• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1.Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Siwak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu siwak (Salvadora persica) dengan massa 2000 g dan kadar air 6,13% menghasilkan ekstrak 21,86 gram dalam pelarut aseton sebanyak 20 liter. Ekstrak tersebut selanjutnya difraksinasi secara bertingkat yang dimulai dengan larutan n-heksan, eter, dan etil asetat. Hasil fraksinasi terpapar dalam Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kandungan ekstrak aseton kayu siwak (Salvadora persica Wall.) dan hasil fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik.

Fraksi terlarut Berat Padatan (g) Kandungan dalam ekstrak aseton (%)* Kandungan dalam kayu siwak (%)* n-heksan 7,06 32,29 0,37 Eter 7,18 32,85 0,38 etil asetat 1,28 5,86 0,07 Residu 6,34 29,00 0,34 Ekstrak aseton 21,86 100 1,16

Ket: *) dihitung berdasarkan BKT

Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan zat ekstraktif dari yang non polar sampai polar. Pelarut-pelarut yang digunakan dalam proses fraksinasi bertingkat (n-heksan, etil asetat, dan eter) ternyata belum dapat melarutkan sebagian besar zat ekstraktif kayu siwak. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya zat ekstraktif yang mudah menguap dan adanya ekstrak yang melekat (emulsi pada saat fraksinasi) pada funel separator yang sangat sulit untuk diambil dan dikeluarkan karena keterbatasan alat dan sifat zat ekstraktif dari kayu yang diuji. Jika mengabaikan jumlah ekstrak aseton yang hilang selama fraksinasi bertingkat, pelarut eter merupakan pelarut yang paling banyak melarutkan ekstrak aseton. Hasil fraksinasi dengan etil asetat merupakan fraksi terendah, yaitu sebesar 1,28 g. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak aseton kayu siwak sebagian besar bersifat non polar, karena kadar eter hasil fraksinasinya merupakan fraksi tertinggi. Ekstrak aseton lebih cenderung bersifat polar, karena residu hasil fraksinasinya lebih rendah dibanding kadar eter hasil fraksinasi.

Zat ekstraktif kayu umumnya terdapat pada bagian teras, walaupun terdapat sejumlah kecil pada kayu gubal. Zat ekstraktif pada pangkal pohon akan

20

lebih banyak dibanding bagian di atasnya. Hal ini dikarenakan pembentukan kayu teras adalah karena adanya sel yang mati, sedangkan bagian atas sel-selnya sedang aktif membelah. Zat ekstraktif pada kulit biasanya lebih banyak daripada bagian kayunya karena kulit kaya akan konstituen-konstituen tertentu yang dapat larut. Bagian cabang kayu kadang mengandung lebih banyak zat ekstraktif dibandingkan batangnya.

Pelarut yang digunakan untuk melarutkan zat ekstraktif pada suatu bahan tanaman memiliki kemampuan melarutkan yang berbeda-beda dan biasanya dinyatakan dengan konstanta dielektrik. Pelarut dengan konstanta dielektrik yang tinggi mempunyai kemampuan melarutkan yang lebih besar dibandingkan pelarut-pelarut yang konstanta dielektriknya lebih kecil. Zat ekstraktif kadang berada tersembunyi di belakang dinding sel, tergantung pada derajat polimerisasi dan

insolubitas-nya. Pelarut juga mempunyai batas sampai dia mulai berkurang daya

larutnya. Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi bahan dapat digunakan lagi setelah melalui evaporasi. Akan tetapi, daya larutnya diduga semakin berkurang. Oleh karena itu, jumlah zat ekstraktif yang dapat diekstraksi dari bahan tersebut juga semakin berkurang. Pemakaian ulang pelarut harus diperhatikan agar bahan dapat terekstrak dengan baik. Pemilihan pelarut dalam ekstraksi ditentukan oleh penguapannya, mudah tidaknya terbakar, titik didih, toksisitas, reaktivitas dan biaya. Titik didih yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan ekstrak pada suatu pemisahannya dengan pelarut. Jika pelarut mudah menguap maka akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi operator maupun lingkungan. Potensi berbahaya dari pelarut harus dipertimbangkan. Pelarut yang mudah terbakar sebaiknya dihindari karena dalam pekerjaan kimia seringkali digunakan panas (Haunghton dan Raman 1998).

Perbedaan jumlah zat ekstraktif pada kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, tempat tumbuh, jenis (genetik), posisi dalam pohon, pelarut yang digunakan dan kecepatan pertumbuhan. Faktor lain yang mempengaruhi kadar zat ekstraktif pada kayu adalah ukuran serbuk, frekuensi pengadukan dalam perendaman, dan kadar air serbuk (Hillis 1987).

Zat ekstraktif merupakan hasil metabolisme sekunder dari tumbuhan yang terus-menerus menumpuk dan mengakibatkan kematian sel-sel pada tumbuhan

21

tersebut. Semakin lama proses ini terjadi maka semakin banyak substansi sisa yang menumpuk. Oleh karena itu, bertambahnya umur pohon umumnya bertambah pula kandungan zat ekstraktifnya. Hasil dari satu penelitian terhadap 480 contoh Pinus echinata yang hidup pada kondisi dan umur yang berbeda menunjukkan bahwa umur mempengaruhi jumlah zat ekstraktif lebih dari pengaruh yang lainnya (Hillis 1987). Pada kulit, disamping variasi yang terdapat di dalam spesies yang sama tergantung pada faktor-faktor seperti umur dan kondisi pertumbuhan pohon (Sjostrom 1993).

Kemampuan tumbuhan untuk mencukupi makanannya sangat didukung oleh karekteristik daerah tempat tumbuhan tersebut tumbuh. Semakin baik kondisi tempat tumbuh (sinar matahari, ketersediaan air, unsur hara, dan sebagainya) maka semakin banyak makanan yang bisa dihasilkan dan semakin baik pula pertumbuhannya. Dengan demikian, pertumbuhan metabolit sekunder atau zat ekstraktif akan semakin banyak pula.

Tidak ada pelarut tunggal yang dapat melarutkan semua zat ekstraktif yang ada (Rowel, 1984). Karena penelitian ini menggunakan aseton sebagai pelarutnya maka zat ekstraktif yang terlarut adalah yang bersifat cenderung polar karena pelarut aseton mempunyai sifat memiliki nilai polaritas dan konstanta dielektrik yang tinggi, dapat dicampur dengan air dalam berbagai perbandingan dan merupakan pelarut yang baik (Lestari, 2003).

Selain faktor pelarut, faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses ekstraksi adalah ukuran serbuk. Luas permukaan serbuk menentukan besarnya pelarut yang akan diabsorbsi oleh serbuk kayu. Ukuran serbuk 40-60 mesh merupakan ukuran yang ideal karena ukuran tersebut dirasa cukup efektif dalam proses absorbsi pelarut ke dalam seluruh bagian sel. Hal ini dkarenakan sel kayu sudah mulai terbuka dengan seimbang sehingga lebih memudahkan masuknya pelarut ke dalam sel.

Ukuran serbuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah kurang lebih dari 100 mesh sehingga mengakibatkan zat ekstraktif yang diperoleh kurang maksimal dikarenakan ukuran yang terlalu kecil (zat ekstraktif semakin cepat menguap pada saat penyimpanan sebelum perendaman). Hal ini tidak dapat dihindari karena bahan yang disediakan berukuran ± 100 mesh. Selain itu, faktor

22

yang mempengaruhi kecilnya zat ekstratif yang didapat adalah frekensi pengadukan. Semakin tinggi intesitas pengadukan maka semakin besar zat ekstraktif karena saat pengadukan dapat menyeragamkan masuknya pelarut dalam serbuk.

Menurut Syarif (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan proses ekstraksi adalah kadar air serbuk kayu. Faktor pengeringan dan pengkondisian kayu sebelum proses ekstraksi akan mempengaruhi besarnya kadar ekstraktif yang diperoleh. Adanya pengeringan serbuk sebelum proses ekstraksi akan membuat retakan kecil pada serbuk kayu sehingga jumlah ekstrak yang terlarut akan meningkat. Adaptasi kayu sebelum proses ekstraksi seperti lamanya penyimpanan kayu akan mempengaruhi banyaknya ekstraktif yang diperoleh. Semakin lama kayu disimpan maka semakin menurun kadar ekstraktifnya.

4.2.Sifat Antibakteri

Dalam menentukan ada tidaknya sifat antibakteri dapat dilakukan dengan menguji ekstrak kayu siwak terhadap pertumbuhan bakteri. Pengaruh suatu ekstrak kayu siwak terhadap pertumbuhan Streptococcus sp. dapat dilihat pada besar zona hambat (zona terang). Pengukuran zona hambat dilakukan dengan menggunakan kertas milimeter.

Gambar 4. Skema zona hambat dan cara pengukurannya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi-fraksi (n-heksana, eter, etil asetat dan residu) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus sp. yang hasilnya secara lengkap terpapar pada tabel dan gambar grafik di bawah ini.

Tabel 3 Lebar zona hambat pada bakeri Streptococcus sp. yang diberi fraksi terlarut ekstrak kayu siwak.

23

Lebar zona hambat (mm) dari fraksi terlarut Konsentrasi zat

ekstrak (mg/ml) n-heksan eter etil asetat residu

0 2 2 2 2 10 5 2,5 2 4,5 15 5,5 3,1 3,5 5 20 6,25 4,25 4,15 6 25 7 5,85 5 6,5 30 8,5 6,5 6 9

Gambar 5. Grafik zona hambat ekstrak kayu siwak

Dari grafik diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar zona hambat yang terbentuk dari masing-masing fraksi. Fraksi residu menunjukkan zona hambat yang paling tinggi dari fraksi-fraksi yang lain, yakni sebesar 4,5 – 9 mm, diikuti fraksi n-heksan (5 – 8,5 mm), eter (2,5 – 6,5 mm), dan fraksi etil asetat (2 – 6 mm). Jika melihat standar yang telah ada maka hasil zona hambat yang didapat termasuk dalam kelas respon zona hambat tidak ada (Ahn 1994 diacu dalam Pratama 2005). Tetapi tidak menutup kemungkinan konsentrasi di atas 30% dapat memberikan besar zona hambat di atas 10 mm. Contoh zona hambat pada Streptococcus sp. dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.

24

Gambar 6. Zona hambat pada

Streptococcus sp. Kandungan

ekstrak kayu siwak 30 mg/ml (Sumur 1), 25 mg/ml (Sumur 2), 20 mg/ml (Sumur 3), 15 mg/ml (Sumur 4), dan 10 mg/ml (Sumur 5)

Hasil zona hambat yang dihasilkan oleh zat ekstrak dari masing-masing fraksi terlarut terpapar pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Pengaruh pertumbuhan Streptococcus sp. setelah diberi perlakuan ekstrak kayu siwak.

Pembentukan zona hambat pada kadar (mg/ml) Zat ekstrak dari fraksi

terlarut 10 15 20 25 30

n-heksan + + + + +

Eter - + + + +

Etil asetat - + + - +

Residu + + + + +

Keterangan: (+) masih bisa menghambat; (-) tidak mampu menghambat

Setelah didapatkan zona hambat untuk tingkat kandungan 10 mg/ml, 15 mg/ml, 20 mg/ml, 25 mg/ml, dan 30 mg/ml maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah mencari MIC. Tingkat kandungan ekstrak kayu siwak ditentukan dengan metode serial two-fold dilution, yakni dengan pengenceran ekstrak kelipatan dua secara berturut-turut. Tingkat kandungan ekstrak kayu siwak yang dibuat adalah 7,82 mg/ml, 3,90 mg/ml, 1,95 mg/ml, 0,97 mg/ml, 0,48 mg/ml, 0,24 mg/ml, 0,12 mg/ml, 0,06 mg/ml, dan 0,03 mg/ml. Dari berbagai tingkat kandungan tersebut tidak semua dipakai dalam pengujian untuk tiga fraksi terlarut dan residu. Hal ini dikarenakan adanya tingkat kandungan tertentu yang sudah mencapai nilai MIC.

25

Metode dalam menentukan nilai MIC sama dengan metode yang digunakan dalam mencari zona hambat dengan membandingkan kontrol.

Besarnya nilai konsentrasi daya hambat minimum (MIC) dari masing-masing fraksi dapat ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 5. MIC ekstrak kayu siwak terhadap bakteri Streptococcus sp..

Bakteri Fraksi MIC (mg/ml)

n-heksan 0,24 Eter 0,48 etil asetat 0,48 Residu 0,12 Streptococcus sp. Streptomycin* 0,03

*Obat baku anti bakteri

Dari tabel di atas dapat katakan bahwa fraksi residu memiliki nilai MIC yang lebih rendah dari fraksi-fraksi lain. Fraksi residu merupakan fraksi teraktif dari ekstrak kayu aseton kayu siwak dalam menghambat bakteri Streptococcus sp..

Penyebab rendahnya daya hambat yang telah diperoleh diduga disebabkan oleh pelarut awal yang digunakan. Pelarut aseton, yang digunakan sebagai pelarut awal mengekstraksi, memiliki sifat semipolar, sehingga dapat diduga tidak semua komponen kimia yang bersifat polar dapat terlarut. Pelarut aseton dipilih karena memiliki sifat toksisitas lebih rendah (toksisitas 1000 ppm) dibandingkan benzena (toksisitas 8 ppm), klofrom (toksisitas 10 ppm), dan toluena (toksisitas 200 ppm) (Reichardt 1988). Penyebab yang lain adalah kondisi kayu siwak tersebut, yakni berupa lingkungan tempat hidup, umur, dan pengambilan bahan uji dari bagian pohon tersebut. Lingkungan yang subur dapat mengakibatkan tanaman siwak memiliki zat ekstraktif yang sedikit daripada pohon siwak yang terdapat di lingkungan sedikit air. Umur dan pengambilan bahan uji pada pohon tersebut sangat berpengaruh terhadap banyak dan sedikitnya zat ekstraktif. Umur yang muda memiliki zat ekstraktif lebih sedikit dibandingkan dengan pohon siwak yang berumur tua. Pengambilan bahan uji juga memiliki pengaruh yakni letak bagian kayu yang diambil seperti pada akar, batang, dan ranting.

Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus sp. diduga disebabkan adanya zat antibakteri pada kayu siwak seperti trimetilamin dan fluorida. Trimetilamin dapat merusak tegangan permukaan lapisan membran sel sehingga membran sel dapat kehilangan sifat permeabilitasnya. Apabila sifat

26

permealibitas pada membran sel hilang maka aliran keluar masuknya bahan-bahan dan zat tertentu akan terganggu sehingga dapat mengganggu metabolisme dan menyebabkan kematian pada bakteri tersebut. Sementara itu, fluorida dapat mendenaturasi protein dan membuat enzim tidak berkerja pada membran sel sehingga metabolisme bakteri terganggu (Pratama, 2005).

27

Dokumen terkait