• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warna Bulu, Pola Warna, Corak dan Kerlip Bulu

Sifat-sifat eksternal yang diamati pada penelitian ini meliputi warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip bulu, bentuk jengger dan warna shank. Frekuensi warna bulu, pola warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank dan bentuk jengger disajikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Frekuensi Fenotipe Warna Bulu, Pola Bulu, Corak Bulu, Kerlip Bulu, di Peternakan AT3

Sifat Jumlah Ayam Frekuensi

Warna Bulu Coklat Coklat Keemasan Coklat Kemerahan Putih Pola Bulu Hitam Liar Colombian Corak Bulu Lurik Polos Kerlip Bulu Perak Emas (ekor) 300 700 263 9 15 1.251 6 9 1.263 58 1.214 (%) 23,587 55,034 20,761 0,708 1,179 98,349 0,472 0,705 99,295 4,559 95,441

Ayam Merawang memiliki bulu berwarna. Warna bulu pada ayam Merawang terdapat tiga macam yaitu coklat, coklat keemasan dan coklat kemerahan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna bulu pada penelitian ini hampir mendekati seragam. Tabel 3 menunjukkan frekuensi fenotipe warna bulu yaitu berwarna sebesar 99,29% (1.263 ekor), terdiri dari warna coklat dengan frekeunsi fenotipe 23,58% (300 ekor), coklat keemasan dengan frekuensi fenotipe 55,03% (700 ekor) dan warna coklat kemerahan dengan frekuensi fenotipe 20,76% ( 263 ekor).

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sesmira (2002) yang melaporkan bahwa frekuensi fenotipe warna bulu ayam Merawang sebesar 87,67% berwarna, 10,00% putih dan hitam 3,33%. Berbeda pula dengan hasil penelitian Sulistyowati (2002) bahwa frekuensi fenotipe warna bulu ayam Merawang sebesar 50,00% coklat kemerahan, 22,22% coklat keemasan, 20,37% coklat, 5,56% hitam dan 1,85% putih.

Ekspresi berwarna pada bulu dipengaruhi oleh gen (i). Ekspresi gen (i) Ayam Merawang diekspresikan dengan warna coklat dengan variasi warna yaitu coklat kemerahan dan coklat keemasan. Hal ini sama dengan ayam Kampung seperti yang dikemukakan Nishida et al. (1980) bahwa konsistensi gen pengontrol karakteristik eksternal pada ayam Kampung untuk bulu adalah berwarna (i).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada sembilan ekor berwarna putih dengan frekuensi fenotipe sebesar 0,70%. Warna putih pada unggas disebabkan oleh adanya gen penghambat warna (I) juga disebabkan karena tidak adanya gen warna sehingga tidak ada pigmentasi pada bulu atau tidak memiliki gen warna (C). Hal ini juga dipertegas oleh Hutt (1949) bahwa gen putih bersifat resesif terhadap gen bulu berwarna.

Ayam Merawang memiliki tiga macam pola warna bulu yaitu hitam (E-), tipe liar (e+-) dan colombian (e -). Gen E, e+ dan e mempengaruhi ekspresi pola warna bulu. Gen tersebut terdapat pada alel yang sama (satu lokus yang sama). Pada ayam Merawang didominasi pola warna tipe liar dengan genotipe (e+-).

Ayam Merawang memiliki frekuensi fenotipe pola bulu pada penelitian ini hampir mendekati seragam (Tabel 3). Frekuensi fenotipe pola bulu ayam Merawang berurutan yaitu liar, hitam dan colombian. Frekuensi fenotipe sekitar 98,43% tipe liar, sedangkan hitam 1,17% dan colombian 0,47%. Hasil penelitian ini hampir mendekati seragam seperti yang dilaporkan Sulistyowati (2002) bahwa persentase fenotipe untuk pola bulu dengan persentase terbesar tipe liar 97,15%, hitam 1,69% dan colombian 0,46%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Sesmira (2002) yang melaporkan pada ayam Merawang memiliki pola bulu dengan persentase tertinggi liar 33,33%, hitam 3,33% dan Colombian 33,33%.

Frekuensi fenotipe tertinggi untuk corak bulu polos 99,29% dan lurik 0,70%. Hasil penelitian ini hampir mendekati seragam. Hal ini berbeda dengan penelitian

Sulistyowati (2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki corak bulu polos 100%. Sesmira (2002) melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki corak bulu polos 96% dan lurik 3,33%. Corak bulu lurik ayam Merawang pada penelitian ini adalah warna coklat lurik putih dan hitam lurik.

Frekuensi fenotipe kerlip bulu ayam Merawang pada penelitian ini hampir mendekati seragam. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 3 yaitu frekuensi fenotipe kerlip bulu keemasan 95,44% dan perak 4,55%. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Sulistyowati (2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki kerlip bulu emas dan perak dengan frekuensi fenotipe 79,63% dan 20,37%. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Sesmira (2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki kerlip bulu keperakan dengan frekuensi fenotipe sebesar 76,92% dan kerlip bulu keemasan dengan frekuensi fenotipe 23,08%.

Warna Shank

Keseragaman warna shank dapat dilihat dari frekuensi fenotipenya. Ayam Merawang memiliki shank berwarna kuning/putih sebesar 98,34%. Tabel 4 menunjukkan bahwa warna shank yang dijumpai pada ayam Merawang di Peternakan AT3 hampir mendekati seragam.

Tabel 4. Frekuensi Fenotipe Warna Shank dan Jengger Ayam Merawang di Peternakan AT3

Karakteristik Jumlah Ayam Fenotipe

Warna Shank Hitam / Abu-abu Kuning / Putih (ekor) 21 1.251 (%) 1,651 98,349 Bentuk Jengger Ros Kapri Tunggal 3 3 1.266 0,236 0,236 99.528

Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Sesmira (2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki warna shank yang seragam dengan frekuensi fenotipe 100% shank kuning. Sulistyowati (2002) juga melaporkan bahwa frekuensi warna shank pada ayam Merawang pada penelitiannya adalah seragam dengan frekuensi shank berwarna kuning 100%.

Warna kuning pada shank ayam Merawang disebabkan ekspresi gen dominan Id yang menghambat deposisi melanin pada dermis kulit shank. Hal ini juga dipertegas oleh Jull (1951) yang menyatakan bahwa ayam yang memiliki warna

shank kuning atau putih berarti tidak mempunyai pigmen melanin dalam dermis karena mengandung gen Id yang mencegah penyimpanan melanin pada epidermis. Hutt (1949) menyatakan bahwa selain alel Id ada ale l lain yang mempengaruhi warna kulit dan warna shank, alel tersebut adalah alel W yang membawa sifat pigmentasi

carotenoid berupa xanthophyll. Ayam yang memiliki warna shank kuning

kemungkinan juga memiliki warna kulit kuning, oleh karena itu diduga ayam yang warna shank kuning seperti ayam Merawang memiliki genotipe e+e+wwIdId.

Hasil penelitian menunjukkan ternyata pada ayam Merawang masih ditemukan warna shank hitam dengan frekuensi fenotipe 1,65%. Shank yang berwarna hitam disebabkan oleh adanya pigmen melanin pada epidermis.

Warna shank hitam pada ayam Merawang dipengaruhi oleh gen bulu tertentu. Gen bulu tersebut adalah gen (E). Ayam Merawang yang memiliki shank

berwarna hitam bergenotipe id dan memiliki gen E. Hal ini dilaporkan Jull (1951) bahwa gen warna bulu tersebut adalah gen (E) yang condong untuk memperluas pigmentasi melanin pada shank.

Bentuk Jengger

Bentuk jengger ayam Merawang di Peternakan AT3 hampir mendekati seragam. Hal ini tampak pada persentase fenotipe untuk bentuk jengger tunggal adalah 99,52%, diikuti 0,23% dan 0,23% untuk bentuk jengger ros dan kapri (Tabel 4). Hal ini mendukung hasil penelitian Sesmira (2002) dan Sulistyowati (2002) yang melaporkan bahwa ayam Merawang memiliki bentuk jengger tunggal dengan frekuensi fenotipe 100%.

Keseragaman bentuk jengger ayam Merawang dapat digunakan untuk pemurnian ayam Merawang, sehingga bisa menghasilkan calon bibit yang seragam bentuk jenggernya. Untuk meningkatkan keseragaman bentuk jengger ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak terjalin (AT3) maka perlu dikeluarkan ayam Merawang yang memiliki bentuk jengger rose dan kapri dari peternakan. Bentuk jengger rose dan kapri memiliki gen dominan yaitu R_pp dan rrP_ sehingga mudah untuk menggeluarkannya dari peternakan.

Frekuensi Gen

Frekuensi gen dipakai untuk mengetahui frekuensi gen yang dimaksud terhadap jumlah gen seluruhnya dalam suatu populasi. Frekuensi gen dapat digunakan untuk menunjukkan keragaman genetis. Frekuensi gen warna bulu, pola bulu, corak bulu, kerlip bulu, warna shank dan bentuk jengger ayam Merawang di Peternakan AT3 disajikan pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5. Frekuensi Gen Warna Bulu, Pola Bulu, Corak Bulu, Kerlip Bulu, Ayam Merawang di Peternakan AT3

Sifat Gen Frekuensi Gen

Warna Bulu Berwarna Putih i I (%) 99,65 0,35 Pola Bulu Hitam Liar Colombian E e+ e 0,59 92,54 6,87 Corak Bulu Lurik Polos B b 0,38 99,62 Kerlip Bulu Perak Emas S s 2,84 97,16

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada penelitian ini ternyata warna bulu, pola warna bulu, corak bulu tipe liar, kerlip bulu emas, warna shank dan bentuk jengger pada ayam Merawang lebih mudah untuk dijadikan standar pemurnian. Hal ini diduga didaerah penelitian telah terjadi proses seleksi, sehingga banyak diternakkan ayam-ayam yang berwarna coklat kemerahan atau coklat keemasan, warna shank

kuning dan bentuk jengger single comb.

Frekuensi gen tertinggi warna bulu adalah gen berwarna (i) sebesar 99,65%; putih (I) 0,35%. Pola warna tipe liar (e+) paling banyak dengan frekuensi gen (e+) 92,54%. Pada ayam Merawang pola warna hitam dan colombian adalah pola warna

yang paling sedikit dengan frekuensi gen (E) 0,59% dan (e) 6,87%. Menurut Hutt (1949) warna colombian merupakan pola warna yang diwariskan secara resesif. Hasil penelitian ini berbeda dengan karakteristik ayam Merawang pada penelitian Sesmira (2002) yang melaporkan bahwa frekuensi gen berwarna (i) 0,95%, gen tidak berwarna (I) 0,05%, corak bulu polos dengan frekuensi gen lurik (b) 1,00%, kerlip bulu keperakan dan keemasan dengan frekuensi gen (S) 0,75% dan (s) 0,24%, warna shank kuning dengan frekuensi gen (Id) 1,00% dan bentuk jengger tunggal (p) 1,00%.

Corak bulu yang paling banyak pada ayam Merawang, adalah corak bulu polos dengan frekuensi gen (b)99,62% dan gen (B) 0,38%. Kerlip bulu ayam Merawang pada penelitian ini paling banyak adalah kerlip bulu keemasan dengan frekuensi gen (s) 97,16% dan kerlip bulu keperakan gen (S) paling sedikit yaitu 2,84%. Gen kerlip bulu keperakan (S) dan keemasan(s) merupakan gen terkait kelamin (Stutervan, 1912 dalam Hutt, 1994). Melalui persilangan berulang kali antara Brown Leghorn dan Colombian Wyandotte, gen hitam dan putih dapat mempengaruhi gen keperakan dan keemasan yang dapat dibedakan melalui uji perkawinan (Hutt, 1949). Frekuensi gen warna shank dan bentuk jengger ayam Merawang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Frekuensi Gen Warna Shank dan Bentuk Jengger Ayam Merawang di Peternakan AT3

Sifat Gen Frekuensi Gen

Warna Shank

Hitam / Abu – abu Kuning / Putih Id id (%) 0,95 99,05 Bentuk Jengger Ros Kapri Tunggal R P r 0,12 0,12 99,76

Tabel 6 menunjukkan bahwa warna cakar atau shank kuning/putih (id) pada ayam Merawang di Peternakan AT3 lebih besar dari shank hitam (Id) dengan frekuensi gen masing- masing 99,05% dan 0,95%. Frekuensi gen untuk warna shank

dan bentuk jengger pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Sulistyowati (2002) dan Sesmira (2002) yang melaporkan frekuensi gen untuk warna shank dan

bentuk jengger ayam Merawang yaitu gen (Id) 100% dan gen (id) 1,00%. Bentuk jengger ayam Merawang di Peternakan AT3 dalam penelitian ini hampir mendekati seragam dengan frekuensi gen tertinggi pada single comb sebesar 0,9976, ros 0,0012 dan kapri 0,0012.

Sifat Kualitatif

Genotipe dan Fenotipe Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin

Karakteristik eksternal ayam Merawang di Peternakan AT3 untuk warna bulu, pola warna bulu, corak bulu, kerlip bulu, bentuk jengger dan warna shank

hampir mendekati seragam. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi fenotipe dan frekuensi gennya. Pada lokasi penelitian banyak dipelihara ayam Merawang warna coklat, dengan variasi coklat kemerahan dan coklat keemasan (bulu berwarna), bentuk jengger tunggal (single comb) dan warna shank kuning. Bentuk jengger ros dan kapri serta warna shank hitam ditemukan pada ayam Merawang pada lokasi penelitian. Hal ini disebabkan di lokasi penelitian terdapat ayam Kampung yang dipelihara secara bersama-sama, sehingga ada kemungkinan perkawinan antara ayam Kampung dengan ayam Merawang, sehingga kemungkinan genotipe dan fenotipe ayam Merawang di Peternakan AT3 seperti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Kemungkinan Genotipe dan Fenotipe Ayam Merawang di Peternakan Aneka Tanaman Teranak Terjalin (AT3) Saklat

Fenotipe Genotipe Warna Bulu Pola Warna Corak Bulu Warna Shank Bentuk Jengger E_B_C_ ii Id_rrpp Berwarna Polos Lurik Kuning Tunggal E_bbC_ ii Id_rrpp Berwarna Polos Polos Kuning Tunggal e+_bbC_ ii Id_rrpp Berwarna Tipe Liar Polos Kuning Tunggal eeB_C_ii Id_rrpp Berwarna Columbian Lurik Kuning Tunggal eebbc_ ii Id_rrpp Berwarna Columbian Polos Kuning Tunggal ccii_ Id_rrpp Putih Polos Polos Kuning Tunggal Warna bulu ayam Merawang paling banyak pada penelitian ini adalah berwarna dengan frekuensi gen 99,65%. Pola warna bulu ayam Merawang paling banyak adalah adalah tipe liar dengan frekuensi fenotipe 98,34% dan frekuensi genotipe 92,54%. Corak bulu ayam Merawang paling banyak adalah polos dengan frekuensi fenotipe 99,29% dan frekuensi genotipe 99,62%. Ayam Merawang

memiliki kerlip bulu paling banyak di Peternakan AT3 adalah kerlip keemasan dengan frekuensi fenotipe 95,44%dan frekuensi genotipe 97,16%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di lokasi penelitian banyak ditemukan ayam Merawang memiliki bentuk jengger tunggal (single comb) dengan frekuensi fenotipe 99,52% dan frekuensi genotipe 99,76%. Warna shank yang ditemukan pada ayam merawang di Peternakan AT3 yang paling banyak adalah warna shank kuning/putih dengan frekuensi fenotipe 98,34% dan frekuensi genotipe 99,05%.

Sifat Kuantitatif

Sifat kuantitatif dari seekor ternak sangat penting untuk diketahui sehingga memudahkan dalam menduga produktivitas dari seekor ternak. Sifat kuantitatif dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetik, terutama ketersediaan pakan dan sistem pemeliharaan. Mansjoer (1985) menyatakan dalam bidang peternakan unggas, sifat-sifat kuantitatif yang penting adalah yang berhubungan dengan produksi, misalnya produksi telur dan umur bertelur pertama, bobot tetas dan bobot badan. Sifat-sifat kuantitatif selain dipengaruhi oleh genotipenya juga dipengaruhi oleh lingkungan, serta interaksi antara genotip e dan lingkungan.

Produksi Telur (Hen-Housed Production)

Produksi telur merupakan parameter utama yang digunakan sebagai kriteria pemilihan bibit ayam Merawang petelur ya itu dengan menghitung jumlah telur yang dihasilkan oleh ayam Merawang. Hen-housed sering dijadikan patokan untuk mengetahui produksi telur harian. Jika produksi telur pada hari tersebut banyak, maka persentase hen-housed akan meningkat. Adanya kematian pada ayam yang sedang berproduksi akan mempengaruhi hen-housed. Ayam betina yang tidak berproduksi telur juga mempengaruhi hen-housed. Produksi telur (hen- housed) ayam Merawang di Peternakan AT3 disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 menunjukkan produksi telur ayam Merawang di Peternakan AT3 selama 10 minggu penelitian sangat rendah. Rendahnya produksi telur ayam Merawang selama penelitian disebabkan umur ayam tidak seragam (kisaran umur 1-1,5 tahun), sebagian betina tidak berproduksi, adanya sifat mengeram, kualitas pakan yang diberikan pada saat penelitian kurang baik, mortalitas dan pengaruh suhu. Hal ini juga dilaporkan oleh Prasetyo et al. (1985) bahwa rendahnya produksi telur dalam

satu periode disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pengaruh suhu lingkungan, sistem pemeliharaan, umur, mortalitas, kesehatan dan seleksi.

Tabel 8. Rataan dan Koefisien Keragaman Produksi Telur (hen- housed) Ayam Merawang per Minggu di Peternakan AT3 Selama Penelitian.

Minggu Produksi Telur (hen-housed)

X + sb Koefisien Keragaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (Butir) 257,29+ 64,09 (n= 548 ) 282,43+65,03 (n= 548 ) 260,43+70,06 (n= 548) 304,29+46,35 (n= 548) 336,14+30,10 (n= 548) 252,86+62,03 (n= 548) 238,43+93,18 (n= 548) 300,43+48,12 (n= 548) 252,29+40,80 (n= 548) 309,43+75,00 (n= 548) (%) 24,88 23,02 26,90 15,23 8,95 24,53 39,08 16,01 16,17 24,23 Total 279,40+18,44 6,59 Keterangab : X = rataan; sb = simpangan baku; n = jumlah

Ayam Merawang mencapai puncak produksi pada minggu kelima sekitar 336,14+30,10 butir/hari dengan persentase hen-housed 1,34% (n=548 ekor). Menurunnya persentase hen-housed selama penelitian disebabkan umur ayam tidak seragam, adanya betina yang mati karena terserang berak hijau dan putih (penyakit) yang mengakibatkan jumlah betina berkurang, sehingga produksi telur harian selama penelitian menurun. Pada minggu ke-10 produksi telur meningkat walaupun tidak setinggi pada minggu ke-5, hal ini disebabkan karena pemberian Therapi dan Vita

Stres sehingga ind ikasi kotoran ayam berwarna hijau maupun putih dan stres pada ayam mulai menurun.

Prasetyo et al. (1985) menyatakan bahwa masa produksi telur pada ayam Kampung sangat bervariasi sehingga mengakibatkan produksi telur pada periode-periode tertentu bervariasi, hal ini sangat tergantung pada sistem pemeliharaan.

Hen-housed ayam Merawang secara keseluruhan selama 10 minggu adalah 50,98%. Produksi hen-housed ayam Merawang per minggu selama 10 minggu penelitian di Peternakan Aneka Tanaman Ternak Terjalin (AT3) secara berturut-turut 61,34; 56,46; 55,52; 54,82; 51,53; 47,52; 46,95; 46,16; 46,03; dan 43,50%.

Koefisien keragaman produksi telur ayam Merawang pada Tabel 8 menunjukkan variasi. Variasi koefisien keragaman disebabkana karena faktor lingkungan (suhu kandang). Pengaruh suhu kandang menyebabkan produksi telur menurun dan ukuran telur menjadi kecil. Selama penelitian rataan suhu kandang pada pagi hari 24,71oC, siang hari 31,97oC dan malam hari 26,41oC. Selama penelitian perubahan suhu harian selalu berubah-ubah dengan kisaran 4-50C. Perubahan suhu harian ini menyebabkan produksi telur rendah. Suhu kandang pada siang hari bisa mencapai 32oC sehingga produksi telur harian menurun. Creswell dan Hardjosworo (1979) melaporkan bahwa Indonesia terletak di bagian yang lembab dari daerah tropis (60 Lintang Utara- 110 Lintang Selatan) sehingga selalu mengalami suhu dan kelembaban yang tinggi. Farrell (1979) melaporkan bahwa pada suhu 32 oC atau lebih dapat menurunkan produksi telur dan ukuran telur menjadi kecil. Perubahan suhu kandang selama penelitian menyebabkan produksi telur tidak stabil. Menurut Creswell dan Hardjosworo (1979) di daerah tropis seperti Indonesia, produksi telur dari ayam-ayam petelur dapat dipertahankan normal sampai 30oC dengan meningkatkan kadar gizi (terutama protein) dalam ransum. Suhu lingkungan diatas 30 oC menyebabkan produksi telur menurun

Nilai koefisien keragaman terbesar pada minggu ke-7 (39,08%) kemudian diikuti minggu ke-3 (26,90%), minggu ke-1 (24,88%), minggu ke-6 (24,53%), minggu ke-10 (24,23%), minggu ke-2 (23,02%), minggu ke-9 (16,17%), minggu-8 (16,01), minggu ke ke-4 (15,23%) dan minggu ke-5 (8,95%). Berdasarkan nilai koefisien keragaman tersebut berarti produksi telur ayam Merawang masih beragam. Oleh karenanya untuk meningkatkan produksi telur dapat dilakukan seleksi terhadap induk dewasa sehingga diperoleh calon bibit yang produksinya tinggi.

Mortalitas

Mortalitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efisiensi produksi suatu usaha beternak unggas. Mortalitas disebabkan oleh beberapa faktor seperti sanitasi dan makanan yang kurang memenuhi standar. Mortalitas ayam Merawang di Peternakan AT3 disajikan pada Tabel 9 dan 10.

Mortalitas DOC dan Fase Starter

Mortalitas ayam Merawang pada DOC dan fase starter di Peternakan AT3 disajikan pada Tabel 9. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingginya tingkat mortalitas DOC di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 12,00% (60 ekor).

Tingkat mortalitas yang terjadi sebanyak 8,00% (40 ekor) disebabkan oleh faktor kecelakaan seperti dimakan tikus 5,00% (25 ekor); burung 1,00% (5 ekor); tidak diketahui 2,00% (10 ekor). Hasil Penelitian ini lebih baik dari yang dilaporkan Lulusno (1991) yang menyatakan bahwa mortalitas anak ayam umur 0-4 minggu yang dipelihara secara ekstensif kematiannya disebabkan dimangsa kucing, tikus, musang (13,8%); kelemahan fisik (19,7%); masuk kolam (15,2); sakit mata (3,6%); tidak diketahui (10,6%) dan dipatuk induk ayam (9,1%)

Tabel 9. Persentase dan Rataan Mortalitas ayam Merawang DOC dan

Starter di Peternakan AT3 Selama penelitian Fase

Sifat DOC Starter

Mortalitas Persentase Mortalitas Persentase Faktor Penyebab : a. Penyakit b. Kecelakaan c. Manajemen (ekor) 5 40 15 (%) 1,00 8,00 3,00 (ekor) 10 10 20 (%) 1,57 1,57 3,14 Jumlah 60 12,00 40 6,29

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat mortalitas yang terjadi pada ayam Merawang DOC disebabkan oleh faktor manajemen 3,00% (15 ekor) dan yang disebabkan oleh penyakit adalah 1,00% (5 ekor).

Tingginya angka kematian anak ayam DOC di Peternakan AT3 selama penelitian disebabkan karena manajemen pemberian pakan tidak diperhatikan, kebersihan kandang kurang dijaga dan penggunaan kandang indukan tidak memadai. Hal ini dipertegas Abidin (2002) bahwa mortalitas DOC dan fase starter pada ayam petelur merupakan periode kritis, penanganan yang baik dapat menekan angka kematian 10%. Angka kematian diatas 10% dapat menyebabkan kerugian pada usaha peternakan. Mortalitas pada unggas sangat rawan pada fase- fase awal, termasuk ayam Kampung yang merupakan hewan berdarah dingin yakni suhu tubuhnya sangat tergantung pada suhu lingkungan terutama pada DOC dan fase starter, karena anak

ayam belum memiliki bulu yang berfungsi untuk mengontrol suhu tubuh. Menurut Subiharta et al. (1992) kematian aya m Kampung pada saat menetas sampai umur tiga bulan dapat diturunkan dengan penggunaan kandang indukan dan vaksinasi ND.

Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat mortalitas fase starter di Peternakan AT3 selama penelitian sebanyak 6,29% (40 ekor).Tingkat mortalitas terjadi sebanyak 3,14% (20 ekor) disebabkan oleh faktor manajemen seperti kanibalisme 2,34% (15 ekor), tidak diketahui 0,78% (5 ekor). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mortalitas ayam Merawang fase starter disebabkan oleh faktor kecelakaan 1,57% (10 ekor) dan penyakit 1,57% (10 ekor). Kanibalisme terjadi pada umur empat minggu. Hal tersebut disebabkan karena pertumbuhan bulu ayam Merawang lambat. Pada saat ayam sedang tumbuh bulu akan menarik perhatian aya m-ayam lainnya yang menyebabkan bulu tersebut dipatuk sehingga mengeluarkan darah. Pendarahan dari bulu tersebut merangsang ayam yang lain untuk mematuk sehingga mengakibatkan kematian

Berdasarkan hasil analisis pemeriksaan Laboratorium Patologis Unggas, Jurusan Parasitologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor penyakit yang menyerang ayam Merawang DOC dan fase starter adalah penyakit Tetelo (ND). Hal ini dilihat dengan tanda-tanda yang tampak dilapang adalah na fsu makan kurang, anak ayam lesu dan pada tahap permulaan kotoran ayam berwarna putih seperti kapur. Selanjutnya menurut Samosir dan Sudaryani (2001) gejala- gejala umum yang ditimbulkan yaitu jengger dan kepala membiru, sayap terkulai, ayam tampak lesu, nafsu makan menurun, kotoran memerah dan encer serta otot dan tubuh lesu.

Pencegahan penyakit yang dilakukan selama penelitian adalah pemberian vaksin ND dan Gumboro, cara pemberian vaksin ND dan Gumboro adalah lewat tetes mata, melakukan sanitasi dan pembersihan kandang induknya yang ketat sehingga tingkat mortalitas dapat ditekan. Pemberian vaksinasi lewat tetes mata biasanya dilaksanakan pada ayam berumur dua sampai tiga minggu. Hal ini juga dipertegas oleh Rasyaf (1996) bahwa pemberian vaksinasi lewat tetes mata paling efektif dilaksanakan pada saat ayam berumur dua sampai empat minggu. Pemberian di atas umur empat minggu kurang efektif. Samosir dan Sudaryani (2001) menyatakan bahwa penyakit Tetelo adalah penyakit yang paling ganas dan

menyebabkan tingkat kematian dalam waktu yang singkat dan tingkat kematian dapat mencapai 70-90%.

Mortalitas Fase Growing dan Fase Laying

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat mortalitas tertinggi ayam Merawang fase Grower di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 4,00% (29 ekor). Mortalitas yang terjadi sekitar 2,76 % (20 ekor) disebabkan oleh faktor manajemen, kecelakaan 0,69% (5 ekor) dan penyakit 0,55% (4 ekor).

Tabel 10 menunjukkan bahwa tingkat mortalitas ayam Merawang fase bertelur (laying) di Peternakan AT3 selama penelitian mencapai 2,55% (14 ekor). Mortalitas terjadi sekitar 1,09% (6 ekor) disebabkan oleh manajemen, kecelakaan 0,91% (5 ekor) dan penyakit 0,54% (3 ekor).

Mortalitas yang terjadi pada ayam fase Grower dan bertelur (laying) di Peternakan AT3 selama penelitian sangat rendah. Hal ini dipertegas Abidin (2002) bahwa mortalitas pada fase growing dan fase laying pada ayam petelur dapat ditekan dengan manajemen pemberian pakan yang baik dan pemeliharaan diperhatikan. Manajemen pemberian pakan dan pemeliharaan yang baik dapat menekan angka mortalitas 5%.

Tabel 10. Persentase dan Rataan Mortalitas Ayam Merawang Fase Grower

dan Fase Bertelur (laying) di Peternakan AT3 Selama Penelitian Fase

Sifat Growing Laying

Mortalitas Persentase Mortalitas Persentase Faktor Penyebab : a. Penyakit b.Kecelakaan c. Manajemen (ekor) 20 5 4 (%) 2,76 0,69 0,55 (ekor) 3 5 6 (%) 0,54 0,07 0,08 Jumlah 29 4,00 14 2,55

Hal ini disebabkan pada umur- umur tersebut manajemen pemeliharaan lebih baik terutama kebersihan lingkungan kandang serta kualitas dan kuantitas pakan ditingkatkan. Sistem pemeliharaan ayam Merawang fase growing dan laying di Peternakan AT3 secara intensif dipelihara dalam kandang selama 24 jam dan

Dokumen terkait