• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Tanah Karbon organik (C-org) Tanah

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao nyata menurunkan kandungan C organik tanah. Penurunan kadar C-organik tanah tersebut terjadi karena pembukaan lahan dilakukan dengan sistem tebang bakar. Kehilangan vegetasi dan serasah yang sebelumnya menutup rapat permukaan tanah mengakibatkan tanah menjadi terbuka sehingga sangat rentan terhadap faktor-faktor iklim terutama cahaya, suhu dan hujan. Selain itu, adanya pengelolaan lahan pertanian sepanjang tahun juga menjadi penyebab menurunnya kandungan karbon organik tanah.

Lahan yang terbuka seperti kakao umur ≤3 tahun atau digunakan sebagai lahan jagung dan kacang tanah mengakibatkan kehilangan bahan organik melalui erosi dan aliran permukaan maupun percepatan dekomposisi bahan organik (Tabel 5). Kondisi lahan yang terbuka memungkinkan terjadinya benturan air hujan pada permukaan tanah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya dispersi terhadap tanah sehingga melepaskan partikel-partikel halus (liat dan humus) yang kemudian mudah tererosi bila terjadi aliran permukaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa C organik yang hilang melalui erosi pada lahan yang relatif terbuka (kakao umur ≤3 tahun, jagung dan kacang tanah) mencapai 800-900 kg ha-1 th-1. Dengan demikian lahan-lahan pertanian umumnya mengalami degradasi karbon organik karena kehilangan melalui erosi sepanjang waktu bila tanpa usaha konservasi untuk mengatasinya.

Kandungan karbon organik tanah akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao tidak mampu balik seperti semula walaupun telah berlangsung 12 tahun. Hal ini terjadi karena dekomposisi bahan organik berlangsung dengan cepat. Perubahan suhu dan kelembaban menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangbiakan mikro organisme tanah. Berkembangnya mikro organisme dengan pesat menyebabkan kebutuhan bahan organik sebagai sumber energi meningkat. Aktivitas mikro organisme yang intensif tersebut memacu proses dekomposisi bahan organik sehingga cepat berkurang dalam tanah.

Kandungan C organik pada lahan hutan sangat tinggi karena produksi serasah tinggi, poses dekomposisi yang stabil dan erosi yang rendah. Dengan demikian deposit C organik terus meningkat karena laju penambahan dari serasah lebih besar dibanding yang hilang melalui erosi (Brown, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa status C organik lahan hutan sangat tinggi (>5,00%) kemudian menurun statusnya menjadi sedang (2,01-3,00%) setelah dialihkan menjadi lahan kakao umur ≤3 tahun. Pada lahan jagung dan kacang tanah status karbon organik tanah rendah (1,00-2,00%) namun pada lahan agroforestri vanili berubah menjadi sedang. Kemudian alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao menurunkan status C organik menjadi sedang (umur ≤3 th), rendah (kakao 6-11 th) dan menjadi sedang pada lahan kakao agroforestri 12 th (Lampiran 10).

Tabel 5 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kadar C-organik tanah

Penggunaan Lahan C-organik (%)

Hut 5,28 a K ≤ 3 2,56 b K 6 1,61 b K.A 7 1,97 b K 11 1,64 b K-A 12 2,14 b

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05. hutan (Hut), jagung (Jag), kacang tanah (Kta), agroforestri vanili (Van), kakao umur ≤3 th (K3), 6 th (K6), kakao agroforestri 7 th (KA7), kakao 11 th (K11) dan kakao agroforestri 12 th (KA12)

Penggunaan Lahan C-organik (%)

Hut 5,28 a K ≤ 3 2,56 b Jag 1,98 b Kta 1,71 b Van 2,05 b Stabilitas Agregat

Hasil analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao nyata menurunkan indeks stabilitas agregat (ISA) tanah. Lahan hutan memiliki indeks stabilitas agregat sangat stabil (80-200) dan setelah dialihkan menjadi lahan pertanian secara perlahan ISA tanah menurun (Tabel 6). Terjadinya perubahan tutupan lahan baik pada kanopi maupun pada permukaan tanah membawa dampak yang sangat besar terhadap jumlah mikroba dan aktivitas perombakan terhadap bahan organik baik dipermukaan maupun dalam tanah. Pada lahan pertanian agregasi tanah akan menurun dengan makin menipis suplai bahan organik ke dalam tanah. Kondisi ini semakin diperburuk lagi dengan adanya kebiasaan petani dalam pengangkutan

seluruh hasil panen keluar dari lahan pertanian. Dalam lahan hutan terjadi stabilitas aktivitas mikro organisme tanah karena suplai energi dari serasah yang kontinyu yang pada gilirannya akan menghasilkan substrat-substrat dan miselia yang dapat mempertahankan stabilitas agregat tanah.

Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menyebabkan penurunan stabilitas agregat tanah setelah kakao berumur > 6 tahun bila ditanam dengan sistem monokultur (Tabel 6). Sementara itu, bila kokao ditanam dengan sistem agroforestri agregasi tanah nyata menurun setelah berumur 12 tahun. Namun demikian secara keseluruhan status stabilitas agregat tanah daerah penelitian umumnya masih dalam kondisi stabil (66-80) karena pembukaan dan penyiapan lahan dilakukan secara konvensional.

Konversi lahan hutan menjadi lahan kakao yang umumnya dilakukan dengan sistem tebang bakar mengakibatkan hilangnya sebagian besar bahan organik, berkurangnya jumlah dan komposisi mikro organisme tanah. Kondisi lahan yang terbuka tersebut memungkinkan terjadinya pengurasan bahan organik tanah akibat erosi dan aliran permukaan.

Tisdall dan Oades (1982) mengelompokan bahan organik pemantap agregat dalam 3 kelompok, yaitu : a) transient, terutama berupa polisakarida, b) temporer, berupa akar dan hifa, c) persisten, terutama berupa senyawa-senyawa aromatik yang berasosiasi dengan kation logam atau polimer yang teradsorbsi. Akar dan hifa merupakan pemantap agregat makro (diameter >250 um), sedang agregat mikro sangat dipengaruhi oleh bahan organik yang persisten. Stabilitas agregat mikro merupakan karakteristik tanah yang tidak dipengaruhi oleh pengolahan tanah, sebaliknya stabilitas agregat makro sangat dipengaruhi, oleh karena itu pengolahan tanah mempengaruhi perkembangan akar (Oades, 1993). Hasil pengukuran ISA dilokasi penelitian menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki ISA sangat stabil sementara pada lahan pertanian bervariasi dari sangat stabil hingga agak stabil (Lampiran 6). Pengelolaan yang relatif intensif mengakibatkan dekomposisi bahan organik berlangsung cepat dengan demikian kandungan bahan organik tanah cepat berkurang. Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya suplai bahan organik karena sebagian serasah tanaman semusim terangkut dari lahan saat panen berlangsung. Kondisi agregasi tanah relatif sama

terjadi pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao setelah umur 6 tahun turun drastis bila ditanam secara monokultur. Menurunnya agregasi tanah tersebut terjadi karena kandungan bahan organik tanah semakin berkurang. Agregasi tanah pada lahan kakao monokultur hingga umur 11 tahun terus menurun. Namun kakao dengan sistem agroforestri hingga umur 7 tahun agregasi tanah lebih stabil dan setelah berumur 12 tahun cenderung menurun karena kadar karbon organik tanah juga semakin menurun.

Tabel 6 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap indeks stabilitas agregat tanah

Penggunaan Lahan ISA

Hut 129,55 b K ≤ 3 102,75 ab K 6 78,65 a K.A 7 88,37 ab K 11 73,25 a K-A 12 77,25 a

Penggunaan Lahan ISA

Hut 129,55 b

K ≤ 3 102,75 ab

Jag 66,35 a

Kta 67,85 a

Van 72,55 a

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05

Porositas dan Bobot Isi

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata meningkatkan bobot isi dan nyata menurunkan porositas tanah (Tabel 7). Lahan hutan memiliki bobot isi tanah nyata lebih kecil dan porositas yang tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan untuk agroforestri vanili. Kondisi ini sangat berhubungan dengan kandungan bahan organik pada lahan hutan yang masih tinggi Kandungan bahan organik yang tinggi pada lahan hutan menciptakan ruang pori atau porositas tanah tinggi, sebaliknya bobot isi tanah menjadi lebih ringan. Bobot isi berbanding terbalik dengan porositas tanah, bila bobot isi tanah rendah maka porositas tanah tinggi dan sebaliknya bila bobot isi tanah tinggi maka porositas tanah rendah. Salah satu faktor penyebab meningkatnya bobot isi/penurunan porositas tanah pada lahan pertanian adalah adanya pengelolaan yang dilakukan secara intensif dalam rangka mendapatkan hasil yang maksimal (Iqbal et al., 2006). Pengelolaan lahan yang dilakukan secara reguler seperti mengolah tanah, menyiang, memupuk, pencegahan hama/penyakit, mengairi, panen dan sebagainya mengakibatkan terjadinya

pemadatan tanah. Erosi dan aliran permukaan juga memberi andil yang berarti pada peningkatan bobot isi tanah, dimana material-material halus mengisi pori tanah dan atau hilangnya bahan organik tanah melalui erosi.

Hasil analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata meningkatkan bobot isi dan sebaliknya nyata menurunkan porositas tanah (Tabel 7). Semakin lama penggunaan lahan sebagai lahan semakin meningkat pula bobot isi dan sebaliknya porositas tanah menurun. Meningkatnya kepadatan tanah tersebut karena tingginya frekuensi kunjungan petani, terutama pada lahan yang dekat dengan pemukiman. Akses yang cukup dekat tersebut memungkinkan petani dan keluarganya senantiasa mengunjungi lahan tersebut dalam rangka pemeliharaan dan pengambilan hasil panen tanaman lainnya yang ditanam secara campuran dengan kakao.

Penggunaan lahan pada daerah yang landai awalnya saat dibuka menjadi lahan pertanian digunakan sebagai lahan sawah dan pertanaman palawija. Namun seiring berkembangnya tanaman kakao dengan pesat di daerah Sulawesi Tengah diawal tahun 1990-an membuat masyarakat mengkonversi lahan sawah menjadi perkebunan kakao yang memiliki nilai ekonomis yang lebih menguntungkan. Selain itu karena keterbatasan sumber air irigasi yang tidak dapat mencukupi kebutuhan lahan pertanain karena kondisi iklim yang kadang tidak menentu.

Tabel 7 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao terhadap bobot isi dan porositas tanah

Penggunaan Bobot isi Penggunaan

Lahan Bobot isi (g cm-3) Porositas (%) Hut 0,77 a 70,94 a

K ≤ 3 0,97ab 63,40ab

K 6 1,08ab 59,25ab

K.A 7 1,14ab 56,98ab

K 11 1,28 b 51,70 b

K-A 12 1,15ab 56,60ab

Lahan (g cm-3)

Porositas (%) Hut 0,77 a 70,94 a K ≤ 3 0,97ab 63,40 ab

Jag 1,00ab 62,26ab

Kta 1,16ab 56,23 ab

Van 1,32 b 50,19 b

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05

Permeabilitas

Hasil analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata menurunkan permeabilitas tanah pada kedalaman

10 cm dan 30 cm. Lahan hutan memiliki permeabilitas yang sangat tinggi (>25 cm/jam) karena tumpukan seresah yang mengalami penambahan dan perombakan secara alamia. Sebaliknya pada sistem budidaya pertanian terjadi campur tangan manusia dalam mengelola usahataninya. Adanya pengaturan jarak tanam sehingga cahaya matahari mencapai permukaan tanah, pengolahan tanah, pembersihan gulma memacu terjadi perombakan bahan organik/serasah sehingga dalam waktu singkat kehilangan bahan organik. Kondisi ini dipacu juga oleh tingkat kunjungan petani ke lahan usahataninya yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kepadatan tanah. Meningkatnya kepadatan tanah tersebut menyebabkan porositas tanah berkurang, dengan demikian kapasitas tanah melewatkan air ke dalam tanah (permeabilitas) menurun (Tabel 8).

Ada kecenderungan bahwa lahan hutan yang telah dialihgunakan menjadi lahan pertanian mengalami penurunan permeabilitas seperti lahan kacang tanah, jagung dan vanili, sebaliknya pada lahan yang baru dibuka tingkat penurunan permeabilitasnya relatif masih rendah (kakao umur ≤ 3 tahun). Terjadinya penurunan kapasitas permeabilitas ini sangat dipengaruhi oleh kepadatan tanah, hal ini dapat dilihat pada indikator bobot isi tanah.

Peningkatan kepadatan tanah juga dapat terjadi karena pengolahan yang intensif terutama pada lahan tanaman semusim yang kurang diimbangi dengan usaha perbaikan fisik tanah misalnya dengan pemupukan organik. Selain itu intensitas kunjungan petani ke lahan pertaniannya, semakin dekat dengan pemukiman cenderung meningkatkan kepadatan tanah pertanian.

Pada Tabel 8 terlihat bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menurunkan permeabilitas tanah pada kedalaman 10 cm dan 30 cm. Penurunan sangat tajam terjadi pada lahan kacang tanah dimana dalam penyiapannya dilakukan dengan pengolahan tanah sehingga terjadi pemecahan partikel tanah secara mekanik. Kondisi ini memungkinkan terjadinya pengsian pori tanah oleh partikel liat sehingga sulit melewatkan air ke dalam tanah.

Tingkat kualitas permeabilitas lahan hutan sangat cepat(>25 cm/jam), pada lahan kakao umur < 3 tahun sangat cepat hingga cepat (12,51-25,00 cm/jam) dan pada lahan kacang tanah yakni sedang hingga agak cepat (2,01-12,50 cm/jam). Sementara pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao

bervariasi dari sangat cepat hingga sedang (2,01- >25,00 cm/jam). Kriteria kualitas permeabilitas tanah disajikan pada Lampiran 5.

Tabel 8 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap permeabilitas tanah (cm jam-1)

Penggunaan

Lahan 10 cm Dalam Dalam 30 cm Hut 114,20 c 29,39a K ≤ 3 52,51 b 13,04a K 6 7,41 a 2,93a K A 7 19,72ab 4,67a

K 11 4,09 a 2,50a

K-A 12 11,03ab 4,91a Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama salam satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05 Penggunaan Lahan Dalam 10 cm Dalam 30 cm Hut 114,20c 29,39 a K ≤ 3 52,5bc 13,04ab Jag 10,07ab 4,87 b Kta 7,60 a 2,67 b Van 9,07ab 5,54 b

Pada Tabel 9 disajikan korelasi C-organik dengan sifat fisik tanah seperti stabilitas agregat, porositas, bobot isi dan permeabilitas dihubungkan satu dengan yang lain, maka diperoleh korelasi yang sangat tinggi diantara sifat-sifat tanah tersebut. Karbon organik memiliki korelasi positif yang sangat erat dengan sifat tanah stabilitas agregat, porositas dan permeabilitas. Semakin tinggi kadar C-organik tanah maka akan berdampak positif terhadap stabilitas agregat, porositas dan permeabilitas tanah. Kemudian C-organik berkorelasi negatif yang kuat dengan bobot isi tanah, dimana semakin tinggi kandungan C-organik tanah maka bobot isi makin kecil.

Tabel 9 Korelasi C-organik dengan sifat-sifat tanah pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao

Sifat tanah Satuan Korelasi (%)

C-organik (%) -

Indeks Stabilitas Agregat - 0.92

Porositas (%) 0.88

Bobot isi (g/cm3) -0.90

Permeabilitas 10 cm (cm/jam) 0.98 Permeabilitas 30 cm (cm/jam) 0.93

Nitrogen dan Fosfor

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kandungan N (nitrogen) dan P (phospor = fosfor)) tanah nyata menurun akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian sebagaimana disajikan pada Tabel 10. Kadar N tanah di bawah

tegakan hutan lebih tinggi karena kandungan bahan organik tanah yang merupakan sumber alami utama N juga masih tinggi. Sebaliknya N berkurang dengan nyata bila kadar bahan organik tanah rendah sebagaimana yang terjadi pada lahan agroforestri vanili. Apabila dilihat kriteria sifat kimia tanah (Lampiran 10), kandungan N lahan hutan, kakao umur ≤3 tahun dan jagung umumnya sedang, kecuali lahan kacang tanah dan vanili kadarnya rendah.

Analisisi statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata menurunkan kadar fosfor. Kadar fosfor menurun setelah digunakan sebagai lahan tanaman jagung dan kacang tanah. Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian secara perlahan terjadi degradasi kandungan fosfor tanah. Kandungan fosfor tanah daerah penelitian sangat rendah menurut kriteria Pusat Penelitian Tanah Bogor. Secara keseluruhan nampak bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menunjukkan adanya penurunan kadar N dan P tanah. Hal ini dapat terjadi karena dengan terbukanya lahan suhu akan meningkat sehingga laju dekomposisi bahan organik dipercepat. Selain itu serapan N dan P oleh tanaman yang kemudian diangkut keluar dari lahan dalam bentuk hasil.

Kandungan hara N dan P akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao disajikan pada Tabel 10. Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao nyata menyebabkan penurunan kadar N setelah kakao berumur >10 tahun baik monokultur maupun agroforestri. Sedangkan kadar P tanah menurun setelah kakao berumur >10 yang ditanam secara monokultur. Sistem agroforestri memiliki perakaran dalam yang dapat mengangkat hara P yang jauh di dalam tanah yang dikembalikan dalam bentuk bahan organik.

Secara umum nampak bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao menyebabkan terjadinya penurunan kadar N dan P. Kondisi ini terjadi karena sebagian hara telah terangkut oleh erosi dan aliran permukaan serta terangkut dalam hasil panen biji kakao. Kondisi ini diperparah lagi oleh tidak adanya usaha pemupukan untuk mensuplai hara ke dalam tanah. Status hara N pada lahan kakao taraf sedang hingga rendah dan P tersedia umumnya sangat rendah.

Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian yang umumnya dilakukan dengan sistem tebang bakar mengakibatkan sebagian besar tumpukan bahan

organik habis terbakar dan sebagian lagi terbawa erosi saat terjadi hujan Kandungan N tanah pada lahan hutan, kakao umur ≤ 3 dan lahan jagung tarafnya sedang (0,21- 0,50%) dan terus menurun menjadi rendah setelah digunaan menjadi kacang tanah dan vanili. Sedangkan kandungan P tersedia tanah tempat penelitian umumnya sangat rendah (<10 ppm). Dinamika kandungan N dan P tanah ketika alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao umumnya menurun, namun bila kakao ditanam dengan sistem agroforestri kandungan unsur P relatif stabil setelah kakao berumur 12 tahun. Sumbangan bahan organik dari serasah baik dari tanaman kakao maupun pohon pelindung pada sistem pertanian agroforestri memiliki peran penting dalam pemeliharaan hara tanah.

Tabel 10 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kandungan N dan P2O5 tanah

N Penggunaan Lahan N (% ) P2O5 (ppm) Hut 0,38 a 4,32 a K ≤ 3 0,35 a 3,78ab K 6 0,29ab 3,38ab K.A 7 0,24ab 3,97ab K 11 0,19 b 2,52 b K-A 12 0,20 b 4,08ab Penggunaan Lahan (% ) (ppm) P2O5 Hut 0,38 a 4,32 a K ≤ 3 0,35 a 3,78ab Jag 0,28ab 1,86 b Kta 0,20ab 1,51 b Van 0,18 b 2,92ab

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05

Kandungan K, Ca dan Mg Tanah

Hasil analisis laboratorium kadar K, Ca dan Mg tanah akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan lahan kakao disajikan pada Tabel 11. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian nyata menurunkan kation Ca dan Mg. Sedangkan alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao tidak mempengaruhi kadar K, Ca dan Mg tanah.

Berkurangnya konsentrasi Ca dan Mg pada lahan yang ditanami kacang tanah, jagung dan Ca pada lahan vanili karena lahan tersebut telah mengalami pencucian dan erosi yang cukup besar. Lahan vanili sebelumnya merupakan lahan yang ditanami tanaman semusim sehingga diduga telah banyak kehilangan kalsium baik oleh erosi, aliran permukaan maupun karena terangkut hasil panen.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao tidak nyata terhadap kandungan Ca, K dan Mg tanah (Tabel 11). Taraf kadar Ca dalam tanah daerah penelitian bervariasi dari rendah hingga tinggi, kemudian Mg pada taraf sedang sampai tinggi dan K umumnya bertaraf rendah hingga sangat tinggi (Lampiran 10). Kalsium dan magnesium semakin berkurang ketersediaannya dengan bertambahnya waktu pengalihan lahan hutan. Pengangkutan hara melalui hasil panen, adanya erosi menjadi faktor penyebab berkurangnya hara esensial tersebut. Secara alamiah kalium, kalsium dan maksium bersumber dari mineral-mineral primer dalam tanah. Ketersedian hara tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pelapukan bahan induk dan kondisi kemasaman tanah. Mineral pemasok kalium dalam tanah antara lain feldspar, mika dan lain-lain, sedangkan kalsium berasal dari meneral dolomit, karbonat, plagioklas dan magnesium bersumber dari meneral dolomit, biotit, augit dan sebagainya (Hardjowigeno, 1993).

Tabel 11 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap kandungan Ca, Mg, dan K (mmol kg-1) tanah

Penggunaan Lahan Ca Mg K Hut 135,42 37,27 4,48 K ≤ 3 68,99 29,06 5,80 K 6 87,43 11,90 3,86 K,A 7 96,03 12,44 7,63 K 11 60,64 13,98 2,62 K-A 12 116,83 18,13 4,50 Penggunaan Lahan Ca Mg K Hut 135,42 a 37,27 a 4,48 K ≤ 3 68,99ab 29,06ab 5,80 Jag 84,48ab 10,24 b 6,30 Kta 91,62ab 12,24 b 6,19 Van 53,97 b 25,20ab 3,97

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0.05

Mikrobia Tanah

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa total karbon mikrobia (C-mik) lahan hutan nyata lebih tinggi dibanding dengan total C-mik lahan kacang tanah, jagung dan kakao umur ≤3 tahun. Ketersedian serasah pada lahan hutan dan agroforestri vanili menjadi faktor penting bagi perkembangan mikroorganisme tanah. Pada kedua lahan tersebut tersedia cukup banyak serasah yang merupakan sumber energi bagi mikrobia tanah. Penumpukan bahan organik yang berlangsung kontinyu memungkinkan proses dekomposisi berlangsung secara

alami sehingga cadangan bahan organik tetap tersedia sepanjang waktu. Sebaliknya pada lahan pertanian (lahan kacang tanah, jagung dan kakao umur ≤3 tahun) terjadi campur tangan manusia dalam pengelolaannya sehingga menciptakan kondisi yang memungkin proses dekomposisi bahan organik berlangsung dengan cepat. Selain itu rendahnya tingkat penutupan kanopi dan permukaan tanah yang berdampak pada kondisi mikro iklim (suhu dan kelembaban tanah) yang menyebabkan perkembangan miroorganisme tanah terhambat. Suplai serasah yang relatif sedikit menyebabkan cadangan energi bagi mikroorganime menjadi berkurang sehingga komposisi jenis dan perkembangan populasi rendah.

Kandungan C-mik pada alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao sebagaimana disajikan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa lahan hutan memiliki total C-mik nyata lebih tinggi dibanding dengan semua lahan kakao yang diamati. Kemudian C-mik meningkat secara perlahan setelah tanaman kakao umur ≤3 tahun berkembang menjadi lahan kakao agroforestri umur 7 dan kakao umur >10 tahun baik yang ditanam dengan sistem monokultur maupun agroforestri.

Penutupan tajuk yang memadai dan tingginya tumpukan serasah menjadi faktor penentu terhadap jumlah mikribia tanah, hal ini berkaitan dengan adanya sumber energi dan kestabilan mikro iklim yang memungkinkan berkembangnya mikrobia tanah. Pada lahan dengan kondisi penutup tanah relatif kecil dan penutupan kanopi tanaman yang relatif sedikit menjadi faktor pembatas terhadap perkembangan mikrobia tanah pada lahan kakao umur ≤3 tahun, tanaman jagung dan tanaman kacang tanah.

Total karbon mikrobia ini juga menjadi tolok ukur bahwa alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terjadi penurunam jumlah mikrobia dalam tanah. Terjadinya degradasi ini disebabkan oleh adanya pengelolaan yang intensif terutama pada sistem pertanian tanaman semusim, demikian pula halnya pada lahan kakao umur ≤3 tahun yang umumnya dibarengi dengan penanaman tanaman semusim diantara tanaman kakao. Kondisi lahan yang terbuka memacu proses dekomposisi bahan organik akan lebih dipercepat, sebaliknya diwaktu musim hujan sebagian besar hasil dekomposisi tersebut terbawa air aliran permukaan bersamaan terjadinya erosi (Stevenson, 1994; Pujiyanto, 1996).

Tabel 12 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao terhadap total C-mik tanah

Penggunaan Lahan C-mik (ppm) Hut 560,46 a K ≤ 3 194,11 b K 6 250,98 b K.A 7 307,74ab K 11 316,33ab K-A 12 324,22ab Penggunaan Lahan C-mik (ppm) Hut 560,46 a K ≤ 3 194,11 b Jag 223,61 b Kta 239,02 b Van 379,01 ab

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom, tidak berbeda nyata menurut uji jarak berganda Duncan α 0,05

Stok Karbon dan Penutupan Permukaan Tanah Stok Karbon

Hasil pengamatan dinamika stok karbon akibat alih guna lahan hutan

Dokumen terkait