perusahaan yang bergerak di bidang makanan ringan yakni dengan mengolah buah-buahan menjadi keripik. Perusahaan ini berdiri pada tahun 2005, perusahaan

salmonicida dan antibodi (reaksi aglutinasi) pada uji titer antibodi induk maka dapat dipastikan larva yang dihasilkan juga memiliki imunitas spesifik sama dengan

Gambar 4 menunjukkan analisis selang alami gerak pada elemen kerja cutting dengan egrek saat gerakan posisi awal saat egrek sudah siap untuk ditarik yang berarti pisau

Penelitian lainnya oleh Suhaili, Irawan, Fahrizal, &amp; Herusutopo (2014) yang melakukan analisis perbandingan algortima pathfinding Greedy Best-First Search dengan A* dalam

Apakah terdapat perbedaan kualitas pelaporan keuangan meliputi ketelitian, ketepatan, dan kecepatan dengan menggunakan Sistem Informasi Manajemen Daerah secara