• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT ANTIBAKTERI ZAT EKSTRAKTIF KAYU SIWAK (Salvadora persica Wall.) TERHADAP Streptococcus sp. ARI SUPRIYADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT ANTIBAKTERI ZAT EKSTRAKTIF KAYU SIWAK (Salvadora persica Wall.) TERHADAP Streptococcus sp. ARI SUPRIYADI"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT ANTIBAKTERI ZAT EKSTRAKTIF KAYU SIWAK

(Salvadora persica Wall.) TERHADAP Streptococcus sp.

ARI SUPRIYADI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMMARY

ARI SUPRIYADI. Properties of Antibacterial Miswak Wood Extractives (Salvadora persica Wall.) for Streptococcus sp.. Under the direction of WASRIN SYAFII and EKO SUGENG PRIBADI

Miswak wood (Salvadora persica Wall.) is a wood that has been known since ancient times, especially by the ancient Arabian, which until now still uses it. A comparative study of periodontal treatment is done on miswak users with non miswak users resulting that miswak user groups have lower periodontal treatment than non user groups (Al-Lafi and Ababneh, 1995). In the mouth, there are different kinds of microbes that are normal flora. This is because the oral cavity is the gateway connecting external environment and internal of the body, so that microbes can enter and multiply in our bodies. The caries forming process involves a number of factors that interacts each other that are tooth and saliva (host), microorganisms, substrate and time. The process of dental caries occurrence begins with demineralisation of dental hard tissue that is followed by organic material damage teeth. Demineralisation of dental hard tissue is caused by acid because of carbohydrate fermentation by microorganisms. One of the microorganisms in the oral cavity which is kariogenik bacteria is Streptococcus sp.. The number of Streptococcus sp. contained in the saliva showed that the bacteria are also a lot of in plaque and tooth surface. The aim of this study is to determine the effect of miswak extracts at various levels of concentration against the growth of Streptococcus sp. This research used miswak sawdust obtained from PT. Miswak Utama then extracted with acetone. Acetone extract was then gradually fractionated in different solvent based on solvent polarity level, i.e. n-hexane, ether, and ethyl acetate. Concentration of 10 mg / ml, 15 mg / ml, 20 mg / ml, 25 mg / ml, and 30 mg / ml was made for each fraction of extractives and each concentration was tested duplo against Streptococcus sp.. Well-diffused agar method was used to test the anti-bacterial property. Mueller-Hinton Agar medium was inoculated by Streptococcus sp. and spreaded by a hockey stick. Five wells were made in a Petri dish and each different well was applied by the extract with different concentration. After that, the Petri dish was incubated at 37°C for 24 hours. Indicator of the inhibition is formation of inhibitory zone surrounding of the well. Miswak wood (Salvadora persica Wall.) yielded 1.16% of extractive substances. Fractionation of miswak acetone extract contained 0.37% n-hexane fraction, 0.38% ether fraction, 0.07% ethyl acetate fraction, and 0.34% residue. Meanwhile, anti-bacterial properties test showed the residue has inhibitory zone larger and the MIC values lower than the other fractions.

(3)

RINGKASAN

ARI SUPRIYADI. Sifat Anti Bakteri Zat Ekstraktif Kayu Siwak (Salvadora

persica Wall.) Terhadap Streptococcus sp.. Di bawah bimbingan WASRIN

SYAFII dan EKO SUGENG PRIBADI.

Proses terjadinya karies melibatkan sejumlah faktor yang saling berinteraksi satu sama lain yaitu gigi dan saliva (inang), mikroorganisme, substrat dan waktu. Proses terjadinya karies pada gigi dimulai dengan terjadinya demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti dengan terjadinya kerusakan bahan organik gigi. Jaringan keras gigi yang terdemineralisasi merupakan akibat dari adanya asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat oleh mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme di dalam rongga mulut yang termasuk kariogenik adalah bakteri Streptococcus sp.. Banyaknya bakteri

Streptococcus sp. yang terdapat pada saliva menunjukkan bahwa bakteri tersebut

juga banyak pada plak dan permukaan gigi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kayu siwak (Salvadora persica Wall.) pada berbagai tingkat konsentrasi terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus sp. Penelitian ini menggunakan serbuk kayu siwak yang diekstrak dengan pelarut aseton. Ekstrak aseton ini kemudian difraksinasi secara bertingkat berdasarkan tingkat kepolarannya, yakni dengan n-heksan, eter, dan etil asetat. Setiap fraksinya dibuat konsentrasi sebesar 10 mg/ml, 15 mg/ml, 20 mg/ml, 25 mg/ml, dan 30 mg/ml yang masing-masing dilakukan pengujian terhadap bakteri Streptococcus sp. dengan ulangan 2 kali. Pengujian anti bakteri dilakukan dengan cara menggunakan metode sumur, yakni media Mueller-Hinton Agar diberi inokulum bakteri Streptococcus sp. dengan menggunakan spatula. Kemudian dibuat lima sumur pada cawan petri dan diberi ekstrak dengan lima konsentrasi berbeda. Setelah itu, cawan petri tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Indikator penghambatan adalah dengan mengukur zona hambat yang terbentuk.

Hasil penelitian adalah dapat diketahui bahwa kayu siwak mengandung ekstrak aseton sebesar 1,16%. Hasil fraksinasi aseton ini menunjukkan kayu siwak mengandung 0,37% fraksi n-heksan, 0,38% fraksi eter, 0,07% fraksi etil asetat,

(4)

dan 0,34% residu. Sedangkan pengujian sifat anti bakteri menunjukkan residu memiliki zona hambat yang lebih besar dari fraksi yang lain dan nilai MIC yang lebih rendah dari fraksi lain.

(5)

SIFAT ANTIBAKTERI ZAT EKSTRAKTIF KAYU SIWAK

(Salvadora persica Wall.) TERHADAP Streptococcus sp.

ARI SUPRIYADI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Sifat Antibakteri Zat Ekstraktif Kayu Siwak (Salvadora

Persica Wall.) Terhadap Streptococcus sp.

Nama : Ari Supriyadi

NIM : E24051375

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS NIP: 19541017 198003 1 004 NIP: 19640605 199103 1 006

Mengetahui: Ketua Departemen,

Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc NIP: 19630711 199103 1 002

(7)

PERNYATAAN MENGENAI

SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Sifat Antibakteri Zat Ekstraktif Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Terhadap Streptococcus sp. belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2009

Ari Supriyadi NIM E24051375

(8)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhana wa Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Sifat Antibakteri Zat Ekstraktif Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) Terhadap

Streptococcus sp. dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan

penelitian selama ± 1 tahun di Labotarium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan dan Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Ayahanda Yoso Prayogo, Ibunda Sulastri, dan Adik Ahmad Arifin atas segala doa dan kasih sayangnya.

2. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr sebagai pembimbing utama dan Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS sebagai pembimbing kedua yang telah banyak memberikan pengarahan dan saran dalam berbagai kesempatan diskusi yang terkait dengan penelitian ini.

3. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Dr. Ir. Basuki Wasis, MS serta Dr. Ir. Agus Hikmat sebagai penguji dalam sidang kelulusan.

4. Staf Labotarium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan dan Labotarium Mikrobiologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama penulis melaksanakan penelitian.

5. PT. Miswak Utama yang telah menyediakan serbuk kayu siwak.

6. Teman-teman THH 42 dan teman-teman satu taklim di Mahad Minhajussunnah Bogor.

Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Bogor, Desember 2009

(9)

ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 2 Desember 1986. Penulis adalah anak pertama dari Bapak Yoso Prayogo dan Ibu Sulastri dari dua bersaudara.

Tahun 1999 penulis berhasil menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Wonorejo Polokarto, kemudian pada tahun 2002 menyelesaikan studi dari SLTP N 1 Polokarto. Tahun 2005 penulis dinyatakan lulus dari SMA Batik 1 Surakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif sebagai pengurus DKM Al Hurriyah IPB sebagai anggota Divisi Ekonomi. Disamping itu, penulis juga pernah menjadi Ketua Maktabah Islam Al Furqon Bogor.

Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT Rejowinangun Trenggalek Jawa Timur. Penulis juga pernah mendapatkan Beasiswa Bantuan Mahasiswa (BBM). Saat ini penulis aktif sebagai staf pengajar di SMP-IT dan SMA-IT Al Binaa Islamic Boarding School.

(10)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i RIWAYAT HIDUP ... ii DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR TABEL ... vi BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 2 1.3. Manfaat Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Zat Ekstraktif Kayu ... 3

2.2. Sifat Bio-aktifitas Zat Ekstraktif ... 3

2.2.1. Flavonoid ... 4

2.2.2. Alkaloid ... 5

2.2.3. Terpenoid ... 5

2.3. Sejarah Penggunaan Siwak ... 6

2.3.1. Klasifikasi Tanaman Siwak ... 7

2.3.2. Morfologi dan Tempat Tumbuh Tanaman Siwak ... 8

2.3.3. Kandungan Kimia Batang Kayu Siwak... 8

2.3.4. Kandungan Antimikrobial Siwak ... 9

2.4. Streptococcus sp. ... 10

2.5. Proses Ekstraksi ... 12

BAB III. METODOLOGI ... 14

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 14

3.3. Metode Penelitian ... 14

3.3.1. Persiapan Sampel ... 14

3.3.2. Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak... 16

3.3.2. Pembuatan Biakan ... 17

(11)

iv

3.3.4. Uji Aktivitas Anti Bakteri ... 17

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1. Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Siwak ... 19

4.2. Sifat Anti Bakteri ... 22

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

6.1. Kesimpulan ... 27

6.2. Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(12)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Siwak (Salvadora persica) ... 7

Gambar 2. Bakteri Streptococcus sp... 11

Gambar 3. Bagan proses ekstraksi dan fraksinasi kayu siwak... 16

Gambar 4. Skema zona hambat dan cara pengukurannya... 22

Gambar 5. Grafik zona hambat ekstrak kayu siwak... 23

(13)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nilai konstanta dielektrik pelarut... 13 Tabel 2. Kandungan ekstrak aseton kayu siwak (Salvadora persica Wall.)

dan hasil fraksinasi bertingkat dalam beberapa

pelarut organik ………... 19 Tabel 3. Lebar zona hambat pada bakeri Streptococcus sp. yang diberi

fraksi terlarut ekstrak kayu siwak... 23 Tabel 4. Pengaruh pertumbuhan Streptococcus sp. setelah

diberi perlakuan ekstrak kayu siwak... 24 Tabel 5. MIC ekstrak kayu siwak terhadap bakteri Streptococcus sp... 26

(14)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kayu siwak (Salvadora persica Wall.) merupakan kayu yang telah dikenal sejak zaman dahulu terutama oleh bangsa Arab kuno yang hingga sekarang masih menggunakannya. Suatu studi perbandingan perawatan gigi yang dilakukan terhadap pengguna siwak dengan non pengguna siwak menunjukkan bahwa tingkat masyarakat pengguna siwak memiliki tingkat perawatan gigi yang lebih rendah dibandingkan masyarakat non pengguna siwak (Al-Lafi dan Ababneh, 1995).

Ekstrak siwak menunjukkan adanya sifat antimikrobial, terutama antibakteri dan anticendawan (al-Lafi dan Ababneh, 1995; Darout, 2000). Analisis kandungan batang kayu siwak kering (Salvadora persica Wall.) dengan ekstraksi menggunakan etanol 80% dan dilanjutkan dengan ether menunjukkan bahwa kayu siwak mengandung zat-zat kimia seperti trimetilamin, alkaloid yang diduga sebagai salvadorin, klorida, sejumlah besar fluorida dan silika, sulfur, vitamin C, serta sejumlah kecil tannin, saponin, flavenoid dan sterol (El-Mostehy et al., 1983).

Di dalam rongga mulut terdapat berbagai jenis mikroba yang merupakan flora normal. Hal ini disebabkan karena rongga mulut merupakan gerbang penghubung antara lingkungan luar tubuh dan lingkungan dalam tubuh sehingga mikroba dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh. Proses terjadinya karies melibatkan sejumlah faktor yang saling berinteraksi satu sama lain, yaitu gigi dan saliva (inang), mikroorganisme, substrat dan waktu. Proses terjadinya karies pada gigi dimulai dengan terjadinya demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti dengan terjadinya kerusakan bahan organik gigi. Jaringan keras gigi yang terdemineralisasi merupakan akibat dari adanya asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat oleh mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme di dalam rongga mulut yang termasuk kariogenik adalah bakteri Streptococcus sp.. Banyaknya bakteri Streptococcus sp.yang terdapat pada saliva menunjukkan bahwa bakteri tersebut juga banyak pada karang gigi dan permukaan gigi.

(15)

2

1.2.Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kayu siwak pada berbagai tingkat kandungan terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus sp..

1.3.Manfaat

Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah

1. sebagai sumber informasi dan rujukan bagi para akademisi dalam melakukan penelitian lebih lanjut tentang khasiat kayu siwak.

2. memberikan informasi kepada khalayak umum bahwa kayu siwak sangat bermanfaat bagi kesehatan mulut pada manusia.

(16)

3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Zat Ekstraktif Kayu

Komponen kimia kayu utama yang menyusun dinding sel terdiri dari selulosa (40-45%), hemiselulosa (25-35%) dan lignin (18-35%) (Rowel 1984). Selain komponen-komponen tersebut, terdapat juga sejumlah zat-zat yang disebut bahan tambahan atau ekstraktif kayu (Fengel dan Wegener 1995). Meski komponen kimia berupa ekstraktif hanya memiliki persentase jumlah yang sedikit, ekstraktif dapat mempengaruhi sifat-sifat dan mutu pengolahan kayu. Isolasi ekstraktif dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan campuran pelarut netral atau dengan pelarut tunggal secara berurutan.

Zat ekstraktif bukan bagian dari struktur dinding sel, tetapi sebagai zat pengisi rongga sel. Zat ekstraktif memiliki struktur dan komposisi kimia yang beranekaragam, seperti tanin, gum, antosianin, flavon, katekin, kinos, lignan, tropolon, lemak, asam lemak, dan hidrokarbon yang bersifat volatil (Panshin dan Zeeuw 1980). Menurut Fengel dan Wegener (1995), kandungan ekstraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Umur, site (tempat tumbuh), genetik, posisi dalam pohon, jenis pelarut yang digunakan dan kecepatan pertumbuhan mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam kayu.

2.2.Sifat Bio-aktifitas Zat Ekstraktif

Senyawa kimia bioaktif merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas biologik terhadap organisme lain atau pada organisme yang menghasilkan senyawa tersebut. Senyawa bioaktif hampir selalu bersifat antioksidan, antivirus, antibakteri, dan anticendawan (Walker 2006).

Hillis (1987) menjelaskan bahwa berbagai macam ekstrak dan eksudat pohon telah digunakan untuk pengobatan berbagai macam keluhan penyakit. Beberapa tanaman dikenal menghasilkan senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai bahan obat-obatan adalah flavonoid, glikosida, steroid, alkaloid, dan terpenoid (Fathul 2009). Senyawa kimia zat ekstraktif dalam kulit batang yang bersifat polar adalah kontituen-konstituen fenol, yakni kelompok stilben lignan, tanin-tanin terhidrolisis, flavonoid, dan tanin-tanin terkondensasi (Sjostrom, 1998).

(17)

4

2.2.1. Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa fenol yang ditemukan di alam (Fengel dan Wegener 1989). Falvonoid di alam terdapat dalam dua bentuk, yaitu flavonoid glikosida (flavonoid dengan gula terikat) dan flavonoid aglikan. Flavonoid glikosida pada umumnya larut dalam air dan berbeda dengan flavonoid aglikon yang lebih mudah larut dalam pelarut eter dan kloroform. Flavonoid aglikon merupakan senyawa polifenol karena memiliki sifat senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Penambahan larutan basa akan mengubah warna sehingga mudah dilihat pada kromatogram atau pada larutan (Markham 1998).

Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau, dengan pengeculian alga, yang terdapat pada semua bagian tumbuhan, termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, dan biji (Harborne 1987). Flavonoid di dalam tumbuhan terdapat dalam berbagai bentuk. Semuanya mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu

dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat membentuk cincin ketiga. Susunan ini dapat menghasilkan tiga struktur, yaitu 1,1- diarilpropana atau neoflavonoid, 1,2- diarilpropana atau isoflavonoid, dan 1,3- diarilpropana atau flavonoid (Achmadi 1990) Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi dan menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak.

Di dalam tumbuhan jarang sekali ditemukan flavonoid dalam keadaan tunggal, tetapi dalam bentuk campuran. Sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas. Antosianin berwarna yang terdapat dalam daun dan bunga hampir selalu disertai oleh flavon atau flavonol tanpa warna. Flavon merupakan ko-pigmen penting yang diperlukan untuk menyatakan warna antosianin secara penuh dalam jaringan bunga. Biasanya antosianin juga sebagai campuran, terutama dalam bunga, dan suatu jaringan bunga dapat mengandung sampai sepuluh pigmen yang berlainan (Harborne 1987).

(18)

5

2.2.2. Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan senyawa kimia yang terdapat di dalam tumbuhan. Saat ini telah diketahui sebanyak 5500 jenis senyawa alkaloid. Alkaloid bersifat racun bagi manusia dan banyak digunakan dalam pengobatan. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan, seperti biji, daun, ranting, dan kulit kayu (Harboene 1987).

Alkaloid siklo peptida telah diisolasi dari genus Zizyphus dan memiliki potensi farmakologik sebagai analgetik, antibakteri, anticendawan dan obat penenang (sedative) (Abad et al. 2007) Alkaloid memberikan efek fisiologik pada susunan syaraf pusat, misalnya sebagai obat anti rasa sakit dan obat tidur. Tetapi dalam jumlah tinggi sangat beracun bagi manusia (Vickery dan Vickery 1981).

2.2.3. Terpenoid

Terpenoid berasal dari molekul isoprene dan kerangka karbonnya dibangun oleh dua penyambungan atau lebih satuan C5 ini. Terpena dikenal

sebagai kelompok besar dari hidrokarbon yang terbentuk dari unit-unit isoprene (C5H8). Terpenoid dan steroid resminya diturunkan dari unit-unit isoprene hingga

kadang disebut isoprenoid. Kemudian senyawa-senyawa itu dipilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut: dua (C10), tiga (C15), empat (C20), enam (C30), atau delapan (C40) satuan.

Terpenoid terdiri dari beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap (C10 dan C15),

diterpena yang lebih sukar menguap (C20), sampai ke senyawa yang tidak

menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoid(C40)

(Harborne 1987, Sjostrom 1998).

Sjostrom (1998) mengatakan bahwa senyawa-senyawa monoterpenoid merupakan terbesar dalam fraksi terpenoid yang mudah menguap ”minyak atsiri” yang dapat diperoleh sebagai terpentin dari bagian-bagian yang berbeda dari kayu dengan penyulingan uap atau dari kondesat bejana pemasak yang lepas setelah pembuatan bubur kayu yang ditambahkan Na2S dan NaOH pada kayu lunak.

(19)

6

Monoterpenoid terutama terdapat dalam oleoresin kayu lunak, baik sebagai hidrokarbon atau sebagai turunannya.

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari asam asetat melanoat. Triterpenoid berupa senyawa tanpa warna yang berbentuk kristal. Triterpenoid telah diketahui memiliki aktifitas sebagai antibiotika dan anticendawan (Vickery dan Vickery 1981). Saponin adalah salah satu contoh dari senyawa triterpenoid. Saponin merupakan glikosid triterpena dan sterol yang bersifat seperti sabun. Kelompok saponin dapat dilihat berdasarkan kemampuannya membentuk busa yang stabil dan dapat menghemolisis sel darah (Suradikusumah 1989). Saponin digunakan sebagai bahan pencuci karena memilki sifat emulsi.

2.3.Sejarah Penggunaan Siwak

Pemakaian alat-alat kebersihan mulut telah dimulai sejak berabad-abad lalu. Manusia terdahulu menggunakan alat-alat kebersihan yang bermacam-macam seiring dengan perkembangan sosial, teknologi dan budaya. Beraneka ragam peralatan sederhana dipergunakan untuk membersihkan mulut mereka dari sisa-sisa makanan, mulai dari tusuk gigi, batang kayu, ranting pohon, kain, bulu burung, tulang hewan hingga duri landak. Diantara peralatan tradisional yang mereka gunakan dalam membersihkan mulut dan gigi adalah kayu siwak (chewing

stick). Walaupun tradisional, kayu ini merupakan langkah pertama peralihan ke

sikat gigi modern dan merupakan alat pembersih mulut terbaik hingga saat ini (El-Mostehy et. al., 1983)

Miswak telah digunakan oleh orang Babilonia semenjak 7000 tahun yang lalu. Bahan ini digunakan pula di zaman kerajaan Yunani dan Romawi, oleh orang-orang Yahudi, Mesir dan masyarakat kerajaan Islam. Siwak memiliki nama-nama lain di setiap komunitas, seperti misalnya di Timur Tengah disebut dengan miswak, siwak atau arak, di Tanzania disebut miswak, dan di Pakistan dan India disebut dengan datan atau miswak. Sebenarnya, kayu kunyah dapat berasal dari tanaman yang berbeda-beda pada setiap negeri. Di Timur Tengah, sumber utama yang sering digunakan adalah pohon Arak (Salvadora persica), di Afrika Barat yang digunakan adalah pohon lemon (Citrus aurantifolia) dan pohon jeruk

(20)

7

(Citrus sinesis). Akar tanaman Senna (Cassiva vinea) digunakan oleh orang Amerika berkulit hitam, Laburnum Afrika (Cassia sieberianba) digunakan di Sierre Leone serta Neem (Azadirachta indica) yang digunakan secara meluas di benua India (Almas, 2002).

2.3.1. Klasifikasi Tanaman Siwak (Salvadora persica)

Klasifikasi tanaman Salvadora persica adalah sebagai berikut : Divisio : Embryophyta

Sub Divisio : Spermatophyta Class : Dicotyledons Sub Class : Eudicotiledons Ordo : Brassicales Family : Salvadoraceae Genus : Salvadora

Spesies : Salvadora persica

Gambaran mengenai kayu siwak (Salvadora persica) terpapar pada Gambar 1 di bawah ini.

(21)

8

2.3.2. Morfologi dan Tempat TumbuhTanaman Siwak

Kayu siwak berbentuk batang yang diambil dari akar dan ranting tanaman arak (Salvadora persica) yang berdiameter mulai dari 0,1 cm sampai 5 cm. Pohon arak adalah pohon yang kecil seperti belukar dengan batang yang bercabang-cabang, berdiameter lebih dari 17 cm sebagaimana pada Gambar 1. Jika kulitnya dikelupas maka batangnya berwarna agak keputihan dan memiliki banyak juntaian serat akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih. Aromanya seperti seledri dan rasanya agak pedas (Al-Khateeb, 1991). Secara geografis, habitatnya terbentang luas mulai dari Afrika, Mesir, Tanzania, Senegal, Sudan, dan Saudi Arabia. Sebagai tanaman hijau, ia mampu tumbuh di setiap tempat mulai dari tanah kering, gurun, daerah pantai, dan tanah-tanah yang sangat asin (Gede, 2006)

2.3.3. Kandungan Kimia Batang Kayu Siwak

Al-Lafi dan Ababneh (1995) melakukan penelitian terhadap kayu siwak dan melaporkan bahwa siwak mengandung mineral-mineral alami yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri, mengikis karang gigi, mencegah gigi berlubang serta memelihara gusi. Siwak memiliki kandungan kimiawi yang bermanfaat dalam

a. asam-asam antibakteri (Antibacterial Acids), seperti astringents, abrasive dan detergent yang berfungsi untuk membunuh bakteri, mencegah infeksi, dan menghentikan pendarahan pada gusi. Penggunaan kayu siwak segar akan terasa agak pedas dan sedikit membakar. Hal ini dikarenakan adanya kandungan serupa mustard. Kandungan kimiawi, seperti klorida, potasium, sodium bicarbonate, fluorida, silika, sulfur, vitamin C, trimetilamin, salvadorin, tannin dan beberapa mineral lainnya, berfungsi untuk membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi (Khoory 1983). Bahan-bahan ini sering diekstraksi sebagai bahan penyusun pasta gigi.

b. minyak aroma alami yang memiliki rasa dan bau segar sehingga bermanfaat untuk menyegarkan mulut dan menghilangkan bau tidak sedap.

(22)

9

c. enzim yang bermanfaat untuk mencegah pembentukan karang gigi yang merupakan penyebab radang gusi dan tanggalnya gigi secara prematur. d. zat anti pembusukan (anti decay agent) dan antigermal system, yang

bermanfaat menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut merangsang produksi air ludah yang merupakan bahan organik mulut yang melindungi dan membersihkan mulut.

Secara kimiawi, kulit batang kayu siwak yang kering bila diekstraksi dengan alkohol 80% dan diekstraksi dengan ether akan ditemukan komponen kimiawi seperti Trimetilamin, chloride, resin, sejumlah besar fluoride dan silica, sulfur dan vitamin C (Mostehy et al., 1983).

Siwak kaya dengan fluorida dan silika. Fluorida mengerahkan proses antikariogenik dengan cara (i) mengubah hydroxypatite menjadi fluorapatite yang lebih tahan terhadap acid dissolution; (ii) bercampurnya organisme pembentuk asam di dalam karang gigi sehingga mengurangi pH dari karang gigi, (iii) membantu memulihkan kembali gigi yang baru rusak, (iv) membentuk efek penghambat terhadap pertumbuhan bakteri pada karang gigi. Sedangkan silika berfungsi membantu membersihkan gigi karena silika bekerja sebagai bahan penggosok yang dapat menghilangkan noda (Khoory, 1983).

2.3.4. Kandungan Antimikroba Siwak

El-Mostehy et al (1998) dan Darout (2000) melaporkan bahwa tanaman siwak mengandung zat-zat antibakteri yang dipengaruhi oleh keragaman kandungan kimiawi yang dapat ditemukan pada ekstraknya. Efek ini berhubungan dengan tingginya kandungan sodium klorida dan pottasium klorida, seperti salvadourea dan salvadorine, saponin, tannin, vitamin C, silika, resin, cyanogenic glycoside dan benzylsothio-cyanate. Hal ini dilaporkan juga bahwa komponen anionik alami terdapat pada spesies tanaman ini yang mengandung agen antimikroba yang melawan beberapa bakteri. Nitrat (NO3-) dilaporkan

mempengaruhi pengangkutan aktif proline pada Escherichia coli dan aldosa dari

E. coli dan Streptococcus faecalis. Nitrat juga mempengaruhi pengangkutan aktif

(23)

10

Stapyhylococcus aureus sehingga pertumbuhan kedua jenis bakteri ini menjadi

terhambat.

Komponen anionik antibakteri lainnya yang terdapat pada beberapa spesies tanaman adalah sulfat (SO42-), klorida (Cl-) dan tiosianat (SCN-). Tiosianat

bertindak sebagai substrat dalam laktoperoksidase yang digunakan untuk membangkitkan hipotiosianit (OSCN-) dengan keberadaan hidrogen peroksida. OSCN- bereaksi dengan kelompok sulfahidril pada enzim bakteri sehingga menjadi penyebab kematian bakteri. (Darout et al., 2000).

Almas (2002) meneliti perbandingan pengaruh antara ekstrak siwak dengan chlorhexidine gluconate (CHX) yang sering digunakan sebagai cairan kumur dan zat antikarang pada dentin manusia. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh data bahwa 50% ekstrak siwak dan CHX 0,2% memiliki efek yang sama pada dentin manusia. Namun, ekstrak siwak lebih banyak menghilangkan lapisan noda-noda (smear layer) pada dentin.

Satu penelitian terhadap 480 orang dewasa berusia 35-65 tahun di kota Makkah dan Jeddah menunjukkan bahwa perawatan gigi untuk masyarakat Makkah dan Jeddah lebih rendah dibandingkan masyarakat di negara lain. Gigi yang dirawat menggunakan pasta gigi yang diimbuhi seruk siwak didapatkan lebih sehat dibandingkan dengan yang menggunakan pasta gigi tanpa campuran serbuk siwak. Hal ini dikarenakan butiran-butiran serbuk siwak mampu menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih bersarang pada sela-sela gigi. World Health Organization (WHO) menjadikan siwak sebagai salah satu komoditas kesehatan yang perlu dipelihara dan dibudidayakan. (Al-Khateeb, 1991).

2.4.Streptococcus sp.

Streptococcus adalah bakteri berbentuk bulat Gram-positif dan bersifat

fakultatif anaerob. Pembelahan sel bakteri ini terjadi sepanjang satu sumbu sehingga pertumbuhannya membentuk rantai. Oleh karena itu, bentuk seperti ini dalam bahasa Yunani disebut streptos, yang berarti mudah melilit. Uji biokimiawi terhadap Streptococcus adalah oksidase dan katalase negatif, Streptococcus menghemolisis darah pada media agar darah. Hemolisis yang terjadi dapat berbentuk β-hemolisis (hemolisis sempurna yang ditandai media di sekitarnya

(24)

11

jernih) dan α-hemolisis (hemolisis kurang sempurna) (Bibiana, 1994). Bakteri ini tumbuh optimum pada suhu 37 0C dan mempunyai kandungan G+C DNA berkisar dari 33 sampai 42 mol% (Pelczar dan Chan 1988).

Klasifikasi bakteri Streptococcus sp adalah sebagai berikut : Kingdom : Bakteria Phylum : Firmicutes Class : Bacilli Ordo : Lactobacillales Family : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Gambar 2. Bakteri Streptococcus sp. (Anonim 2009)

Mulut merupakan tempat berkembangnya banyak bakteri. Namun, hanya sedikit bakteri penyebab karies, diantaranya Streptococcus mutans (Hardie 1982). Bakteri pada mulut seseorang akan mengubah glukosa, fruktosa, dan sukrosa menjadi asam laktat melalui sebuah proses glikolisis yang disebut fermentasi. Bila asam ini mengenai gigi dapat menyebabkan demineralisasi. Proses sebaliknya, remineralisasi dapat terjadi bila pH telah dinetralkan. Mineral yang diperlukan gigi tersedia pada air liur dan pasta gigi berflorida dan cairan pencuci mulut. Karies lanjut dapat ditahan pada tingkat ini. Bila demineralisasi terus berlanjut, maka akan terjadi proses pelubangan (Holloway, 1983).

(25)

12

2.5. Proses Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu metode pemisahan komponen-komponen dari suatu campuran yang menyebabkan komponen yang larut masuk ke dalam pelarut yang dipakai dan komponen yang tidak larut akan tertinggal di dalam bahan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kapasitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut tersebut. Prinsip kelarutan adalah

“like dissolve like”, yaitu (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, dan

pelarut non-polar akan melarutkan senyawa non-polar, (2) pelarut organik akan melarutkan senyawa organik (Adnan 1997) Ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan memperoleh hasil yang optimum, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung dalam contoh.

Ekstraksi obat dari tumbuhan dengan ekstraksi cair tergolong sebagai jenis ekstraksi cairan-padat (liquid-solid extraction). Tujuan metode ekstraksi ini adalah mengeluarkan bahan yang diinginkan dari sel-sel dengan proses difusi. Prinsip dari cara ini adalah untuk tercapainya keseimbangan konsentrasi bahan dalam pelarut pada batas yang diinginkan. Hasil ekstraksi dari proses ini dipengaruhi oleh suhu, pH, ukuran bahan yang akan diekstraksi dan gerakan pelarut yang terjadi di sekitarnya. Faktor yang juga sangat penting dalam ekstraksi adalah pemilihan pelarut. Suatu pelarut ideal adalah yang memiliki selektivitas tinggi, yakni untuk memisahkan senyawa dengan bobot molekul rendah, seperti alkaloid, saponin, dan terpentin. Pelarut yang paling baik digunakan adalah alkohol alifatik dengan maksimum tiga atom karbon atau campuran dari pelarut itu dengan air (Adnan 1997).

Tatakerja untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering adalah dengan proses ekstraksi berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya (Harbone 1987). Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub muatan positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom penyusunnya. Keadaan ini menyebabkan molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama.

(26)

13

Besarnya polaritas dari suatu zat pelarut mempunyai hubungan tegak lurus dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997)

Konstanta dielektrik merupakan salah satu ukuran kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan pelarut untuk menyaring daya tarik elektrostatik antara isi yang berbeda. Kemampuan zat cair melarutkan zat padat ion sangat bergantung pada tetapan dielektriknya. Nilai konstanta dielektrik pelarut netral secara rinci tertera pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Nilai konstanta dielektrik pelarut.

Zat pelarut Konstanta Dielektrik (ε)

Aseton 20,70

n-heksan 1,89

Eter 4,34

etil asetat 6,02

(27)

14

BAB III. METODOLOGI

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Proses pembuatan dan pengujian contoh uji dilakukan di Labotarium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan dan Bagian Mikrobiologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2008 sampai bulan Juli 2009.

3.2.Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serbuk kayu siwak

(Salvadora persica), aseton, eter, etil asetat, dan n-heksan. Serbuk kayu siwak dan

bakteri Streptococcus sp. diperoleh dari hasil isolasi contoh air kumur. Larutan NaCl 0,9%, media agar darah, dan alkohol digunakan untuk penyediaan bakteri

Streptococcus. Media Agar Mueller-Hinton dan pelarut aseton digunakan untuk

pengujian antimikroba.

Alat yang digunakan dalam ekstrak kayu siwak adalah botol berukuran besar, labu erlenmeyer, rotary evaporator, timbangan, funel evaporator, cawan Petri, autoclave dan oven. Sedangkan dalam penyediaan bakteri Streptococcus sp. memakai alat seperti cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, penjepit, spatula,

coolbox, plastik sucihama, öse, kertas milimeter, mixer vortex, dan inkubator.

3.3.Metode Penelitian

3.3.1. Persiapan Bahan Uji

Sebanyak 2000 g serbuk kayu dalam keadaan kering udara dimasukkan ke stoples besar dan sedikit demi sedikit dimasukkan pelarut aseton sehingga seluruh serbuk terendam dengan perbandingan tinggi serbuk dengan pelarut 1:3. Campuran ini diaduk sesering mungkin dan selanjutnya disimpan dalam suhu 27

0

C. Larutan ekstrak disaring ke botol lain setelah 48 jam.

Ekstrak aseton yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator pada suhu 30-40 oC sehingga mencapai satu 1iter. Sebanyak 10 ml dari jumlah tersebut diambil dan dimasukkan ke labu erlenmenyer kering dan telah diketahui

(28)

15

beratnya. Selanjutnya dilakukan pengeringan menggunakan oven pada suhu 103 ± 2 0C selama tiga jam sehingga beratnya konstan. Bahan ditimbang setelah dingin untuk mengetahui berat kering ekstrak aseton yang diperoleh.

Sebanyak 990 ml ekstrak aseton yang tersisa dipekatkan sehingga volumenya tinggal 100 ml. Ekstrak aseton ini difraksinasi secara berturut-turut dengan pelarut n-heksan, eter, dan etil asetat. Fraksinasi yang dilakukan adalah dengan cara memasukkan larutan yang telah kental ke dalam funnel separator, kemudian ditambah pelarut n-heksan sebanyak 75 ml dan air suling 25 ml. Campuran dikocok dan dibiarkan sehingga terjadi pemisahan larutan. Fraksi n-heksan dipisahkan dari residu dan dimasukkan ke botol tertutup rapat. Fraksinasi menggunakan n-heksan dilakukan hingga fraksi pelarut berwarna jernih.

Residu hasil fraksinasi dengan n-heksan ditambah dengan pelarut eter sebanyak 75 ml dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan seperti seperti halnya fraksinasi dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut eter dimasukkan ke botol yang tertutup rapat. Fraksinasi dilakukan hingga pelarut eter berwarna jernih.

Tahap terakhir dari fraksinasi bertingkat adalah menggunakan etil asetat. Residu ekstrak eter yang telah dimasukkan ke funnel evaporator dicampur dengan pelarut etil asetat sebanyak 75 ml. Campuran ini dikocok dan dibiarkan sehingga terjadi pemisahan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut etil asetat dipisahkan dari residu dan dimasukkan ke botol yang tertutup rapat. Fraksinasi dilakukan hingga pelarut etil asetat berwarna jernih (Alfalahi K, 2005).

Untuk lebih jelasnya tahap fraksinasi bertingkat dengan empat macam pelarut diatas secara skematis dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini:

(29)

16

Gambar 3. Bagan proses ekstraksi dan fraksinasi kayu siwak 3.3.2. Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak

Setelah mendapatkan hasil fraksinasi, kemudian dikeringkan dengan memasukkannya ke dalam oven pada suhu 40-60 0C sampai didapatkan dalam wujud padat. Setelah itu, setiap fraksi ekstrak aseton yang telah berwujud padat dibuat konsentrasi dengan melarutkannya pada pelarut aseton. Konsentrasi yang dibuat adalah 10 (mg/ml), 15 (mg/ml), 20 (mg/ml), 25 (mg/ml), dan 30 (mg/ml). Sebagai larutan kontrol digunakan pelarut aseton.

Serbuk Kayu 40-60 mesh

Residu Ekstrak Aseton

Fraksi Terlarut n-heksan Residu Fraksi Terlarut Eter Residu Fraksi Terlarut Etil asetat Residu Ekstraksi aseton Fraksinasi n-heksan Fraksinasi eter

(30)

17

3.4. Pembuatan Biakan

Bakteri uji diperoleh dari hasil kumur-kumur yang dilakukan oleh lima orang sukarelawan yang berumur 22-23 tahun dengan memakai larutan NaCl 0,9%. Hasil kumur dimasukkan ke plastik yang kemudian ditaruh di kotak pendingin (coolbox). Sebanyak satu öse dari setiap plastik yang berisi cairan kumur diambil dimasukkan ke tabung reaksi yang larutan NaCl sucihama. Tabung reaksi diputar dengan menggunakan mixer vortex dengan tujuan agar mikroba menyebar merata. Sebanyak satu mililiter dari tabung reaksi diisolasi ke atas permukaan media agar darah (dengan darah domba 5-10%). Masing-masing tabung reaksi diisolasi pada media agar darah yang berbeda. Seluruh media diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam.

3.5.Pembuatan Suspensi Bakteri

Pengamatan terhadap jenis mikroba yang berbeda dari warna, zona hemolisis, dan ukurannya dilakukan setelah masa inkubasi dicapai. Bakteri

Streptococcus sp. memiliki koloni dengan ciri-ciri berwarna putih susu,

mempunyai bentuk bulat cembung dan menghemolisis darah. Isolat bakteri yang sudah dicirikan dibuatkan subkulturnya ke atas permukaan media agar darah dan diinkubasi kembali pada suhu 37 0C selama 24 jam. Suspensi bakteri

Streptococcus dibuat dengan mengambil satu öse dari koloni subkultur dan

dimasukkan ke tabung reaksi yang berisi NaCl 0,85%. Suspensi yang terbentuk disetarakan dengan larutan Mc. Farland #1 yang mempunyai kepadatan sel sebanyak 3 x 108 sel/ml (Bibiana, 1994).

3.6. Uji Aktivitas Antibakteri

3.6.1. Penentuan Zona Hambat

Sebanyak satu milliliter suspensi bakteri diteteskan ke atas media Agar Mueller-Hinton dan tetesan disebar menggunakan spatula. Media didiamkan sejenak pada suhu kamar hingga permukaan media mengering selam hingga kering. Lima sumur berdiameter 5-6 mm dibuat pada media dan setiap sumur ditetesi 50 µl fraksi ekstrak siwak dengan konsentrasi yang berbeda seperti yang

(31)

18

telah diterangkan di atas. Media diinkubasi pada suhu 37 0C selama 48 jam. Zona hambat diukur menggunakan kertas milimeter setelah masa inkubasi dicapai. 3.6.2. Penentuan Konsentrasi Daya Hambat Minimum (Minimum

Inhibitory Concentration, MIC)

Konsentrasi daya hambat minimum (MIC) didefinisikan sebagai konsentrasi terendah bahan anti-mikrobial yang menghambat pertumbuhan mikroba. MIC ditentukan dengan metode serial two-fold dillution (pengenceran ekstrak kelipatan dua secara berturut-turut) dalam Hinton Agar. Mueller-Hinton Agar dimasukkan ke cawan petri. Setelah Muller-Mueller-Hinton Agar kering kemudian diinokulasikan dengan 0,1 ml dari suspensi 1-5 x 106 CFU/ml bakteri

Streptococcus sp.. Tetesan bakteri Streptococcus sp selanjutnya disebar-ratakan

dengan hockey stick. Media didiamkan pada suhu 27 oC sampai permukaan media mengering. Lima sumur berdiameter 5-6 mm dibuat pada agar dan pada setiap sumur ditetesi 50 µl fraksi ekstrak siwak dengan konsentrasi berbeda. Satu cawan petri percobaan dibuat untuk lima konsentrasi fraksi ekstrak aseton. Jika semua tingkat konsentrasi diketahui mempunyai zona hambat lebih besar dari kontrol, penentuan konsentrasi daya hambat minimum dipilih dibawah konsentrasi terkecil dari lima konsentrasi penentuan zona hambat. Cara menentukan konsentrasi hambat minimum adalah dengan membagi dua konsentrasi 1000 g/ml secara berturut-turut sampai di bawah konsentrasi terkecil dari konsentrasi penentuan zona hambat. Nilai MIC ditentukan berdasarkan besarnya zona hambat di bawah zona hambat kontrol. Seluruh media yang diinokulasi diinkubasi pada suhu 370C selama 48 jam. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan streptomysin.

(32)

19

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Siwak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu siwak (Salvadora persica) dengan massa 2000 g dan kadar air 6,13% menghasilkan ekstrak 21,86 gram dalam pelarut aseton sebanyak 20 liter. Ekstrak tersebut selanjutnya difraksinasi secara bertingkat yang dimulai dengan larutan n-heksan, eter, dan etil asetat. Hasil fraksinasi terpapar dalam Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kandungan ekstrak aseton kayu siwak (Salvadora persica Wall.) dan hasil fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik.

Fraksi terlarut Berat Padatan (g) Kandungan dalam ekstrak aseton (%)* Kandungan dalam kayu siwak (%)* n-heksan 7,06 32,29 0,37 Eter 7,18 32,85 0,38 etil asetat 1,28 5,86 0,07 Residu 6,34 29,00 0,34 Ekstrak aseton 21,86 100 1,16

Ket: *) dihitung berdasarkan BKT

Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan zat ekstraktif dari yang non polar sampai polar. Pelarut-pelarut yang digunakan dalam proses fraksinasi bertingkat (n-heksan, etil asetat, dan eter) ternyata belum dapat melarutkan sebagian besar zat ekstraktif kayu siwak. Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya zat ekstraktif yang mudah menguap dan adanya ekstrak yang melekat (emulsi pada saat fraksinasi) pada funel separator yang sangat sulit untuk diambil dan dikeluarkan karena keterbatasan alat dan sifat zat ekstraktif dari kayu yang diuji. Jika mengabaikan jumlah ekstrak aseton yang hilang selama fraksinasi bertingkat, pelarut eter merupakan pelarut yang paling banyak melarutkan ekstrak aseton. Hasil fraksinasi dengan etil asetat merupakan fraksi terendah, yaitu sebesar 1,28 g. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak aseton kayu siwak sebagian besar bersifat non polar, karena kadar eter hasil fraksinasinya merupakan fraksi tertinggi. Ekstrak aseton lebih cenderung bersifat polar, karena residu hasil fraksinasinya lebih rendah dibanding kadar eter hasil fraksinasi.

Zat ekstraktif kayu umumnya terdapat pada bagian teras, walaupun terdapat sejumlah kecil pada kayu gubal. Zat ekstraktif pada pangkal pohon akan

(33)

20

lebih banyak dibanding bagian di atasnya. Hal ini dikarenakan pembentukan kayu teras adalah karena adanya sel yang mati, sedangkan bagian atas sel-selnya sedang aktif membelah. Zat ekstraktif pada kulit biasanya lebih banyak daripada bagian kayunya karena kulit kaya akan konstituen-konstituen tertentu yang dapat larut. Bagian cabang kayu kadang mengandung lebih banyak zat ekstraktif dibandingkan batangnya.

Pelarut yang digunakan untuk melarutkan zat ekstraktif pada suatu bahan tanaman memiliki kemampuan melarutkan yang berbeda-beda dan biasanya dinyatakan dengan konstanta dielektrik. Pelarut dengan konstanta dielektrik yang tinggi mempunyai kemampuan melarutkan yang lebih besar dibandingkan pelarut-pelarut yang konstanta dielektriknya lebih kecil. Zat ekstraktif kadang berada tersembunyi di belakang dinding sel, tergantung pada derajat polimerisasi dan

insolubitas-nya. Pelarut juga mempunyai batas sampai dia mulai berkurang daya

larutnya. Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi bahan dapat digunakan lagi setelah melalui evaporasi. Akan tetapi, daya larutnya diduga semakin berkurang. Oleh karena itu, jumlah zat ekstraktif yang dapat diekstraksi dari bahan tersebut juga semakin berkurang. Pemakaian ulang pelarut harus diperhatikan agar bahan dapat terekstrak dengan baik. Pemilihan pelarut dalam ekstraksi ditentukan oleh penguapannya, mudah tidaknya terbakar, titik didih, toksisitas, reaktivitas dan biaya. Titik didih yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan ekstrak pada suatu pemisahannya dengan pelarut. Jika pelarut mudah menguap maka akan menimbulkan efek yang berbahaya bagi operator maupun lingkungan. Potensi berbahaya dari pelarut harus dipertimbangkan. Pelarut yang mudah terbakar sebaiknya dihindari karena dalam pekerjaan kimia seringkali digunakan panas (Haunghton dan Raman 1998).

Perbedaan jumlah zat ekstraktif pada kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, tempat tumbuh, jenis (genetik), posisi dalam pohon, pelarut yang digunakan dan kecepatan pertumbuhan. Faktor lain yang mempengaruhi kadar zat ekstraktif pada kayu adalah ukuran serbuk, frekuensi pengadukan dalam perendaman, dan kadar air serbuk (Hillis 1987).

Zat ekstraktif merupakan hasil metabolisme sekunder dari tumbuhan yang terus-menerus menumpuk dan mengakibatkan kematian sel-sel pada tumbuhan

(34)

21

tersebut. Semakin lama proses ini terjadi maka semakin banyak substansi sisa yang menumpuk. Oleh karena itu, bertambahnya umur pohon umumnya bertambah pula kandungan zat ekstraktifnya. Hasil dari satu penelitian terhadap 480 contoh Pinus echinata yang hidup pada kondisi dan umur yang berbeda menunjukkan bahwa umur mempengaruhi jumlah zat ekstraktif lebih dari pengaruh yang lainnya (Hillis 1987). Pada kulit, disamping variasi yang terdapat di dalam spesies yang sama tergantung pada faktor-faktor seperti umur dan kondisi pertumbuhan pohon (Sjostrom 1993).

Kemampuan tumbuhan untuk mencukupi makanannya sangat didukung oleh karekteristik daerah tempat tumbuhan tersebut tumbuh. Semakin baik kondisi tempat tumbuh (sinar matahari, ketersediaan air, unsur hara, dan sebagainya) maka semakin banyak makanan yang bisa dihasilkan dan semakin baik pula pertumbuhannya. Dengan demikian, pertumbuhan metabolit sekunder atau zat ekstraktif akan semakin banyak pula.

Tidak ada pelarut tunggal yang dapat melarutkan semua zat ekstraktif yang ada (Rowel, 1984). Karena penelitian ini menggunakan aseton sebagai pelarutnya maka zat ekstraktif yang terlarut adalah yang bersifat cenderung polar karena pelarut aseton mempunyai sifat memiliki nilai polaritas dan konstanta dielektrik yang tinggi, dapat dicampur dengan air dalam berbagai perbandingan dan merupakan pelarut yang baik (Lestari, 2003).

Selain faktor pelarut, faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses ekstraksi adalah ukuran serbuk. Luas permukaan serbuk menentukan besarnya pelarut yang akan diabsorbsi oleh serbuk kayu. Ukuran serbuk 40-60 mesh merupakan ukuran yang ideal karena ukuran tersebut dirasa cukup efektif dalam proses absorbsi pelarut ke dalam seluruh bagian sel. Hal ini dkarenakan sel kayu sudah mulai terbuka dengan seimbang sehingga lebih memudahkan masuknya pelarut ke dalam sel.

Ukuran serbuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah kurang lebih dari 100 mesh sehingga mengakibatkan zat ekstraktif yang diperoleh kurang maksimal dikarenakan ukuran yang terlalu kecil (zat ekstraktif semakin cepat menguap pada saat penyimpanan sebelum perendaman). Hal ini tidak dapat dihindari karena bahan yang disediakan berukuran ± 100 mesh. Selain itu, faktor

(35)

22

yang mempengaruhi kecilnya zat ekstratif yang didapat adalah frekensi pengadukan. Semakin tinggi intesitas pengadukan maka semakin besar zat ekstraktif karena saat pengadukan dapat menyeragamkan masuknya pelarut dalam serbuk.

Menurut Syarif (2005), faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan proses ekstraksi adalah kadar air serbuk kayu. Faktor pengeringan dan pengkondisian kayu sebelum proses ekstraksi akan mempengaruhi besarnya kadar ekstraktif yang diperoleh. Adanya pengeringan serbuk sebelum proses ekstraksi akan membuat retakan kecil pada serbuk kayu sehingga jumlah ekstrak yang terlarut akan meningkat. Adaptasi kayu sebelum proses ekstraksi seperti lamanya penyimpanan kayu akan mempengaruhi banyaknya ekstraktif yang diperoleh. Semakin lama kayu disimpan maka semakin menurun kadar ekstraktifnya.

4.2.Sifat Antibakteri

Dalam menentukan ada tidaknya sifat antibakteri dapat dilakukan dengan menguji ekstrak kayu siwak terhadap pertumbuhan bakteri. Pengaruh suatu ekstrak kayu siwak terhadap pertumbuhan Streptococcus sp. dapat dilihat pada besar zona hambat (zona terang). Pengukuran zona hambat dilakukan dengan menggunakan kertas milimeter.

Gambar 4. Skema zona hambat dan cara pengukurannya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi-fraksi (n-heksana, eter, etil asetat dan residu) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus sp. yang hasilnya secara lengkap terpapar pada tabel dan gambar grafik di bawah ini.

Tabel 3 Lebar zona hambat pada bakeri Streptococcus sp. yang diberi fraksi terlarut ekstrak kayu siwak.

(36)

23

Lebar zona hambat (mm) dari fraksi terlarut Konsentrasi zat

ekstrak (mg/ml) n-heksan eter etil asetat residu

0 2 2 2 2 10 5 2,5 2 4,5 15 5,5 3,1 3,5 5 20 6,25 4,25 4,15 6 25 7 5,85 5 6,5 30 8,5 6,5 6 9

Gambar 5. Grafik zona hambat ekstrak kayu siwak

Dari grafik diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin besar zona hambat yang terbentuk dari masing-masing fraksi. Fraksi residu menunjukkan zona hambat yang paling tinggi dari fraksi-fraksi yang lain, yakni sebesar 4,5 – 9 mm, diikuti fraksi n-heksan (5 – 8,5 mm), eter (2,5 – 6,5 mm), dan fraksi etil asetat (2 – 6 mm). Jika melihat standar yang telah ada maka hasil zona hambat yang didapat termasuk dalam kelas respon zona hambat tidak ada (Ahn 1994 diacu dalam Pratama 2005). Tetapi tidak menutup kemungkinan konsentrasi di atas 30% dapat memberikan besar zona hambat di atas 10 mm. Contoh zona hambat pada Streptococcus sp. dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.

(37)

24

Gambar 6. Zona hambat pada

Streptococcus sp. Kandungan

ekstrak kayu siwak 30 mg/ml (Sumur 1), 25 mg/ml (Sumur 2), 20 mg/ml (Sumur 3), 15 mg/ml (Sumur 4), dan 10 mg/ml (Sumur 5)

Hasil zona hambat yang dihasilkan oleh zat ekstrak dari masing-masing fraksi terlarut terpapar pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Pengaruh pertumbuhan Streptococcus sp. setelah diberi perlakuan ekstrak kayu siwak.

Pembentukan zona hambat pada kadar (mg/ml) Zat ekstrak dari fraksi

terlarut 10 15 20 25 30

n-heksan + + + + +

Eter - + + + +

Etil asetat - + + - +

Residu + + + + +

Keterangan: (+) masih bisa menghambat; (-) tidak mampu menghambat

Setelah didapatkan zona hambat untuk tingkat kandungan 10 mg/ml, 15 mg/ml, 20 mg/ml, 25 mg/ml, dan 30 mg/ml maka hal yang dilakukan selanjutnya adalah mencari MIC. Tingkat kandungan ekstrak kayu siwak ditentukan dengan metode serial two-fold dilution, yakni dengan pengenceran ekstrak kelipatan dua secara berturut-turut. Tingkat kandungan ekstrak kayu siwak yang dibuat adalah 7,82 mg/ml, 3,90 mg/ml, 1,95 mg/ml, 0,97 mg/ml, 0,48 mg/ml, 0,24 mg/ml, 0,12 mg/ml, 0,06 mg/ml, dan 0,03 mg/ml. Dari berbagai tingkat kandungan tersebut tidak semua dipakai dalam pengujian untuk tiga fraksi terlarut dan residu. Hal ini dikarenakan adanya tingkat kandungan tertentu yang sudah mencapai nilai MIC.

(38)

25

Metode dalam menentukan nilai MIC sama dengan metode yang digunakan dalam mencari zona hambat dengan membandingkan kontrol.

Besarnya nilai konsentrasi daya hambat minimum (MIC) dari masing-masing fraksi dapat ditampilkan pada tabel berikut ini.

Tabel 5. MIC ekstrak kayu siwak terhadap bakteri Streptococcus sp..

Bakteri Fraksi MIC (mg/ml)

n-heksan 0,24 Eter 0,48 etil asetat 0,48 Residu 0,12 Streptococcus sp. Streptomycin* 0,03

*Obat baku anti bakteri

Dari tabel di atas dapat katakan bahwa fraksi residu memiliki nilai MIC yang lebih rendah dari fraksi-fraksi lain. Fraksi residu merupakan fraksi teraktif dari ekstrak kayu aseton kayu siwak dalam menghambat bakteri Streptococcus sp..

Penyebab rendahnya daya hambat yang telah diperoleh diduga disebabkan oleh pelarut awal yang digunakan. Pelarut aseton, yang digunakan sebagai pelarut awal mengekstraksi, memiliki sifat semipolar, sehingga dapat diduga tidak semua komponen kimia yang bersifat polar dapat terlarut. Pelarut aseton dipilih karena memiliki sifat toksisitas lebih rendah (toksisitas 1000 ppm) dibandingkan benzena (toksisitas 8 ppm), klofrom (toksisitas 10 ppm), dan toluena (toksisitas 200 ppm) (Reichardt 1988). Penyebab yang lain adalah kondisi kayu siwak tersebut, yakni berupa lingkungan tempat hidup, umur, dan pengambilan bahan uji dari bagian pohon tersebut. Lingkungan yang subur dapat mengakibatkan tanaman siwak memiliki zat ekstraktif yang sedikit daripada pohon siwak yang terdapat di lingkungan sedikit air. Umur dan pengambilan bahan uji pada pohon tersebut sangat berpengaruh terhadap banyak dan sedikitnya zat ekstraktif. Umur yang muda memiliki zat ekstraktif lebih sedikit dibandingkan dengan pohon siwak yang berumur tua. Pengambilan bahan uji juga memiliki pengaruh yakni letak bagian kayu yang diambil seperti pada akar, batang, dan ranting.

Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri Streptococcus sp. diduga disebabkan adanya zat antibakteri pada kayu siwak seperti trimetilamin dan fluorida. Trimetilamin dapat merusak tegangan permukaan lapisan membran sel sehingga membran sel dapat kehilangan sifat permeabilitasnya. Apabila sifat

(39)

26

permealibitas pada membran sel hilang maka aliran keluar masuknya bahan-bahan dan zat tertentu akan terganggu sehingga dapat mengganggu metabolisme dan menyebabkan kematian pada bakteri tersebut. Sementara itu, fluorida dapat mendenaturasi protein dan membuat enzim tidak berkerja pada membran sel sehingga metabolisme bakteri terganggu (Pratama, 2005).

(40)

27

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Kayu Siwak (Salvadora persica Wall.) mengandung ekstrak aseton

sebesar 1,16%. Hasil fraksinasi aseton ini menunjukkan kayu siwak mengandung 0,37% fraksi n-heksan, 0,38% fraksi eter, 0,07% fraksi etil asetat, dan 0,34% residu.

2. Hasil pengujian sifat antimikroba menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan zat eksraktif dalam fraksi-fraksi aseton kayu siwak maka zona hambat semakin besar. Nilai MIC yang diperoleh untuk fraksi n-heksan sebesar 0,24 mg/ml, fraksi eter sebesar 0,48 mg/ml, fraksi etil asetat sebesar 0,48 mg/ml, dan residu sebesar 0,12 mg/ml.

3. Berdasarkan klasifikasi respon pertumbuhan bakteri menunjukkan bahwa besar zona hambat yang dihasilkan residu masih di kelas tidak ada respon pertumbuhan bakteri.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan Analisis lebih lanjut terhadap residu untuk mengetahui senyawa yang bertanggung jawab terhadap penghambatan tersebut.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan pelarut metanol dan etanol untuk mengetraksi kayu siwak, karena dalam penelitian ini menggunakan pelarut aseton yang diperkirakan tidak bisa melarutkan semua komponen kimia yang diduga dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus sp.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi di atas 30% yang diduga dapat memberikan pengaruh terhadap besar zona hambat pertumbuhan Streptococcus sp. yang lebih baik.

(41)

28

DAFTAR PUSTAKA

Abad MJ, Ansuategui M, dan Bermejo P. 2007.Active Antifungal Substances from Natural Sources. Arkivoc (vii): 116-145

Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.

Adnan, Mochamad. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Yogyakarta: ANDI.

Alfalahi K. 2005. Uji Toksisitas Zat Ekstraktif Kulit Batang Pulai (Alstonia

scholaris R. BR.) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test [Skripsi].

Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Al - Khateeb TL, OMullane DM, Whelton H and Sulaiman Ml. 1991.Periodontal treatment needs among Saudi Arabian adults and their relation- ship to the use of the Miswak. Comm. Dent. Health 8:323-28

Al-Lafi T. and Ababneh H., 1995, The effect of the extract of the miswak (chewing sticks) used in Jordan and the Middle East on oral bacteria. Cardiff: University of Wales College of Medicine, Dental School, Periodontology Department. International Dental Journal 45:218-22 Almas, K., 2002, The effect of Salvadora persica extract (miswak) and

chlorhexidine gluconate on human dentin: a SEM study. J. Contemp.

Dent. Pract, 3: 27-35

Anonim. 2009. Streptococcus sp. http://dic.academic.ru/dic.nsf/enwiki/18058 [1 September 2009]

Argaankim. 2008. Pengaruh Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans dan

Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar. http://argaankim.wordpress.com.

[1 September 2009]

Cahyana, Gede. 2006. Siwak. http://gedehace.blogspot.com. [10 September 2009] Darout and Ismail A. 2000. Antimicrobial Anionic Components In Miswak

(42)

29

El-Mostehy, DR. Ragaii M, Al-Jassem A.A, Al-Yassin I.A, El-Gindy AR, Shoukry E. 1983, Siwak-As An Oral Health Device (Preliminary Chemical And Clinical Evaluation). Hamdard, 26: 41-50

Fengel D. dan Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, ltrastruktur, Reaksi-reaksi Edisi 2 (Trj.). Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Harborne, JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.

Hardie, J.M. (1982). The Microbiology of Dental Caries. Dental Update, 9: 199-208

Hillis WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: Springer-Verlag.

Holloway, P.J. (1983). The role of sugar in the etiology of dental caries. J.

Dentistry, 11: 189-213.

Houngton PJ, Raman A. 1998. Laboratory handbook for the Fractionation of Natural Extracts. London: International Thomson Publishing.

Khoory T. 1983. The use of chewing sticks in preventive oral hygiene. Clin.

Prevent. Dentistry. 5: 11-14.

Lay, Bibiana W. 1994. Analisis Mikroba di Labotarium. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Lestari H. 2003. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Pilang (Acacia leucophloea Wild.). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. [Tidak diterbikan] Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB. Panshin A.J, Zeeuw C. 1980. Text Book of Wood Technology. New York:

McGraw-Hill Book Company, Inc.

Pelczar M.J, Chan E.C.S. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Edisi 2. Penerjemah Ratna Siri Hadioetomo. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Press

Pratama, Moch Rachdie

,

2005. Pengaruh Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora

persica) Terhadap Bakteri Streptoccus mutans dan Staphylococcus aureus dengan Metode Difusi Agar [Skripsi]. Surabaya. Program Studi

Biologi, FMIPA ITS.

Rowel R. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington DC, USA: American Chemical Society.

Reichardt. 1988. Solvents and Solvent Effects in Organic Chemistry. VCH Verlags Weinheim, Germany.

(43)

30

Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu,Dasar-dasar Pengguanaan. Edisi 2. Penerjemah H. Sastrohamidjojo. Penyunting S. Prawirohatmojo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Pusat Antar Universitas. Bogor: Bioteknologi Institut Pertanian Bogor

Syarif, Fahmi. 2005. Sifat Anti-Jamur Zat Ekstraktif Kayu Pilang (Acacia

leucophloea Willd.). [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan, Institut

Pertanian Bogor

Vickery ML. And Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. London and Basiing Stoke: The Mcmillan Press Ltd.

Walker JCF. 2006. Primary Wood Processing Principles and Practice. London : Springer.

(44)

31

LAMPIRAN

Sub kultur mikroba Ose

Hockey stick Mikropipet

(45)

32

Inkubator NaCl

Alkohol fraksi eter

(46)

33

Residu Vortex

Gambar

Gambar 1. Tanaman Siwak (Salvadora persica). (Argaankim, 2008)
Gambar 2. Bakteri Streptococcus sp. (Anonim 2009)
Tabel 1. Nilai konstanta dielektrik pelarut.
Gambar 3. Bagan proses ekstraksi dan fraksinasi kayu siwak  3.3.2.  Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak
+6

Referensi

Dokumen terkait

exclusive, yang diberi judul: ” Pengaruh Pelayanan Prima Terhadap Loyalitas Konsumen (Studi Kasus Pada Usaha Pangkas Exclusive di Jalan Karya Wisata Medan ” ). 1.2

PLT pejabat eselon II Kepala Satuan Organisasi Perangkat Daerah dapat diangkat dari Asisten Sekretaris Daerah, Pejabat eselon II lainnya atau Pejabat eselon III di lingkungan

Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah

(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus diisi dengan jelas benar dan lengkap serta ditanda tangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya disertai dengan lampiran-lampiran

Penambahan Komposisi Cu, Pb dan Sn dapat meningkatkan sifat mekanik bahan yang meliputi kekuatan tarik dan kekerasan permukaan (sifat mekanis seperti kekuatan tarik, kekerasan

Pembeli futures setuju untuk membeli sesuatu (suatu komoditi atau aset tertentu) dari penjualA. futures , dalam jumlah tertentu, dengan harga tertentu, dan pada batas waktu

Pelayanan yang diberikan pada bayi usia 0-28 hari dan mengacu kepada Pelayanan Neonatal Esensial sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25

Dalam indeks Treynor, kinerja portofolio dilihat dengan cara menghubungkan tingkat return portofolio dengan besarnya risiko dari.