• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan Taman Nasional Sebangau (TNS) sebelumnya merupakan kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK). Status TNS ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.423/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 dengan luas ±568 700 ha yang merupakan hasil penggabungan dari ±510 250 ha HP dan ±58 450 ha HPK. Ketika masih berstatus hutan produksi kawasan TNS pernah mengalami kebakaran besar sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1992, 1994, 1997, dan 2002 yang dipicu oleh kondisi gambut yang rusak akibat illegal logging dan pemanfaatan lahan yang menyebabkan adanya parit atau kanal buatan serta akibat terjadinya pengeringan (BTNS 2013). Kawasan TNS menurut sistem klasifikasi Koppen memiliki tipe iklim Af dengan delapan bulan basah dan tidak mempunyai bulan kering yang nyata (BTNS 2007). Jumlah curah hujan pada bulan terkering lebih dari 60 mm dengan variasi pada kisaran 2 000 – 4 000 mm sehingga dikategorikan bercurah hujan tinggi (BTNS 2013). Kawasan TNS tersusun atas formasi endapan alluvium/endapan permukaan (Qa) dan batuan sedimen tanah muka (Tq). Endapan permukaan yang terbentuk berasal dari endapan alluvium sungai, endapan gambut dan/atau bahan organik. Adapun bahan organik yang menyusun kawasan TNS terdiri dari endapan bahan organik, liat, dan pasir. Bahan organik tersebut terbagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat kematangan, yaitu fibric, hemic, dan safric. Perbedaan tingkat kematangan dan ketebalan tanah memberikan pengaruh terhadap fisiografi kawasan TNS yang akan tampak seperti suatu dataran rawa (floodplain), tanggul sungai (levee), dan satuan lahan kubah gambut baik gambut ombrogen ataupun oligotrofik.

Sebaran Neofelis diardi

Sebaran macan dahan (Neofelis diardi) di Taman Nasional Sebangau ditemukan 18 lokasi dengan proporsi 66.67% (bentuk perjumpaan tidak langung) dan 33.33% (perjumpaan langsung) (Gambar 7). Jumlah perjumpaan tidak langsung terbanyak melalui camera trap yaitu 41.67%. Proporsi yang besar pada perjumpan tidak langsung disebabkan satwa bersifat secretive (rahasia), cryptic (pemalu), dan elusive (menghindar). MacDonald and Loveridge (2010) menjelaskan kesulitan dalam melakukan observasi langsung terhadap Felidae adalah sifat elusive yang cenderung menghindari manusia sehingga observasi secara tidak langsung menjadi alternatif terbaik dalam meneliti Felidae, terlebih di hutan tropis yang relatif rapat. Beberapa penelitian terdahulu juga menemukan keberadaan satwa tersebut secara tidak langsung melalui tanda jejak, camera trap, dan indikasi marking serta sisa satwa mangsa yang terbunuh (Wilting 2007, Cheyne et al. 2013, dan Hearn et al. 2013), bahkan Grassman et al. (2005) yang menggunakan radio-signal hanya sekali mendapatkan perjumpaan secara langsung. Perjumpaan langsung diketahui berdasarkan laporan masyarakat dan petugas lapangan di kawasan TNS yang terjadi secara tidak sengaja, namun

Wilting (2007) pernah berjumpa langsung dengan N. diardi di Tabin Wildlife Reserve, Sabah Malaysia.

Gambar 7 Bentuk perjumpaan Neofelis diardi

Kesulitan untuk menemukan N. diardi juga ditunjukkan oleh nilai RAI (Relatife Abundance Index)/tingkat perjumpaan dari pemasangan camera trap di 14 titik stasiun dengan jumlah hari aktif kamera 30 – 62 hari. Tingkat perjumpaan N. diardi bernilai rataan sebesar 1.37 foto/100 hari dengan rentang nilai 1.61 –

4.21 foto/100 hari. Perbedaan nilai RAI dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal dan internal dalam penelitian. Beberapa faktor internal yang berpengaruh adalah penggunaan jumlah dan periode pemasangan camera trap, penemuan lokasi strategis pemasangan kamera (penemuan tanda baru ataupun lama), dan perilaku maupun kemampuan satwa (ukuran home range dan daily movement), sedangkan faktor eksternalnya meliputi kondisi habitat satwa (waktu musiman, substrat, dan daya dukung habitat) serta intensitas dan kualias keberadaan ancaman bagi satwaliar. RAI N. diardi di kelima stasiun camera trap dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Nilai RAI Neofelis diardi di lima stasiun camera trap

41.67% 16.67% 25% 8.33% 8.33% 33.33% Camera Trap Footrpint Claw Vokalisasi Scrape Langsung 4.21 1.61 3.13 2.33 1.61 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 Nd9 Nd10 Nd11 Nd2 Nd12

Titik Stasiun Camera Trap

RAI (foto/10 0 hari)

Keterangan:

RAI = Relative Abundance Index (Tingkat Perjumpaan) Nd = Kode titik lokasi penemuan individu Neofelis diardi

Tingkat perjumpaan untuk N. diardi lebih rendah dibandingkan oleh Panthera pardus di Gabon Tengah (Afrika) yang mempunyai nilai RAI dengan rentang 0 – 6.3 foto/100 hari dengan 87 unit camera trap dan periode pemasangan 39 – 62 hari (Henschel 2008). Selain itu, Fata (2011) memperoleh nilai RAI N. diardi di Pulau Sumatera yang lebih tinggi dengan nilai 4.75 dan 7.85 foto/100 hari di dua lokasi kamera, sedangkan rataan RAI Panthera tigris sumatrae yang bernilai 0.93 foto/100 hari dengan rentang 0 – 7.85 foto/100 hari dari penggunaan 28 unit camera trap dan lama periode pemasangan 18 – 59 hari lebih rendah dari RAI N. diardi selama penelitian. Menurut Acrenaz et al. (2012) nilai RAI ini bukan merupakan ukuran kelimpahan spesies dalam suatu populasi, namun lebih cenderung menunjukkan tingkat kemudahan dalam menemukan keberadaan suatu spesies sehingga dapat dikatakan bahwa RAI merupakan indikator ukuran keberhasilan trapping. Oleh karena itu, kelima stasiun lokasi camera trap dapat menjadi pertimbangan dalam memasang camera trap bagi N. diardi di kawasan TNS.

Indikasi keberadaan N. diardi di TNS menunjukkan beberapa aktivitas yang berbeda-beda. Bentuk aktivitas terbanyak yang ditemukan adalah berjalan sebanyak 9 aktivitas (42.86%), sedangkan menggesekkan pipi (cheek rubbed) ditemukan sebanyak 3 aktivitas (14.29%) (Gambar 9). Cheek rubbed adalah salah satu aktivitas perilaku teritorial dan komunikasi antar individu dari N. diardi yang dilakukan pada batang tegakan. Aktivitas tersebut ditemukan di tiga lokasi camera trap yang berbeda dan substrat yang menjadi objek penandaan (marking) terdiri dari tiga tingkat pertumbuhan yang juga berbeda, yaitu semai, tiang (genus Artocarpus) dan pohon (genus Agathis). Gambar 10 menunjukkan bentuk penandaan wilayah N. diardi di tipe habitat Tall Interior Forest (Punggualas) dan Hill Forest (Bukit Bulan).

Gambar 9 Bentuk aktivitas Neofelis diardi

MacDonald (1985) diacu dalam MacDonald and Loveridge (2010) menjelaskan cheek rubbed termasuk bentuk marking Felidae (facial scent glands) terutama dalam aspek komunikasi melalui bau (smells). Selain itu, bagian pipi (cheek) Felidae terdapat whiskers yang berperan sebagai indera peraba sehingga ketika N. diardi melakukan aktivitas ini, maka cairan (fluid) yang berasal dari kantung kelenjar tidak hanya ditinggalkan sebagai tanda scent marking, melainkan

42.86% 14.29% 9.52% 9.52% 4.76% 4.76% 4.76% 4.76% 4.76% Berjalan Cheek Rubbing Istirahat Memanjat Bersuara Minum Menggaruk Tanah Menaiki Batu Mengendus

juga menghantarkan syaraf dengan cepat. Oleh karena itu, satwa ini juga mampu mengenali maupun menjelaskan kondisi lingkungan sekitar, bahkan mendeteksi dan berinteraksi dengan mangsa yang potensial. MacDonald and Loveridge (2010) menegaskan kondisi ini dipengaruhi oleh cairan dari kantung kelenjar yang kaya akan suplai syaraf sehingga apapun yang tersentuh dapat cepat terdeteksi, sedangkan kemampuan mendeteksi mangsa berasal dari kombinasi terhadap visuo-tactile sense. Kebanyakan Felidae berburu menggunakan indera penglihatan maupun suara untuk mendeteksi lokasi mangsa, namun beberapa Felidae menggunakan indera penciuman untuk mendeteksi mangsa seperti yang dilakukan oleh ocelots (Leopardus pardalis) (Kitchener 1991 diacu dalam MacDonald and Loveridge 2010).

(a)

(b) (c)

Gambar 10 Aktivitas penandaan teritori Neofelis diardi di berbagai tingkat pertumbuhan(a) semai (b) tiang (c) pohon

Famili Moraceae mempunyai ciri batang yang bergetah sangat rekat (Dixon 2011). Famili Araucariaceae pada Genus Agathis mempunyai ciri kulit kayu yang mengandung resin melimpah dengan sifat resin yang mudah mengering dan rekat (Heung-Kyu et al. 2011). Sifat kedua getah yang rekat diindikasikan akan memberikan pengaruh bau (scent) yang ditinggalkan oleh N. diardi sehingga scent akan lebih merekat pada substrat (tumbuhan) yang ditandai dan tumbuhan tersebut termasuk sebagai catnip. Menurut MacDonald and Loveridge (2010) Felidae memilih tempat untuk aktivitas marking secara hati-hati. Selain itu, Todd (1962) beserta Palen and Goddard (1966) diacu dalam MacDonald and Loveridge (2010) juga menambahkan terdapat interaksi antara Felidae dengan tumbuhan akibat pengaruh catnip sehingga satwa tertarik untuk merespon dengan beberapa aktivitas seperti menggesekkan bagian tubuh pipi, dagu, dan badan (cheek, chin and body rubbing) atau bahkan berguling (rolling). Perilaku ini serupa dengan yang ditunjukkan oleh kucing domestik.

Informasi mengenai aktivitas teritorial dari macan dahan secara umum sangat terbatas sebagian besar hanya diperoleh dari lembaga konservasi eksitu yang menurut Fletchall (2000) salah satu bentuk perilaku marking N. nebulosa adalah cheek marking yang cenderung memanfaatkan indera penciuman sebagai bentuk komunikasi sehingga terdapat tanda yang ditinggalkan melalui kelenjar sebaceous (sebaceous glands) pada bagian pipi dan kondisi tersebut lebih menonjol pada pejantan dibandingkan oleh betina. Berdasarkan dua kejadian marking (foto b dan c gambar 10) di lokasi penelitian diketahui bahwa N. diardi berjenis kelamin jantan, sedangkan satu kejadian lagi (foto a gambar 10) tidak dapat diketahui karena trap tidak memperoleh penampakan seluruh bagian tubuh satwa. Wilting (2007) juga menemukan aktivitas teritori N. diardi di alam berupa cheek rubbed dan urinisasi.

Perbedaan individu dari Felidae dapat dicirikan oleh loreng ataupun corak rambut tubuh, begitu juga untuk N. diardi. Individu N. diardi diidentifikasikan terdapat 5 individu berbeda dari kelima titik pemasangan camera trap yang tersebar di 14 titik stasiun (Lampiran). Tiga individu berbeda ditemukan dalam satu lokasi yaitu titik Nd9. Kondisi ini menjelaskan mengenai kejadian tumpang tindih (overlapping) wilayah jelajah bagi N. diardi yang bahkan terjadi di seluruh titik lokasi perjumpaan terutama untuk tipe habitat TIF (Punggualas) karena masih berada di dalam satu grid yang berukuran 36 km2, sedangkan ukuran wilayah jelajah dan teritori untuk satu individu adalah 45 km2 dan 5.4 km2 (Hearn et al. 2013). Fenomena tersebut umum terjadi pada satwa predator besar terutama untuk jenis kelamin yang berbeda, namun seluruh individu yang ditemukan di dalam penelitian adalah jantan. Kondisi ini dipengaruhi oleh kondisi habitat yang kompleks, derajat toleransi sosial yang tinggi, perebutan wilayah sehingga terdapat individu yang kalah dan pergi, ataupun adanya dinamika populasi seperti kematian (mortalitas) pada salah satu individu dan penggunaan rentang waktu yang berbeda. Perjumpaan yang ditemukan terjadi pada rentang waktu yang berbeda, baik untuk periode bulan maupun tahun seperti ketiga individu di lokasi Nd9 merupakan jantan dewasa yang ditemukan pada tahun 2012, 2013, dan 2014. Kejadian tumpang tindih juga terjadi pada N. nebulosa di Thailand, baik jenis kelamin berbeda maupun antar individu pejantan, seperti yang dijelaskan Austin (2002) kejadian tumpang tindih wilayah jelajah diantara jenis kelamin yang berbeda mencapai nilai >50%. Grassman (2003) juga menambahkan

persentase tumpang tindih antar pejantan N. nebulosa bernilai 31.4% dan 47.5% yang menurut Crawshaw and Quigley (1991) kemungkinan terjadi karena derajat toleransi sosial yang tinggi atau akibat kondisi habitat yang kompleks sehingga memberikan kesulitan dalam mempertahankan teritori. Gambaran mengenai wilayah jelajah mungkin samar di dalam realitas sosial Felidae karena kejadian tumpang tindih berhubungan dengan susunan ruang (spatial organization) yang dibatasi oleh skala waktu, sedangkan susunan ruang tersebut bersifat dinamis (Doncaster and MacDonald 1991 diacu dalam MacDonald and Loveridge 2010). Selain itu, Crawshaw and Quigley (1991) beserta Grassman (1999) menyebutkan kejadian tumpang tindih antar pejantan juga terjadi pada beberapa spesies Felidae seperti jaguar (Panthera onca) dan leopard (Panthera pardus).

Sebaran menurut ketinggian tempat (elevasi)

Topografi Taman Nasional Sebangau cenderung datar dan bergelombang, meskipun terdapat wilayah perbukitan dengan puncak tertinggi 190 m dpl. Gandasasmita et al. (2006) menjelaskan penurunan tanah pada ekosistem rawa pasang surut air dapat terjadi secara tidak berangsur-angsur atau mendadak dengan jarak perubahan yang pendek dan kecenderungan pola permukaan yang ditunjukkan oleh ekosistem rawa gambut yaitu semakin meninggi menuju daerah kubah gambut (peat dome). Oleh karena itu, ditemukan wilayah dengan ketinggian tempat di atas permukaan laut yang sama, meskipun di dua tipe habitat yang berbeda seperti hutan gambut di Punggualas dan hutan perbukitan di Bukit Bulan (Gambar 11).

Ketinggian kawasan hutan TNS dibagi menjadi lima kriteria kelas dengan selang 5 m dpl, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Nilai kelas 0 – 20 m dpl dijadikan sebagai kriteria sangat rendah karena menurut Noor (2001) Hutan Sebangau merupakan gambut dataran tinggi dengan ketinggian 10 – 20 m dpl, sedangkan nilai kelas 35 – 190 m dpl sebagai kriteria sangat tinggi karena menurut BTNS (2007) wilayah perbukitan di kawasan TNS berada di ketinggian > 35 m dpl. Hampir di setiap kriteria kelas ditemukan N. diardi, meskipun ditemukan sebaran terbanyak di kriteria kelas rendah dengan delapan perjumpaan (44.45%). Oleh karena itu, keberadaan N. diardi diindikasikan tidak berhubungan dengan faktor ketinggian tempat di atas permukaan laut. Komposisi sebaran N. diardi terhadap setiap kriteria kelas ketinggian kawasan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tidak adanya hubungan tersebut disebabkan oleh perbedaan ketinggian yang seragam (tidak jauh berbeda). Lakitan (2002) menjelaskan perubahan ketinggian tempat setiap kenaikan 100 mdpl memengaruhi suhu udara yang menurun 0.6oC. Selain itu, macan dahan dapat hidup di berbagai ketinggian tempat (elevasi) mulai dari habitat dengan ketinggian terendah seperti mangrove, pantai, rawa pantai dan gambut hingga wilayah perbukitan dan pegunungan, bahkan di wilayah dengan ketinggian 3 000 m dpl (Rabinowitz 1988, Chiang 2007, Hearn et al. 2008, Hancock 2012).

Noor (2001) menjelaskan adanya hubungan antara ketinggian tempat dari atas permukaan laut di daerah gambut dengan usia dari suatu lahan gambut, yaitu semakin tinggi tempat maka umur dari gambut yang terbentuk semakin tua, sedangkan gambut tua cenderung tidak subur (oligotrofik) sehingga berpengaruh terhadap kondisi vegetasi yang tumbuh dan kelimpahan satwa mangsa. Alikodra

(2002) juga menjelaskan bahwa jumlah jenis satwa semakin menurun mengikuti ketinggian tempat. Kondisi inilah yang menyebabkan sebaran N. diardi di kriteria rendah ditemukan dengan frekuensi terbanyak.

(a)

(b)

(c)

Gambar 11 Peta sebaran Neofelis diardi berdasarkan kelas ketinggian kawasan di area (a) Punggualas, (b) SSI, dan (c) Bukit Bulan

Tabel 4 Komposisi sebaran Neofelis diardi terhadap kelas elevasi kawasan Kriteria Kelas Elevasi Nilai Kelas (m dpl)

Frekuensi Neofelis diardi

Jumlah Total Lokasi NK NF NC NSr NL NV Sangat Rendah 0 – 20 0 0 0 0 2 0 2 S Rendah 20 – 25 3 0 0 0 4 1 8 S & P Sedang 25 – 30 1 2 1 0 0 0 4 B & P Tinggi 30 – 35 1 0 2 1 0 0 4 B & P Sangat Tinggi 35 – 190 0 0 0 0 0 0 0 B Keterangan :

NK = Neofelis di kamera NF = Footprints NC = Claw NSr = Scrape NL = Langsung NV = Vokalisasi P = Area Punggualas S = Area SSI B = Bukit Bulan

Hasil uji Chi-square antara keberadaan N. diardi dan kelas ketinggian kawasan (elevasi) bernilai (P = 0.064) atau (P > 0.05) maka disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan dari kedua parameter. Kondisi ini sesuai karena N. diardi dapat beradaptasi dan hidup di berbagai ketinggian. Selain itu, perbedaan ketinggian di kawasan hutan TNS yang seragam sehingga bentuk permukaannya cenderung datar. Oleh karena itu, ketinggian kawasan di ekosistem rawa gambut TNS tidak direkomendasikan untuk dipergunakan sebagai parameter dalam monitoring N. diardi.

Sebaran menurut jarak dari sumber air

Sumber air di kawasan TNS dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu hujan dan/atau pasang surut air sungai. Kondisi ini ditunjukkan oleh lokasi di daerah Sebangau Sanitra Indah (SSI) dan Punggualas sebagai kawasan yang dipengaruhi kedua faktor tersebut karena terletak di dekat sungai dan berupa kawasan bergambut, sedangkan di Bukit Bulan hanya bergantung pada kejadian hujan karena berada di daerah pedalaman. Oleh karena itu, sumber air di kawasan Bukit Bulan berbentuk kubangan-kubangan air, sedangkan air pasang surut dari Sungai Bulan hanya mempengaruhi sumber air di sekitar kawasan bukit yang merupakan kawasan bergambut. Peta sebaran N. diarditerhadap kelas “jarak dari sumber air”

menunjukkan perbedaan karakteristik sumber air yang dijadikan indikator pada masing-masing kawasan (Gambar 12).

Kriteria kelas “jarak dari sumber air” dibagi menjadi lima, yaitu sangat

dekat, dekat, sedang, jauh, dan sangat jauh dengan selang jarak 100 m setiap kelas. Perjumpaan terbanyak N. diardi berada di kriteria kelas sangat dekat dengan sebelas perjumpaan (61.11%), sedangkan proporsi sebaran di kelas lainnya adalah 5,56% untuk kedua kelas sedang dan jauh, serta 27.78% di kelas dekat. Oleh karena itu, keberadaan N. diardi diindikasikan berhubungan dengan jarak dari sumber air. Komposisi sebaran N. diardi di masing-masing kelas “jarak dari sumber air” dapat dilihat pada Tabel 5.

(a)

(b)

(c)

Gambar 12 Sebaran Neofelis diarditerhadap kelas “jarak dari sumber air” di area (a) SSI, (b) Punggualas, dan (c) Bukit Bulan

Tabel 5 Komposisi sebaran Neofelis diarditerhadap kelas “jarak dari sumber air” Kriteria Kelas “Jarak dari Sumber Air” Nilai Kelas (m)

Frekuensi Neofelis diardi

Jumlah Total Lokasi NK NF NC NSr NL NV Sangat Dekat 0 – 100 2 2 3 0 4 0 11 S, P, & B Dekat 100 – 200 1 0 0 1 2 1 5 S, P & B Sedang 200 – 300 1 0 0 0 0 0 1 P Jauh 300 – 400 1 0 0 0 0 0 1 P

Sangat Jauh > 400 0 0 0 0 0 0 0 Tidak Ada Keterangan :

NK = Neofelis di kamera NF = Footprints NC = Claw NSr = Scrape NL = Langsung NV = Vokalisasi P = Area Punggualas S = Area SSI B = Bukit Bulan

Wilting (2007) memperoleh jumlah keberadaan N. diardi lebih banyak di sepanjang jalur transek sungai (stream) dibandingkan dengan jalur lain yang digunakan sehingga jalur di daerah sekitar sungai (river beds and sand banks along small stream) direkomendasikan sebagai lokasi untuk melakukan observasi terhadap predator tersebut. Selain itu, keberadaan N. diardi juga ditemukan di daerah kanal Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) CIMTROP, TNS (Cheyne et al. 2013), bahkan Lynam et al. (2001) diacu dalam Chiang (2007) menyebutkan salah satu lokasi camera trapping yang berhasil menangkap keberadaan N. nebulosa di Thailand adalah dasar sungai yang mengering (dry stream beds). Grassman (2003) juga menemukan lokasi wilayah jelajah N. nebulosa yang berada di daerah aliran sungai utama (major stream). Pemasangan satu camera trap di parit Punggualas yang sudah mulai mengering juga menemukan keberadaan N. diardi.

Air merupakan sumber penghidupan bagi makhluk hidup terutama untuk satwa karena berperan sebagai sumberdaya minumnya. Selain itu, air juga dibutuhkan satwaliar untuk menjaga suhu, kelembapan, dan kebersihan tubuh yang umumnya dilakukan satwa mamalia besar dengan aktivitas berkubang, bahkan air merupakan habitat bagi selurub satwa aquatic seperti ikan yang potensial menjadi mangsa karnivora. Ikan berpotensi sebagai satwa mangsa bagi N. diardi terutama di kawasan Punggualas karena beberapa jenis ikan di daerah tersebut berukuran besar dengan berat tubuh mencapai 2.75 kg (small prey) dan hidup di bagian tepi sungai (Lampiran). Kondisi ini juga didukung oleh kemampuan N. nebulosa yang mampu memegang mangsa (grabbed) seperti halnya yang dilakukan oleh fishing cats (Prionailurus viverrinus) untuk memperoleh ikan di dalam air (Grzimeks 1975). Kebutuhan terhadap sumberdaya air untuk minum diindikasikan oleh penemuan N. diardi di area Sebangau Sanitra Indah (SSI) yang terjadi pada Bulan Mei 2008 ketika curah hujan menurun.

Proporsi yang besar di kelas sangat dekat dipengaruhi oleh keberadaan satwa mangsa yang sering dijumpai di sekitar maupun pinggir sumber air terutama sungai. Beberapa satwa mangsa yang ditemukan adalah Macaca fascicularis, Macaca nemestrina, Presbytis rubicunda, dan Nasalis larvatus yang berada di sungai-sungai utama serta Sus barbatus, Muntiacus atherodes, dan Cervus uniqolor yang ditemukan berada di dekat sumber air di kawasan Bukit Bulan.

Kondisi vegetasi di sekitar sumber air juga mendukung N. diardi dalam berburu karena umumnya vegetasi rapat oleh rerumputan maupun semak belukar yang lebat. Ismail (2001) menambahkan Rerumputan/sedges (Cyperaceae) dan paku-pakuan (ferns) banyak ditemukan di daerah pinggir sungai, terlebih akan lebih melimpah pada daerah bekas terbakar seperti yang terjadi pada daerah muara Sungai Punggualas. Selain itu, Manshur (2011) juga menyebutkan habitat semak belukar dapat ditemukan di daerah pinggiran sungai. Menurut Gunawan and Alikodra (2013), salah satu strategi predator berada di sekitar sumber air terutama satwa Pantherinae seperti macan tutul adalah untuk menunggu potensi satwa-satwa mangsa yang datang mendekati sumber sehingga ketika sedang beristirahat di dalam semak dan rumput dapat segera menyergap satwa mangsa tersebut.

Hasil uji Chi-square menunjukkan nilai (P = 0.002) atau (P < 0.05) yang menjelaskan ada hubungan antara keberadaan N. diardi dengan faktor jarak dari sumber air seperti sungai dan kubangan air dengan signifikan. Hasil tersebut juga menjelaskan N. diardi cenderung berada di sekitar sumber air sehingga satwa dapat menjadi indikator biologis bagi kondisi sumber air di suatu habitat. Oleh karena itu, faktor jarak dari sumber air dapat dijadikan pertimbangan untuk monitoring N. diardi di kawasan TNS.

Sebaran menurut jarak dari potensi gangguan

Alikodra (2002) menyatakan salah satu komponen habitat dari faktor biotik adalah komunitas biotik pada suatu habitat, sedangkan manusia merupakan bagian dari komunitas biotik tersebut. Salah satu pengaruh negatif dari manusia dikenal sebagai ancaman atau gangguan, baik aktif maupun pasif. Basecamp/stasiun penelitian dan pondok mampu berpotensi sebagai gangguan terhadap satwaliar, bahkan juga dapat bersifat aktif maupun pasif. Perburuan merupakan salah satu bentuk ancaman yang aktif, sedangkan kehadiran manusia saja merupakan ancaman pasif karena umumnya satwa akan menghindar dari kehadiran manusia. Hasil observasi tidak menunjukkan bentuk ancaman aktif yaitu perburuan terhadap N. diardi, sedangkan ancaman pasif yang diidentifikasi berupa keberadaan pondok masyarakat ataupun basecamp (stasiun penelitian).

Keberadaan pondok masyarakat sebagian besar tersebar di dalam kawasan hutan seperti yang terdapat pada kawasan Punggualas dan Sungai Bulan, termasuk juga Bukit Bulan. Pondok-pondok tersebut bersifat sementara karena dibuat masyarakat selama berburu burung di dalam kawasan sehingga tidak dijadikan parameter di dalam penelitian seperti di kawasan Punggualas. Penggunaan parameter pondok dilakukan di kawasan Bukit Bulan karena lokasinya terkonsentrasi selama penelitian, sedangkan pondok lain di kawasan Bukit Bulan ditemukan rusak. Gambar 13 menunjukkan peta sebaran N. diardi terhadap kelas

“jarak dari potensi gangguan”.

Kriteria kelas “jarak dari potensi gangguan” dikelompokkan menjadi lima

yaitu sangat dekat, dekat, sedang, jauh, dan sangat jauh dengan selang nilai 100 m. Sebaran terbanyak N. diardi ditemukan di kriteria kelas sangat jauh dengan sembilan perjumpaan (50%), sedangkan proporsi di kelas sangat dekat, dekat, dan jauh sama-sama bernilai 5.56% serta 33.33% untuk kelas sedang. Oleh karena itu, keberadaan N. diardi diindikasikan berhubungan dengan faktor jarak dari poteni gangguan terutama keberadaan aktivitas manusia. Komposisi sebaran N. diardi

pada masing-masing kelas “jarak dari potensi gangguan” dapat dilihat pada Tabel

6.

(a.1)

(a.2)

(b)

Gambar 13 Peta sebaran Neofelis diardi terhadap potensi gangguan : (a.1) basecamp Punggualas, (a.2) basecamp SSI, dan (b) pondok Bukit Bulan

Tabel 6 Komposisi sebaran Neofelis diardi di masing-masing kelas “jarak dari potensi gangguan” Kriteria Kelas “Jarak dari Potensi gangguan” Nilai Kelas (m)

Frekuensi Neofelis diardi

Total Jumlah Lokasi NK NF NC NSr NL NV Sangat Dekat 0 – 100 0 0 0 0 1 0 1 P Dekat 100 – 200 1 0 0 0 0 0 1 B Sedang 200 – 300 0 1 1 1 3 0 6 P, B & S Jauh 300 – 400 0 0 0 0 1 0 1 S Sangat Jauh > 400 4 1 2 0 1 1 9 P Keterangan :

NK = Neofelis di kamera NF = Footprints NC = Claw NSr = Scrape NL = Langsung NV = Vokalisasi

Dokumen terkait