• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisis Laminasi Bambu

Pengujian sifat fisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengujian kadar air, daya serap air dan delaminasi. Data hasil pengujian sifat fisis disajikan pada tabel 7.

Tabel 7. Data rata-rata hasil pengujian sifat fisis papan laminasi bambu betung Keberadaan Kulit Kadar Air

(%)

Daya Serap Air (%) Delaminasi (%) Tanpa kulit 12,39 39,19 43,31 Kulit 13,33 19,69 38,17 JAS SE-7-2003 ≤ 14 ≤ 20 ≤ 67 Kadar air

Kadar air laminasi bambu adalah nilai yang menunjukkan banyaknya air yang ada dalam laminasi bambu yang dinyatakan dalam persen. Standar JAS SE-7-2003 mensyaratkan bahwa laminasi untuk

flooring mempunyai kadar air sebesar ≤14%. Kadar air papan laminasi bambu disajikan pada gambar 11

12,39 13,33 0 2 4 6 8 10 12 14

Tanpa Kulit Kulit

K a d a r A ir (% ) Keberadaan Kulit 14% (JAS SE-7-2003)

Gambar 11 menunjukan bahwa kadar air laminasi bambu memenuhi standar JAS SE-7-2003 yang mensyaratkan kadar air sebesar

≤14%. Rata-rata kadar air tertinggi pada perlakuan laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit yaitu sebesar 13,33%. Sedangkan kadar air terendah pada perlakuan laminasi bambu tanpa mengikutsertakan kulit yaitu sebesar 12,39%.

Laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit menyebabkan air akan menguap bebas karena permukaan melintang vascular bundle

tidak terhalang oleh kulit. Sedangkan laminasi bambu yang

mengikutsertakan kulit mempunyai kadar air lebih besar. Hal ini diduga berhubungan dengan kandungan silika di dalam kulit bambu. Ikatan antar atom silika dalam kulit bambu sangat kuat sehingga menghalangi keluar masuknya air. Seperti yang dikemukakan oleh Fatriasari dan Hermiati (2006) yang menyatakan bahwa silika banyak terdapat pada kulit tanaman bambu. Silika merupakan mineral yang keras yang bersifat chemical inert

(tidak bereaksi terhadap bahan kimia apapun) dan memiliki titik leleh yang tinggi yang menunjukkan kuatnya ikatan antar atomnya. Selain itu Misdarti (2004) juga menyatakan bahwa pembuatan bambu laminasi sebaiknya tidak mengikutsertakan kulit baik bagian luar maupun bagian dalam agar pengeringan bambu lebih efisien. Artinya bahwa kulit bambu dapat menghambat proses penguapan air ke permukaan.

Hasil sidik ragam yang tertera pada lampiran 3 menunjukkan bahwa keberadaan kulit tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air laminasi bambu.

Daya Serap air

Daya serap air lamiasi bambu adalah banyaknya air yang mampu diserap oleh papan laminasi setelah perendaman. Standar JAS SE-7-2003 mensyaratkan nilai daya serap air sebesar ≤20%. Daya serap air papan laminasi bambu disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Daya serap air laminasi bambu

Gambar 12 menunjukkan bahwa daya serap air laminasi bambu yang tidak mengikutseratkan kulit tidak memenuhi standar JAS SE-7-2003 yaitu sebesar 39,19%. Sedangkan laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit memenuhi standar yaitu sebesar 19,69%.

Pada laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit daya serap air lebih besar sedangkan pada laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit daya serap air lebih kecil. Hal ini terjadi karena adanya kulit yang melapisi laminasi bambu, sehingga pada saat dilakukan perendaman, air yang akan masuk ke dalam laminasi bambu akan tertahan oleh kulit, yang menyebabkan air sulit menyerap ke dalam laminasi bambu tersebut.

39,19 19,69 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Tanpa Kulit Kulit

D aya S e r ap Ai r ( % ) Keberadaan Kulit 20% (JAS SE-7-2003)

Sedangkan pada laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit, air secara bebas masuk ke dalam laminasi bambu sehingga daya serapnya lebih tinggi dibandingkan dengan laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit. Hal ini hampir sama pada pengujian kadar air, dimana kulit bambu menghalangi air menguap ke permukaan, sedangkan pada pengujian daya serap air, kulit bambu menghalangi air masuk ke dalam bambu. Seperti pernyataan dari Misdarti (2004) yang menyatakan bahwa kulit bambu dapat menghambat proses penguapan air pada bambu, begitu juga sebaliknya.

Berdasarkan hasil sidik ragam yang tertera pada lampiran 3 untuk pengujian daya serap air menunjukkan bahwa keberadaan kulit memiliki pengaruh yang nyata terhadap daya serap air.

Delaminasi

Delaminasi merupakan lepasnya ikatan antara perekat dengan bahan yang direkat dan digunakan untuk menguji kemampuan perekat dalam menyatukan bahan. Tan (1992) menyebutkan bahwa delaminasi mencirikan kualitas perekat. Tidak terjadinya delaminasi pada bambu lapis menunjukkan keunggulan produk bambu lapis. Nilai delaminasi papan laminasi disajikan Gambar 13.

Gambar 13. Delaminasi laminasi bambu

Dari gambar 13 delaminasi di atas terlihat bahwa delaminasi laminasi bambu memenuhi standar JAS SE-7-2003 yang mensyaratkan maksimal delaminasi yang terjadi sebesar 2/3 dari sampel atau setara dengan 66,67%. Rata-rata delaminasi tertinggi terjadi pada laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit yaitu sebesar 43,31%. Sedangkan delaminasi terendah terjadi pada laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit yaitu sebesar 38,17%.

Pembuatan laminasi bambu pada penelitian ini menggunakan

perekat PVAc. Pada beberapa literatur menyebutkan bahwa perekat PVAc mempunyai kelemahan yaitu tidak tahan terhadap air. Seperti yang dikemukakan oleh Pizzi (1983) bahwa polyvinyl asetat memiliki kekurangan yaitu sangat sensitif terhadap air, sehingga penggunaanya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air. 43,31 38,17 0 10 20 30 40 50 60 70

Tanpa kulit Kulit

D e la m in a si ( % ) Keberadaan Kulit 66,67% (JAS SE-7-2003)

Namun kenyataannya pada penelitian ini, uji delaminasi yang dilakukan terhadap papan laminasi bambu tidak seluruhnya mengalami delaminasi. Delaminasi pada penelitian ini umumnya terjadi pada bagian perekatan arah lebar. Hal ini diduga terjadi akibat pengempaan yang dilakukan pada arah tebal cukup baik, sehingga delaminasi pada arah tebal tidak terlalu besar, dibandingkan dengan delaminasi pada arah lebar.

Berdasarkan tabel hasil sidik ragam yang tertera pada lampiran 3 untuk perhitungan delaminasi terlihat bahwa keberadaan kulit tidak memiliki pengaruh nyata terhadap delaminasi pada laminasi bambu.

Sifat Mekanis Laminasi Bambu

Pengujian sifat mekanis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengujian bending strenght meliputi pengujian MOE dan MOR untuk melihat perubahan defleksi yang terjadi dan pengujian keteguhan rekat permukaan (KRP). Data hasil pengujian sifat mekanis disajikan pada tabel 8.

Tabel 8. Data rata-rata hasil pengujian sifat mekanis papan laminasi bambu betung Keberadaan Kulit Posisi Pengujian MOE (Kgf/cm2) MOR (Kgf/cm2) Perubahan Defleksi (∆y) (mm) KRP (Mpa) Tanpa Kulit Arah Tebal 5797,6 2216,11 0,21

Arah Lebar 4583,1 2014,4 0,132 Kulit Arah Tebal 15859,33 4060,88 0,3717

Arah Lebar 4984,33 2728,76 0,1767

JAS SE-7-2003 ≤ 3,5

Tanpa Kulit 0,58

Kulit 0,19

SNI ISO 16981-2012 - ≥0,01

MOE (Modulus of Elasticity)

Pengujian ini dilakukan untuk melihat ukuran kemampuan bahan dalam mempertahankan perubahan bentuk akibat beban yang

mengenainya. Pengujian ini bertujuan untuk mencari nilai sifat keteguhan lentur (MOE) papan laminasi bambu. Nilai MOE papan laminasi bambu disajikan pada Gambar 14.

Gambar14. Nilai MOE laminasi bambu

Pada gambar14 perbedaan besaran nilai MOE ini disebabkan oleh faktor keberadaan kulit dan posisi pengujian. Seperti yang tertera pada hasil sidik ragam untuk pengujian MOE bahwa kulit dan posisi pengujian serta interkasi antar kedua faktor ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai MOE laminasi bambu. Tingginya nilai MOE menunjukkan tingginya nilai keteguhan lentur atau menandakan bahwa tingginya kekakuan pada laminasi bambu tersebut.

MOE tertinggi terdapat pada laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit dengan posisi pengujian pada arah tebal yaitu sebesar 15.859 kgf/cm2. Sedangakan nilai MOE terendah terdapat pada laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit dengan posisi pengujian pada arah lebar yaitu sebesar 4583.1Kgf/cm2. Tingginya nilai

5797,6 15859,33 4583,1 4984,33 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000

Tanpa Kulit Kulit

MO E (K g f/ c m 2 ) Keberadaan Kulit Arah Tebal Arah Lebar

MOE pada laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit disebabkan karena kulit bambu pada papan laminasi berperan dalam menambah kekakuan dan kekuatan pada laminasi bambu tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Morisco (2006) yang menyebutkan bahwa penggunaan kulit luar pada permukaan balok bambu laminasi menambah kekakuan dan kekuatan sehingga beban rata-rata yang bekerja dengan lendutan yang samapada balok laminasi naik 24%.

Dalam penelitian, Wenwei dan Taihui (1995) menunjukkan bagaimana bentuk morfologi dari vascular bundle untuk beberapa genus bambu, salah satunya merupakan genus Dendrocalamus (gambar 1). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin mendekati kulit keberadaan

vascular bandle semakin rapat dan padat. Ditambah lagi keberadaan silika yang tinggi di dalam kulit menyebabkan laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit akan semakin kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jansen (1985) yang menyatakan bahwa kulit terluar bambu banyak mengandung silika. Silika dapat memperbaiki daya tahan alami pada bambu. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa puncak kekuatan mekanis secara signifikan dipengaruhi oleh kebedaraan silika. Sementara itu, Espiloy (2000) menyatakan bahwa perbedaan panjang serat dan frekuensi vascular bundle juga menunjukkan korelasi positif terhadap nilai kekuatan mekanis bambu.

Pengaruh posisi pengujian juga terlihat pada perbedaan nilai MOE papan laminasi bambu. Posisi pengujian pada arah tebal memiliki nilai MOE yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan posisi pengujian pada

arah lebar. Hal ini disebabkan karena posisi pengujian pada arah tebal memiliki 2 lapisan, sehingga diperlukan beban yang lebih tinggi untuk melewati lapisan-lapisan pada papan laminasi. Sedangkan posisi pengujian pada arah lebar, lapisan mengarah ke samping bukan ke bawah, oleh sebab itu beban yang diperlukan tidak terlalu besar. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Purnomo (2001) yang meneliti tentang perilaku mekanika struktur bambu untuk rumah susun yang menyatakan bahwa untuk mengetahui posisi penggunaan terbaik harus dilakukan pengujian pada bambu lamina, agar posisi penggunaan lebih tepat. Namun biasanya laminasi yang menggunakan beberapa lapisan akan menghasilkan kekuatan yang lebih tinggi, sehingga penggunaannya lebih baik ditumpukan pada bidang yang tegak lurus pada arah lapisan.

Oleh karena itu laminasi dengan menggunakan kulit dan posisi pengujian pada arah tebal akan memiliki nilai MOE yang lebih tinggi daripada laminasi bambu yang tidak menggunakan kulit dan posisi pengujian pada arah lebar. Sesuai dengan hasil uji lanjut DMRT yang tertera pada lampiran 3 bahwa pengaruh kulit dan posisi pengujian pada arah tebal menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dari perlakuan lainnya.

MOR (Modulus of Rupture)

Pengujian merupakan suatu besaran yang menunjukkan ketahanan yang dimiliki suatu bahan untuk tidak patah ketika diberi beban. Pengujian ini bertujuan untuk mencari nilai sifat keteguhan patahpapan laminasi bambu. Nilai MOR papan laminasi bambu disajikan pada gambar 15.

Gambar 15. Nilai MOR laminasi bambu

Pada gambar 15 perbedaan besaran nilai MOR disebabkan oleh faktor keberadaan kulit namun posisi pengujian tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan. Seperti yang tertera pada lampiran 3 analisis sidik untuk pengujian MOR bahwa kulit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai MOR laminasi bambu. Sedangkan posisi pengujian dan interaksi kedua faktor tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan gambar 15, MOR tertinggi terdapat pada laminasi bambu menggunakan kulit dengan posisi pengujian pada arah tebal yaitu sebesar 4060.88Kgf/cm2. Sedangakan nilai MOR terendah terdapat pada laminasi bambu yang tidak menggunakan kulit dengan posisi pengujian pada arah lebar yaitu sebesar 2014,4Kgf/cm2.

Tingginya nilai MOR pada laminasi bambu menggunakan kulit disebabkan karena kulit bambu pada papan laminasi berperan dalam menambah kekuatan pada laminasi bambu tersebut. Seperti yang

2216,11 4060,88 2014,4 2728,76 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500

Tanpa Kulit Kulit

MO R (K g f/ c m 2 ) Keberadaan Kulit Arah Tebal Arah Lebar

dikemukakan oleh Morisco (1999) berdasarkan penelitiannya tentang kekuatan kulit bambu yang menyatakan bahwa bambu bagian luar mempunyai kekuatan jauh lebih tinggi dari pada bambu bagian dalam. Kekuatan yang tinggi ini diperoleh dari kulit bambu. Serta menurut penelitian Nasriadi (2002) yang menyatakan bahwa bagian yang terkuat pada bambu adalah bagian terluar terutama kulit. Kekuatan bambu bagian luar (kulit) ini sangat jauh lebih tinggi dari kekuatan bambu bagian dalam. Pembebanan pada balok laminasi vertikal adalah pada arah tangensial, sehingga yang menjadi kontrol terhadap kekuatan adalah bambu bagian luar. Hal ini menyebabkan kekuatan rata-ratanya menjadi tinggi.

Perubahan defleksi

Nilai perubahan defleksi diperoleh dari hasil pengujian MOE dan MOR. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui nilai perubahan bentuk dalam arah y, akibat adanya pembebanan vertikal yang diberikan pada laminasi bambu. Nilai perubahan defleksi berbanding lurus dengan nilai keteguhan lentur (MOE). Nilai perubahan defleksi papan laminasi bambu disajikan pada gambar 16.

Gambar16. Perubahan defleksi laminasi bambu

0,21 0,132 0,37170,1767 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

Tanpa Kulit Kulit

P eru b a h a n D ef lek si ( mm) Keberadaan Kulit Arah Tebal Arah Lebar ∆y<3,5 mm (JAS SE-7-2003)

Dari gambar 16 perubahan defleksi di atas terlihat bahwa perubahan defleksi laminasi bambu memenuhi standart JAS SE-7-2003 yang mensyaratkan maksimal perubahan defleksi yang terjadi sebesar <3,5mm dari sampel. Rata-rata perubahan defleksi tertinggi terjadi pada laminasi bambu dengan menggunakan kulit yaitu sebesar 0.3717mm. Sedangkan perubahan defleksi terendah terjadi pada laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit yaitu sebesar 0.132mm.

Berdasarkan hasil sidik ragam yang tertera pada lampiran 3 perubahan defleksi menunjukkan bahwa kulit dan posisi pengujian serta interaksi antar kedua faktor ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai perubahan defleksi laminasi bambu. Tingginya perubahan defleksi berbanding lurus dengan nilai MOE yang menandakan tingginya nilai keteguhan lentur atau menandakan bahwa tingginya kekakuan pada laminasi bambu tersebut.

Hal ini menerangkan bahwa kulit dan posisi pengujian pada arah tebal dapat mempengaruhi nilai perubahan defleksi pada uji bending strength. Hal ini sesuai pernyataan Morisco (1999), Morisco (2006) dan Nasriadi (2002) yang menyatakan bahwa adanya kulit bambu dapat meningkatkan sifat mekanis laminasi bambu. Serta penrnyataan Purnomo (2001) yang menyatakan bahwalaminasi yang menggunakan beberapa lapisan akan menghasilkan kekuatan yang lebih tinggi, sehingga penggunaannya lebih baik ditumpukan pada bidang yang tegak lurus pada arah lapisan.

Keteguhan Rekat Permukaan (KRP)

Pengujian keteguhan rekat permukaan bertujuan untuk menentukan besarnya daya rekat papan laminasi bambu yang diberikan gaya tarik dengan arah berlawanan hingga contoh uji rusak/lepas ikatannya per satuan luas. Pengujian keteguhan rekat permukaan papan laminasi bambu disajikan dalam gambar 17.

Gambar 17. Keteguhan rekat permukaan laminasi bambu

Dari gambar 17 keteguhan rekat permukaan di atas terlihat bahwa keteguhan rekat permukaan laminasi bambu memenuhi standar JAS SE-7-2003 yang mensyaratkan sebesar ≥0.01 Mpa dari sampel. Rata-rata keteguhan rekat permukaan tertinggi terjadi pada laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit yaitu sebesar 0.58 Mpa. Sedangkan keteguhan rekat permukaan terendah terjadi pada laminasi bambu dengan menggunakan kulit yaitu sebesar 0.19 Mpa.

Berdasarkan hasil sidik ragam yang tertera di lampiran 3 untuk pengujian keteguhan rekat permukaan, terlihat bahwa keberadaan kulit

0,58 0,19 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

Tanpa Kulit Kulit

K e te g uha n R e ka t P e r m uka a n (M P a ) Keberadaan Kulit 0,01 MPa (JAS SE-7-2003)

memiliki pengaruh yang nyata terhadap keteguhan rekat permukaan. Pada laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit, nilai keteguhan rekat permukaan lebih rendah dibandingkan dengan laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit. Hal ini terjadi karena adanya kulit yang melapisi laminasi bambu.

Kulit bambu mengandung silika yang tinggi sehingga menghambat proses perekatan dan menjadikan nilai perekatan menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fatriasari dan Hermiati (2006) yang menyatakan bahwa Bambu merupakan salah satu jenis rumput-rumputan, dimana kandungan silika lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kayu. Persentase silika menunjukkan upaya tanaman tersebut melindungi dirinya terhadap lingkungan. Silika banyak terdapat pada kulit tanaman bambu sehingga kulit memilki kandungan silika yang tinggi. Kandungan silika yang tinggi dapat menghambat proses perekatan.

Proses perekatan terhambat dikarenakan perekat tidak melakukan penetrasi (masuknya bahan perekat kedalam bahan yang direkat) ke dalam laminasi bambu karena tertahan oleh kulit bambu. Hal ini seperti yang dikemukakann oleh Masdar dkk (2008) bahwa dalam pembuatan balok bambu laminasi perlu memperhatikan apakah lapisan kulit terluar masihada apa tidak, karena lapisan kulit bambu menyebabkan perekat tidak melakukan penetrasi (masuknya bahan perekatkedalam bahan yang direkat). Hal ini sangat berpengaruh terhadap kekuatan balok laminasi bambu karenadapat mengurangi kekuatan balok.

Oleh sebab itu laminasi bambu yang mengikutsertakan kulit akan memiliki nilai keteguhan rekat permukaan yang sangat kecil jika dibandingkan dengan laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit. Sedangkan posisi pengujian pada pengujian keteguhan rekat permukaan ini tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap keteguhan rekat permukaan laminasi bambu.

Kualitas Papan Laminasi Bambu Betung

Berdasarkan hasil pengujian sifat fisis dan mekanis papan laminasi, diperoleh rekapitulasi kualitas papan laminasi berdasarkan Standar JAS SE-7 2003 dan SNI ISO 16981-2012 serta menurut rancangan percobaan yang telah dilakukan. Rekapitulasi kualitas papan laminasi dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rekapitulasi kualitas papan laminasi bambu betung berdasarkan JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012

Pengujian Keberadaan Kulit - KA (%) DSA (%) D (%)

Sifat Fisis Tanpa Kulit - 12,39* 39,19 43,31*

Kulit - 13,33* 19,96* 38,17* JAS SE-7-2003 - ≤ 14 ≤ 20 ≤ 67 Keberadaan Kulit Posisi Pengujian MOE (Kgf/mm) MOR (Kgf/mm) ∆y (mm)

Sifat Mekanis Tanpa Kulit Arah tebal 5797,6 2216,1 0,2087*

Arah lebar 4583,1 2014,4 0,132*

Kulit Arah tebal 15859 4060,8 0,3717*

Arah lebar 4984,33 2728,7 0,1767* JAS SE-7-2003 - - ≤ 3,5 mm Keberadaan Kulit - Nilai KRP (MPa) - -

Sifat Mekanis Tanpa Kulit Kulit - - 0,58* 0,19* - - - - SNI ISO 16981-2012 - ≥0,01 - - Keterangan: * : memenuhi standar

Papan laminasi yang dibuat dalam penelitian ini memiliki nilai rataan kadar air, delaminasi, perubahan defleksi, dan keteguhan rekat permukaan yang

memenuhi standart JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012. Namun pada daya serap air hanya papan laminasi yang mengikutsertakan kulit yang masuk dalam standart JAS SE-7-2003, sedangkan pada papan laminasi yang tidak mengikutsertakan kulit nilai daya serap airnya tidak memenuhi standart.

Keberadaan kulit dan posisi arah pengujian terbukti memberikan pengaruh yang signifikan pada pengujan mekanis untuk perubahan defleksi. Sedangkan pengujian keteguhan rekat permukaan hanya pengaruh kulit saja yang memberikan dampak terhadap nilai sifat mekanisnya, sementara posisi arah pengujian tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Pada pengujian sifat fisis, keberadaan kulit cukup memberikan pengaruh sedangkan posisi arah pengujian tidak memberikan pengaruh terhadap papan laminasi.

Penentuan perlakuan papan laminasi terbaik dari penelitian yang telah dilakukan, mengggunakan parameter berupa sifat fisis dan mekanis yang diuji berdasarkan standar JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012. Berdasarkan parameter tersebut, terlihat bahwa perlakuan terbaik dari papan laminasi yang diujikan adalah dengan mengikutsertakankulit dan posisi pengujian pada arah tebal.

Kekurangan papan laminasi bambu yang menggunakan kulit yaitu memiliki nilai estetika yang rendah, namun memiliki kelebihan lebih kuat jika dibandingkan dengan papan laminasi yang tidak mengikutsertakan kulit. Sedangkan kekurangan papan laminasi bambu yang tidak mengikutsertakan kulit yaitu memiliki kekuatan lebih rendah, namun memiliki nilai estetika yang lebih baik jika dibandingkan dengan papan laminasi menggunakan kulit.

Berdasarkan standar JAS SE-7 2003 dan SNI ISO 16981-2012, maka dapat disimpulkan bahwa papan laminasi bambu betung yang dapat diterapkan untuk penggunaan flooring (lantai) adalah papan laminasi yang mengikutsertakan kulit dan posisi pengujian pada arah tebal, dilihat dari nilai rata-rata pengujian sifat fisis dan mekanisnya memenuhi standar. Papan laminasi yang mengikutsertakan kulit, sebaiknya diberikan penambahan perlakuan seperti pemberian lapisan permukaan papan laminasi untuk mempertahankan kualitas kekuatan laminasi. Mengingat perekat yang digunakan pada pembuatan papan laminasi ini adalah perekat PVAc (sensitif terhadap air), walaupun pada penelitian ini nilai delaminasi papan laminasi memasuki standar, tidak menutup kemungkinan jika papan laminasi ini akan mengalami delaminasi jika terlalu sering berhubungan dengan air. Oleh sebab itu pemberian lapisan permukaan pada papan laminasi untuk penggunaan lantai cukup baik dilakukan guna mempertahankan kualitas kekuatan laminasi.

Apabila tidak diterapkan untuk penggunaan flooring, maka pemberian lapisan permukaan tidak terlalu penting dilakukan, sebaiknya dilakukan finishing

seperti memberikan vernish untuk meningkatkan nilai estetika papan laminasi bambu.

Dokumen terkait