• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA KUALITAS TANAH, EROSI DAN PENDAPATAN

PETANI AKIBAT ALIH GUNA LAHAN HUTAN MENJADI LAHAN

PERTANIAN DAN KAKAO/AGROFORESTRI KAKAO

DI DAS NOPU, SULAWESI TENGAH

ANTHON MONDE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul :

“Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih

Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu, Sulawesi Tengah”

adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2008

ANTHON MONDE NRP: A 262030071

(3)

ANTHON MONDE. Dynamic of Soil Quality, Erosion and Income of Farmer an Effect of Forest Conversion into Agriculture and Cocoa/Cocoa Agroforestry Landuses in Nopu Watershed, Central Sulawesi. Under supervision of NAIK SINUKABAN, KUKUH MURTILAKSONO and NORA H PANDJAITAN. Sustainable agriculture development requires a high quality and proper land management in order to get high farmer’s income and to prevent environmental resources degradation. This research was conducted in Nopu watershed, Central Sulawesi Province. The objectives of this research were 1) To analyze the impact of forest conversion into various agriculture systems on soil quality, 2) To asses the erosion dynamics caused by forest conversion into various agriculture systems and cocoa agroforestry systems, 3) To analyze the income dynamics of farmers caused by forest conversion into various agriculture and cocoa agroforestry systems, 4) To formulate a sustainable agriculture systems in Nopu watershed. The erosion and surface runoff were observed by making erosion plots on various kind of plants and ages of cocoa landuse (monoculture and agroforestry). The soil quality indicators were observed by analyzing the physical and chemical properties of soil samples, which were collected from various kind of plants and ages of cocoa agroforestry area. Whereas, the soil profile permeability and soil surface coverage were directly observed on the field. Production and farmer’s income of various kinds of plants and cocoa landuse systems in Nopu watershed were collected through farmers interview using questioners. The sustainable agriculture systems of cocoa (monoculture and agroforestry) were obtained through technique simulates using various scenarios. The results of this research showed that: 1) Forest conversion into agriculture and cocoa landuse caused a substantive degradation of soil quality; 2) Forest conversion into cocoa landuse tended to increase soil erosion and runoff; 3) Farmers income in the existing agriculture systems did not meet the income that can support worth living life 4) To establish a sustainable cocoa farming systems in Nopu watershed, the agriculture systems should be improved by practicing a proper and balance fertilization, application of adequate soil and water conservation techniques such as mulching, construction of closed ditches (rorak) and ridges (sengkedan).

Keywords: cocoa, erosion, farmer’s income, forest conversion, soil quality,

(4)

ANTHON MONDE. Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh NAIK SINUKABAN, KUKUH MURTILAKSONO dan NORA H PANDJAITAN.

Pembangunan pertanian berkelanjutan membutuhkan manajemen lahan yang berkualitas baik dan tepat agar kegiatan usahatani yang dilakukan dapat memberikan pendapatan yang tinggi, tidak terjadi degradasi lahan dan dapat digunakan petani secara lestari. Kondisi ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas petani dan keluarganya.

Dalam kegiatan pengelolaan DAS indikator yang secara simultan dan dipakai sebagai jaminan, adalah pendapatan yang cukup tinggi, dalam arti cukup untuk dapat menghidupi petani dengan layak secara lestari. Untuk rnewujudkan hal tersebut maka produktivitas harus tinggi dan hasilnya memiliki nilai jual yang tinggi di pasar. Untuk menjamin produktivitas lahan secara terus-menerus maka agroteknologi yang diterapkan harus dapat menciptakan kondisi dimana erosi yang ditimbulkan lebih kecil dari nilai erosi yang dapat ditoleransi serta dapat diterima dan dikembangkan oleh masyarakat dengan sumberdaya lokal yang tersedia.

Tujuan penelitian ini adalah : 1) menganalisis dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap kualitas tanah, 2) mengkaji dinamika erosi yang terjadi pada alih guna lahan hutan menjadi berbagai bentuk lahan pertanian dan kakao/agroforestri kakao, 3) menganalisis dinamika pendapatan petani pada alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan agroforestri kakao 4) merumuskan perencanaan pengelolaan lahan yang berkelanjutan di DAS Nopu. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2005 sampai dengan bulan Maret 2006. Lokasi penelitian di DAS Nopu yang merupakan salah satu sub-sub DAS Gumbasa di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Petak penelitian disusun dalam pola rancangan acak kelompok pada tiga tingkat kemiringan lahan. Untuk mengetahui dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. diamati masing-masing lahan hutan, lahan kakao umur ≤3 tahun, jagung, kacang tanah dan agroforestri vanili. Untuk alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao/agroforestri kakao dilakukan pengamatan pada lahan kakao umur ≤3 tahun, kakao 6 tahun, agroforestri kakao 7 tahun, kakao 11 tahun dan agroforestri kakao 12 tahun.

Untuk mendapatkan data erosi dan aliran permukaan digunakan petak erosi yang dibuat pada berbagai penggunaan lahan. Data kualitas tanah diperoleh dengan pengamatan langsung maupun dengan pengambilan sampel di lapang yang kemudian dianalisis di laboratorium untuk memperoleh data sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Untuk mendapatkan data kegiatan usahatani masyarakat di DAS Nopu dilakukan survei dengan menggunakan kuesioner. Dengan tersedianya ketiga jenis data tersebut kemudian dapat dirumuskan perencanaan pengelolaan yang berkelanjutan dengan melakukan simulasi dengan berbagai pilihan teknologi pertanian dan teknik konservasi tanah dan air.

(5)

dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kualitas tanah dilihat dari indikator sifat fisik (bobot isi semakin meningkat, porositas semakin menurun, permeabilitas dan agregate tanah menurun), kimia (kadar C-organik, N, P dan K tanah menurun) dan biologi tanah (total karbon mikrobia tanah menurun). 2)Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan kakao berdampak terhadap meningkatnya erosi dan aliran permukaan. Erosi sangat tinggi ketika kakao berumur <3 tahun dan berkurang setelah berumur >6 tahun. Kemudian aliran permukaan semakin tinggi dengan semakin berkembangnya tanaman kakao. 3) Pendapatan petani dengan sistem pengelolaan usahatani eksisting tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak. Produksi kakao yang diperoleh petani masih rendah (890 kg/ha/th) dengan pendapatan Rp 7,88 juta/ha/th atau dengan pendapatan Rp11,75 juta/kk/th (<KHL yakni sebesar Rp15 juta/kk/th). 4) Sistem pengelolaan lahan usahatani berkelanjutan di DAS Nopu dapat dicapai dengan menerapkan pemupukan yang tepat dan berimbang yang digabungkan dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai mulai dari penggunaan mulsa sampai pembangunan rorak dan sengkedan. Untuk mencapai pengelolaan suatu DAS yang berkelanjutan, maka 30% dari wilayah DAS diperuntukkan sebagai kawasan hutan.

(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

DINAMIKA KUALITAS TANAH, EROSI DAN PENDAPATAN

PETANI AKIBAT ALIH GUNA LAHAN HUTAN MENJADI

LAHAN PERTANIAN DAN KAKAO/AGROFORESTRI KAKAO

DI DAS NOPU, SULAWESI TENGAH

ANTHON MONDE

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(8)

Judul Penelitian : Dinamika Kualitas Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu, Sulawesi Tengah

Nama Mahasiswa : Anthon Monde Nomor Pokok : A262030071

Disetujui: Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc. K e t u a

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS

Anggota Dr. Ir. Nora H Pandjaitan, DEAAnggota

Diketahui : Ketua Program Studi

Pengelolaan DAS,

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, MSc.

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS.

Tanggal ujian : 10 Juli 2008 Tanggal lulus :

(9)

PRAKATA

Ucapan puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan pertolonganNya sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul “Dinamika Kualitas

Tanah, Erosi dan Pendapatan Petani Akibat Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Pertanian dan Kakao/Agroforestri Kakao Di DAS Nopu Sulawesi Tengah” ini dapat

dirampungkan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr.Ir. Naik Sinukaban, MSc. selaku ketua komisi pembimbing, Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, MS dan Dr. Ir. Nora H Pandjaitan, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, petunjuk dan saran sejak dari penyusunan rencana penelitian sampai selesainya disertasi ini. Selain itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan Ketua Progran Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Strata 3 di SPs IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor di IPB Bogor. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas dukungan beasiswa BPPS dan dana Penelitian Hibah Bersaing. Kemudian ucapan terima kasih disampaikan kepada Pengelola Kerjasama Penelitian Stability of Rain Forest

Margin (STORMA) atas bantuan sarana penelitian dan pada PEMDA SULTENG atas

sarana asrama yang disiapkan di Bogor serta pada Yayasan Dana Mandiri atas bantuan dana penyelesaian studi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Silver Hutabarat, MSc. (Direktur Pengelolaan DAS Departemen Kehutanan) dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi.

Ucapan terima kasih yang tulus dan dalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua Ayahanda J Sampe (almarhum) dan Ibunda L Rante atas segala kasih sayang dan doa restu mereka. Kepada keluarga kakak S Songgo, Ruth Sampe dan adik Elisabeth, Agus, Maria, adik Stevanus Salu dan Siana, penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan dan doanya. Kepada istri tercinta Frida Pare, SPd. dan anak Paul Frianto Monde, Theresia Ayu Isabela Monde dan Valencia Das Putra Monde, penulis sampaikan terima kasih atas kerelaan terpisah jarak dan waktu, dorongan semangat, kasih sayang dan doa restunya selama penulis mengikuti pendidikan S3 di IPB Bogor.

Kepada kawan-kawan seperjuangan pada program studi DAS yang telah memberikan dorongan dan kerjasama selama menempuh perkuliahan juga diucapkan terima kasih. Kepada bapak Risman sekelaurga yang memberi penulis akomodasi selama melakukan penelitian di Nopu, penulis sampaikan terima kasih. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Syamsudin Koloi, Dr. Ir. Danang Widjayanto dan kepada rekan sesama mahasiswa Pascasarjanan IPB yang berasal dari Sulawesi Tengah atas bantuan dan kerjasama selama menempuh pendidikan di Pascasarjana IPB Bogor.

Semoga segala bantuan, dukungan dan perhatian yang telah diberikan mendapat balasan berkat yang melimpah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Bogor, September 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makasar Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1960 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak J Sampe (almarhum) dan Ibu Lintje Rante. Pendidikan SD dan SMP diselesaikan di Makasar dan kemudian di SPMAN Pembangunan di Gowa Sulawesi Selatan. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu dan lulus tahun 1987. Pada tahun ajaran 1990/1991 penulis mendapat beasiswa BPPS DIKTI untuk menempuh pendidikan jenjang S2 (Magister) pada program studi Sistem-sistem Pertanian pada Program Pascasarjana Universitas Hasanudin Makasar dan lulus pada awal tahun 1993. Pada tahun 2003 penulis diterima pada program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB Bogor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Pada tahun 1987 hingga 1988 penulis bekerja pada CARE Internasinal Perwakilan Sulawesi Tengah. Kemudian penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako sejak tahun 1988 hingga sekarang.

Penulis menikah dengan Frida Pare, SPd. tahun 1992 dan telah dikarunia dua orang putra yaitu Paul Frianto Monde dan Valencia Das Putra Monde serta seorang putri Theresia Ayu Isabela Monde.

Bogor, September 2008.

Anthon Monde

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . . . xiii

DAFTAR GAMBAR . . . xv

DAFTAR LAMPIRAN . . . xvi

PENDAHULUAN . . . 1 Latar Belakang . . . 1 Kerangka Pikir . . . 5 Tujuan Penelitian . . . 7 Hipotesis . . . 7 Kegunaan Penelitian . . . 7 Kebaharuan Penelitian . . . 7 TINJAUAN PUSTAKA . . . 8 Tanah Hutan. . . 8

Konsep Degradasi Lahan . . . 9

Dampak Alih Guna Lahan Hutan . . . .. . . 11

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai . . . 23

Sistem Agroforestri dan Penerapan Teknik Konservasi Sebagai Pendukung Usahatani Berkelanjutan . . . . . . 27

Kualitas Tanah Sebagai Indikator Dampak Dari Perubahan Pengelolaan Lahan . . . . 31

Kapasitas Penyangga (Soil Resistance) dan Pemulihan Tanah (Soil Resilience) . . . 34

Analisis Usahatani . . . . 39

METODE PENELITIAN . . . 45

Waktu dan Keadaan Umum Tempat . . . . . . 45

Pengumpulan dan Analisis Data . . . 46

Kualitas Tanah . . . 47

Dinamika Erosi . . . .. . . . . 48

Stok Karbon Vegetasi dan Penutupan Tanah . . . . . . 52

Analisis Statistik . . . 53

Analisis Usahatani dan Optimalisasi Penggunaan Lahan . . . . . . . 54

HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 60

Kualitas Tanah . . . . . . 60

Stok Karbon Vegetasi dan Penutupan Permukaan Tanah . . . 71

Aliran Permukaan dan Erosi . . . . . . 75

Analisis Usahatani Kakao . . . 87

Pengelolaan Usahatani yang Berkelanjutan. . . 96

(12)

Kesimpulan . . . 101

Saran. . . 102

DAFTAR PUSTAKA . . . 103

LAMPIRAN. . . . . . 112

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Karakteristik bahan organik tanah dan efeknya terhadap

tanah ... ... 17 2 Klasifikasi sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap

kualitas tanah didasarkan atas kepermanenannya dan tingkat

kepekaannya terhadap pengelolaan... 33 3 Dosis Pemupukan pada berbagai Umur Kakao ... 38 4 Parameter pengamatan dan metode analisis ... 46 5 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan

kakao terhadap kadar C-organik tanah... 61 6 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan

kakao terhadap indeks stabilitas agregat tanah ... 63 7 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan

lahan kakao terhadap bobot isi dan porositas tanah ... 64 8 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan

kakao terhadap permeabilitas tanah (cm jam-1) ... 66 9 Korelasi C-organik dengan sifat-sifat tanah pada alih guna

lahan hutan menjadi lahan kakao... 66 10 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan

kakao terhadap kandungan N dan P2O5 tanah... 68

11 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanain dan

kakao terhadap kandungan Ca, Mg, dan K (mmol kg-1) tanah 69 12 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian

dan kakao terhadap total C-mik tanah ... 71 13 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian

dan lahan kakao terhadap stok karbon... 72 14 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap

total karbon lantai lahan... 73

15 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian

terhadap penutupan permukaan lahan 74

16 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian

dan kakao terhadap aliran permukaan ... 77 17 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian dan

kakao terhadap erosi ... 78 18 Korelasi antara sifat fisik tanah terhadap erosi dan aliran

(14)

pertanian dan kakao ... 79 19 Konsentrasi sedimen dan hara dalam erosi akibat alih guna

lahan hutan menjadi lahan pertanian... 80 20 Konsentrasi sedimen dan hara dalam erosi akibat alih guna

lahan hutan menjadi lahan kakao ... 80 21 Kehilangan C-organik, N dan P2O5, K, Ca dan Mg melalui

sedimen erosi akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan

pertanin... 81 22 Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao

terhadap kehilangan C-organik N, P2O5, K, Ca dan Mgyang

terbawa erosi... 82 23 Hasil simulasi erosi pada berbagai skenario (jenis tanaman,

umur tanaman kakao dan agroteknologi) ... 87 24 Hasil analisis sensifitas usahatani kakao dengan

agroteknologi (PB, M dan R) akibat fluktuasi harga, produksi dan biaya produksi ... 89 25 Dinamika tingkat kelayakan usahatani kakao pada tiga

kondisi pengelolaan... 91 26 Aliran Kas Usahatani Kakao di DAS Nopu per Ha... 93 27 Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di DAS Nopu... 94 28 Hasil simulasi usahatani pada berbagai tanaman dan umur

kakao dengan aplikasi agroteknologi ... 100

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Bagan alir kerangka pikir penelitian ... 7 2 Skema fraksionasi bahan organik tanah/humus. ... 16 3 Ilustrasi hubungan antara soil resistance dan soil resilience

dengan kualitas tanah... 35 4 Ilustrasi pengaruh dari gangguan, resistensi dan resilensi

terhadap fungsi-fungsi tanah ... 36 5 Peta Prov. Sulawesi Tengah (a), Taman Nasional Lore Lindu

(b) dan DAS Nopu (c) ... 45 6 Plot pengamatan erosi dan aliran permukaan. ... 49 7 Dinamika rasio pengayaan N, C dan P akibat alih guna lahan

hutan menjadi lahan pertanian (a) dan kakao (b) ... 84 8 Dinamika pendapatan dan biaya pengelolaan usahatani pada

berbagai tingkatan umur tanaman kakao pada kondisi eksisting 91 9 Tingkat pendapatan dan luas lahan uahatani yang dibutuhkan

untuk memenuhi KHL pada berbagai umur kakao (eksisting) .. 94

10 Dinamika biaya pengelolaan (Rp/ha/tahun) usahatani kakao

umur 1 - 15 tahun... 95 11 Dampak agroteknologi terhadap pendapatan usahatani kakao 97

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Dena petak penelitian alih guna lahan hutan . . . 112

2 Klasifikasi erosi menurut Hammer (1981) . . . . . . 113

3 Kriteria tingkat kritis sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Lal, 1984 dalam Shukla, Lal dan Ebinger, 2004) . . . 113

4 Kriteria kesesuaian lahan berdasarkan nilai kumulatif indeks lahan dari 11 indikator pada lampiran 7 (Lal, 1994) . . . 113

5 Kriteria permeabilitas menurut survei tanah Amerika Serikat . . 114

6 Klasifikasi indeks stabilitas agregat tanah . . . 114

7 Hasil pengukuran curah hujan periode Juni 2005 hingga Mei 2006 . . . . . . 114

8 Erosi yang dapat ditoleransi pada berbagai penggunaan lahan di DAS Nopu . . . . . . 115

9 Komposisi tekstur tanah (%) tanah daerah penelitian. . . 116

10 Kriteria penilaian sifat kimia tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah Bogor, 1983) . . . 116

11 Analisis NPV, IRR dan B/C rasio usahatani kakao pada tiga kondisi pengelolaan. . . 117

12 Rekapitulasi analisis pendapatan usahatani kakao pada 3 kondisi pengelolaan . . . 120

13 Rata-rata biaya pemeliharaan rutin kakao. . . 123

14 Kriteria kualitas tanah modifikasi (FAO,1979) . . . 124

15 Korelasi antar parameter pengamatan . . . .. . . 125

16 Nilai faktor kedalaman sub order tanah (Arsyad, 2000) . . . . 126

17 Pengaruh temperatur terhadap pembentukan tanah (Arsyad, 2000) .. . . 126

18 Kedalaman tanah minimum untuk pertumbuhan tanaman (Arsyad, 2000) . . . .. . . . . . . 127

(17)

1. Dr. Ir. Silver Hutabarat, M.Sc.

(Direktur Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosisal Departemen Kehutanan RI)

2. Dr. Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc.

(Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Faperta, IPB)

(18)

Latar belakang

Hutan merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan, berupa aneka pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Hutan yang demikian mampu mempertahankan tanah dari proses kerusakan akibat erosi. Sejumlah hasil penelitian telah mengungkapkan berbagai dampak dari alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian atau peruntukkan lainnya (Kang dan Juo, 1986; Lal dan Eliot, 1994; Juo et al., 1995; Dariah et al., 2004), namun bila kebutuhan akan lahan begitu mendesak, konversi lahan hutan sangat sulit untuk dihindari. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menuntut penyediaan lahan untuk perumahan dan lahan usaha/lapangan pekerjaan. Akibat kurang berkembangnya lapangan pekerjaan diluar sektor pertanian, maka orientasi masyarakat di pedesaan untuk dapat memenuhi kebutuhannya umumnya dengan membuka lahan pertanian baru. Orientasi masyarakat untuk membuka areal pertanian baru juga terjadi karena rendahnya hasil pertanian yang diperoleh per satuan luas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dilakukan perluasan kepemilikan lahan. Kasus demikian terjadi juga di Provinsi Sulawesi Tengah dimana alih guna lahan kawasan hutan tergolong tinggi khusunya untuk budidaya kakao.

Penebangan pepohonan besar-besaran dan serentak di hutan maupun di perkebunan baik secara legal maupun illegal (penjarahan), akibatnya sama saja yaitu terbukanya permukaan tanah pada saat yang sama. Dengan demikian sinar matahari mengenai permukaan tanah secara langsung, terjadi percepatan proses-proses reaksi kimia dan biologi, salah satunya adalah penguraian bahan organik tanah (dekomposisi). Sebaliknya, air hujan yang jatuh selama musim penghujan tidak ada lagi tajuk yang menghalangi sehingga secara langsung mencapai permukaan tanah yang berakibat pada pecahnya agregat tanah, meningkatnya aliran permukaan dan sekaligus mengangkut partikel tanah dan bahan-bahan lain. Kondisi ini terbukti ketika sebagian dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada tahun 2000, khususnya di sekitar Dongidongi dirambah oleh masyarakat dan menjadikannya areal pemukiman dan pertanian, dalam selang tiga tahun kemudian terjadi banjir dan erosi yang sangat besar. Dampak negatif dari alih

(19)

guna lahan secara tak terkendali ini dapat dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir, yakni terjadi longsor dibeberapa tempat, melebarnya sungai akibat pengikisan, hanyutnya jembatan dan terputusnya jalan raya serta tertimbunnya sawah oleh erosi dan longsoran.

Kerusakan tanah yang disebabkan oleh ulah manusia adalah penurunan kapasitas tanah dalam mendukung kehidupan (Rapa-FAO, 1993) baik saat ini atau saat yang akan datang (Oldeman, 1993). Selanjutnya dikemukakan bahwa kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik sebagai sumber unsur hara tumbuhan maupun sebagai matrik tempat akar tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan (Arsyad, 2000). Dalam definisi tersebut, terkandung pengertian tanah rusak adalah tanah yang telah menurun kemampuannya dalam mendukung kehidupan manusia. Penurunan kemampuan tanah dalam mendukung pertumbuhan dan produksi tanaman merupakan dampak dari penurunan kemampuan tanah dalam mensuplai unsur hara dan air maupun sebagai media tumbuh yang menyediakan ruang bagi akar untuk berkembang.

Agroforestri kakao yang sudah berkembang dapat menjadi sarana konservasi tanah dengan peranan mengintersepsi air hujan dan mengurangi tenaga terpaan (energi kinetik) air hujan. Selain itu, juga dapat membentuk lapisan serasah di permukaan tanah. Agroforestri kakao pada umumnya menggunakan tanaman naungan (shade tree), menyebabkan terbentuknya tajuk tanaman yang bertingkat (sistem multistrata), dengan sistem ini, kebun kakao dapat menyerupai hutan. Meskipun demikian, terdapat masa kritis dalam sistem usahatani kakao khususnya pada saat tingkat penutupan lahan oleh tanaman kakao dan serasah yang dihasilkannya masih relatif rendah. Kondisi tersebut menjadi sangat beresiko karena kakao banyak ditanam pada lahan berlereng curam, seperti yang terjadi di DAS Nopu. Di daerah ini tanaman kakao umumnya ditanam pada lahan dengan kemiringan curam. Rata-rata curah hujan tahunan yang tergolong tinggi (>2000 mm/tahun), dengan demikian peluang terjadinya degradasi lahan yang disebabkan oleh erosi sangat besar.

Erosi diperkirakan merupakan penyebab utama kerusakan tanah di perkebunan kakao, utamanya pada areal yang kemiringannya cukup tinggi. Kerusakan tanah juga dapat terjadi karena menurunnya kadar bahan organik dan

(20)

hilangnya atau berkurangnya unsur hara melalui panen dan pencucian. Rendahnya kadar bahan organik tanah tersebut disebabkan oleh proses dekomposisi bahan organik di daerah tropika yang relatif sangat cepat. Verstraete (1989) menyatakan bahwa laju dekomposisi bahan organik tanah di daerah tropika basah jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang. Faktor suhu dan kelembaban yang lebih sesuai untuk perkembangan organisme dekomposer, sehingga tanah di daerah tropika basah kehilangan bahan organik lebih cepat jika dilakukan pembukaan lahan.

Kehilangan hara melalui panen dan pencucian serta terhanyutnya sejumlah hara seperti NPK dan bahan organik bersamaan dengan terjadinya erosi turut berperan penting dalam proses degradasi kualitas tanah. Proses pembukaan lahan hutan menjadi kebun kakao umumnya dilakukan dengan cara tebang bakar dan pembersihan permukaan tanah. Kegiatan ini diduga sebagai penyebab rusaknya struktur tanah baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.

Kerusakan struktur tanah akan berdampak terhadap penurunan jumlah porositas tanah dan lebih lanjut akan diikuti penurunan laju infiltrasi permukaan tanah dan peningkatan limpasan permukaan. Kerusakan struktur tanah yang demikian akan menyebabkan berubahnya pola aliran air di dalam sistem tanah.

Kerusakan struktur tanah nampak pada penurunan kestabilan agregat tanah sebagai akibat dari pukulan air hujan dan kekuatan limpasan permukaan. Penurunan kestabilan agregat tanah berkaitan dengan penurunan kandungan bahan organik tanah, aktivitas perakaran tanaman dan mikroorganisme tanah. Penurunan ketiga agen pengikat agregat tanah tersebut akan menyebabkan agregat tanah relatif mudah pecah menjadi partikel yang lebih kecil yang mudah terangkut oleh agen pengangkut yakni air hujan. Kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya erosi sangat besar sekali.

Agregat atau partikel-partikel yang halus akan terbawa aliran air ke dalam tanah sehingga menyebabkan penyumbatan pori tanah. Akibat proses penyumbatan pori tanah, porositas tanah, distribusi pori tanah, dan kemampuan tanah untuk mengalirkan air mengalami penurunan dan sebaliknya limpasan permukaan akan meningkat.

(21)

Pembangunan pertanian berkelanjutan mensyaratkan pengelolaan lahan berkualitas tinggi dan sesuai dengan kapasitas lahan dan memperlakukan lahan tersebut dengan bijaksana agar kegiatan usahatani yang dilakukan dapat memberikan pendapatan yang cukup tinggi kepada petani dan degradasi sumber daya lahan dan lingkungan dapat diminimalkan. Degradasi sumber daya lahan dan lingkungan akibat kegiatan usahatani yang dilakukan tanpa penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air secara signifikan telah menurunkan produktivitas dan pendapatan usahatani (on site effect) dan menurunkan kualitas sumber daya lingkungan di wilayah lain yang dipengaruhinya (off site effect).

Kakaonisasi merupakan penomena ekonomi yang sangat penting dipedesaan sejak terjadinya krisis ekonomi nasional yang terjadi sejak pertengahan 1997. Akibatnya pembukaan lahan hutan tejadi dimana-mana. Sunderlin et al. (2000) menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 1997 – 1999, pembukan lahan hutan terbesar terjadi di Kalimatan Barat dan Timur, Riau, Jambi, dan Lampung.

Di daerah Sulawesi Tengah juga telah terjadi alih guna lahan hutan, khusus pada Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) diperkirakan sekitar 3500 ha lahan hutan di Dongi-dongi dan sepanjang garis batas bagian Utara TNLL telah dialih gunakan sebagai lahan pemukiman dan pertanian khususnya kakao (Montesari, 2002). Selain dirambah, secara resmi pemerintah juga memberikan izin kepada pihak investor swasta untuk membangun perekebunan. Dalam kawasan TNLL ada 8 perusahaan yang mengelola sekitar 13.813 ha lahan perkebunan, yang terdiri atas kopi 5.400 ha, kakao 298 ha, cengkeh 375 ha dan lainnya 7.740 ha (Hikam, 2002).

Begitu besarnya desakan kebutuhan manusia, khususnya sebagai sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti pangan, papan dan sandang keluarga, maka alih guna lahan hutan menjadi agroforestri menjadi alternatif. Agroforestri dapat mengurangi kemungkinan terjadinya degradasi lahan, mempertahankan fungsi hidrologis dan sekaligus memberikan tambahan pendapatan bagi petani (de Foresta et al., 2000).

Jika dikelola dengan baik kebun kakao merupakan sistem usahatani yang dapat mengarah ke sistem agroforestri. Dengan sistem agroforestri diharapkan

(22)

dampak negatif dari alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao dapat dikurangi. Sistem agroforestri kakao selain memiliki fungsi produksi, juga mempunyai fungsi jasa lingkungan terutama berkaitan dengan pengendalian erosi, serta pemeliharaan dan perbaikan kualitas tanah.

Untuk itu perlu dilakukan penelitian sejauhmana hal-hal yang terjadi sehubungan dengan perubahan penggunaan hutan menjadi lahan pertanian umumnya dan khususnya kakao/agroforestri kakao. Dalam hal ini yang menjadi fokus kajian adalah dinamika erosi, kualitas tanah dan pendapatan petani akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao/agroforestri kakao

Kerangka Pikir

Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian seperti jagung, kacang tanah, kakao/agroforestri kakao selain mengakibatkan berkurangnya hutan, juga akan meyebabkan berubahnya tingkat penutupan lahan. Perubahan ini akan berpengaruh terhadap total karbon tegakan, kontribusi serasah di atas tanah, cadangan bahan organik tanah dan daya sanggah lahan terhadap faktor iklim terutama hujan dan sinar matahari yang ekstrim.

Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian berpengaruh pada kualitas tanah. Kondisi lahan yang terbuka ketika awal penanaman kakao, pertanaman jagung dan kacang tanah akan menjadi sumber erosi bila tidak dilakukan secara bijaksana. Lahan hutan umumnya memiliki kualitas tanah yang setabil, namun setelah dialihkan menjadi lahan pertanian maka akan terjadi penurunan kualitas tanah. Kondisi ini akan lebih parah lagi apabila dalam proses pengelolaannya tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Hal ini akan menyebabkan lahan rentan terhadap erosi dan kehilangan hara.

Proses budidaya tanaman yang dilakukan oleh petani seperti pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman dan panen akan mengakibatkan pemadatan tanah. Keadaan tersebut akan berdampak negatif pada kapasitas tanah dalam menyerap air ketika terjadi hujan. Efek lanjutan dari hal tersebut akan menyebabkan aliran permukaan yang besar.

Bertambahnya jumlah penduduk di perdesaan menuntut adanya lapangan pekerjaan salah satunya dibidang pertanian. Namun karena terbatasnya lahan yang

(23)

dapat dikonversi menjadi lahan pertanian maka lahan hutan lindungpun kemudian dijarah. Padahal sebelumnya sebagian masyarakat sudah memanfaatkan hutan tersebut sebagai tempat pemungutan hasil hutan seperti rotan dan damar. Namun pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga tani. Kondisi inilah yang mendorong petani disekitar TNLL untuk mengalihgunakan lahan hutan menjadi lahan pertanian khususnya kakao.

Apabila hasil penelitian menunjukkan degradasi kualitas tanah, erosi melebihi ambang yang ditoleransi dan pendapatan tidak mencukpi kebutuhan hidup layak, maka diperlukan penerapan agroteknologi pertanian, teknik konservasi tanah dan air yang memadai dan secara ekonomis menguntungkan. Sesuai dengan uraian tersebut maka secara ringkas kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Kacang Tanah Jagung Kakao/Agro- forestri kakao Stokl Karbon Kualitas Tanah Hutan Rekomendasi Pengelolaan. Berkelanjutan ya tidak tidak Skenario Optimalisasi

Gambar 1 Bagan alir kerangka pikir penelitian

ya

Paket Agroteknologi

Sosial & Budaya

Agroforestri Vanili

Erosi

(24)

Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis dampak alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap kualitas tanah.

2. Mengkaji dinamika aliran permukaan dan erosi yang terjadi pada alih guna lahan hutan menjadi berbagai lahan pertanian dan kakao/agroforestri kakao 3. Menganalisis dinamika pendapatan petani akibat alih guna lahan hutan

menjadi lahan pertanian.

4. Merumuskan rencana pengelolaan lahan yang berkelanjutan berdasarkan erosi yang diperkenankan (ETol) dan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL)

Hipotesis

1. Kualitas tanah akan menurun pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian/awal pertanaman kakao tetapi kemudian akan meningkat dengan berkembangnya agroforestri kakao.

2. Erosi meningkat pada alih guna lahan hutan menjadi berbagai lahan pertanian 3. Erosi yang terjadi pada lahan usahatani kakao umur <3 tahun berada di atas

ambang batas erosi yang diperbolehkan (tolerable soil loss) dan laju erosi akan berkurang dengan berkembangnya kakao/agroforestri kakao.

4. Alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao/agroforestri kakao dapat meningkatkan pendapatan petani.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pengambil kebijakan, peneliti dan petani dalam perencanaan dan pengembangan pertanian berkelanjutan khususnya kakao di Sulawesi Tengah.

Kebaharuan Penelitian

Kebaharuan penelitian ini memberikan informasi antara lain : 1. Kualitas tanah akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao

2. Kebutuhan hidup layak bagi setiap keluarga petani kakao di daerah penelitian. 3. Erosi dan aliran permukaan akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan kakao 4. Stok karbon pada sistem pertanian kakao/agroforestri kakao

(25)

Tanah Hutan

Tanah hutan adalah tanah yang terbentuk di bawah pengaruh gabungan antara mikroorganisme dengan penutup hutan (forest cover). Tanah hutan dicirikan oleh adanya pengaruh dari perakaran pepohonan, gabungan dari berbagai organisme spesifik dengan vegetasi hutan, siklus hara dari antara gabungan komponen tegakan hutan serta pencucian dan lapisan humus yang keberadaannya terpelihara oleh proses dekomposisi serasah yang berlangsung terus menerus (Brown, 1997).

Di dalam lahan hutan, akar-akar hidup lebih lama dibanding dengan lahan tanaman semusim ataupun padang rumput. Tambahan sisa tanaman setiap tahunnya sebagian besar terdiri dari daun dan ranting yang jatuh ke permukaan minjadi tumpukan bahan organik terus sepanjang tahun yang melindungi tanah dari tetesan air hujan. Hasil penelitian menunjukan bahwa produksi/penambahan serasah setiap tahun pada tegakan hutan Hopea bancana V.SI. dan Shorea

balangeran Burck. di hutan penelitian Darmaga Bogor diperoleh 15,17

ton/ha/thn,yang terdiri atas daun 11,29 ton/ha/thn, cabang dan ranting 3.10 t/ha/thn, serasah reproduksi bunga dan buah 0,02 t/ha/thn, dan serasah kulit puhon dan lainnya 0,77 t/ha/thn. Dibawah tegakan Shorea balangeran Burck diperoleh serasah 6,92 t/ha/thn, terdiri atas daun 5,01 t/ha/thn, dahan dan ranting 1,25 t/ha/thn dan organ reproduksi 0,002 t/ha/thn dan serasah kulit pohon dan lainnya sebesar 0,65 t/ha/thn (Amelia, 2006).

Budiarti (2004). Menemukan bahwa pada zona montana yakni pada ketinggian 1500 – 2400 dpl diperoleh serasah sebesar 4,91 t/ha/thn yang terdiri atas serasa daun 3,78 ton/ha/thn, ranting dan cabang 0,46 t/ha/thn, organ reproduksi 0,51 t/ha/thn dan kilit pohon dan lainnya sebesar 0,16 t/ha/thn.

Berat vulume tanah meningkat dari hutan primer (HP) menjadi bekas tebangan yakni dari 1,02 – 1,39 g/cm3, sebaliknya porositas menurun. Lahan HP memiliki porositas stabil yakni 77,75 dan terus menurun pada areal bekas tebangan. Stabilitas agregat dipengaruhi kandungan liat, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kandungan bahan organik berpengaruh positif terhadap stabilitas agregat tanah (Idawu, 2003). Selanjutnya dikemukakan bahwa kadar C

(26)

organik dan N relatif tidak berbeda yakni sekitar 1,22 – 2,20 % dan 0,12 – 0,20 % pada kedalaman 0-10 cm dan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman (10-20 cm) pada kedua unsur tersebut.

Hasil penelitian Sulistyono (2006) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata terhadap N tersedia antara bekas hutan dengan hutan primer. Kandungan NO3 hutan primer rata-rata 566,37 mg/kg, bekas tebangan

256,22 mg/kg, tanaman umur 3 tahun 285,88 mg/kg, tanaman umur 5 tahun 334,43 mg/kg dan tanaman umur 7 tahun 350,61 mg/kg. Sedangkan NH3 antara

54,81 mg/kg; 39,93 mg/kg; 32,10 mg/kg; 35,23 mg/kg dan 35,24 mg/kg.

Sebagian sisa-sisa bahan organik dirombak di atas permukaan kemudian mikroba tanah memindahkan dan mencampur dengan tanah bagian atas yang relatif tipis (top soil). Di dalarn hutan dengan pohon-pohon besar yang keras dimana cacing-cacing tanah aktif, ditemukan 81 ton bahan organik per hektar terdapat pada kedaman 15 cm pada tanah lapisan atas (horison A) dan kemudian hanya 25 t/ ha pada lapisan tanah dengan kedalaman 15 cm.

Hasil penelitian sebelumnya mengklasifikasi tanah di DAS Nopu dengan menggunakan sistem klasifikasi tanah USDA, di peroleh bahwa daerah DAS Nopu terbentuk dari tanah dengan ordo Inceptisols dan Entisols dengan Subgroup Humitropepts dan Eutropepts pada bahagian hulu dan bahagian hilir didominasi oleh Thopoquepts dan Thopofluvents (Gerold dan Murtilaksono, 2003). Menurut Hardjowigeno (1993) tanah dengan Greatgrup Humitropepts dan Eutropepts adalah tanah yang pembentukannya pada tingkat pemula (inceptum) dengan kondisi suhu tropis (trop) yang hangat yang kaya bahan organik atau humus (hum) dan tanah yang subur dengan kandungan basa yang tinggi (eutrophic). Sedangkan pada bagian hilirnya sebagian adalah tanah yang tingkat pembentukannya permulaan yang selalu basah dan tanah baru terbentuk (Entisols) pada dataran banjir yang tertimbun atau berlapis-lapis.

Konsep Degradasi Lahan

Degradasi adalah penurunan kualitas lahan dan produktivitas potensial dan atau pengurangan kemampuannya, baik secara alami atau karena pengaruh manusia. Degradasi lahan secara ekstrim dapat menyebabkan lahan tidak dapat

(27)

berproduksi sama sekali baik secara alami maupun dengan pengelolaan. Oleh karena besarnya variasi, maka degradasi lahan mengalami perkembangan dalam fase-fase yang menunjukkan tingkatan keparahan sebelum mencapai suatu kondisi ekstrim (Seybold el al., 1999). Menurut Lal (1986) salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan adalah degradasi tanah yang dapat menyebabkan hilangnya produksi jangka panjang.

Secara umum penyebab degradasi lahan dapat dikelompokkan menjadi : 1) aktivitas pertanian : penebangan hutan, pengolahan tanah yang berlebihan, penanaman menurut arah lereng yang monokultur dan tanpa azas konservasi, penggunaan pestisida yang berlebihan; 2) urbanisasi:limbah kota dan konversi lahan ke nonpertanian; 3) aktivitas industri: limbah industri dan hujan asam (Lal, 1986). Dalam penelitian ini penyebab terjadinya degradasi adalah penebangan hutan dan pengolahan tanah tidak sesuai dengan kapasitasnya.

Degradasi tanah yang terjadi akibat erosi air terjadi dalam tiga bentuk yakni fisik, kimia dan biologi tanah. Degradasi fisik terjadi akibat adanya penebangan hutan, penanaman intensif tanpa atau hanya dengan input hara rendah, sedangkan degradasi kimia diakibatkan oleh penggaraman atau pemasaman tanah. Degradasi biologi dicirikan oleh penurunan produksi dan kandungan bahan organik tanah (Lal, 1995).

Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu upaya pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui optimalisasi pernanfaatan sumber daya alam untuk generasi saat ini dan generasi mendatang. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam dilakukan sesuai dengan daya pulih alam (natural regenerating) untuk sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable

resources) dan pemanfaatan yang optimal sesuai dengan umur teknisnya untuk

sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Adanya konvergensi antara kepuasan manusia yang tidak terbatas dan ketersediaan sumber daya yang terbatas menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dan lingkungan (Soemarwoto, 1978).

Pembangunan pertanian berkelanjutan mensyaratkan penggunaan lahan sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan dan memperlakukan lahan tersebut dengan cara-cara yang bijaksana agar kegiatan usahatani yang dilakukan dapat

(28)

memberikan pendapatan yang cukup tinggi kepada petani dan degradasi sumber daya lahan dan lingkungan dapat diminimalkan. Degradasi sumber daya lahan dan lingkungan akibat kegiatan usahatani yang dilakukan tanpa penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air secara signifikan telah menurunkan produktivitas dan pendapatan usahatani (on site effect) dan menurunkan kualitas sumber daya lingkungan di wilayah lain yang dipengaruhinya (off site effect). (Freebairn. 2004a; Soemarwoto, 1978 )

Dinamika proses perubahan di dalam DAS (daerah aliran sungai) akibat kegiatan manusia dicerminkan oleh respons perubahan aliran permukaan (surface

run off), aliran bawah permukaan (sub surface flow), aliran air bumi (ground water flow), serta proses erosi dan sedimentasi yang dihasilkannya. Eksploitasi

sumber daya alam yang berlangsung sangat intensif dewasa ini telah rnenyebabkan berbagai bentuk aktivitas pembangunan yang dilakukan di dalam suatu wilayah (DAS) sering tidak memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kerusakan DAS yang disebabkan oleh penebangan hutan yang tak terkendali, perladangan berpindah, kegiatan usahatani/penggunaan lahan yang tidak menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, serta pembangunan perumahan dan industri yang luas di daerah resapan air telah menyebabkan berubahnya fungsi hidrologi DAS, sehingga pada musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau, air menjadi semakin langka. Peningkatan laju erosi dan sedimentasi akan mempercepat pengkayaan badan-badan air (eutrofikasi), pedangkalan sungai dan waduk sehingga umur teknis bangunan tersebut menjadi berkurang dan biaya pemeliharaannya semakin meningkat (Arsyad, 2000).

Dampak Alih Guna Lahan Hutan

Alih guna lahan hutan di daerah tropis menjadi lahan pertanian merupakan suatu hal yang umum terjadi, mengingat sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Isu degradasi hutan tropis yang terus menerus berlangsung dengan tak terkendali sebagaimana terjadi di Indonesia, mengundang kontroversi masyarakat Intenasional. Di Indonesia laju degradasi hutan rata-rata 1.871.000 ha/tahun atau sekitar 2% per tahun dari luas hutan yang tersisa 88.495.000 ha pada tahun 2005. Laju deforestasi di Indonesia rata-rata 51

(29)

km2/hari (setara 300 lapangan sepakbola per jam), merupakan rekor tertinggi dibanding dengan negara lainnya. Selanjutnya FAO melaporkan bahwa dari 44 negara di dunia yang secara kolektif memiliki sekitar 90% hutan dunia, Indonesia merupakan pemegang rekor tercepat dalam penghancuran hutan. Kemudian negara tercepat kedua dalam penghancuran hutan adalah Zimbabwe 1,7 % per tahun (rata-rata 313.000 ha/tahun) dari luas 17.540.000 ha hutan yang tersisa, kemudian disusul pada urutan ketiga oleh Myanmar dengan laju pengrusakan hutan 1,4 % per tahun (rata-rata 466.000 ha/tahun) dari total luas hutan 32.222.000 ha pada tahun 2005. Sebenarnya penghancuran hutan paling besar terjadi di Negara Brasil yakni sekitar 3.103.000 ha/tahun, namun presentasenya hanya sekitar 0,6 % dari luas hutan yang tersisa seluas 477.698.000 ha di tahun 2005 (Kompas, 4 Mei 2007) 1)

Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian diawali dengan penebangan vegetasi hutan yakni menyingkirkan hampir semua tanaman/kayu-kayuan yang pada mulanya menutup permukaan tanah dengan relatif rapat. Sebagai akibat dari aktifitas ini permukaan tanah menjadi terbuka dan mendapat pengaruh langsung dari radiasi matahari dan curah hujan.

Para ahli pengelolaan tanah memberikan argumen bahwa dengan teknologi canggih, kestabilan ekosistem yang tergolong rapuh (fragile) akan tetap dapat terpelihara setelah hutan tersebut berubah guna menjadi lahan pertanian dan produktivitas lahan secara ekonorni dapat berlanjut melalui pengelolaan lahan yang tepat, sementara pihak lain mengkhawatirkan akan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan yang cepat segera setelah dilakukan pembukaan dan pembudidayaan lahan hutan (Lal, 1986).

Beberapa hasil penelitian tmenunjukkan bahwa berbagai dampak negatif dari dilakukannya pembukaan lahan hutan, di antaranya adalah terjadinya perubahan water halance. Contoh analisis data hidrologi untuk sub-DAS Way Besay serta kecenderungan curah hujan total tahunan dari tahun 1975 sampai tahun 1998 menunjukkan bahwa dengan semakin menyempitnya luas hutan dari tahun ke tahun, jumlah hari dalam setahun yang debit airnya melebihi kriteria tertentu (dalam hal ini 15, 25 dan 35 m3/detik) makin meningkat, walaupun curah

1) KOMPAS, 4 Mei 2007. Indonesia Masuk Rekor Dunia, Tercatat sebagai penghancur hutan tercepat di dunia.. Penerbit PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.

(30)

hujan tahunan cenderung menurun. Ini berarti bahwa debit sungai meningkat dengan berkurangnya luas hutan. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan berkurangnya intersepsi tajuk pohon-pohonan, sehingga makin banyak air hujan yang jatuh langsung ke permukaan tanah, berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah karena kerusakan struktur tanah lapisan atas pada lahan bekas hutan. Dalam keadaan ekstrim, apabila hutan dibuka pada. areal yang luas, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya banjir.

Berkurangnya penutupan lahan, baik oleh tajuk maupun serasah tanaman menyebabkan teradinya peningkatan daya rusak tetesan hujan, sehingga tingkat bahaya erosi menjadi lebih tinggi. Dilaporkan bahwa hubungan antara erosi dengan penebangan hutan, yaitu erosi dari suatu DAS kecil di Guyana Perancis meningkat secara drastis setelah dilakukannya penebangan hutan. Hasil penelitian yang dilakukan pada skala petak kecil juga menunjukkan bahwa penebangan vegetasi alami telah menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien runoff 25-100 kali, sementara itu erosi meningkat pula sampai lebih dari 10 kali lipat (Roose, 1986).

Permukaan tanah yang menjadi lebih terbuka menyebabkan pula terjadinya fluktuasi suhu dan regim kelembaban tanah menjadi lebih besar. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan penurunan kadar bahan organik tanah (Lal, 1994). Dampak lain dari pembukaan lahan hutan adalah terjadinya peningkatan pelepasan karbon (carbon release), sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar C02 di atmosfir. Pembukaan hutan juga dapat menyebabkan

perubahan iklim mikro, diantaranya ditunjukkan oleh perbedaan nilai kelembaban relatif (Palm et al., 1986).

Dampak alih guna lahan hutan terhadap kehilangan unsur hara

Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanah-tanah padang rumput dibanding tanah di bawah tegakan hutan mempunyai perbedaan: 1) bahwa bahan organik dalam profil tanah padang rumput sekitar dua kali lebih banyak dibanding tanah hutan, 2) suatu penurunan bahan organik bertahap dengan meningkatnya kedalaman tanah (Foth, 1988). Penjelasan tentang perbedaan dalarn jumlah dan penyebaran bahan organik di tanah hutan dan di tanah-tanah

(31)

padang rumput dihubungkan dengan perbedaan dalarn pertumbuhan tanaman dan bagaimana sisa-sisa tanaman akan bergabung kedalarn tanah. Akar-akar rumput, hidup dalarn waktu yang singkat dan setiap tahun perombakan akar-akar yang mati mendukung besarnya humifikasi bahan organik, serta banyaknya akar menurun secara bertahap dengan meningkatnya kedalaman tanah.

Kondisi menjadi lain ketika lahan hutan dikonversi menjadi lahan pertanian. Pada keadaan ini yang terjadi adalah pembersihan semua bahan organik yang ada dipermukaan tanah (land clearing) yang biasanya dilakukan dengan pembakaran, sehingga terjadi degradasi bahan organik yang dipercepat.

Bahan organik asal residu tanaman mengandung, bermacam-macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Residu organik dari setiap jenis tanaman dapat memiliki komposisi hara yang berbeda-beda. Kualitas setiap residu tanaman sebagai sumber unsur hara tergantung pada kadar unsur hara dan tingkat kemudahan dekomposisi serta mineralisasinya. Unsur hara yang terkandung dalam residu organik baru dapat dimanfaatkan oleh tanaman apabila telah mengalami dekomposisi dan mineralisasi. Kedua sifat tersebut berkaitan erat dengan proporsi antar unsur hara dalam residu organik. Cobo et al. (2002a) menunjukkan bahwa pembenaman bahan organik berupa pupuk hijau sebelum penanaman padi meningkatkan kadar NH4+, N03- maupun N total dalam tanah.

Jenis bahan organik yang lebih lambat dekomposisinya (laju pelepasan N lebih lambat) menunjukkan pengaruh yang lebih lama terhadap tanaman pokok, sehingga menyebabkan serapan N oleh tanaman pokok lebih tinggi dibandingkan dengan bahan organik yang cepat terlapuk. Bahan organik yang cepat lapuk melepaskan sebagian besar N sebelum tanaman pokok mampu menyerapnya. Selanjutnya dinyatakan oleh Cobo et al. (2002b) bahwa korelasi yang tinggi antara kualitas bahan organik dengan laju pelepasan unsur N pada parameter nisbah lignin/N (r = -0.71 dan nisbah (lignin + polifenol)/N (r = - 0.70).

Proses pembentukan agregat dimulai dari penghancuran bongkah-bongkah tanah oleh akar tumbuhan. Akar tumbuhan memasuki bongkah dan menyebabkan timbulnya retakan, kemudian terpisah menjadi butir-butir sekunder. Akar tumbuhan maupun miselia jamur mengikat butir-butir tanah secara mekanik maupun kimia, sehingga agregat menjadi mantap (Arsyad, 2000).

(32)

Pembentukan agregat dapat tejadi baik dengan bahan organik maupun tanpa bahan organik. Pembentukan agregat dimulai dengan pengikatan antar partikel tanah. Ikatan antar partikel liat dapat terjadi antara domain liat dengan domain liat lainnya melalui jembatan kation pada permukaan negative domain liat. Selain melalui jembatan kation, ikatan tersebut juga dapat terjadi melalui permukaan negatif domain liat dengan ujung permukaan positif dari domain liat lainnya. Dalam pengikatan molekul antar agregat terdapat 4 macam gaya yang bekerja di dalam agregat, yaitu: (1) gaya van der Waals, (2) gaya hidrasi, (3) gaya tolak lembar ganda dan (4) gaya yang dihasilkan karena absorbsi makromolekul tak -bermuatan (Murray dan Quirk, 1990).

Senyawa organik yang terdapat dalam tanah dapat berada dalam beberapa macam bentuk, yaitu serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, humus (asam humat, asam fulvat, dan humin), dan senyawa nonhumat (seperti asam amino, karbohidrat, lemak, lilin, resin, dan lain-lain).

Bahan organik tanah (humus) dipelajari dan dikelompokkan berdasarkan kelarutannya dalam alkali atau asam. Berdasarkan kelarutannya tersebut, bahan organik tanah dipilah menjadi 3 kelompok, yaitu asam humat, asam fulvat dan humin. Asam fulvat adalah fraksi baban organik tanah yang larut dalam asam maupun alkali, asam humat adalah fraksi bahan organik tanah yang larut dalam alkali dan tidak larut dalam asam, sedangkan humin adalah fraksi bahan organik tanah yang tidak larut dalam alkali maupun asam. Selain ketiga bentuk senyawa organik tersebut, di dalam tanah juga terdapat bentuk-bentuk senyawa organik lain, seperti biomassa tanah dan senyawa nonhumat (asam amino, karbohidrat, lemak, resin, asam-asam organik dan lain-lain). Fraksionasi bahan organik tanah dilakukan menurut skema pada Gambar 2.

Kadar bahan onganik yang terdapat dalam tanah bervariasi sangat luas. Antar jenis tanah dapat memiliki kadar bahan organik tanah yang berbeda-beda. Tanah Molisol dan tanah-tanah tergenang tetap umumnya memiliki kadar bahan organik yang tinggi. Sebaliknya tanah-tanah terlapuk lanjut yang banyak ditemukan di daerah tropik, umumnya memiliki kadar bahan organik rendah. Kadar bahan organik tanah merupakan fungsi dari waktu, iklim, vegetasi, bahan induk, topografi, dan manusia.

(33)

Bahan organik (humus)

Diekstrak dengan alkali

Larut Tidak larut (Humat) As. fulfat (tidak mengendap) As. fulfat (tidak mengendap) Larut dlm alkohol Asam himatomelanik Ekstrak dengan basa dan elektrolit

As. Humat coklat (tidak mengendap) As. Humat kelabu

(mengendap)

Gambar 2. Skema fraksionasi bahan organik tanah/humus (Stevenson, 1994).

Pada lahan berdrainase baik, akumulasi bahan organik terbatas sampai pada keseimbangan faktor-faktor lingkungan yang menentukan laju dekomposisi dan produksi. Sedangkan pada lahan tergenang dapat terjadi peningkatan bahan organik secara terus-menerus. Iklim mempengaruhi kadar bahan induk melalui produksi biomassa. Makin basah tipe curah hujannya, umumnya kadar bahan organik tanah juga makin tinggi. Topografi mempengaruhi kadar bahan organik tanah melalui pengaruhnya terhadap vegetasi, erosi dan aliran permukaan, evaporasi dan transpirasi. Sedangkan manusia umumnya menyebabkan penurunan kadar bahan organik tanah melalui budidaya tanaman (Stevenson, 1994).

Stevenson (1994) menunjukkan bahwa bahan organik bebas menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah, sebaliknya bentuk terikat Fe dan Al meningkat sampai horison iluviasi. Karakteristik bahan organik dan efeknya terhadap tanah disajikan dalam Tabel 1.

(34)

Tabel 1 Karakteristik bahan organik tanah dan efeknya terhadap tanah (Stevenson, 1994)

No Karakteristik Keterangan Efeknya terhadap tanah

1 Warna Gelap Penghangatan tanah

2 Retensi air Kapasitas retensi air dari bahan organik tanah adalah 20 kali bobotnya

-Mencegah pengeringan cepat dan pengerutan

-Memperbaiki retensi air oleh tanah

3 Kombinasi dengan liat

Sebagai pengikat partikel tanah untuk agregat

-Memperbaiki pertukaran gas -Menstabilkan struktur tanah -Meningkatkan permeabilitas 4 Pembentukan khelat Membentuk senyawa kompleks yang stabil dengan Cu2+, Mn2+, Zn2+, maupun kation polivalen lainnya

Meningkatkan ketersediaan unsur hara mikro

5 Kelarutan dalam air

Tidak larut dalam air karena berasosiasi dengan liat, maupun garam dengan ion divalent atau trivalent

Pencucian bahan organik sangat sedikit

6 Daya sangga Menunjukkan daya sangga dalam kisaran agak asam, netral dan alkali

Mempertahankan reaksi tanah yang relatif seragam 7 Kapasitas tukar

kation (KTK) KTK humus 300 – 1400 cmol/kg Meningkatkan KTK tanah 8 Mineralisasi Dekomposisi bahan

organik menghasilkan CO2, NH4+, NO3-, PO43-,

SO4+

Sebagai sumber hara bagi tanaman

9 Kombinasinya dengan senyawa xenobiotik

Mempengaruhi

bioaktifitas, persistensi dan biodegradasi dari pestisida

Memperngaruhi dosis aplikasi pertisida

Dampak alih guna lahan hutan terhadap aliran permukaan

Air hujan yang tiba pada permukaan tanah sebagian akan mengalir ke arah sungai, danau, atau laut sebagai aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran bawah tanah. Air larian permukaan atau aliran permukaan (surface runoff atau overland-flow) adalah bagian dari air limpasan yang mengalir di atas permukaan tanah dan terus menuju saluran utama dalam DAS. Air larian

(35)

permukaan adalah aliran air di atas permukaan tanah yang terjadi karena laju curah hujan melampaui laju infiltrasi.

Aliran bawah permukaan (subsurface runoff atau interflow) adalah bagian dari air larian yang dihasilkan dari bagian hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan bergerak secara lateral bergabung dengan aliran sungai. Sinukaban (1999), membagi aliran bawah permukaan menjadi aliran bawah permukaan yang segera keluar lalu masuk ke sungai (prompt subsurface runoff) dan aliran bawah permukaan tertunda (delayed subsurface runoff) yaitu aliran bawah permukaan yang mencapai saluran dalam waktu yang lama. Aliran bawah tanah (groundwater

flow) merupakan bagian dari air larian yang dihasilkan melalui proses perkolasi

dalam (deep percolation) dari air yang terinfiltrasi yang terus masuk ke dalam tanah.

Aliran sungai adalah gabungan dari aliran permukaan dan aliran bawah permukaan serta air bawah tanah ditambah dengan curah hujan langsung yang jatuh ke saluran dan sungai, merupakan total air larian. Berdasarkan kecepatan aliran, aliran sungai digolongkan ke dalam tiga tipe aliran (Ward, 1975), yaitu:

• Aliran sementara (ephemeral stream), yaitu aliran yang terdiri atas aliran cepat segera setelah turun hujan dan berlangsung hanya selama terjadi hujan • Aliran terputus-putus (intermittent stream), yaitu aliran yang terjadi selama musim hujan dan mengering pada musim kemarau, terdiri dari aliran cepat sebagai aliran utama dan aliran lambat sebagai penyokong pada musim hujan

• Aliran tahunan (perennial stream), yaitu aliran yang tejadi sepanjang tahun baik pada musim hujan maupun pada musim kering, dirnana aliran bawah tanah mempunyai peranan dalam menyokong aliran total sepanjang waktu. Dalam literatur geologi, sistem aliran sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent, dan intermitent. Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok (memberi masukan) air tanah. Sebaliknya pada aliran

effluent sumber aliran sungai berasal dari air tanah, dan pada umumnya

berlangsung sepanjang tahun sehingga disebut sebagai perennial stream. Selanjutnya aliran terputus (intermitent) umumnya terjadi setelah turun hujan

(36)

besar dan seringkali menjadi sumber air tanah musiman (perched water table) (Asdak, 2002).

Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS dapat mernperkecil atau mernperbesar hasil air. Pengelolaan vegetasi khususnya vegetasi hutan dipercaya dapat mengurangi waktu dan penye-baran aliran air. Pengelolaan vegetasi di daerah hulu dapat menurunkan besarnya sedimen yang masuk kedalam saluran, waduk, ataupun penampung air lainnya sehingga dapat memperpanjang umur penggunaannya. Hutan dapat berfungsi se-bagai pengatur tata air (streamflow regulator) dalam arti bahwa hutan dapat menyimpan air yang tersedia selarna musim hujan dan melepasnya pada saat kemarau tiba. Tetapi disisi lain pengelolaan vegetasi tanpa disertai perencanaan yang benar justru dapat menurunkan hasil air karena cadangan air tanah di tempat berlangsungnya kegiatan tersebut berkurang oleh adanya proses evapotranspirasi yang berlebihan (Asdak, 2002).

Bosch dan Hewlet (1982), dalam penelitiannya tentang pengaruh pengelo-laan vegetasi terhadap hasil air menyatakan bahwa aliran tahunan akan meningkat apabila jumlah vegetasi berkurang cukup besar misalnya dalam deforestasi yang tidak terkendali. Secara umum kenaikan aliran air disebabkan oleh berkurangnya jumlah air yang diuapkan oleh vegetasi melalui proses transpirasi sehingga aliran air permukaan maupun air tanah menjadi lebih besar. Jumlah aliran air akan meningkat apabila:

a. Vegetasi ditebang atau dikurangi dalam jumlah cukup besar b. Jenis vegetasi diubah dari tanarnan yang berakar dalam menjadi

tanaman berakar dangkal

c. Vegetasi penutup tanah dengan kapasitas intersepsi tinggi diganti dengan tanaman kapasitas intersepsi yang lebih rendah

Brooks et al. (1985) dalam Asdak (2002), menyatakan bahwa bagian air yang diuapkan oleh vegetasi dari keseluruhan curah hujan yang jatuh pada suatu masyarakat tumbuhan adalah cukup besar. Di daerah arid dan semi arid dari jumlah curah hujan tahunan, 85 – 95% air yang diterima diuapkan kembali atau dikonsurnsi oleh bagian tanaman, yang artinya aliran air yang tersedia hanya berkisar antara 5-15% dari jumlah air hujan yang diterima di daerah tersebut.

(37)

Disamping kuantitas, darnpak penting pengelolaan DAS terhadap aliran air adalah terjadinya perubahan kualitas air. Perubahan kualitas air ini terutarna di akibatkan oleh upaya peningkatan produksi pertanian melalui pernanfaatan tanah dan penggunaan pupuk serta pestisida secara intensif

Peningkatan penggunaan pupuk terutama N, P, dan K merupakan upaya untuk meningkatkan produksi pertanian yang paling umum dilakukan baik di ne-gara maju maupun nene-gara. Berkembang (Holy, 1980). Dalam sistern pertanian, ketersediaan air dan pernupukan merupakan dua faktor penting untuk mendukung suksesnya keberhasilan tanaman. Tetapi karena kurangnya pengetahuan dan pengalaman, petani seringkali menggunakan kedua faktor ini secara berlebih sehingga menimbulkan gangguan terhadap lingkungan. Aktivitas pertanian telah menjadi sumber utama dalam peningkatan nitrogen dan pospor dalam aliran air. Penggunaan pupuk secara besar-besaran merupakan implikasi dari kebutuhan untuk meningkatkan kandungan hara dalam tanah yang hilang akibat pengolahan tanah yang berlebihan.

Dampak alih guna lahan hutan terhadap erosi tanah

Degradasi lahan merupakan konsepsi komprehensif yang pada hakekatnya berkaitan erat dengan kesalahan manusia dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan. Pengertian konsepsi tersebut mencakup penurunan kualitas tanah sebagai akibat proses erosi tanah, salinisasi tanah, dan pencemaran tanah (Barrow, 1991).

Erosi tanah menyebabkan kehilangan hara tanaman yang dapat mempengaruhi tingkat produktivitas tanah. Hal tersebut memberikan konsekuensi semakin meningkatnya biaya yang diperlukan untuk mempertahankan kesuburan tanah (Kurniawan, 1999). Hashim dan Abdullah (2001) menyatakan bahwa erosi tanah sebanyak 47,6 ton ha-1 pada lahan petani di Viantiane telah mengangkut unsur hara nitrogen, fosfor, dan kalium masing-masing sebanyak 104,2, 32,3, dan 358,7 kg ha-1.

Lal (1995) menyatakan bahwa pengaruh erosi pada tempat terjadinya dibedakan atas pengaruh langsung yang terjadi pada jangka pendek dan pengaruh tidak langsung yang terjadi pada jangka panjang. Pengaruh langsung dari proses

(38)

erosi tanah adalah robohnya tanaman sebagai akibat terkikisnya tanah yang mendukung sistem perakaran dan hanyutnya pupuk yang telah diberikan. Pengaruh tidak langsung dalam jangka panjang adalah menurunnya kedalaman solum sebagai akibat terhanyutnya tanah bersamaan dengan aliran permukaan, menurunnya kapasitas air tanah tersedia, dan kandungan karbon organik.

Sinukaban et al. (2000) telah mempelajari perubahan sistem hidrologi di Sub DAS Way Besay sebagai akibat perubahan penggunaan lahan hutan menjadi areal budidaya pertanian. Berkurangnya luas hutan sejak periode 1975 – 1998 menyebabkan meningkatnya debit sungai yang melebihi kriteria lebih besar dari 15, 25, dan 35 m3 detik-1. Perubahan tersebut disebabkan karena berkurangnya intersepsi tajuk pohon, berkurangnya evapotranspirasi, dan kerusakan struktur tanah lapisan atas (top soil) sebagai akibat terjadinya erosi tanah.

Pengkajian erosi tanah memerlukan tolok ukur yang dapat digunakan sebagai dasar perancangan sistem usahatani konservasi. Konsep TSL (Tolerable Soil Loss) atau erosi tanah yang masih dapat ditoleransi digunakan di Amerika Serikat sejak awal tahun 1940-an (Troeh et al., 2004). Utomo (1993) mengemukakan bahwa adanya dasar pemikiran pembentukan tanah hanya terjadi pada tanah lapisan bawah dan bukan lapisan atas digunakan untuk mempertahankan kedalaman tanah (solum) yang berguna bagi pertumbuhan tanaman.

Nilai erosi tanah yang masih dapat ditoleransi merupakan suatu ukuran yang menyatakan besarnya laju erosi tanah yang masih dapat ditoleransi apabila dilakukan eksploitasi sumberdaya lahan pada suatu areal tertentu berdasarkan batas waktu tertentu. Besarnya nilai erosi yang masih dapat ditoleransi dapat diprediksi dengan menggunakan metode Hammer (1981) sebagai berikut:

TSL = [ ( DE – Dmin) / T ] + LPT ... (1)

dimana:

TSL menyatakan laju erosi tanah yang masih dapat ditoleransi (mm tahun-1) ; DE menyatakan kedalaman tanah ekivalen (mm); Dmin menyatakan kedalaman tanah minimum yang diperlukan untuk perkembangan perakaran suatu jenis tanaman tertentu (mm); T menyatakan umur guna tanah (tahun); dan LPT menyatakan laju pembentukan tanah (mm/tahun).

(39)

Pada hakekatnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dan manusia yang meliputi segala aktivitasnya dengan tujuan untuk menjaga kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan manfaat sumberdaya alam bagi umat manusia secara berkelanjutan (Asdak, 2002).

Kakade et al. (2003) mengemukakan bahwa pendekatan secara holistik dalam perencanaan pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan bahwa terganggunya salah satu komponen pada sistem alam akan berpengaruh terhadap komponen lainnya dalam sistem tersebut. Pendekatan perencanaan ekosistem dalam pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan multisektoral yang meliputi keterkaitan antara faktor-faktor ekologi, sosial, politik, dan ekonomi.

Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, sistem pengelolaan DAS merupakan proses produksi yang mempertimbangkan faktor biaya yang diperlukan untuk pemakaian sumberdaya serta keuntungan ekonomi yang diperoleh dari hasil proses pengelolaan sumberdaya (Dixon dan Easter, 1986).

Hufschmidt (1986) berpendapat bahwa pengelolaan DAS sebagai sebuah sistem perencanaan memiliki kerangka pemikiran yang meliputi 3 dimensi pendekatan analisis, yaitu: 1) proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi mempunyai kaitan yang erat, 2) sistem perencanaan pengelolaan dan alat implementasi program melalui kelembagaan yang relevan dan terkait, dan 3) serial aktivitas yang saling berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik.

Pengelolaan DAS pada umumnya berkaitan dengan kegiatan antisipasi kejadian jangka panjang, oleh sebab itu akan menghadapi masalah ketidak pastian. Sejumlah ketidakpastian yang pada awalnya berkaitan dengan ketersediaan data dan informasi seringkali muncul dan selanjutnya menyebabkan kesulitan bagi perencana pengelolaan DAS untuk memprediksi berbagai kondisi yang akan datang. Ketidakpastian dalam masalah teknis tersebut dapat mengakibatkan dampak munculnya ketidakpastian dalam masalah sosial-ekonomi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh, usahatani konservasi dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS juga memerlukan sebuah perencanaan yang bersifat lintas sektoral. Pertimbangan-pertimbangan

(40)

fisik-lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik secara holistik diperlukan untuk mengatasi ketidakpastian dalam pengelolaan DAS (Freebaim, 2004b).

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pengertian DAS

Daerah aliran sungai (DAS) adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan (Manan, 1978). Daerah aliran sungai adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditam-pung dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utarna (Asdak, 2002).

Daerah aliran sungai didefinisikan sebagai wilayah yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan ke sungai, baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan aliran bawah tanah. Wilayah ini dipisahkan dengan wilayah lainnya oleh pemisahalami topografi yaitu punggung bukit dan keadaan geologi terutama formasi batuan (Wiersum et al., 1979). Sedangkan Linsley et al. (1980) memberikan batasana bahwa DAS (watershed atau river basin atau drainage basin atau cathment area) adalah seluruh wilayah yang dialiri oleh sebuah sistem sungai yang saling berhubungan sehingga semua aliran sungai yang berasal dari wilayah ini keluar melalui satu muara (single

outlet).

Food and Agricultural organization (FAO, 1962) dalam Sheng (1968) mengemukakan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu. kawasan yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya kedalam satu sistem aliran sungai yang mengalir dari hulu menuju muara atau tempat-tempat tertentu atau untuk suatu pengukuran arus. Tempat tertentu ini dapat berupa danau, kampung, kota atau stasiun pengukur arus. Oleh karena itu batas ekosistem suatu DAS dapat ditentukan menurut keperluan kita (Soemarwoto, 1978).

Chow et al. (1988), mengemukakan bahwa DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi dimana curah hujan merupakan input dari aliran sungai serta evapotranspirasi adalah output sistem. Selanjutnya dikatakan bahwa DAS merupakan tempat tedadinya proses-proses yang berangkaian dan menjadi bagian

(41)

dari siklus hidrologi. Proses tersebut dapat ditinjau mulai dari terjadinya hujan (presipitasi), yang merupakan produk langsung dari awan yang berbentuk air maupun saiju. Hujan yang jatuh sebagian tertahan di tajuk tanaman dan atap bangunan, kemudian jatuh ke tanah (intersepsi), sebagian lainnya jatuh ke tanah. Saat air jatuh ke tanah, maka terjadi proses infiltrasi yaitu perjalanan air melalui perrmukaan tanah dan menembus masuk kedalamnya.

Proses infiltrasi akan terus berlanjut sepanjang terjadinya proses perkolasi yaitu aliran air gravitasi ke dalam tanah, karena perkolasi akan memungkinkan air terinfiltrasi yang ada di permukaan tanah. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah akan kembali ke saluran-saluran sebagai subsurface-flow, dan sebagian akan menjadi air tanah, air tanah ini mengalir di dalam sebagai groundwater-flow. Berbeda dengan aliran permukaan (surface-runoff), yang terjadi sesaat setelah infiltrasi mencapai konstan, aliran air dalarn tanah berlangsung secara lambat dan akan muncul ke permukaan tanah pada tanah-tanah yang rendah sebagai

groundwater-outflow. Air akan meninggalkan DAS melalui penguapan atau

evaporasi, aliran sungai, dan sebagian besar air yang terserap tanaman akan diuapkannya melalui transpirasi. Pada proses transpirasi, air hujan yang jatuh di permukaan tanah akan dikembalikan ke atmosfer melalui penguapan.

Konsep Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Ini berarti bahwa pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Dalam hal ini juga termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, kemudian keterkaitan antara hulu dan hilir suatu DAS . Pengelolaan DAS perlu pula mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budayadan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan di luar daerah aliran sungai yang bersangkutan (Asdak, 2002).

Gambar

Gambar 1  Bagan  alir kerangka pikir penelitian
Gambar 2. Skema fraksionasi bahan organik tanah/humus (Stevenson, 1994).
Tabel 2. Klasifikasi sifat-sifat tanah yang berkontribusi terhadap kualitas tanah  didasarkan atas kepermanenannya dan tingkat kepekaannya terhadap  pengelolaan (Islam dan Weil, 2000)
Gambar 3. Ilustrasi hubungan antara soil resistance dan soil resilience dengan  kualitas tanah (Seybold et al., 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data dengan menggunakan dan pembahasan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan hal-hal untuk menjawab permasalahan sebagai

Part II contains papers on whether private schools are better than public schools, and Part III con- tains studies from actual school choice proposals or pro- grams in the U.S., or

The scrapie indemnity eradication program in the United States (1952–1992) provides a natural laboratory for measuring the responsiveness to government-set prices. We show

Metode penelitian yang dilakukan dalam mengkaji Kajian Desain Kawasan Berbasis Konsep WSUD (Water Sensitive Urban Design) di Daerah Langka Air (Studi Kasus:

Untuk penghitungan menggunakan spread sheet (lembar kerja elektronik pada worksheet microsoft excel adalah harus memperhatikan item yang diperlukan dalam pembuatan

hasil penelitian dan teori yang dipergunakan sebagai dasar penelitian ini, se- hingga teori yang mengatakan bahwa modal finansial sebagai faktor produk- si yang sangat penting

Hal ini dapat terjadi pada saat terjadi peralihan hak atas tanah, dan hanya tercantum nama salah satu pihak dari pasan- gan suami isteri tersebut, sehingga mengaki- batkan

pembelajaran berbasis masalah (PBM) tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok